Analisis Faktor Tidak Tersedianya Jamban Keluarga Dan Upaya Pengadaannya Di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012

(1)

ANALISIS FAKTOR TIDAK TERSEDIANYA JAMBAN KELUARGA DAN UPAYA PENGADAANNYA DI DESA PARGARUTAN TONGA

KECAMATAN ANGKOLA TIMUR KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TAHUN 2012

SKRIPSI

Oleh:

NIM. 081000004

EVA KHOIRIYAH HARAHAP

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(2)

ANALISIS FAKTOR TIDAK TERSEDIANYA JAMBAN KELUARGA DAN UPAYA PENGADAANNYA DI DESA PARGARUTAN TONGA

KECAMATAN ANGKOLA TIMUR KABUPATEN TAPANULI SELATAN

TAHUN 2012

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM. 081000004

EVA KHOIRIYAH HARAHAP

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2012


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi Dengan Judul :

ANALISIS FAKTOR TIDAK TERSEDIANYA JAMBAN KELUARGA DAN UPAYA PENGADAANNYA DI DESA PARGARUTAN TONGA

KECAMATAN ANGKOLA TIMUR KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2012

Yang dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

NIM. 081000004

EVA KHOIRIYAH HARAHAP

Telah Diuji dan Dipertahankan di Hadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 4 Juli 2012 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

(Ir. Evi Naria, M.Kes) (

NIP. 19680320 199303 2 001 NIP. 19780331 200312 1 001 dr. Taufik Ashar, MKM)

Penguji II Penguji III

(dr. Devi Nuraini Santi, M.Kes) (Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS) NIP:19700219 199802 2 001 NIP. 19650109 199403 2 002

Medan, Juli 2012

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dekan

NIP. 19610831 198903 1 001 (Dr.Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

ABSTRAK

Jamban keluarga adalah suatu bangunan untuk membuang tinja manusia bagi suatu keluarga. Cakupan kepemilikan jamban keluarga di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 masih tergolong rendah yaitu dari 148 kepala keluarga hanya 82 kepala keluarga (55,4%) yang memiliki jamban keluarga. Keluarga yang tidak memiliki jamban ini biasanya memanfaatkan parit, sungai, dan WC umum untuk membuang tinja.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran faktor tidak tersedianya jamban keluarga dan upaya pengadaannya di Desa Pargarutan Tonga Tahun 2012.

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu memperoleh gambaran faktor pemudah (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, sikap, budaya), faktor pendukung (jarak rumah, biaya), faktor pendorong (peran petugas kesehatan), dan upaya pengadaan jamban di Desa Pargarutan Tonga Tahun 2012. Informan adalah keluarga yang tidak memiliki jamban di Desa Pargarutan Tonga. Cara mendapatkan informan dengan menggunakan teknik penarikan bola salju (snowball sampling) yaitu 14 keluarga. Data dikumpul dengan menggunakan kuesioner dan dianalisa dengan menggunakan EZ-Text.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan informan adalah SMP, pekerjaan informan adalah petani, penghasilan informan masih rendah, pengetahuan dan sikap informan mengenai jamban keluarga kurang baik, jarak rumah informan ke tempat pembuangan tinja yang dekat dan biaya pembuatan jamban yang mahal merupakan faktor masyarakat tidak membangun jamban, tidak ada peran petugas kesehatan untuk pengadaan jamban, tidak ada upaya pengadaan jamban keluarga oleh pemerintah dan masyarakat.

Sarannya adalah diharapkan kepada petugas kesehatan melakukan penyuluhan kepada masyarakat Desa Pargarutan Tonga dalam upaya meningkatkan pengetahuan mereka mengenai jamban keluarga. Diharapkan juga bagi pemerintah agar menyediakan bantuan untuk pengadaan jamban keluarga terutama kepada masyarakat yang berada pada ekonomi rendah.


(5)

ABSTRACT

Family latrine is a construction to dispose of human faeces for a family.

Family latrine ownership coverage in Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola

Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 are still low, namely of 148 households only 82 of households who have a household toilet. Families who do not have latrines are typically utilize trenches, rivers, and public toilets to dispose of faeces.

The purpose of this study was to obtain a factor of the unavailability of family latrines and procurement efforts in Desa Tonga Pargarutan

This type of research is descriptive using qualitative approach which aims to gain an overview the predisposing factors (education, occupation, income, knowledge, attitude, culture), enabling factors (distance of the house, cost), reinforcing factors (the role of health workers), and effort latrins in Desa Pargarutan Tonga 2012. The way get the informant to use drawing techniques snowball (snowball sampling) was 14 families. Data collected using a questionnaire and analyzed using EZ-Text.

2012.

The results showed that the average educational level of informants are junior high school, the work of informants are farmers, the informants are low-income. the knowledge and attitude’s informants about family toilets are poor, the distance home’s informants to the disposal faeces place are near and expensive cost of latrine construction is a factor people do not build latrines, there is no role of health workers for existing family latrines,there is no attempt to exist family latrines by goverment and public.

The advice to health workers are expected to make counseling to the community Desa Pargarutan Tonga to effort increase their knowledge about family latrines. Hopefully, the goverment provide of family latrines, especially to people who are on low economy.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Eva Khoiriyah Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Pargarutan Tonga/23 Februari 1990

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah Jumlah Anggota Keluarga : 6 orang

Anak ke : 3 (tiga) dari 5 (lima) bersaudara

Alamat Rumah : Pargarutan Tonga, Kecamatan Angkola Timur, TapSel

Riwayat Pendidikan

1. Tahun1996-2002 : SD Negeri 1 Pargarutan

2. Tahun 2002-2005 : SMP Negeri 1 Pargarutan Tonga 3. Tahun 2005-2008 : SMA Negeri 2 Plus Sipirok YPMHB


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat di Universitas Sumatera Utara, dengan judul “ ANALISIS FAKTOR TIDAK TERSEDIANYA JAMBAN KELUARGA DAN UPAYA PENGADAANNYA DI DESA PARGARUTAN TONGA KECAMATAN ANGKOLA TIMUR KABUPATEN TAPANULI SELATAN TAHUN 2012”.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dalam memperkaya isi skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga khususnya kepada Ibu Ir. Evi Naria, MKes selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi I dan Bapak dr. Taufik Ashar, MKM, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, yang telah dengan sabar memberikan bimbingan, saran serta petunjuk sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Drs. Surya Utama, MS selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Irnawati Marsaulina, MS dan dr. Devi Nuraini Santi, MKes selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

3. Drs. Alam Bakti Keloko, MKes, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.

4. Seluruh Dosen di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.


(8)

6. Bapak Suangkupon Harahap, SH, selaku Kepala Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli.

7. Seluruh teman-teman sepeminatan Kesehatan Lingkungan, terkhusus untuk Febri, Khodijah, Mala, Vonny, Annisa, Rudi, Wito, Rizky, Berta, Nila, Susan, Heni, Uud, yang saling mendukung dan berbagi suka duka saat belajar di peminatan sampai dalam penulisan skripsi.

8. Teman-teman seperjuangan stambuk 2008 yang telah bersama-sama menghadapi berbagai dinamika baik suka maupun duka dalam bangku perkuliahan yaitu : Helda, Habidah, Novika, Nurmala, Suryati, Khodijah, Dewi, Lili.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Ayahanda Lukman Harahap dan Ibunda Rosdawani Simanjuntak yang selalu mendo’akan anaknya.

2. Kakanda tercinta Efri, Rina dan adinda Risman, dan Nisa yang selalu memberikan dorongan dan semangat.

Demikian kata pengantar dari penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi orang banyak. Semoga ALLAH SWT senantiasa melimpahkan rahmat dan karuania-Nya bagi kita semua.

Medan, Juli 2012


(9)

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... vii

Daftar Lampiran ... x

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan ... 5

1.3.1. Tujuan Umum ... 5

1.3.2. Tujuan Khusus ... 5

1.4. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kesehatan Masyarakat ... 7

2.2. Kesehatan Lingkungan ... 8

2.3. Sanitasi... 10

2.4. Sanitasi Dasar ... 11

2.5. Pembuangan Kotoran Manusia/Tinja ... 11

2.5.1. Pengaruh Tinja Bagi Kesehatan Manusia ... 12

2.5.2. Jamban ... 18

2.5.3. Tujuan Penggunaan Jamban ... 19

2.5.4. Jenis-Jenis Jamban... 19

2.5.5. Cara Memilih Jenis jamban ... 28

2.5.6. Syarat-Syarat Jamban Sehat ... 29

2.5.7. Pemeliharaan Jamban ... 32

2.5.8. Penentuan Letak Jamban ... 32

2.6. Perilaku Kesehatan ... 33

2.6.1. Domain Perilaku ... 36

2.6.2. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan ... 40

2.7. Upaya Pengadaan Jamban ... 41

2.7.1. Upaya Oleh Pemerintah ... 41

2.7.2. Upaya Oleh Masyarakat ... 45


(10)

BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian ... 50

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 50

3.2.1. Lokasi Penelitian ... 50

3.2.2. Waktu Penelitian ... 50

3.3. Informan Penelitian ... 51

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 51

3.4.1. Data Primer ... 51

3.4.2 Data Sekunder ... 52

3.5 Defenisi Operasional ... 52

3.6. Analisa Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54

4.1.1. Letak Geografis ... 54

4.1.2. Kondisi Demografis ... 55

4.2. Gambaran Informan ... 57

4.2.1. Karakteristik Informan ... 57

4.2.2. Distribusi Informan ... 59

4.2.2.1. Faktor Pemudah ... 59

4.2.2.1.1. Pengetahuan Informan ... 59

4.2.2.1.2. Sikap Informan ... 81

4.2.2.1.3. Budaya Informan ... 93

4.2.2.2. Faktor Pendukung ... 96

4.2.2.2.1. Jarak Rumah ... 96

4.2.2.2.2. Biaya Pembuatan Jamban ... 98

4.2.2.3. Faktor Pendorong ... 101

4.2.2.3.1. Peran Petugas Kesehatan ... 101

4.2.2.4. Upaya Pengadaan Jamban ... 102

4.2.2.4.1. Upaya Pengadaan Oleh Pemerintah ... 102

4.2.2.4.2. Upaya Pengadaan Oleh Masyarakat ... 104

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Faktor Pemudah ... 108

5.1.1. Pendidikan Informan ... 108

5.1.2. Pekerjaan Informan ... 109

5.1.3. Penghasilan Informan ... 109

5.1.4. Pengetahuan Informan ... 110

5.1.5. Sikap Informan ... 120

5.1.6. Budaya Informan ... 125

5.2. Faktor Pendukung ... 127

5.2.1. Jarak Rumah dari Tempat Pembuangan Tinja ... 127

5.2.2. Biaya Pembuatan Jamban ... 128

5.3. Faktor Pendorong ... 129


(11)

