Mohammad Hatta Konsep Pembangunan Ekonomi
60
pemikiran tersebut tercermin dalam sosialis Fabian yang berkembang di Inggris, bahwa setiap produksi besar harus dikuasai oleh negara, namun di sini
masih belum jelas sektor manakah yang dianggap besar dan menguasai hajat hidup orang banyak. Maka Hatta selaku wakil presiden membentuk Panitia
Pemikir Siasat Ekonomi untuk membahas sektor-sektor ekonomi mana saja yang dianggap penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Meskipun keberpihaknya pada sistem sosialis, namun yang terlihat dari konsep ekonomi yang diterapkan Hatta pada pembagian cabang-cabang
ekonomi penting yang menurut Dr Anwar Abbas memilki sifat kapitalis dan juga sosialis yang terkandung di dalamnya, seperti pada peranan pemerintah
dan penyerahan penentuan harga kepada mekanisme pasar yang sesuai dengan sistem kapitalis, kemudian pada semangat pemerataan dan keadilan ekonomi
yang ingin diciptakan sesuai dengan sistem sosialis.
20
Hatta juga mengemukakan bahwa sistem ekonomi Indonesia yang tercantum dalam UUD ’45 adalah ekonomi terpimpin, di mana dalam sistem
tersebut peran negara yaitu pemerintah sangat penting dalam tercapai suatu penghidupan sosial yang lebih baik.
21
20
Anwar Abbas, “Pandangan Ekonomi Mohammad Hatta”, Ahkam III, no. 05 Maret 2001, h. 10.
21
Mohammad Hatta, “Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran
yang Merata ”, Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, 20-22 September 1972 Jakarta: Idayu
Press, 1974, h. 8.
61
Bentuk perekonomian yang sangat ditekankan oleh Hatta adalah koperasi, karena sangat sesuai dengan tujuan dan cita-citanya yaitu
menciptakan keadilan dalam bidang ekonomi yang dapat mencapai kemakmuran yang merata. Serta keberpihakannya pada rakyat kecil maka
Hatta memberikan solusi sistem koperasi yang paling baik untuk memajukan usaha rakyat kecil. Karena pada saat itu sembilan puluh persen ekonomi
menengah dikuasai oleh Tionghoa yang menjadi pengulas ekonomi lapisan atas dengan perekonomian rakyat dalam keadaan yang buruk yang menurut
Hatta sangat tidak sesuai.
22
Telah disebutkan di awal tadi bahwa cita-cita Hatta dalam pembangunan adalah kemakmuran yang merata, yang diawali dengan
kesejahteraan rakyat kecil dengan koperasi dan juga pendidikan yang tercantum dalam UUD ’45. Selain itu juga program pembangunan sarana
transportasi, transmigrasi, serta industri. Maka poin-poin penting itulah yang digagas Hatta dalam awal proses pembangunan ekonomi Indonesia.
Koperasi yang sangat menjunjung kolektivisme sangat sesuai dengan budaya rakyat Indonesia yang saling tolong menolong, meskipun dengan
masuknya para kolonial dari Barat yang membawa sifat individualisme sebagai bentuk modernisasi yang telah berkembang di Indonesia. Dimana
akhirnya individualisme itu menghidupkan kapitalisme nasional yang
22
Ibid., h. 8.
62
nantinya akan disaingi bahkan dapat dihancurkan oleh kapitalisme asing yang sangat kuat dan berkuasa.
23
Maka, dengan dibangunnya koperasi ekonomi masih ada kebebasan bagi individu untuk mengambil inisiatif atas persetujuan
bersama untuk keperluan bersama. Dan kapitalisme kolonial, yang tidak memberi kesempatan berkembang pada kapitalisme muda Indonesia
pengusaha muda membuat jalan yang baik bagi koperasi Indonesia. Koperasi dibangun dari bawah mengajak orang banyak untuk bekerja
sama untuk menyusun kemakmuran rakyat. Begitu pula dengan pemerintah yang ikut serta dalam andil menetapkan politik perekonomian, berdasarkan
keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
24
Koperasi telah berkembang dengan baik di Inggris, Jerman, Denmark, Swedia, Norwegia dan lain-lain. Itulah yang membuat Hatta tertarik dan
menerapkannya di Indonesia dengan nilai dasar Indonesia yang sama dengan koperasi. Kekuatan yang ada pada koperasi adalah meletakkan titik berat pada
usaha bersama, orang belajar mengenal diri sendiri, percaya pada diri sendiri,
23
Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II
Jakarta: UI Press, 1992, h. 148.
