Transmigrasi, Infrakstruktur dan Pemerataan

95 biasa disebut „komersialisasi jabatan’, itu juga termasuk dalam suatu hal yang bathil yang tidak pantas dilakukan. Sedangkan dalam hal diskriminasi terjadi pada masa kemerdekaan di mana banyak kegiatan ekonomi kelas menengah dikuasai oleh orang Tionghoa, sehingga yang saat itu Sumitro melakukan kebijakan lisensi bagi importir pribumi yang pada akhirnya, malah di belakang banyak yang dijual kepada Tionghoa yang membuat cangkupan ekonominya meluas. Banyak juga para petinggi yang tidak menyukai jika ekonomi dikuasai oleh orang keturunan seperti Tionghoa, Cina dan juga orang Asia lainnya, sehingga menetapkan kebijakan ekonomi yang mempersulit Tionghoa dalam melakukan aktifitas ekonomi, yang malah membuat mereka berani untuk menyuap pejabat agar mempermudah transaksi mereka. Hal itu sangat tidak disetujui oleh Syafruddin, dia berpendapat bahwa warga Tionghoa juga merupakan rakyat Indonesia jika mereka dididik maka jiwa nasionalismenya akan tumbuh kuat sama seperti rakyat Indonesia pada umumnya, dan bahkan bisa membantu mengembangkan perekonomian Indonesia, dia tidak menyalahkan Tionghoa yang memang bekerja lebih keras dalam mendapatkan kemakmuran ekonomi itu. Begitu juga setelah gerakan pemberontakan yang dilakukan PKI, setelah itu pemerintah sangat gencar dalam membasmi mantan anggota KPI di Indonesia dengan segala kebijakan yang menyudutkan. Ia menentang pemerintah yanng terlalu menghukum para pengikut PKI, menurutnya 96 komunisme adalah sebuah ideologi dan tidak bisa dilarang karena sesuai dengan kebebasan berfikir, yang terpenting menurutnya adalah mendidik untuk membina mental dan harus dilawan dengan ideologi lagi, serta yang utama adalah rakyat harus didorong untuk membangun kembali perekonomian Indonesia berdasarkan ideologi pancasila. 61 Korupsi dan diskriminasi merupakan salah satu perbuatan zalim yang juga mengacu pada ketidakadilan karena korbannya tidak hanya satu dua orang tetapi yang dirugikan adalah seluruh warga negara. Maka Islam meletakkan prinsip muamalah agar tidak ada yang dirugikan atau merugikan, sebagaimana firmannya dalam Al Qur’an Al Baqarah ayat 279 yang artinya kamu tidak berbuat zalim merugikan dan tidak dizalimi dirugikan.

5. Pinjaman Luar Negeri dan Modal Asing

Ada beberapa perbedaan pendapat antara Hatta dan Syafruddin dalam masalah pinjaman luar negeri dan Modal Asing. Hatta meskipun masih ragu akan pinjaman luar negeri karena menurutnya tangan di atas itu lebih baik dari pada tangan di bawah. Namun karena kondisi Indonesia yang saat itu sangat membutuhkan modal banyak untuk pembangunan maka jalan keluarnya adalah dengan pinjaman luar negeri, meskipun pihak peminjam pasti memiliki alasan tersendiri, jika Indonesia dapat mengelolanya dengan baik dan pinjaman itu berjangka waktu panjang dalam pengembaliannya maka 61 Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-Klasik dan Sosialisme Religius Jakarta: Mizan,2010, h. 134.