5.4. Upaya Pengadaan Jamban ... 131 5.4.1. Upaya Oleh Pemerintah ... 131 5.4.2. Upaya Oleh Masyarakat ... 131 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan ... 134 6.2. Saran ... 135 DAFTAR PUSTAKA


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara

Lampiran 2. Surat Izin Peninjauan Riset/Wawancara di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan

Lampiran 3. Surat Keterangan Telah Selesai Meneliti di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan

Lampiran 4. Hasil Pengolahan Data dengan EZ Text Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman Tabel 4.1. Distribusi Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Desa Pargarutan Tonga

Tahun 2012 ... 55 Tabel 4.2. Distribusi Penduduk Menurut Pekerjaan di Desa Pargarutan Tonga

Tahun 2012 ... 55 Tabel 4.3. Distribusi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Pargarutan

Tonga Tahun 2012 ... 56 Tabel 4.4. Karakteristik Informan Berdasarkan Jenis Kelamin, Umur, Agama, dan

Suku Bangsa ... 57 Tabel 4.5. Karakteristik Informan Berdasarkan Pendidikan, Pekerjaan,

Penghasilan, dan Lama Tinggal ... 58 Tabel 4.6. Pengetahuan Informan Tentang Jamban Keluarga ... 59 Tabel 4.7. Pengetahuan Informan tentang Jenis-Jenis Jamban ... 60 Tabel 4.8. Pengetahuan Informan tentang Fungsi Jamban Bagi Keluarga 62 Tabel 4.9. Pengetahuan Informan tentang Jenis Jamban yang Paling Baik 63 Tabel 4.10. Pengetahuan Informan tentang Syarat-Syarat Jamban Sehat ... 65 Tabel 4.11. Pengetahuan Informan tentang Penyakit yang Ditularkan Lewat

Kotoran Manusia ... 67 Tabel 4.12. Pengetahuan Informan tentang Apakah Jamban Bisa Memutus Mata

Rantai Penularan Penyakit ... 69 Tabel 4.13. Pengetahuan Informan tentang Kenapa Jamban Bisa Membahayakan

Kesehatan ... 70 Tabel 4.14. Pengetahuan Informan tentang Bahaya Kesehatan Akibat Pembuangan

Kotoran yang Sembarangan ... 71 Tabel 4.15. Pengetahuan Informan tentang Jarak Seharusnya Septic Tank dengan


(14)

Tabel 4.16. Pengetahuan Informan tentang Dimana Seharusnya Buang Air Besar

... 73

Tabel 4.17. Rangkuman Pengetahuan Informan tentang Pengertian, Jenis, Fungsi, Jenis Paling Baik, Syarat-Syarat Jamban Sehat ... 75

Tabel 4.18. Rangkuman Pengetahuan Informan tentang Penyakit, Apakah Jamban Bisa Memutus Mata Rantai, Kenapa Jamban Bisa Membahayakan Kesehatan, Bahaya Kesehatan Akibat Pembuangan Kotoran .. 78

Tabel 4.19. Rangkuman Pengetahuan Informan tentang Jarak Septic Tank dan Tempat Seharusnya Buang Air Besar ... 80

Tabel 4.20. Sikap Informan tentang Setiap Keluarga yang Harus Memiliki WC Sendiri... 81

Tabel 4.21. Sikap Informan tentang Anggota Keluarga yang Seharusnya Buang Air Besar di WC/Jamban Keluarga ... 83

Tabel 4.22. Sikap Informan tentang Penyakit yang Dapat Ditularkan Lewat Kotoran Manusia ... 85

Tabel 4.23. Sikap Informan tentang Petugas Kesehatan Melakukan Penyuluhan tentang Jamban ... 86

Tabel 4.24. Sikap Informan tentang Perlunya Masyarakat Mendengarkan Penyuluhan tentang Jamban ... 87

Tabel 4.25. Sikap Informan tentang Masyarakat Perlu Melakukan Upaya untuk Pengadaan Jamban Keluarga ... 89

Tabel 2.26. Rangkuman Sikap Informan tentang Keluarga Memiliki WC, Anggota Keluarga Buang Air Besar di WC, Penyakit Lewat Kotoran Manusia, Petugas Kesehatan Melakukan Penyuluhan, Masyarakat Mendengarkan Penyuluhan, Masyarakat Melakukan Pengadaan Jamban ... 91

Tabel 4.27. Kebiasaan Buang Air Besar di Sungai/Parit/WC Umum ... 93

Tabel 4.28. Jarak Rumah dari Tempat Pembuangan Tinja ... 96

Tabel 4.29. Alasan tidak Memiliki Jamban ... 98

Tabel 4.30. Peran Petugas Kesehatan Mendorong Masyarakat Membangun Jamban ... 101


(15)

Tabel 4.31. Upaya Pengadaan Jamban Oleh Pemerintah ... 102 Tabel 4.28. Upaya yang Mungkin Dapat Dilakukan Oleh Masyarakat ... 104


(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan Gambar 2.2. Mata Rantai Penularan Penyakit dari Tinja Gambar 2.3. Kerangka Konsep


(17)

ABSTRAK

Jamban keluarga adalah suatu bangunan untuk membuang tinja manusia bagi suatu keluarga. Cakupan kepemilikan jamban keluarga di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 masih tergolong rendah yaitu dari 148 kepala keluarga hanya 82 kepala keluarga (55,4%) yang memiliki jamban keluarga. Keluarga yang tidak memiliki jamban ini biasanya memanfaatkan parit, sungai, dan WC umum untuk membuang tinja.

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran faktor tidak tersedianya jamban keluarga dan upaya pengadaannya di Desa Pargarutan Tonga Tahun 2012.

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu memperoleh gambaran faktor pemudah (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, sikap, budaya), faktor pendukung (jarak rumah, biaya), faktor pendorong (peran petugas kesehatan), dan upaya pengadaan jamban di Desa Pargarutan Tonga Tahun 2012. Informan adalah keluarga yang tidak memiliki jamban di Desa Pargarutan Tonga. Cara mendapatkan informan dengan menggunakan teknik penarikan bola salju (snowball sampling) yaitu 14 keluarga. Data dikumpul dengan menggunakan kuesioner dan dianalisa dengan menggunakan EZ-Text.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan informan adalah SMP, pekerjaan informan adalah petani, penghasilan informan masih rendah, pengetahuan dan sikap informan mengenai jamban keluarga kurang baik, jarak rumah informan ke tempat pembuangan tinja yang dekat dan biaya pembuatan jamban yang mahal merupakan faktor masyarakat tidak membangun jamban, tidak ada peran petugas kesehatan untuk pengadaan jamban, tidak ada upaya pengadaan jamban keluarga oleh pemerintah dan masyarakat.

Sarannya adalah diharapkan kepada petugas kesehatan melakukan penyuluhan kepada masyarakat Desa Pargarutan Tonga dalam upaya meningkatkan pengetahuan mereka mengenai jamban keluarga. Diharapkan juga bagi pemerintah agar menyediakan bantuan untuk pengadaan jamban keluarga terutama kepada masyarakat yang berada pada ekonomi rendah.


(18)

ABSTRACT

Family latrine is a construction to dispose of human faeces for a family.

Family latrine ownership coverage in Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola

Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012 are still low, namely of 148 households only 82 of households who have a household toilet. Families who do not have latrines are typically utilize trenches, rivers, and public toilets to dispose of faeces.

The purpose of this study was to obtain a factor of the unavailability of family latrines and procurement efforts in Desa Tonga Pargarutan

This type of research is descriptive using qualitative approach which aims to gain an overview the predisposing factors (education, occupation, income, knowledge, attitude, culture), enabling factors (distance of the house, cost), reinforcing factors (the role of health workers), and effort latrins in Desa Pargarutan Tonga 2012. The way get the informant to use drawing techniques snowball (snowball sampling) was 14 families. Data collected using a questionnaire and analyzed using EZ-Text.

2012.

The results showed that the average educational level of informants are junior high school, the work of informants are farmers, the informants are low-income. the knowledge and attitude’s informants about family toilets are poor, the distance home’s informants to the disposal faeces place are near and expensive cost of latrine construction is a factor people do not build latrines, there is no role of health workers for existing family latrines,there is no attempt to exist family latrines by goverment and public.

The advice to health workers are expected to make counseling to the community Desa Pargarutan Tonga to effort increase their knowledge about family latrines. Hopefully, the goverment provide of family latrines, especially to people who are on low economy.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Demikian pula pemecahan masalah kesehatan masyarakat, tidak hanya dilihat dari segi kesehatannya sendiri, tapi harus dilihat dari seluruh segi yang ada pengaruhnya terhadap masalah “sehat-sakit” atau kesehatan tersebut. Menurut Hendrik L.Bloom ada 4 faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, yaitu keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu, maka status kesehatan bergeser di bawah optimal (Notoatmodjo, 2003).

Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam riwayat timbulnya penyakit. Oleh karena itu pengetahuan mengenai segi-segi penyehatan (sanitasi) lingkungan sangat berperan dalam tiap upaya kesehatan, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam masyarakat (Dainur, 1995).

Masalah sanitasi dasar (air bersih, akses fasilitas sanitasi, persampahan, drainase dan sebagainya) di Indonesia sudah seharusnya menjadi perhatian utama bagi pemerintah kita. Hal ini dikarenakan sanitasi merupakan hak dasar masyarakat yang sama halnya dan sejajar dengan hak berpendapat, hak mendapatkan pengobatan gratis, vaksinisasi, dan hak – hak lainnnya. Sanitasi menjadi penting karena


(20)

masyarakat membutuhkannya setiap melakukan aktifitasnya sehari – hari (Idan, 2010).