24
Ibid., h. 150.
63
belajar melaksanakan dasar self-help, dan autoaktivia beserta solidaritas setiakawan dan tolong-menolong.
25
Pendidikan juga merupakan proses penting dalam pembangunan suatu bangsa yang telah mengalami pembodohan selama masa kolonial. Hatta
berpendapat bahwa sudah terlalu lama rakyat Indonesia dididik dengan cita- cita umum yaitu
„persatuan’ namun masih keliru dengan asas mana yang mesti dipakai, yang dapat membunuh semangat pergerakan rakyat. Dengan
pendidikan rakyat kecil dapat memahami kewajibannya, sebagai rakyat yang juga diharuskan berjuang dalam pembangunan, karena budi pekerti dan iman
itu yang sangat diperlukan dalam pergerakan bangsa.
26
Pendidikan disebutkan dalam UUD ’45 pada pasal 34, di mana pasal itu menjelaskan pendidikan adalah sumber utama dan menunjukkan
pentingnya SDM dalam kemajuan suatu bangsa. Hatta lebih mengutamakan pendidikan politik ketimbang agitasi politik, begitu juga dengan koperasi,
menurutnya dalam memulai koperasi maka harus disiapkan SDM yang mengerti koperasi pengkaderan koperasi dengan jalan pendidikan, dan dia
25
Mohammad Hatta, “Cita-cita Koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945”, dalam Sri-Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas-Aktif dan Ekonomi Masa Depan Jakarta: UI Press, 1992, h.223.
26
Mohammad Hatta, Kumpulan Karangan Jilid I Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h. 175.
64
melihat kalau koperasi juga salah satu cara mendidik masyarakat untuk membantu diri dalam peningkatan kesejahteraan.
27
Selanjutnya, Hatta
sangat menekankan
pada pembangunan
infrakstruktur perhubungan. Menurutnya hal itu akan sangat mempermudah dalam bidang ekonomi melihat wilayah Indonesia yang luas terdiri dari pulau-
pulau sehingga diperlukan transportasi baik darat, laut maupun udara untuk mencapai kawasan yang dituju.
Menurutnya ekonomi perhubungan sama halnya dengan hukum sosialis dan kapitalis, yaitu mengangkut orang dan barang dengan ongkos
yang semurah-murahnya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Perbedaanya hanya terletak pada tujuannya jika kapitalis memiliki tujuan untuk
mendapatkan keuntungan, maka sosialis memiliki tujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat.
28
Dalam hal ini pemerintah daerah maupun pusat harus bekerjasama dalam membangun sarana perhubungan ini, karena Hatta
berpendapat bahwa perhubungan adalah urat nadi perekonomian.
29
Dengan adanya perhubungan yang memadai dalam pengangkutan orang maupun barang, mempermudah pembangunan secara merata di wilayah
27
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam Jakarta: Kompas, 2010, h. 320.
28
Mohammad Hatta, “Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia”, dalam Sri-Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas Aktif dan Ekonomi Masa Depan Edisi II
Jakarta: UI Press, 1992, h. 162.
29
Ibid., h. 164.
65
Indonesia dan tidak hanya terpusat di ibu kota saja, itulah yang diinginkan Hatta yaitu kemakmuran yang merata.
Hatta juga memberi gagasan mengenai transmigrasi yaitu perpindahan penduduk dari pulau yang padat penduduknya ke pulau yang masih kurang
penduduknya. Sama seperti tujuan dari gagasan Hatta yang sebelumnya, yaitu untuk kemakmuran yang merata. Karena melihat pembangunan yang tidak
merata antara Jawa, dengan pulau lainnya seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Hatta menyebutkan bahwa tujuan dari transmigrasi ini
adalah untuk membuka ruang hidup baru di daerah yang kosong dan meluaskan ruang hidup di daerah yang padat yang ditinggalkan oleh rakyat
yang pindah tempat.
