kategori sedang. Serta 4 keluarga 14,82 lainnya berada dalam tingkat kecukupan energi kurang. Sementara dari 3 keluarga dengan tingkat keragaman pangan sedang
terdapat 3 kepala keluarga 100,00 memiliki tingkat kecukupan energi dalam kategori kurang.
Tabel 4.24 Tabulasi Silang Tingkat Keragaman Pangan Berdasarkan Tingkat
Kecukupan Protein
No Tingkat
Keragaman Pangan
Tingkat Kecukupan Protein Total
Baik Sedang
Kurang N
N N
1 Tinggi
6 22,22
11 40,74
10 37,04
27 100
2 Sedang
0,00 0,00
3 100,00
3 100
Pada tabulasi silang diketahui bahwa dari 27 keluarga dengan tingkat
keragaman pangan tinggi, 6 keluarga 22,22 memiliki tingkat kecukupan protein baik, sedangkan 11 keluarga 40,74 memiliki tingkat kecukupan protein dengan
kategori sedang. Serta 10 keluarga 37,04 lainnya berada dalam tingkat kecukupan protein kurang. Sedangkan dari 3 keluarga dengan tingkat keragaman pangan sedang
terdapat 3 kepala keluarga 100,00 memiliki tingkat kecukupan protein dalam kategori kurang.
49
BAB V PEMBAHASAN
5.1. Pola Konsumsi Pangan Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat dari Tabel 4.2, bahwa seluruh responden mengonsumsi padinasi dengan frekuensi lebih dari 10x5 hari sebagai
makanan pokok. Hal ini dikarenakan, pola konsumsi keluarga yang masih bergantung kepada satu jenis pangan pokok saja sebagai sumber karbohidrat, serta mengganggap
bahwa hanya dengan mengonsumsi nasilah baru bisa dikatakan telah makan. Sedangkan jenis padi-padian yang lain seperti jagung dan gandum hanya dikonsumsi
masing-masing dua keluarga 6,67 dan bahkan tidak pernah dikonsumsi sama sekali dalam seminggu. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada penganekaragaman
sumber karbohidrat dari jenis padi-padian. Hanya ada tambahan konsumsi dari beberapa jenis yaitu jagung dan gandum namun tetap bukan sebagai makanan pokok
dikarenakan sekalipun sudah mengkonsumsi jagung ataupun gandum, keluarga tetap harus makan nasi.
Hasil penelitian pada Tabel 4.3 dalam mengkonsumsi umbi-umbian dapat diketahui bahwa kelompok pangan umbi-umbian yang juga sebagai sumber
karbohidrat belum dikonsumsi secara teratur sebagai pengganti padinasi. Hanya dikonsumsi sebagai makanan selingan bukan sebagai makanan pokok dikarenakan
sekalipun sudah mengkonsumsi umbi-umbian, tidak dianggap lengkap dan sering orang yang mengkonsumsinya mengatakan belum makan, meskipun telah kenyang
olehnya Sediaoetama, 1996.
Program P2KP dengan optimalisasi pemanfaatan pekarangan diharapkan dapat meningkatkan pola konsumsi masyarakat lebih beragam, bergizi, seimbang dan
aman dalam jumlah dan komposisi pangan yang cukup berdasarkan komposisi pangan yang dianjurkan dalam PPH, dimana setiap harinya dibutuhkan konsumsi
umbi- umbian minimal 0,5 dari angka kecukupan energi 100 kkal. Namun hal tersebut belum tercapai dengan baik karena anggota kelompok P2KP belum
mengkonsumsi umbi-umbian secara rutin. Selain itu, rendahnya konsumsi umbi- umbian menjadi salah satu indikasi yang menyebabkan tujuan P2KP untuk
mengurangi ketergantungan terhadap bahan pangan pokok beras belum tercapai. Konsumsi jenis pangan hewani dapat dilihat pada Tabel 4.4 yang
menunjukkan bahwa banyak keluarga yang mengkonsumsi telur dengan frekuensi 6- 10x5 hari sebanyak 70, sedangkan daging tidak pernah dikonsumsi sama sekali
sebesar 93,33, karena berkemungkinan harga telur yang lebih terjangkau dibandingkan dengan harga daging yang relatif mahal. Namun, sebaiknya keluarga
diberikan makanan yang beranekaragam begitu juga dengan sumber protein karena protein sangat dibutuhkan dalam pembentukan sel-sel tubuh manusia, bahkan
antibodi tubuh untuk melawan semua penyakit juga berasal dari protein. Begitu juga dengan semua enzim pencernaan dan berbagai hormon juga berasal dari protein
Mitayani, 2010. Kelompok P2KP dalam mengoptimalkan lahan pekarangan untuk sumber
protein hewani yaitu dengan mengelola kolam ikan lele, yang diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber pangan hewani. Namun hal ini belum tercapai maksimal
dikarenakan ikan lele yang dihasilkan bisa dikonsumsi apabila telah panen saja.