Menurut WHO, lebih dari 2,6 milyar orang pada wilayah pedesaan dan perkotaan kini tidak memiliki akses terhadap sanitasi dasar (Anonimous, 2008). Hampir 70% masyarakat masih terbiasa Buang Air Besar (BAB) sembarangan. Dan diantara negara-negara ASEAN, Indonesia masih tertinggal dalam hal akses sanitasi, dimana posisinya berada di bawah Filipina dan Kamboja. Sementara Malaysia memiliki 96% cakupan sanitasi (Anonimous, 2011).

Berdasarkan Riskesda (2010), proporsi penduduk atau rumah tangga yang akses terhadap fasilitas sanitasi layak (dikatakan layak apabila sarana tersebut milik sendiri atau bersama, kloset jenis leher angsa dan pembuangan akhir tinjanya ke tangki septik atau SPAL) provinsi sebesar 55,53%, dan akses terhadap fasilitas sanitasi tidak layak sebesar 44,47%. Provinsi paling tinggi akses terhadap fasilitas tidak layak adalah Provinsi Nusa tenggara Timur (74,65%) dan terendah di DKI Jakarta (17,17%). Sementara itu, menurut kualifikasi daerah, akses terhadap fasilitas sanitasi layak di perkotaan hampir dua kali lipat (71,45%) dibandingkan dengan di perdesaan (38,55%). Sedangkan akses terhadap fasilitas sanitasi di perkotaan yang tidak layak (28,55%) dan di pedesaan (61,45%).

Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia atau najis bagi suatu keluarga yang lazim disebut kakus atau WC (Madjid, 2009). Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka itu memanfaatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk Buang Air Besar (BAB). Dengan masih adanya masyarakat di suatu wilayah yang Buang Air


(21)

Besar (BAB) sembarangan, maka wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya : penyakit cacingan, kolera (muntaber)schistosomiasis

Menurut data BPS Sumatera Utara Tahun 2008 persentase rumah tangga yang memiliki sendiri fasilitas tempat buang air besar terendah terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan 22,8%, diikuti Kabupaten mandailing Natal 27,9% dan Kabupaten Nias 29,1%. Kabupaten Tapanuli Selatan adalah sebua

dan masih banyak penyakit lainnya. Selain itu dapat menimbulkan pencemaran lingkungan pada sumber air dan bau busuk serta estetika. Semakin besar presentase yang Buang Air Besar (BAB) sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi intensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit pada suatu waktu cepat atau lambat. Sebaiknya semua orang Buang Air Besar (BAB) di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan Buang Air Besar (BAB) di jamban banyak penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan (Anonimous, 2010).

kabupaten yang amat besar dan beribukota di adalah 4.367,05 Km2

Desa Pargarutan Tonga merupakan desa yang terletak di Kecamatan Angkola Timur dan memiliki ketersediaan jamban keluarga yang masih rendah. Hasil survei . Kabupaten ini terdiri dari 12 Kecamatan, yang salah satunya adalah Kecamatan Angkola Timur. Secara umum, mata pencaharian masyarakat kabupaten Tapanuli Selatan adalah petani dan berkebun.


(22)

pendahuluan yang dilakukan penulis di Desa Pargarutan Tonga diperoleh bahwa hanya 82 KK (55,4%) dari 148 KK yang tinggal di desa tersebut yang memiliki jamban keluarga. Keluarga yang tidak memiliki jamban ini biasanya memanfaatkan sungai, parit, dan jamban umum untuk membuang kotoran/tinja. Kebiasaan ini berlangsung sejak dulu dan sudah menjadi turun-temurun. Air yang bercampur dengan kotoran ini mengalir ke sawah penduduk sekitar dan akan digunakan untuk persawahan. Dengan kebiasaan masyarakat tersebut, maka bukan tidak mungkin suatu saat masyarakat di wilayah ini akan terancam penyakit menular yang berbasis lingkungan.

Menurut Penelitian Junaidi (2002) ada hubungan yang signifikan antara karakteristik kepala keluarga (pendidikan, pendapatan, pengetahuan dan sikap) dengan kepemilikan jamban keluarga dari kajian uji Chi Square.

Menurut data dari Puskesmas Pargarutan Kecamatan Angkola Timur Tahun 2011, sepuluh penyakit terbesar pada Puskesmas tersebut adalah ISPA, gastritis, diare, hipertensi, penyakit kulit/dermatitis, rheumatik, penyakit rongga mulut, TB paru, mata, dan asma.

Berdasarkan penelitian Sutedjo (2003), menyatakan bahwa alasan masyarakat pada dua desa di Kabupaten Rembang tidak memiliki dan menggunakan jamban keluarga adalah tidak mempunyai biaya untuk membangun jamban, nyaman dan praktis di tegalan, belum tahu manfaat jamban, nyaman di sungai dan tidak biasa di jamban.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis ingin mengetahui gambaran faktor tidak tersedianya jamban keluarga dan upaya pengadaannya di Desa


(23)

Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang terlihat masih rendahnya ketersediaan jamban keluarga di Desa Pargarutan Tonga, maka penulis ingin mengetahui gambaran tentang faktor tidak tersedianya jamban keluarga dan upaya pengadaannya di Desa Pargarutan Tongan Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran faktor tidak tersedianya jamban keluarga dan upaya pengadaannya di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui gambaran faktor pemudah (pendidikan, pekerjaan, penghasilan, pengetahuan, sikap masyarakat tentang jamban keluarga dan pengadaannya, dan budaya yang berkaitan dengan kebiasaan BAB) di Desa Pargarutan Tonga.

2. Untuk mengetahui gambaran faktor pendukung (jarak rumah dari tempat pembuangan kotoran, dan biaya pengadaan jamban) di Desa Pargarutan Tonga 3. Untuk mengetahui gambaran faktor pendorong yaitu peran petugas kesehatan


(24)

4. Untuk mengetahui gambaran upaya pengadaan jamban keluarga di Desa Pargarutan Tonga.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan, sebagai data yang diperlukan untuk kegiatan penyuluhan serta membina partisipasi masyarakat dalam meningkatkan cakupan pengadaan jamban keluarga di Desa Pargarutan Tonga.

2. Bagi Pemerintah, sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Tapanuli Selatan guna membuat kebijakan dalam pembangunan sarana sanitasi khususnya jamban di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kecamatan Tapanuli Selatan.

3. Bagi peneliti, sebagai pengalaman dan proses belajar dalam menerapkan ilmu selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan bahan dan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kesehatan Masyarakat

Batasan yang paling tua, dikatakan bahwa kesehatan masyarakat adalah upaya-upaya untuk mengatasi masalah-masalah sanitasi yang mengganggu kesehatan. Dengan kata lain kesehatan masyarakat adalah sama dengan sanitasi. Upaya memperbaiki dan meningkatkan sanitasi lingkungan adalah merupakan kegiatan kesehatan masyarakat (Notoatmodjo, 2003).

Kesehatan masyarakat adalah kesatuan unit praktek kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk pengembangan dan peningkatan kemampuan hidup sehat bagi pendidikan (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) menggunakan konsep dan keterampilan dan praktek kesehatan masyarakat (Freeman) (Syafrudi, 2009).

Dari pengalaman-pengalaman praktik kesehatan masyarakat yang telah berjalan sampai pada awal abad ke-20, Winslow (1920) akhirnya membuat batasan kesehatan masyarakat (public health) adalah ilmu dan seni: mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan, melalui ‘Usaha-usaha Pengorganisasi Masyarakat’ untuk (Notoatmodjo, 2007):

1. Perbaikan sanitasi lingkungan

2. Pemberantasan penyakit-penyakit menular 3. Pendidikan untuk kebersihan perorangan.

4. Pengorganisasi pelayanan-pelayanan medis dan perawatan untuk diagnosis dini dan pengobatan.


(26)

5. Pengembangan rekayasa sosial untuk menjamin setiap orang terpenuhi kebutuhan hidup yang layak dalam memelihara kesehatannya.

2.2. Kesehatan Lingkungan

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat kompleks, yang saling berkaitan dengan masalah-masalah lain di luar kesehatan itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan, baik kesehatan individu maupun kesehatan masyarakat, untuk hal ini Hendrik L. Blum menggambarkan secara ringkas sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003):

Gambar 2.1. Faktor yang Mempengaruhi Status Kesehatan Keturunan

Pelayanan Kesehatan

Perilaku

Lingkungan: - fisik

- sosial ekonomi, budaya dsb Status


(27)

Keempat faktor tersebut (keturunan, lingkungan, perilaku, dan pelayanan kesehatan) di samping berpengaruh langsung kepada kesehatan, juga saling berpengaruh satu sama lainnya. Status kesehatan akan tercapai secara optimal, bilamana keempat faktor tersebut secara bersama-sama mempunyai kondisi yang optimal pula. Salah satu faktor saja berada dalam keadaan yang terganggu (tidak optimal), maka status kesehatan akan tergeser ke arah di bawah optimal (Notoatmodjo, 2003).

Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum pula (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan kesehatan lingkungan menurut WHO adalah ilmu dan keterampilan yang memusatkan perhatiannya pada usaha pengendalian semua faktor yang ada pada lingkungan fisik manusia yang diperkirakan menimbulkan/akan menimbulkan hal-hal yang merugikan perkembangan fisiknya, kesehatannya maupun kelangsungan hidupnya (Adnani, 2001).

Kesehatan lingkungan mencakup aspek yang sangat luas yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Pentingnya lingkungan yang sehat akan mempengaruhi sikap dan perilaku manusia (Widyati, 2002).

Ruang lingkup kesehatan lingkungan meliputi (Adnani, 2001): 1. Masalah perumahan

2. Pembuangan kotoran manusia (tinja) 3. Penyediaan air bersih


(28)

5. Pembuangan air kotor (air limbah) 6. Rumah hewan ternak (kandang) dll

Sedangkan masalah kesehatan lingkungan di negara berkembang pada umumnya lima hal yaitu (Adnani, 2001):

1. Masalah sanitasi jamban (jamban). 2. Penyediaan air minum.

3. Perumahan (housing). 4. Pembuangan sampah.

5. dan pembuangan air limbah (air kotor). 2.3. Sanitasi

Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati, 2002).

Beberapa manfaat dapat kita rasakan apabila kita menjaga sanitasi di lingkungan kita, misalnya (Widyati, 2002):

1. Mencegah penyakit menular. 2. Mencegah kecelakaan.

3. Mencegah timbulnya bau yang tidak sedap. 4. Menghindari pencemaran.

5. Mengurangi jumlah (persentase) sakit.


(29)

2.4. Sanitasi Dasar

Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang menitikberatkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sanitasi dasar meliputi penyediaan air bersih, pembuangan kotoran manusia (jamban), pembuangan sampah (tempat sampah) dan pembuangan air limbah (Achmadi, 2008).