30
Sehingga kemakmuran menjadi semakin bertambah. Hendaknya orang yang di transmigrasikan itu terdiri dari orang muda
yang dalam usia dapat melahirkan banyak anak. Kemudian yang dipindahkan itu terdiri dari keluarga tani, tukang berbagai rupa, tukang bangunan, serta
guru-guru yang akan mengajar anak-anak mereka, begitu Hatta menjelaskan. Transmigrasi juga berkesinambungan dengan pertumbuhan industri.
Menurutnya dengan adanya transmigrasi akan timbul kota-kota baru yang dengan sendirinya akan mendorong timbulnya industri-industri yang akan
disusul dengan pembangunan tenaga listrik, maka akan timbul lapangan
30
Ibid., h. 154.
66
pekerjaan baru.
31
Sehingga lambat laun akan menarik berbagai kegiatan ekonomi yang dibutuhkan masyarakat, dan masyarakat dapat bekerjasama
dalam membangun daerahnya dan juga kesejahteraan bersama. Selain beberapa gagasan mengenai koperasi, pendidikan, transportasi,
transmigrasi dan industri yang disebutkan tadi, Hatta juga banyak memberikan pendapatnya mengenai kebijakan perekonomian yang diambil oleh
pemerintah baik dalam masa kabinetnya maupun setelah itu. Seperti mengenai pinjaman luar negeri,
menurutnya dalam membangun perekonomian Indonesia paska masa kolonial membutuhkan beratus-ratus juta dollar
Amerika Serikat, dan melihat pemerintah yang memang tak mungkin memiliki uang sebanyak itu, maka jalan keluarnya adalah dengan pinjaman
luar negeri dengan jangka pembayaran kembali dalam waktu yang lama.
32
Meskipun pihak luar negeri memiliki motivasi tersendiri, yaitu untuk mencari keuntungan, namun asalkan Indonesia pandai menggunakan pinjaman
ini untuk kepentingan kemakmuran rakyat
33
maka itu diperbolehkan. Pada dasarnya Hatta tidak menyetujui adanya pinjaman luar negeri ini karena dia
31
Mohammad Hatta, Pikiran-pikiran dalam Bidang Ekonomi untuk Mencapai Kemakmuran yang Merata, Ceramah disampaikan dalam Seminar KADIN, 20-22 September 1972
Jakarta: Idayu Press, 1974, h. 12.
32
Ibid., h. 13.
33
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa Jakarta: Kompas, 2012, h.126.
67
berpendapat bahwa hal tersebut bertentangan dengan Islam yang menyebutkan “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah”.
34
Dalam kutipannya, menyebutkan kondisi bangsa yang tidak mampu dalam pembangunan:
“Negeri yang kurang maju, yang sedikit sekali mempunyai cabang-cabang industri, tidak sanggup membiayai pembangunannya dari simpanan nasional tiap-
tiap tahun. Rakyatnya yang rata-rata miskin dan kurang makan tidak dapat menabung banyak”.
Namun Hatta juga memberikan alasan, bahwa kerusakan sosial yang parah yang dialami Indonesia, yang ditimbulkan oleh pihak kolonial yang
bahkan lebih parah dari Eropa, membuat Indonesia harus membangun dari awal kembali. Hatta juga memberikan pembatasan masalah pinjaman luar
negeri ini, menurutnya pinjaman ini harus bersifat „bantuan perkembangan’ bukan bantuan dengan syarat politik yang mengikat negara yang diberi
bantuan kepada suatu politik tertentu. Menurutnya bantuan perkembangan yang tepat adalah bantuan yang berdasarkan rencana pembangunan negeri itu
sendiri, bukan rencana yang diajukan dari pihak luar, dan harus didasarkan pada persediaan dan pembawaan alam negeri itu.
35
34
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam Jakarta: Kompas, 2010, h. 302.
35
Mohammad Hatta, “Masalah Bantuan Perkembangan Ekonomi Bagi Indonesia”, dalam Sri- Edi Swasono ed. Demokrasi Kita Bebas-Aktif, Ekonomi Masa Depan Edisi II Jakarta: UI Press, 1992,
h. 202.
68
Ada lima corak bantuan perkembangan yang dianjurkan Hatta dalam proses pembangunan Indonesia, yaitu:
36
a. Bantuan untuk “Human Capital”, bantuan dalam memajukan sumber
daya manusia, dengan mendidik tenaga-tenaga ahli Indonesia sebanyak- banyaknya pada universitas, sekolah-sekolah tinggi, menengah kejuruan
dan pada berbagai industri. b.
