Membangun Ekonomi Nasional 1945-1959
30
mengambil sikap bahwa Indonesia harus mengambil dan menghargai isi dari nilai kemerdekaan itu sendiri.
13
Transformasi yang nyata mulai dapat dilakukan pada masa kabinet Natsir. Banyak tokoh yang berkontribusi dalam menggagas ekonomi nasional
ini, diantaranya Soemitro Djojohadikoesoemo yang mengembangkan industri skala kecil melalui induk-induk untuk menyalurkan kredit, memberikan
bantuan teknik dan outlet pemasaran, juga penggagas ‘Indonesianisasi’
dengan membuat program Benteng yang memberikan lisensi khusus kepada pribumi untuk melakukan impor, namun tersendat karena ada penerima lisensi
yang menjual lisensinya pada pengusaha non pribumi juga pada etnis Tionghoa sehingga kalah bersaing, dan juga rencana pembangunan lima tahun
1956-1960 yang tujuannya untuk menetapkan pembangunan berbagai industri dasar yang bisa dilaksanakan tanpa melakukan pembiayaan defisit
yang besar karena dibiayai oleh anggaran negara tanpa banyak mengandalkan bantuan luar negeri
14
tapi belum dapat terlaksana. Selain Soemitro tokoh lain yang sangat pragmatis yang berorientasi ekonomipembangunan adalah
Mohammad Hatta, Syafruddin Prawiranegara, Djuanda, dan Jusuf Wibisono.
13
Sjafruddin Prawiranegara, Islam dalam Pergolakan Dunia, cet.1 Bandung: Al- Ma‟arif,
1950, h.56.
14
Mudrajat Kuncoro, Ekonomika Pembangunan Jakarta: Erlangga, 2010, h. 66.
31
Sarbini Sumawinata dalam tulisannya mengenai Pembangunan Ekonomi Indonesia
15
tidak terlalu mempermasalahkan mengenai transformasi ekonomi kolonial ke ekonomi nasional karena menurutnya tidak ada hal yang
spesifik yang menggambarkan bagaimana sistem ekonomi nasional itu sendiri. Maka menurutnya yang harus dicari adalah tujuan yang ingin dicapai,
misalnya untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. Langkah yang menurutnya untuk mencapai kemakmuran rakyat adalah bagaimana cara
untuk meningkatkan tingkat konsumsi rakyat Indonesia dengan menanamkan modal pada usaha yang menciptakan alat-alat untuk menaikkan tingkat
produksi sehingga juga meningkatkan pendapatan dan tingkat konsumsi, selain itu juga mengoreksi struktur agraris yang berat sebelah karena hampir
70 saat itu, rakyat Indonesia bekerja sebagai petani. Selain itu juga meningkatkan ekspor dan penanaman modal asing.
Program kabinet dalam melaksanakan ekonomi nasional: a.
Kabinet Hatta Desember 1949 - September 1950: Melakukan pengguntingan uang dan penggunaan sertifikat ekspor.
b. Kabinet Natsir September 1950 - Maret 1951: Pengetatan anggaran
pemerintah untuk mengurangi inflasi, pengetatan kredit perusahaan asing,
15
Sarbini Sumawinata, “Garis-garis Besar Pembangunan Indonesia” dalam Hadi Soesastro ed., Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959:
Membangun Ekonomi Nasional Jakarta: Kanisius, 2005, h. 131-142.
32
Rencana Urgensi Perekonomian atau Rencana Urgensi Industri dan program Benteng.
c. Kabinet Sukiman April 1951-Pebruari 1952: Menasionalisasikan De
Javasche Bank karena defisit anggaran meningkat.
d. Kabinet Wilopo April 1952-Juni 1953: Menerapkan anggaran berimbang,
dan melakukan pengetatan impor. e.
Kabinet Ali Sastroamidjojo Agustus 1953- Juli 1955: Karena utang pemerintah meningkat dan cadangan internasional terkuras maka
melakukan pembatalan sebagian perjanjian KMB mengenai kebijakan perdagangan secara sepihak.
f. Kabinet Burhanudin Harahap Agustus 1955-Maret 1956: Menghapuskan
sistem sertifikasi impor, screening terhadap importir terus dilakukan, mengakhiri diskriminasi dengan memberikan kesempatan kepada
keturunan cina untuk terlibat dalam kegiatan impor, dan juga meninggalkan sama sekali perjanjian KMB.
g. Kabinet Ali Sastroamidjoojo II April 1956- Maret 1957: Karena defisit
anggaran dan inflasi meningkat, maka tahun 1956 pemerintah meminta bantuan International Monetary Fund IMF sebesar US 55 juta.
h. Kabinet Djuanda Maret 1957: Dibentuk secara sepihak setelah sistem
Demokrasi Terpimpin dicanangkan oleh presiden Soekarno, di mana kemudian melaksanakan pengambil alihan perusahaan Belanda. Karena
33
sektor swasta nasional belum berkembang, maka sektor negara mengambil alih, dan lahirlah ekonomi nasional yang etatis.