2.5. Pembuangan Kotoran Manusia/Tinja

Kotoran manusia adalah semua benda atau zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh dan yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh. Zat-zat yang harus dikeluarkan dari dalam tubuh ini berbentuk tinja (faeces), air seni (urine) dan CO2 sebagai hasil dari proses pernafasan (Notoatmodjo, 2003).

Tinja merupakan bahan buangan yang sangat dihindari oleh manusia untuk berkontak karena sifatnya yang menimbulkan kesan jijik pada setiap orang dan bau yang sangat menyengat. Tinja juga merupakan bahan yang sangat menarik perhatian serangga, khususnya lalat, dan berbagai hewan lainnya, misalnya anjing, ayam, dan tikus, karena mengandung bahan-bahan yang dapat menjadi makanan hewan itu (Suparmin, 2002).

Komposisi tinja manusia terdiri dari (Chandra, 2007): 1. Zat padat

2. Zat organik 3. Zat anorganik


(30)

Karakteristik tinja yang mencakup kuantitas dan kualitas dipengaruhi terutama oleh kebiasaan makan, kondisi kesehatan, kondisi psikologik, kehidupan agama, serta tingkat sosial ekonomi dan kebudayaan yang mempengaruhi kebiasaan hidup, termasuk dalam hal kebiasaan menggunakan air pembersih dari manusia penghasil tinja tersebut (Suparmin, 2002).

2.5.1. Pengaruh Tinja Bagi Kesehatan Manusia

Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman, masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah yang pokok untuk sedini mungkin diatasi. Karena kotoran manusia (feces) adalah sumber penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber pada feces dapat melalui berbagai macam jalan atau cara (Notoatmodjo, 2007).

Berikut ini skema mata rantai penularan penyakit dari tinja (Widyati, 2002):

Air

Tangan

Lalat

Tanah

Gambar 2.2. Mata Rantai Penularan Penyakit dari Tinja Tinja

Sumber Infeksi

Makanan Sayur/buah

Penderitaan baru


(31)

Dari gambar tersebut perlu dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin agar transmisi/pemindahan penyakit tidak terjadi dan dapat dihindarkan. Dengan mengisolasi tinja sedini mungkin maka penyebab penyakit tidak dapat mencapai pejamu/penderita baru (Widyati, 2002).

Pembuangan tinja secara layak merupakan kebutuhan kesehatan yang paling diutamakan. Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan kontaminasi pada air, tanah, atau menjadi sumber infeksi, dan akan mendatangkan bahaya bagi kesehatan, karena penyakit yang tergolong waterborne disease akan mudah berjangkit (Chandra, 2007).

Bahaya terhadap kesehatan yang dapat ditimbulkan akibat pembuangan kotoran secara tidak baik adalah (Chandra, 2007):

1. Pencemaran tanah, pencemaran air, dan kontaminasi makanan

Sebagian besar kuman penyakit yang mencemari air dan makanan berasal dari feses hewan dan manusia. Mereka mencakup bakteri, virus, protozoa, dan cacing dan masuk bersama air atau makanan, atau terbawa oleh mulut oleh jari-jari yang tercemar. Sekali ditelan, sebagian besar di antara mereka berkembang di saluran makanan dan diekskresikan bersama feses. Tanpa sanitasi yang memadai, mereka dapat memasuki ke badan air yang lain, yang selanjutnya dapat menginfeksi orang lain. Banyak organisme-organisme kelompok enterik ini dapat bertahan dalam waktu lama di luar badan. Mereka dapat bertahan di limbah manusia dan kadang-kadang di dalam tanah dan ditularkan ke air serta bahan makanan. Organisme yang lebih tahan dapat ditularkan secara mekanis oleh lalat (Widiati, 2001).


(32)

2. Perkembangbiakan lalat.

Sementara itu beberapa penyakit yang dapat disebarkan oleh tinja manusia antara lain (Notoatmodjo, 2007):

Peranan lalat dalam penularan penyakit melalui tinja (faecal-borne-diseases) sangat besar. Lalat rumah, selain senang menempatkan telurnya pada kotoran kuda atau kotoran kandang, juga senang menempatkannya pada kotoran manusia yang terbuka dan bahan organik lain yang sedang mengalami penguraian. Lalat itu hinggap dan memakan bahan itu, mengambil kotoran dan organisme hidup pada tubuhnya yang berbulu, termasuk bakteri yang masuk ke saluran pencernaannya, dan sering meletakkannya di makanan manusia. Pada iklim panas, prevalensi penyakit yang dapat ditularkan melalui tinja biasanya lebih tinggi karena, pada saat ini, lalatnya paling banyak dan paling aktif (Suparmin, 2002).

1. Tifus

Tifus merupakan penyakit yang menyerang usus halus. Penyebabnya adalah Salmonella typhi, dengan reservoir adalah manusia. Gejala utama adalah panas yang terus menerus dengan taraf kesadaran yang menurun, terjadi 1-3 minggu (rata-rata 2 minggu) setelah infeksi. Penularan dapat terjadi dari orang ke orang, atau tidak langsung lewat makanan, minuman yang terkontaminasi bakteri. Sesekali, Salmonella itu keluar bersama tinja ataupun urine, memasuki lingkungan dan berkesempatan menyebar (Slamet, 2007).


(33)

2. Disentri

Disentri amoeba disebut juga Amoebiasis disebabkan oleh E. histolytica, suatu protozoa. Gejala utama penyakit adalah tinja yang tercampur darah dan lendir. Berbeda dari Disentri basillaris, disentri ini tidak menyebabkan dehidrasi. Penyakit ini sering pula ditemukan tanpa gejala yang nyata, sehingga seringkali menjadi kronis. Tetapi, apabila tidak diobati dapat menimbulkan berbagai komplikasi, seperti asbes hati, radang otak, dan perforasi usus. Amoebiasis ini seringkali menyebar lewat air dan makanan yang terkontaminasi tinja dengan kista amoeba serta dapat pula dibawa oleh lalat. Karena amoeba membentuk kista yang tahan lama di dalam lingkungan di luar tubuh, maka penularan mudah terjadi dengan menyebarnya kista-kista tersebut (Slamet, 2007).

3. Kolera

Penyakit Kolera disebabkan oleh Vibrio cholerae. Kolera adalah penyakit usus halus yang akut dan berat, sering mewabah yang mengakibatkan banyak kematian. Gejala utamanya adalah muntaber, dehidrasi dan kolaps dapat terjadi dengan cepat. Sedangkan gejala kolera yang khas adalah tinja yang menyerupai air cucian beras, tetapi sangat jarang ditemui. Orang dewasa dapat meninggal dalam waktu setengah sampai dua jam, disebabkan dehidrasi. Reservoir bakteri kolera adalah manusia yang menderita penyakit, sedangkan penularan dari orang ke orang, ataupun tidak langsung lewat lalat, air, serta makanan dan minuman (Slamet, 2007).


(34)

4. Schistosomiasis

Shistosomiasis atau Bilharziasis adalah penyakit yang disebabkan cacing daun yang bersarang di dalam pembuluh darah balik sekitar usus dan kandung kemih. Reservoirnya selain penderita, juga anjing, kijang, dan lain-lain hewan penderita Schistosomiasis. Telur Schistosoma ini keluar dari tubuh penderita bersama urine ataupun tinja. Untuk dapat hidup terus telur itu harus berada di perairan, menetas menjadi larva miracidium dan untuk dapat berubah menjadi larva yang infektif, maka ia harus masuk ke dalam tubuh siput air. Miracidium di dalam siput berubah menjadi larva cercaria, keluar dari tubuh siput, berenang bebas di perairan. Larva ini dapat memasuki kulit orang sehat, yang kebetulan berada di air tersebut (misalnya di sawah). Larva kemudian ikut dengan peredaran darah, memasuki paru-paru, kemudian ke hati di mana ia menjadi dewasa dan kemudian bermigrasi ke dalam pembuluh darah balik sekitar usus ataupun kandung kemih. Jumlah telur cacing yang banyak akan mendesak dinding pembuluh darah sehingga robek dan terjadi perdarahan. Gejala 4-6 minggu setelah infeksi berupa kencing dan berak darah. Penyakit ini jarang menyebabkan kematian yang langsung, tetapi menimbulkan kelemahan karena terjadinya perdarahan. Komplikasi-komplikasi dapat terjadi, yakni rusaknya jaringan hati sehingga terjadi cirrhosis atrofis dan kadang-kadang cacing dapat ikut dengan peredaran darah ke dalam otak dan menimbulkan kerusakan. Cacing ini sudah banyak menyebabkan kerugian dan penderitaan, karena pengobatannya kurang efesien, pemberantasan terhadap cacing sulit


(35)

dilaksanakan, karena spektrum reservoirnya yang luas, dan meninggalkan banyak cacat dan kelemahan (Slamet, 2007).

5. Diare

Diare adalah defekasi encer lebih dari tiga kali sehari dengan/tanpa darah dan/lendir dalam tinja (Mansjoer, 2002). Penyebab diare dapat dikelompokkan dalam tujuh besar, yaitu virus, bakteri, parasit, keracunan makanan, malabsorpsi, alergi, dan immunodegesiensi (Widoyono, 2008). Penyakit diare sebagian besar (75%) disebabkan oleh kuman seperti virus dan bakteri. Penularan penyakit diare melalui orofekal terjadi dengan mekanisme berikut (Widiyono, 2008): a. Melalui air yang merupakan media penularan utama diare. Diare dapat terjadi bila seseorang menggunakan air minum yang sudah tercemar, baik yang tercemar dari sumbernya, tercemar selama perjalanan sampai ke rumah-rumah, atau tercemar pada saat disimpan di rumah. Pencemaran di rumah terjadi bila tempat penyimpanan tidak tertutup atau apabila tangan yang tercemar menyentuh air pada saat mengambil air dari tempat penyimpanan. b. melalui tinja yang terkontaminasi. Tinja yang sudah terkontaminasi mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Bila tinja tersebut dihinggapi oleh binatang dan kemudian binatang tersebut hinggap di makanan, maka makanan itu dapat menularkaan penyakit diare kepada orang yang memakannya.