Bantuan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktural, seperti jalan besar, pelabuhan, memperbaiki aliran sungai, membuat kanal dan
sebagainya. c.
Penyediaan untuk penyelidikan geologi, yang biayanya bisa sebagian dipikul Indonesia dan tenaga ahlinya sebagian yang di datangkan dari luar
negeri. d.
Bantuan untuk memperbesar sistem saluran air dan waduk di berbagai daerah di Indonesia guna mengintensifkan dan melipatgandakan hasil
bumi, sekaligus sebagai sumber pembangunan tenaga listrik untuk industri dan penerangan.
e. Bantuan untuk berbagai macam industri dasar dan tambang, serta industri
lainnya. Hatta yang hidup pada masa peralihan yaitu perubahan ekonomi
kolonial menuju ekonomi nasional yang dicita-cita kan oleh para pejuang
36
Ibid., h. 216.
69
bangsa. Semenjak di jajah Belanda Indonesia dijadikan sebagai sumber keuntungan yang menghasilkan barang-barang bagi pasar dunia, namun pasar
di dalam negeri diabaikan. Dasar ekonominya adalah „ekonomi ekspor’, di
mana dasar dari perekonomian ialah mencapai keperluan rakyat namun barang yang tidak bisa dihasilkan sendiri diimpor dari luar dan untuk membayarnya
itu dengan ekspor. Impor yang dilakukan pun kebanyakan adalah barang- barang keperluan perusahaan-perusahaan besar dan orang-orang Barat yang
ada di Indonesia.
37
Maka nasionalisasi ekonomi sangat didukung oleh Hatta, dan penggantian sistem kapitalis yang ada, dia menggagas untuk diganti
dengan koperasi yang sesuai dengan cita-cita dan karakter bangsa. Mengenai modal asing, meskipun banyak kontroversi Hatta tetap
mengambil langkah hati-hati dalam hal ini. Ia berharap supaya modal asing itu digunakan dan direncanakan dengan baik agar memberikan manfaat kepada
negara. Namun jika tidak diindahkan akan menghasilkan kerugian yang besar bagi Indonesia, Hatta juga menyarankan agar modal asing itu diperuntukkan
bagi kepentingan ekspor yang pendapatannya sebagai devisa untuk kembali membayar utang-utang, dan juga untuk kepentingan peningkatan produktivitas
masyarakat.
38
37
Mohammad Hatta, “Ekonomi Indonesia di Masa Datang”, dalam Hadi Soesastro ed. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959:
Membangun Ekonomi Indonesia Jakarta: Kanisisus, 2005, h. 35.
38
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam Jakarta: Kompas, 2010, h. 336.
70
Dalam tujuan ekonominya, Hatta menggunakan pendekatan sejarah dalam mengembangkan ekonomi Indonesia di masa peralihan, dengan cara:
39
a. Mengubah dasar ekonomi dari ekspor yang merkantilis ke sistem
ekonomi yang berorientasi pada pasar domestik, untuk memenuhi keperluan rakyat.
b. Mengembangkan sektor pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan,
dan mengembangkan sektor perkebunan untuk menghasilkan devisa, dengan pengelolaan berbasis koperasi.
c. Memperbaiki tenaga produktif rakyat melalui pendidikan dan perbaikan
kesehatan guna meningkatkan mutu pemberdayaan manusia. d.
Membentuk kerjasama ekonomi dan pasar regional, yang mencakup Australia, Asia Tenggara, dan Asia Timur.
Bung Hatta yang telah mengundurkan diri dari Wakil Presiden pertama pada penghujung 1956 karena permasalahan tujuan politik yang sepertinya
sudah jauh melenceng dan membuatnya tak bisa terus tegak di tengah banjir, akhirnya membuatnya menjadi rakyat biasa. Banyak jabatan yang ditawarkan
kepadanya setelah berhenti menjadi Wakil Presiden namun itu ditolaknya, dia hanya mengatakan “apa kata rakyat nanti”.
40
Namun perjuangannya tidak hanya sampai disitu, ia masih terus melihat perkembangan perekonomian dan
39
M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius Jakarta: Mizan, 2011, h. 110.
40
Deliar Noer, Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa Jakarta: Kompas, 2012, h.151.
71
mengkritisi perencanaan pembangunan ataupun kebijakan yang menurutnya kurang tepat.