Poligami menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

32 berpoligami hanyalah bersifat darurat atau kondisi terpaksa, karena agama adalah memberikan kesejahteraan maslahat bagi pemeluknya. Sebaliknya, agama mencegah adanya darurat atau kesusahan. Darurat dikerjakan jika hanya sangat terpaksa . 18

2. Poligami menurut Hukum Islam dan Hukum Positif

a. Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam

Mengenai dasar penetapan hukum poligami sendiri terpengaruh dengan proses sejarah poligami dan juga hal-hal yang berkaitan dengan konsep tujuan berpoligami. Bangsa Arab dan non Arab sebelum Islam datang sudah terbiasa berpoligami. Ketika Islam datang, Islam membatasi jumlah isteri yang boleh dinikahi. Islam mengajarkan dan memberikan arahan untuk berpoligami yang adil dan sejahtera. 19 Allah SWT membolehkan berpoligami sampai empat orang isteri dengan syarat berlaku adil kepada mereka. Adapun adil dalam melayani isteri, seperti urusan nafkah, tempat tinggal, pakaian, giliran dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak bisa berlaku adil maka cukup satu orang isteri saja. 20 Hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa ayat 3 yang berbunyi: 18 Hartono Ahmad Jaiz, Waniata Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 117. 19 Hartono Ahmad Jaiz, Waniata Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, h. 119. 20 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. Ke-1, h. 129-130. 33                               “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim bilamana kamu mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil. Maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.QS. An-Nisa4: 3 Apabila seorang laki-laki merasa tidak mampu berlaku adil, atau tidak memiliki harta untuk membiayai isteri-isterinya, dia harus menahan diri dengan hanya menikah dengan satu orang saja. Sayyid Kutub berpandangan bahwa sering kali terjadi dalam kehidupan hal-hal yang tidak dapat dipungkiri dan dilewatkan keberadaannya, seperti halnya melihat masa subur laki-laki yang berlangsung hingga umur 70 tahun atau di atasnya, sementara kesuburan seorang perempuan terhenti ketika mencapai umur 50 tahun atau sekitarnya. Maka dari itu, terdapat jarak waktu 20 tahun masa subur laki-laki dibandingkan masa subur perempuan. 21 Imam Malik berkata dalam al- Muwatha’ bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah SAW bersabda: 21 Abu Usamah Muhyidin dan Abu Hamid, Legalitas Poligami menurut Sudut Pandang Ajaran Islam, Yogyakarta: Sketsa, 2006, cet. Ke-1, h.28. 34 “Dari Usman bin Muhammad bin Abi Suwayd: Sesungguhnya Rasulullah SAW berkata kepada Ghailan bin Salamah ketika masuk Islam dan ia mempunyai sepuluh orang isteri. Beliau bersabda kepadanya: pilihlah empat orang diantara mereka dan ceraikanlah yang lainnya”. HR. Daruquthni. Dalam hadits lain, Imam Daruquthni meriwayatkan: “Dari Ar-Rabi’ bin Qais berkata: “Sesungguhnya kakeknya Haris bin Qais telah memeluk agama Islam dan memiliki delapan orang isteri, maka Rasulullah SAW memerintahkan kepadanya untuk memilih empat isteri saja dari mereka”. HR. Daruquthni. Mempunyai isteri lebih dari satu orang sangatlah penting bagi seorang suami untuk berlaku seadil mungkin terhadap isteri-isterinya. Karena tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, suami dan isteri-isterinya serta anak-anaknya dapat hidup rukun, damai dan berkasih sayang. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam al- Qur’an surat ar-Ruum ayat 21: 22 Ali bin Umar Daruquthni, Sunan al-Daaruquthni, Transliterasi, Beirut: Daar al-Fikr, 1994, jil.2, h. 166. 23 Ali bin Umar Daruquthni, Sunan al-Daaruquthni, Transliterasi, Beirut: Daar al-Fikr, 1994, jil.2, h. 166. 35                      “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang b erfikir”. QS. Ar-Ruum30: 21. Ayat selanjutnya yang berkaitan dengan perkawinan poligami yaitu yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat 129:                         “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri dari kecurangan, Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. QS. An-Nisa4: 129. Kalau dilihat pada surat an-Nisa ayat 3 dan 129 yang telah disebutkan di atas, dengan jelas menunjukkan bahwa pada saat perkawinan yang dianut dalam Islam pun adalah monogami. Namun, kebolehan poligami apabila syarat-syarat yang menjamin keadilan seorang suami kepada isteri-isterinya, baik adil dalam segi material maupun dari segi spiritual. 36 Islam memandang poligami lebih banyak membawa madharatresiko dari pada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian, poligami itu bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri dan anak-anaknya, maupun konflik antara isteri beserta anaknya masing-masing. 24 Oleh karena itu asas perkawinan dalam Islam adalah menganut asas monogami.

b. Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia

Penetapan dasar hukum mengenai poligami selain yang tertera dalam surat an-Nisa ayat 3 mengenai kebolehan poligami, juga didasari oleh aspek-aspek perundang-undangan yang ada. Dalam pasal 3, 4 dan 5 Undang-undang No. 1 tahun 1974 sangat mengakomodir semua hal yang bersangkutan mengenai poligami berikut juga persyaratannya. Pada dasarnya Undang-undang perkawinan di Indonesia menganut prinsip monogami, prinsip tersebut tercantum dalam pasal 3 ayat 1 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi: “Pada dasarnya suatu perkawinan seorang pria hanya boleh 24 Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, cet. Ke-37, h. 538. 37 mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. 25 Walaupun dalam Undang-undang perkawinan telah menganut prinsip monogami tetapi dalam pelaksanaannya prinsip ini tidak berlaku mutlak, dalam Undang-undang perkawinan di Indonesia tetap diperbolehkan poligami dengan persyaratan yang sangat ketat, dan hanya orang-orang yang tertentu saja yang dapat melakukannya. 26 Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan aturan tentang kebolehan beristeri lebih dari seorang terdapat dalam pasal 3, 4 dan 5 yang berisikan alasan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk beristeri lebih dari seoarang. Pasal 3 ayat 2 menerangkan bahwa: “Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak- pihak yang bersangkutan”. Ayat ini jelas sekali bahwa Undang-undang perkawinan telah melibatkan Peradilan Agama sebagai instansi yang cukup penting untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang. 27 25 Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 2006, cet. Ke-37, h.538. 26 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, h. 156. 27 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 156. 38 Kemudian dalam pasal 4 ayat 1 menerangkan bahwa: “Apabila seorang suami yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan: “Alasan-alasan pengadilan mengizinkan seorang suami berpoligami apabila: 1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri; 2. Isteri mendapat cacat badanpenyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Alasan di atas bernuansa fisik kecuali alasan yang ketiga. Alasan yang ketiga terkesan suami tidak memperoleh kepuasan yang maksimal, maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5 Undang- undang No. 1 Tahun 1974 memberikan sejumlah persyaratan bagi seorang suami yang akan beristeri lebih dari satu. 28 Diantaranya adalah: a. Adanya persetujuan dari isteri pertama; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anaknya; dan c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anaknya. Namun apabila isteri-isterinya tidak mungkin dimintai dalam perjanjiannya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang- kurangnya dua tahun, dan sebab-sebab lain yang mendapat 28 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006, cet. Ke-1, h. 47. 39 penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak dapat memerlukan persetujuan dari isterinya. 29 Perlu kita ketahui bahwa pada Pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu harus ada untuk dapat melakukan poligami. Sedangkan Pasal 5 adalah persyaratan kumulatif, dimana seluruh persyaratan harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami.

3. Prosedur Perkawinan Poligami