(36)

6. Bermacam-macam cacing (gelang, kremi, tambang, pita)

Penyakit cacing tambang (hookworm disease) adalah suatu infeksi saluran usus oleh cacing penghisap darah. Penyebabnya adalah Necator americanus

dan Ancylostoma duodenale yaitu nematoda yang dikeluarkan lewat tinja

dari manusia yang terinfeksi. Cara pemindahannya adalah larva dalam tanah yang lembab/basah dan menembus kulit, biasanya kulit kaki (Suparmin, 2002).

Faktor-faktor yang mempengaruhi transmisi penyakit dari tinja, antara lain (Chandra, 2007):

1. Agens penyebab penyakit

2. Reservoir

3. Cara menghindar dari reservoir ke pejamu potensial 4. Cara penularan ke pejamu baru

5. Pejamu yang rentan (sensitif).

Apabila salah satu faktor di atas tidak ada, penyebaran tidak akan terjadi. Pemutusan rantai penularan juga dapat dilakukan dengan sanitasi barrier.

2.5.2. Jamban

Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk membersihkannya (Proverawati, 2012). Jamban keluarga adalah suatu fasilitas pembuangan tinja bagi suatu keluarga (Depkes, 2009).


(37)

2.5.3. Tujuan Penggunaan Jamban

Keputusan Menteri Kesehatan No. 852 Tahun 2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, menyebutkan bahwa jamban sehat adalah suatu fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit.

Tujuan Penggunaan Jamban adalah sebagai berikut (Firmansyah, 2009): 1. Menjaga lingkungan bersih, sehat dan tidak berbau

2.

.

3.

Tidak mencemari sumber air yang ada di sekitamya.

2.5.4. Jenis-Jenis Jamban

Tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit diare, kolera, disentri, tifus, kecacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit kulit dan keracunan.

Teknik Pembuangan Tinja dengan Sistem Jamban, ada 3 yaitu (Suparmin, 2002):

(1) Teknik yang menggunakan jamban tipe utama, yaitu: a. Jamban Cubluk

Dengan perhatian sedikit pada penempatan dan konstruksi, jenis jamban itu tidak akan mencemari tanah ataupun mengontaminasi air permukaan serta air tanah. Tinja tidak akan dapat dicapai oleh lalat apabila lubang jamban selalu tertutup. Rumah jamban yang baik akan membantu mencegah masuknya sinar matahari ke dalam lubang. Dengan jamban cubluk, tidak akan terjadi penanganan langsung tinja. Bau dapat diabaikan dan tinja biasanya tidak terlihat. Jamban cubluk mudah direncanakan, digunakan,


(38)

dan tidak memerlukan pengoperasian. Masa penggunaannya bervariasi, dari 5 sampai 15 tahun, tergantung pada kapasitas lubang dan penggunaan bahan pembersih yang dimasukkan ke dalamnya. Keuntungan yang utama dari jenis jamban itu adalah dapat dibuat dengan biaya rendah, dapat dibuat di setiap tempat di dunia, dapat dibuat oleh keluarga dengan sedikit atau tanpa bantuan dari luar, dan dapat dibuat dengan bahan yang tersedia. Jenis jamban ini mempunyai sedikit kelemahan, tapi dapat berperan utama dalam pencegahan penyakit yang disebarkan melalui tinja.

b. Jamban Air

Jamban air merupakan modifikasi jamban yang menggunakan tangki pembusukan, yang berasal dari Amerika serikat kira-kira sembilan puluh tahun yang lalu. Apabila tangkinya kedap air, maka tanah, air tanah, serta air permukaan tidak akan terkontaminasi. Lalat tidak akan tertarik pada isi tangki, tidak ada bau, ataupun kondisi yang tidak sedap dipandang. Jenis jamban itu dapat dibangun di dekat rumah. Tinja dan lumpur bersama-sama dengan batu, batang kayu, kain bekas, dan sampah lain yang mungkin terbuang ke dalamnya akan tertumpuk dalam tangki. Jamban air memerlukan penambahan air setiap hari agar dapat beroperasi sebagimana mestinya. Air itu biasanya berasal dari air yang digunakan untuk pembersih anus dan untuk pembersih lantai jamban, serta pipa atau corong pemasukan tinja. Jenis jamban ini memerlukan sedikit pemeliharaan dan merupakan jenis instalasi yang permanen. Jamban ini lebih mahal pembuatannya dibandingkan dengan jamban cubluk.


(39)

c. Jamban Leher Angsa

Jamban leher angsa atau jamban tuang siram yang menggunakan sekat air bukanlah jenis instalasi pembuangan tinja yang tersendiri, melainkan lebih merupakan modifikasi yang penting dari slab atau lantai jamban biasa. Lantai dengan sekat air dapat dipasang di atas lubang pada jamban cubluk atau di atas tangki air pada jamban air. Apabila digunakan dan dipelihara secara semestinya, sekat air akan mencegah masuknya lalat ke dalam lubang dan keluarnya bau. Perangkap kecil pada sekat air tidak akan menahan tisu pembersih yang dibuang ke dalamnya. Lantai dengan sekat air digunakan secara luas di kawasan Asia Tenggara yang kebanyakan penduduknya menggunakan air sebagai bahan pembersih anus.

(2) Teknik yang Menggunakan Jamban Tipe yang Kurang Dianjurkan a. Jamban Bor

Jamban bor (bored-hole latrine), jamban keranjang (bucket latrine), jamban parit (trench latrine), dan jamban gantung (overhung privy) kurang dianjurkan penggunaannya karena berbagai risiko pencemaran dan penularan penyakit yang dapat ditimbulkannya. Jamban bor merupakan variasi dari jamban cubluk yang lubangnya dibuat dengan cara dibor. Lubangnya mempunyai penampang melintang yang lebih kecil, dengan diameter sama dengan diameter mata bor yang digunakan (10-30 cm) dan lebih dalam. Dengan demikian, kapasitasnya jauh lebih kecil daripada jamban cubluk biasa dan masa penggunaannya pun lebih pendek. Karena kedalamannya dapat mencapai 6 m, lubang akan menembus air tanah dan


(40)

mudah mencemarinya. Jamban itu tidak mencemari tanah dan air permukaan, dan mencegah penanganan tinja segar. Bahaya lalat menigkat karena terjadi pencemaran di permukaan dinding lubang bagian atas yang tepat di bawah lubang. Keruntuhan dinding lubang sering menjadi masalah yang gawat pada jamban bor. Jamban bor murah dan mudah pembuatannya apabila tersedia peralatan yang diperlukan. Jamban itu digunakan secara luas di banyak wilayah di dunia, terutama di Timur Tengah dan Asia Tenggara. Jamban bor merupakan variasi dari cubluk, perbedaanya hanya penampang melintang lubangnya kecil.

b. Jamban Keranjang

Jamban keranjang, atau jamban kotak, atau jamban kaleng banyak digunakan pada masa lalu di Eropa, Amerika, Australia, dan masih digunakan di banyak negara di Afrika, Asia Tenggara, dan Fasifik Barat. Namun, penggunaanya semakin berkurang. Meskipun secara teoritis dan dengan pengawasan yang efesien jamban keranjang dapat digunakan secara higienis, pengalaman di mana-mana menunjukkan bahwa pada kenyataannya tidaklah demikian. Sistem jamban keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah yang sangat besar, tidak di lokasi jambannya, tetapi di sepanjang perjalanan ke tempat pembuangan. Penggunaan jamban keranjang sangat memungkinkan penanganan tinja segar. Akibat penggunaan jenis jamban itu, selalu ada bahaya terjadi pencemaran tanah, air permukaan, dan air tanah. Penggunaan jenis jamban itu biasanya menimbulkan bau serta pemandangan yang tidak sedap. Meskipun biaya


(41)

awal penggunaan jamban keranjang tidak mahal, namun biaya operasinya, setelah beberapa tahun, menjadikannya tipe instalasi yang paling mahal. Jamban itu hanya dianjurkan pemakaiannya di daerah yang menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. Meskipun demikian, di daerah itu tetap harus dikembangkan peggunaan jamban kompos.

c. Jamban Parit

Jamban parit biasa digunakan di beberapa daerah Afrika, di daerah perkemahan, dan dalam keadaan darurat. Jenis jamban itu dapat digunakan secara saniter atau sangat tidak saniter, tergantung pada kepatuhan pemakai pada ketentuan yang harus diperhatikan atau dilaksanakannya. Penggunaan jamban parit sering mengakibatkan pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang berhubungan dengan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan. Karena berpotensi menimbulkan berbagai kerugian, jamban parit tidak dianjurkan untuk digunakan. Lubang di atas tanah yang digunakan pada jamban parit biasannya berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 30 x 30 cm dan kedalaman 40 cm. Tanah hasil galian ditumpuk di sekitar lubang. Diharapkan pemakai mau melemparkan tanah itu untuk menutup tinja yang telah dibuangnya.

d. Jamban Gantung

Jamban gantung sering digunakan di daerah yang sering atau secara berkala tertutup air, terutama air laut, atau di daerah pasang surut. Teknik itu diterapkan di perkampungan nelayan di pinggir pantai, di beberapa tempat lainnya. Kriteria pembuangan tinja saniter seperti disebutkan di atas tidak


(42)

diterapkan secara taat asas. Faktor terpenting yang harus diperhatikan adalah kadar garam air penerima, kedalamannya, dan derajat pengenceran yang mungkin dicapai. Jenis jamban itu hanya dapat dipertimbangkan penggunaannya sebagai pilihan terakhir pada keadaan yang tidak biasa. (3) Teknik yang Menggunakan Jamban untuk Situasi Khusus

a. Kakus Kompos digunakan di daerah yang penduduknya suka membuat kompos dari campuran tinja dan sampah organik (jerami, limbah dapur, potongan rumput, dan sebagainya) di jamban yang digunakan. Untuk membuatnya, diperlukan dua atau lebih lubang sehingga biayanya lebih besar daripada jamban biasa. Bila dibuat dan dioperasikan tidak secara semestinya, jamban itu dapat menarik lalat yang akan bertelur pada bahan isian. Masalah bau dapat timbul dari penggunaan jamban kompos. Jamban kompos mudah pembuatannya, tetapi memerlukan pengoperasian dan pemeliharaan. Karena lubang digunakan secara bergantian, penanganan bahan isian dapat diusahakan seminimal mungkin dan dilakukan setelah selesai proses dekomposisi dan penyusutan oleh bakteri anaerob. Produk akhir seperti humus stabil, aman, dan merupakan pupuk tanaman yang baik.

b. Jamban Kimia merupakan instalasi pembuangan tinja yang efesien dan memenuhi semua kriteria jamban saniter tersebut di atas, kecuali satu yaitu yang berhubungan dengan biaya. Teknik pembuangan tinja dengan jamban kimia dapat dikatakan mahal, baik biaya awal maupun pengoperasiannya. Keuntungan utama dari jamban kimia adalah dapat ditempatkan di dalam


(43)

rumah. Jamban itu sering digunakan di rumah dan sekolah di daerah yang tingkat ekonominya memungkinkan, serta pada sarana transportasi jarak jauh, baik darat, laut maupun udara.

c. Jamban Kolam banyak dijumpai di berbagai daerah di Indonesia, terutama di daerah yang penduduknya banyak mengusahakan kolam atau tambak ikan. Orang yang menggunakan jamban itu memanfaatkan tinja yang dibuangnya secara langsung untuk makanan ikan yang dipeliharanya. d. Jamban Gas Bio merupakan instalasi pembuangan tinja yang memberikan

keuntungan ganda. Apabila dibuat, dioperasikan, dan dipelihara sebagaimana mestinya dengan memperhatikan persyaratan sanitasi pembuangan tinja, teknik pembuangan tinja itu akan mencegah penularan penyakit saluran pencernaan. Selain itu, teknik yang sama akan menghasilkan dua bahan yang bermanfaat, yakni gas bio yang dapat digunakan sebagai bahan bakar kompos yang berguna untuk menyuburkan tanaman.

Tipe-tipe jamban yang sesuai dengan teknologi pedesaan antara lain sebagai berikut (Notoatmodjo, 2007):

1) Jamban Cemplung, Kakus (Pit Latrine)

Jamban Cemplung ini sering kita jumpai di daerah pedesaan di Jawa. Tetapi sering dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna, misalnya tanpa rumah jamban dan tanpa tutup. Sehingga serangga mudah masuk, dan bau tidak bisa dihindari. Di samping itu, karena tidak ada rumah jamban, bila musim hujan tiba maka jamban itu akan penuh oleh air. Hal lain yang perlu


(44)

diperhatikan di sini adalah bahwa kakus cemplung itu tidak boleh terlalu dalam. Sebab bila terlalu dalam akan mengotori air tanah dibawahnya. Dalamnya pit latrine berkisar antara 1,5-3 meter saja. Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu, dinding bambu dan atap daun kelapa ataupun daun padi. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.

2) Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilasi Improved Pit Latrine = VIP Latrine)

Jamban ini hampir sama dengan jamban cemplung, bedanya lebih lengkap, yakni menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini dapat dibuat dengan bambu.

3) Jamban Empang (Fishpond latrine)

Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam sistem jamban empang ini terjadi daur-ulang (recyling), yakni tinja dapat langsung dimakan ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja yang dimakan, demikian seterusnya. Jamban empang ini mempunyai fungsi yaitu di samping mencegah tercemarnya lingkungan oleh tinja, juga dapat menambah protein bagi masyarakat (menghasilkan ikan).

4) Jamban Pupuk (The Compost Privy)

Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplung, hanya lebih dangkal galiannya. Di samping itu jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang dan sampah, daun-daunan.


(45)

Prosedurnya adalah sebagai berikut:

a. Mula-mula membuat jamban cemplung biasa.

b. Di lapisan bawah sendiri ditaruh sampah daun-daunan.

c. Di atasnya ditaruh kotoran dan kotoran binatang (kalau ada) tiap-tiap hari. d. Setelah ± 20 inchi, ditutup lagi dengan daun-daunan sampah, selanjutnya

ditaruh kotoran lagi.

e. Demikian selanjutnya sampai penuh.

f. Setelah penuh ditimbun tanah, dan membuat jamban baru. g. Lebih kurang 6 bulan kemudian dipergunakan pupuk tanaman 5) Septic tank

Latrin jenis septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan, oleh sebab itu, cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic tank terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, di mana tinja dan air buangan masuk dan mengalami dekomposisi. Di dalam tanki ini tinja akan berada selama beberapa hari. Selama waktu tersebut tinja akan mengalami 2 proses, yaitu:

a. Proses Kimiawi

Akibat penghancuran tinja akan direduksi dan sebagian besar (60%-70%) zat-zat padat akan mengendap di dalam tanki sebagai “sludge”. Zat-zat yang tidak dapat hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang menutup permukaan air dalam tanki tersebut. Lapisan ini disebut “scum” yang berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan


(46)

bakteri-bakteri anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses berikutnya.

b. Proses Biologis

Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum. Hasilnya, selain terbentuk gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan “enfluent” sudah tidak mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. cairan enfluent ini akhirnya dialirkan keluar melalui pipa dan masuk ke dalam tempat perembesan.

2.5.5. Cara Memilih Jenis Jamban

Cara memilih jenis jamban adalah (Proverawati, 2012): 1. Jamban cemplung digunakan untuk daerah yang sulit air 2. Jamban tangki septik/leher angsa digunakan untuk:

a. Daerah yang cukup air

b. Daerah yang padat penduduk, karena dapat menggunakan “multiplelatrine” yaitu satu lubang penampungan tinja/tangki septik digunakan oleh beberapa jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban)

c. Daerah pasang surut, tempat penampungan kotoran/tinja hendaknya ditinggikan kurang lebih 60 cm dari permukaan air pasang.


(47)

2.5.6. Syarat-Syarat Jamban Sehat

Menurut Depkes RI (2007) dalam Sitinjak (2011), jamban yang memenuhi syarat adalah:

1. Kotoran tidak mencemari permukaan tanah, air tanah dan air permukaan 2. Cukup terang

3. Tidak menjadi sarang serangga (nyamuk, lalat, lipan, dan kecoa) 4. Selalu dibersihkan agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap 5. Cukup lobang angin

6. Tidak menimbulkan kecelakaan

Syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan kesehatan menurut Ehlers dan Steel adalah (Entjang, 2000):

a. Tidak boleh mengotori tanah permukaan. b. Tidak boleh mengotori air permukaan. c. Tidak boleh mengotori air dalam tanah.

d. Kotoran tidak boleh terbuka sehingga dapat dipakai tempat lalat bertelur atau perkembang biakan vektor penyakit lainnya.

e. Kakus harus terlindung dari penglihatan orang lain. f.Pembuatannya mudah dan murah.


(48)

Agar persyaratan ini dapat terpenuhi maka perlu diperhatikan antara lain (Entjang, 2000) :

a. Sebaiknya jamban tertutup, artinya bangunannya terlidung dari panas hujan, serangga dan binatang lain juga terlindung dari pandangan orang.

b. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat serta tempat berpijak yang kuat.

c. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pemandangan, tidak menimbulkan bau.

d. Sedapat mungkin disedikan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.

e. Sebaiknya letak jamban dari sumber air bersih adalah kurang lebih 10 meter.

Suatu jamban disebut sehat untuk daerah pedesaan apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003):

1. Tidak mengotori permukaan tanah di sekeliling jamban tersebut. 2. Tidak mengotori air permukaan di sekitarnya.

3. Tidak mengotori air tanah di sekitarnya.

4. Tidak dapat terjangkau oleh serangga terutama lalat dan kecoa, dan binatang-binatang lainnya.

5. Tidak menimbulkan bau.

6. Mudah digunakan dan dipelihara (maintanance). 7. Sederhana desainnya.


(49)

9. Dapat diterima oleh pemakainya.

Agar persyaratan-persyaratan ini dapat dipenuhi, maka perlu diperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut (Notoatmodjo, 2003):

1. Sebaiknya jamban tersebut tertutup, artinya bangunan jamban terlindung dari panas dan hujan, serangga dan binatang-binatang lain, terlindung dari pandangan orang (privacy) dan sebagainya.

2. Bangunan jamban sebaiknya mempunyai lantai yang kuat, tempat berpijak yang kuat dan sebagainya.

3. Bangunan jamban sedapat mungkin ditempatkan pada lokasi yang tidak mengganggu pandangan, tidak menimbulkan bau, dan sebaginya.

4. Sedapat mungkin disediakan alat pembersih seperti air atau kertas pembersih.

Bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan terdiri atas (Entjang, 2000): 1. Rumah kakus: agar pemakai terlindung.

2. Lantai kakus: sebaiknya ditembok agar mudah dibersihkan. 3. Slab (tempat kaki memijak waktu si pemakai jongkok). 4. Closet (lubang tempat faeces masuk).

5. Pit (sumur penampungan faeces cubluk). 6. Bidang resapan.


(50)

2.5.7. Pemeliharaan Jamban

1.

Cara Memelihara Jamban Sehat (Firmansyah, 2009):

2.

Lantai jamban selalu bersih dan tidak ada genangan air

3.

Bersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban dalam keadaan bersih

4.

Di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat

5.

Tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran

6.

Tersedia alat pembersih (sabun, sikat dan air bersih)

2.5.8.Penentuan Letak Jamban

Bila ada kerusakan segera diperbaiki.

Dalam penetuan letak jamban ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu jarak terhadap sumber air dan kakus. Penentuan jarak tergantung pada (Nhyar, 2010):

1. Keadaan daerah datar atau lereng; Bila daerahnya berlereng, kakus atau jamban harus dibuat di sebelah bawah dari letak sumber air. Andaikata tidak mungkin dan terpaksa di atasnya, maka jarak tidak boleh kurang dari 15 meter dan letak harus agak ke kanan atau kekiri dari letak sumur. Bila daerahnya datar, kakus sedapat mungkin harus di luar lokasi yang sering digenangi banjir. Andaikata tidak mungkin, maka hendaknya lantai jamban (diatas lobang) dibuat lebih tinggidari permukaan air yang tertinggi pada waktu banjir.

2. Keadaan permukaan air tanah dangkal atau dalam

3. Sifat, macam dan susunan tanah berpori atau padat, pasir, tanah liat atau kapur.


(51)

4. Arah aliran air tanah

Faktor tersebut di atas merupakan faktor yang mempengaruhi daya peresapan tanah. Di Indonesia pada umumnya jarak yang berlaku antara sumber air dan lokasi jamban berkisar antara 8 s/d 15 meter atau rata-rata 10 meter.

Dalam penentuan letak jamban ada tiga hal yang perlu diperhatikan (Nhyar, 2010):

1. Bila daerahnya berlereng, kakus atau jamban harus dibuat di sebelah bawah dari letak sumber air. Andaikata tidak mungkin dan terpaksa di atasnya, maka jarak tidak boleh kurang dari 15 meter dan letak harus agak ke kanan atau kekiri dari letak sumur.

2. Bila daerahnya datar, kakus sedapat mungkin harus di luar lokasi yang sering digenangi banjir. Andaikata tidak mungkin, maka hendaknya lantai jamban (diatas lobang) dibuat lebih tinggidari permukaan air yang tertinggi pada waktu banjir.

3. Mudah dan tidaknya memperoleh air. 2.6. Perilaku Kesehatan

Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner, maka perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan.


(52)

Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok (Notoatmodjo, 2003):

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.

a. Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. c. Perilaku gizi (makanan) dan minuman.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior). 3. Perilaku kesehatan lingkungan

Adalah sebagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat pembuangan sampah, pembuangan limbah, dan sebagainya.


(53)

Becker (1979) membuat klasifikasi lain tentang perilaku kesehatan, dan membedakannya menjadi tiga, yaitu (Notoatmodjo, 2005):

1. Perilaku sehat (healthy behavior)

Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan, antara lain (Notoatmodjo, 2005):

a. Makan dengan menu seimbang (appropriate diet). b. Kegiatan fisik secara teratur dan cukup.

c. Tidak merokok dan meminum minuman keras serta menggunakan narkoba.

d. Istirahat yang cukup.

e. Pengendalian atau manajemen stres.

f. Perilaku atau gaya hidup positif yang lain untuk kesehatan. 2. Perilaku sakit (Illnes behavior)

Perilaku sakit adalah berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang yang sakit dan/atau terkena masalah kesehatan pada dirinya atau keluarganya, untuk mencari penyembuhan, atau untuk mengatasi masalah kesehatan yang lainnya.

3. Perilaku peran orang sakit (the sick role behavior)

Menurut Becker, hak dan kewajiban orang yang sedang sakit adalah merupakan perilaku peran sakit.


(54)

Perilaku peran orang sakit ini antara lain: a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan.

b. Tindakan untuk mengenal atau mengetahui fasilitas kesehatan yang tepat untuk memperoleh kesembuhan.

c. Melakukan kewajibannya sebagai pasien antara lain mematuhi nasihat-nasihat dokter atau perawat untuk mempercepat kesembuhannya.

d. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan bagi proses penyembuhannya. e. Melakukan kewajiban agar tidak kambuh penyakitnya, dan sebagainya. 2.6.1.Domain Perilaku

Berdasarkan pembagian domain perilaku Bloom dikembangkan 3 tingkatan ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmojdo, 2005):

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkatan yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkatan pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2005):

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagi recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Misalnya: tahu bahwa jamban adalah tempat membuang air besar.


(55)

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek buka sekedar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut. c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antar komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan seseorang itu sudah sampai pada tingkat membedakan, atau memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan) terhadap pengetahuan atas objek tersebut.

e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki. Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang telah ada.


(56)

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya atau norma-norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sikap (atitude)

Sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Menurut Allport (1954) sikap itu terdiri dari 3 komponen pokok, yaitu:

a. Kepercayaan atau keyakinan, ide, dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek, artinya bagaimana penilaian (terkandung di dalamnya faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.

c. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave), artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan). Seperti halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkat-tingkat berdasarkan intensitasnya, sebagai berikut:

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa seseorang atau subjek mau menerima stimulus yang diberikan (objek).


(57)

b. Menanggapi (responding)

Menanggapi di sini diartikan memberikan jawaban atau tanggapan terhadap pertanyaan atau objek yang dihadapi.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subjek, atau seseorang memberikan nilai yang positif terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasnya dengan orang lain dan bahkan mengajak atau mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Sikap yang paling tinggi tingkatannya adalah bertanggung jawab terhadap apa yang telah diyakini.

3. Tindakan atau Praktik (Practice)

Tingkat-tingkat Praktik (Notoatmodjo, 2007): a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.

b. Praktik terpimpin (guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah indikator praktik tingkat dua.

c. Praktik secara mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktik tingkat tiga.


(58)

d. Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Artinya, tindakan itu sudah dimodifikasinya sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakannya tersebut.

2.6.2.Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2005), ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap perilaku kesehatan baik individu maupun masyarakat, yaitu:

a. Faktor-faktor pemudah (predisposing factor), yaitu faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Adapun yang menjadi faktor pemudah dalam penelitian ini adalah: pengetahuan, sikap, pekerjaan, pendidikan, penghasilan, budaya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor), adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan yaitu sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Adapun yang menjadi faktor pendukung dalam penelitian ini adalah: jarak rumah dari tempat pembuangan tinja, dan biaya.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor), adalah faktor-faktor yang mendorong atau mempercepat terjadinya perilaku. Adapun yang menjadi pendorong dalam penelitian ini adalah: perilaku petugas kesehatan/peran petugas kesehatan.


(59)

2.7. Upaya Pengadaan Jamban 2.7.1. Upaya Oleh Pemerintah

a. STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat)

STBM adalah pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan (Depkes RI, 2008).

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Tanggal 9 September 2008, Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, sanitasi total adalah kondisi suatu komunitas yang telah mencapai lima pilar (Rye, 2010) :

1. Tidak Buang Air Besar (BAB) sembarangan (Stop BABS) 2. Mencuci tangan pakai sabun (CTPS)

3. Mengelola air minum dan makanan yang aman 4. Mengelola sampah dengan benar

5. Mengelola limbah cair rumah tangga dengan aman

Prinsip pembiayaan dalam kegiatan STBM adalah meniadakan subsidi bagi masyarakat untuk penyediaan fasilitas (sarana) sanitasi dasar, yang meliputi sarana buang air besar (jamban), sarana tempat cuci tangan (TCT), sarana pengelolaan air minum rumah tangga, sarana tempat pembuangan sampah (TPS), dan sarana pembuangan air limbah (SPAL).


(60)

Pokok-pokok pembiayaan STBM dilaksanakan melalui (Rye, 2010):

1) Menggali potensi masyarakat untuk membangun sarana sanitasi secara mandiri.

2) Mengembangkan solidaritas sosial (gotong royong).

3) Menyediakan subsidi diperbolehkan, apabila untuk pembangunan fasilitas sanitasi komunal.

Untuk daerah pedesaan dilakukan upaya peningkatan perilaku higienis dan peningkatan akses sanitasi dasar (jamban keluarga) melalui kegiatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) (Biro Kepegawaian Setjen Kemenkes RI, 2011).

b. PNPM (Program Nasional Pemberdayan Masyarakat) Mandiri Perdesaan

PNPM Mandiri Perdesaan adalah program untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan secara terpadu dan berkelanjutan. Pendekatan PNPM Mandiri Perdesaan merupakan pengembangan dari Program Pengembangan Kecamatan (PPK), yang selama ini dinilai berhasil. Beberapa keberhasilan PPK adalah berupa penyediaan lapangan kerja dan pendapatan bagi kelompok rakyat miskin, efisiensi dan efektivitas kegiatan, serta berhasil menumbuhkan kebersamaan dan partisipasi masyarakat. Visi PNPM Perdesaan adalah tercapainya kesejahteraan dan kemandirian masyarakat miskin perdesaan. Kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat. Kemandirian berarti mampu mengorganisir diri untuk memobilisasi sumber daya yang ada di lingkungannya, mampu mengakses sumber daya di luar lingkungannya, serta mengelola sumber daya tersebut


(61)

untuk mengatasi masalah kemiskinan. Misi PNPM Mandiri Perdesaan adalah: (1) peningkatan kapasitas masyarakat dan kelembagaannya; (2) pelembagaan sistem pembangunan partisipatif; (3) pengefektifan fungsi dan peran pemerintahan lokal; (4) peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi masyarakat; (5) pengembangan jaringan kemitraan dalam pembangunan (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2008). Dalam rangka mencapai visi dan misi PNPM Mandiri Perdesaan, strategi yang dikembangkan PNPM Mandiri Perdesaan yaitu menjadikan rumah tangga miskin (RTM) sebagai kelompok sasaran, menguatkan sistem pembangunan partisipatif, serta mengembangkan kelembagaan kerja sama antar desa. Tujuan Umum PNPM Mandiri Perdesaan adalah meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Tujuan khususnya meliputi (Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2008):

a. Meningkatkan partisipasi seluruh masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan atau kelompok perempuan, dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan pelestarian pembangunan.

b. Melembagakan pengelolaan pembangunan partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal.

c. Mengembangkan kapasitas pemerintah desa dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan partisipatif.


(62)

d. Menyediakan prasarana sarana sosial dasar dan ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat.

e. Melembagakan pengelolaan dana bergulir.

f. Mendorong terbentuk dan berkembangnya Badan Kerja Sama Antar Desa (BKAD)

g. Mengembangkan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam upaya penanggulangan kemiskinan perdesaan.

Melalui program pembangunan yang direncanakan, dilaksanakan, dan diawasi oleh masyarakat ini, warga dapat melestarikan kegiatan dan bahkan melahirkan inovasi sehingga memunculkan kegiatan pengembangannya yang bermanfaat terutama bagi masyarakat miskin. Selain membantu dalam penyediaan sarana air besih, juga mampu mengatasi persoalan lain dengan mengembangkan kegiatan pendukung untuk meningkatkan kesehatan lingkungan di desa melalui penyediaan jamban keluarga (Anonimous, 2010). c. Program Pekan Sanitasi

Pekan Sanitasi adalah pekan di mana masyarakat yang belum memiliki jamban dan sarana air bersih, dapat melaksanakan pembangunan jamban dan sarana sanitasi secara serentak. Pekan Sanitasi merupakan bagian dari kegiatan Gerakan Jum’at Bersih (GJB) yang dicanangkan tahun 1994, Gerakan Jum’at Bersih ini bertujuan untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat melalui kegiatan keagamaan dan sosial. Tujuannya adalah untuk meningkatkan cakupan pemanfaatan jamban dan air bersih untuk melindungi masyarakat dari ancaman penyakit menular terutama diare.


(63)

Khususnya untuk meningkatkan jumlah keluarga yang memiliki jamban dan sarana air bersih, meningkatkan jumlah keluarga yang memanfaatkan dan memelihara kebersihan jamban dan memelihara sarana air bersih, meningkatkan jumlah keluarga yang mampu melakukan upaya rehidrasi oral ( URO) dan terapi rumah tangga untuk penderita diare. Pelaksanaan Pekan Sanitasi harus didukung secara gencar dengan kegiatan kampanye dan penyuluhan kegiatan melalui jalur media elektronik dan non elektronik untuk mendapatkan dukungan politis dari semua pihak, untuk terciptanya suasana dan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan kampanye dan penyuluhan ini akan dilaksanakan sebelum hari H dan setelah hari H pada setiap tahapan (Maret, Juli dan November). Pada tahap awal Pekan Sanitasi dilaksanakan di daerah kerjasama RI-UNICEF, tahap berikutnya akan dilaksanakan seluruh Indonesia (Syafei, 2009).

2.7.2.Upaya Oleh Masyarakat a. Dana Sehat

Untuk mencapai derajat kesehatan optimal diperlukan berbagai upaya sebagai peran dari masyarakat. Salah satu upaya adalah dana sehat. Dana Sehat merupakan kegiatan masyarakat secara gotong royong dalam mengumpulan dana untuk membantu anggotanya dalam upaya pemeliharaan kesehatan. Dana sehat tidak hanya digunakan untuk kesehatan, tapi juga digunakan untuk perbaikan rumah, membangun jamban, sumber air bersih dan sebagainya (Syafrudin, 2011).


(64)

Manfaat yang dapat dirasakan dengan adanya dana sehat adalah (Anonimous, 2012):

1. Adanya biaya untuk pelayanan kesehatan 2. Proses pelayanan kesehatan akan lebih baik

3. Adanya dana yang cukup untuk menunjang pembangunan kesehatan di daerahnya

4. Terjalin hubungan yang lebih baik dan rasa kebersamaan.

Suatu cara pengumpulan premi dari anggota sangat bervariasi antara dana sehat yang satu dengan yang lain:

1. Berupa Uang. Pola ini mudah diterima bagi kelompok masyarakat yang sudah maju atau sering berhubungan dengan dunia luar, meskipun demikian cara pengumpulannya cukup bervariasi.

2. Berupa Barang. Pembayaran premi dengan dalam bentuk barang, antara lain hasil pertanian, perkebunan yang dikonversi dalam bentuk nilai uang 3. Dari Sisa Hasil Premi. Premi ini hanya dimiliki dengan peserta yang

bergabung dengan koperasi. Karena pada akhir tahun koperasi menghitung Sisa Hasil Usaha (SHU) kemudian atas kesepakatan anggota sebagian dana dari SHU digunakan untuk membayar premi.

4. Berupa Tenaga atau Upah Kerja. Premi dibayar dengan memberikan jasa dalam bentuk tenaga seseorang yang diberi upah, upah tersebut dibayarkan ke Kas Dana Sehat.


(65)

Adapun prinsip penyelenggaraan dana sehat yaitu (Anonimous, 2012): 1. Ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat 2. Didasarkan pada peran serta masyarakat

3. Mengupayakan pelayanan kesehatan yang bersifat paripurna

4. Mengusahakan terselenggaranya suatu pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan

5. Mengusahakan terselenggaranya suatu perkumpulan iuran atau premi 6. Mengusahakan keterlibatan masyarakat melalui musyawarah mufakat dan

senantiasa mengutamakan kepentingan peserta dan berusaha memberikan rasa aman dan puas.

b. Arisan Jamban

Masyarakat desa menyelenggarakan arisan jamban untuk mempercepat pembangunan jamban di setiap rumah warga desa. Melalui arisan tersebut maka pembangunan jamban bagi warga yang belum memiliki lebih cepat terealisasi dan dananya tidak terlalu memberatkan warga (Yayasan Insan Sembada, 2010). Masyarakat membentuk kelompok arisan jamban keluarga, dimana setiap kelompok beranggotakan beberapa rumah tangga. Iuran bulanannya ditetapkan berapa per bulan dengan demikian dalam sebulan terkumpul biaya untuk membangun satu jamban. Jika warga mendapat arisan jamban, maka dananya itu dipakai untuk membangun jamban keluarga. Misalnya, diawali dengan membentuk sejumlah kelompok arisan jamban keluarga di mana setiap kelompok beranggotakan sepuluh rumah. Iuran bulanannya adalah empat puluh ribu rupiah per rumah dengan demikian dalam


(66)

sebulan terkumpul empat ratus ribu rupiah yang cukup untuk membangun satu jamban sederhana (Syam, 2011).


(67)

2.8. Kerangka Konsep

Gambar 2.3. Kerangka Konsep Faktor Pemudah

1. Pendidikan 2. Pekerjaan 3. Penghasilan 4. Pengetahuan 5. Sikap 6. Budaya Faktor Pendukung

1. Jarak Rumah dari Tempat Pembuangan Tinja

2. Biaya

Faktor Pendorong 1. Peran Petugas

Kesehatan

Tidak Tersedianya Jamban Keluarga


(68)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah bersifat deskriptif dengan pendekatan kualitatif yaitu untuk memperoleh gambaran tentang faktor tidak tersedianya jamban keluarga dan upaya pengadaannya di Desa Pargarutan Tonga.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Pargarutan Tonga Kecamatan Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan.

Alasan pemilihan lokasi penelitian adalah sebagai berikut:

1. Dari hasil observasi awal, ditemukan bahwa di Desa Pargarutan Tonga ini ketersediaan jamban keluarganya masih sangat rendah, sehingga cocok dilakukan penelitian.

2. Di daerah tersebut belum pernah dilakukan penelitian sebelumnya. 3.2.2. Waktu Penelitian


(69)

3.3. Informan Penelitian

Informan adalah keluarga yang tidak memiliki jamban keluarga di Desa Pargarutan Tonga. Pada penelitian ini jumlah informan ada 14 orang. Pemilihan informan dilakukan berdasarkan tempat pembuangan tinja. Dimana pada Desa Pargarutan Tonga tersebut ada tiga tempat pembuangan tinja, yaitu: parit, sungai, dan WC umum. Jadi perwakilan informan dari tiap tempat pembuangan tinja akan diwawancarai. Cara mendapatkan informan dengan menggunakan teknik penarikan bola salju (Snowball Sampling), yaitu informan yang awalnya berjumlah kecil berkembang semakin banyak.

Informan awal/pertama adalah tokoh masyarakat yang tidak memiliki jamban keluarga. Informan awal ini membuang tinjanya di parit. Setelah peneliti mewawancarai informan pertama secara mendalam, kemudian peneliti menanyakan kepada informan pertama siapa informan berikutnya dan seterusnya. Proses baru berakhir bila peneliti tidak lagi menemukan sesuatu yang baru dari wawancara. Dari ke 14 orang informan yang berhasil diwawancarai, 7 orang informan membuang tinjanya di WC umum, 6 orang informan membuang tinjanya di parit, dan 1 orang informan lagi membuang tinjanya di sungai.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan wawancara langsung kepada informan dengan penggunaan panduan wawancara yang telah disusun. Seluruh informan diwawancarai secara terpisah. Untuk itu peneliti menggunakan alat bantu tulis dan perekam.


(70)

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur yang relevan dengan penelitian yang sudah dilakukan, berupa studi kepustakaan dari instansi terkait dan pengumpulan informasi dari internet.

3.5. Defenisi Operasional

1. Pendidikan adalah derajat tertinggi jenjang pendidikan yang diselesaikan berdasarkan ijasah yang diterima dari sekolah formal terakhir dengan sertifikat kelulusan.

2. Pekerjaan adalah aktifitas atau kegiatan yang dilakukan informan (Bapak/Ibu) sehingga memperoleh penghasilan.

3. Penghasilan adalah jumlah pendapatan suami istri per bulan yang dikategorikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Tahun 2012 Tentang Penetapan Upah Minimum Kabupaten (UMK) Tapanuli Selatan yaitu sebesar Rp. 1.250.000,- per bulan.

4. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh informan yang berhubungan dengan jamban dan upaya pengadaannya.

5. Sikap adalah tanggapan atau pendapat informan tentang jamban dan upaya pengadaan jamban.

6. Budaya adalah kebiasaan anggota keluarga/informan membuang kotoran di sungai/parit.

7. Jarak rumah dari tempat pembuangan tinja adalah perkiraan jarak rumah keluarga/informan dengan sungai/parit dalam satuan meter.


(71)

9. Peran petugas kesehatan adalah pengajaran yang disampaikan petugas kesehatan tentang jamban.

10. Tidak tersedianya jamban adalah tidak adanya jamban pada keluarga.

11. Upaya pengadaan jamban adalah usaha yang mungkin dapat dilakukan oleh masyarakat untuk pengadaan jamban.

3.6. Analisa Data

Data diolah dengan menggunakan EZ-Text. Analisa data dilakukan dengan menggunakan penyajian dalam bentuk tabel. Kemudian dianalisa dengan menggunakan teori dan pustaka yang ada. Data yang diperoleh dari lapangan diambil kesimpulan yang berifat khusus kepada yang bersifat umum kemudian disajikan dalam bentuk narasi.


(1)

LAMPIRAN 5

Gambar Lampiran 1. Parit Tempat Pembuangan Tinja Informan di Desa Pargarutan Tonga

Gambar Lampiran 2. Parit Tempat Pembuangan Tinja Informan di Desa Pargarutan Tonga


(2)

Gambar Lampiran 3. WCUmum Tempat Pembuangan Tinja Informan di Desa Pargarutan Tonga

Gambar Lampiran 4. WC Umum Tempat Pembuangan Tinja di Desa Pargarutan Tonga


(3)

Gambar Lampiran 5. Bak Penampung Air di WC Umum Desa Pargarutan Tonga


(4)

Gambar Lampiran 7. Sungai Tempat Pembuangan Tinja Informan di Desa Pargarutan Tonga

Gambar Lampiran 8. Sungai Tempat Pembuangan Tinja Informan di Desa Pargarutan Tonga


(5)

Gambar Lampiran 9. Wawancara dengan Informan di Desa pargarutan Tonga


(6)

Gambar Lampiran 11. Wawancara dengan Informan di Desa Pargarutan Tonga