1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor penting yang
memberikan kontribusi bagi Indonesia. Pada tahun 2010, industri pertambangan menyumbang Rp 173,3 triliun atau 0,3 dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Hal tersebut menggambarkan betapa besar dan pentingnya industri tambang di Indonesia. Di sisi lain, sektor industri ini cenderung memiliki
berbagai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja Markkanen, 2004. NIOSH National Institute of Occupational Savety and Health menyebutkan
bahwa fatality rate pada industri pertambangan dari tahun 2003 hingga tahun 2008 termasuk dalam kategori tinggi.
Markkanen 2004 berpendapat bahwa salah satu sektor yang memiliki risiko kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja paling tinggi dapat dijumpai di
pertambangan. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Biro Statistik Buruh Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa pertambangan merupakan salah satu
sektor industri yang paling berbahaya. Kemudian, data dari U.S. Bureau of Labor Source
tahun 2007 menunjukkan bahwa di antara 10 jenis industri, pertambangan menempati posisi kedua sebagai industri yang memiliki angka kecelakaan
karyawan paling tinggi dalam Schultz Schultz, 2010.
Karyawan yang bekerja di sektor pertambangan pun harus menghadapi risiko bahaya yang cukup besar terkait pekerjaannya. Kecelakaan fatal dapat
terjadi ketika karyawan jatuh dari ketinggian, tertimpa, kejatuhan, atau terhantam oleh benda atau mesin yang sedang bergerak. Bahaya yang lain dapat berupa
kebisingan, getaran, suhu panas, terpapar debu, gas, asap, dan bahan-bahan kimia berbahaya. Selain itu, karyawan yang bekerja di sektor pertambangan juga tidak
lepas dari gangguan-ganggaun fisik akibat penggunaan peralatan kerja baik secara mekanik ataupun manual sepertigangguan bahu, cidera pada pergelangan kaki dan
lutut, dan kelelahan dan gangguan tidur dalam kaitannya dengan kerja shift Markkanen, 2004.
Sebagai profesi yang memiliki risiko bahaya yang tinggi di lingkungan kerjanya, pekerja tambang rentan mengalami tekanan atau stres karena mereka
setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan Rini, 2002. Data menunjukkan bahwa di antara 30 jenis profesi, karyawan tambang
merupakan profesi yang memiliki tingkat stres paling tinggi Haslam, 2004. Beehr dan Newman 1978 mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang
timbul dalam interaksi antara manusia dengan pekerjaan. Pada dasarnya, stres yang dialami oleh individu bersifat merusak apabila tidak ada keseimbangan
antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya dalam Waluyo, 2013. Munandar 2012 juga menyatakan bahwa stres merupakan suatu
kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah pada timbulnya penyakit fisik maupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tidak wajar.
Menurut National Institute for Occupational Safety and Health NIOSH yang dikutip oleh Suksmono 2013, lebih dari setengah pekerja di Amerika
melihat stres kerja sebagai permasalahan besar dalam kehidupan mereka. The American Institute of Stress
memperkirakan bahwa stres dan penyakit yang disebabkan oleh stres membuat dunia usaha di Amerika mengalami kerugian
sebesar 300 miliar dolar pertahun. Kerugian ini diakibatkan oleh banyaknya jumlah jam kerja yang terbuang akibat absennya karyawan, turnover, dan biaya
yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai jaminan kesehatan para karyawannya. Komunitas Eropa juga secara resmi menyatakan bahwa stres merupakan
permasalahan kesehatan yang terkait dengan pekerjaan terbesar kedua yang dihadapi oleh para pekerja di Eropa Suksmono, 2013.
Stres kerja yang dialami oleh karyawan tidak hanya dapat merugikan diri karyawan itu sendiri tetapi juga dapat merugikan perusahaan. Pada diri karyawan,
konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, dan frustasi. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan
dengan aktivitas kerja saja, tetapi juga dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, dan
kurang mampu berkonsentrasi Waluyo, 2013. Selain itu, Arnold dalam Waluyo, 2013 juga menyatakan empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat
stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis,
performance , serta mempengaruhi individu dalam
pengambilan keputusan. Pada perusahaan, konsekuensi yang timbul adalah
meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi,
hingga turnover Greenberg Baron, 1993; Quick Quick, 1984; Robbins, 1993, dalam Waluyo, 2013
Menurut Munandar 2012 setiap faktor dalam pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres stressor. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam
lima kategori besar yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi,
tuntutan dari luar organisasipekerjaan, serta ciri-ciri individu Hurrel dkk, dalam Munandar, 2012. Di samping itu, Luthans 2005 menyebutkan bahwa penyebab
stres stressor terdiri dari empat hal utama, yaitu: 1 Extra Organizational Stressors
, yang terdiri dari perubahan sosialteknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta keadaaan komunitastempat
tinggal; 2 Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, kondisi lingkungan kerja fisik dalam organisasi, dan proses
yang terjadi dalam organisasi; 3 Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial; 4 Individual Stressors,
yang terdiri dari disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, personal control, learned helplessness
, dan daya tahan psikologis. Di sisi lain, Riggio 2008 mengemukakan bahwa sumber stres juga dapat berasal dari jenis
pekerjaan, organisasi, dan karakteristik individu. Stres kerja yang bersumber dari organisasi terdiri dari tugas kerja meliputi beban kerja dan underutilization,
peran kerja meliputi ketidakjelasan peran, kurangnya kontrol terhadap pekerjaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan interpersonal, pelecehan yang berasal dari
rekan kerja ataupun atasan, perubahan organisasional, dan konflik keluarga- pekerjaan. Kemudian, stres kerja yang bersumber dari karakteristik individu
terdiri dari pola kepribadian Tipe A, ketidaktahanan individu terhadap stres, dan kurangnya self efficacy.
Faktor kunci dari stres adalah bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian terhadap situasi dan kemampuan yang dimilikinya untuk
menghadapi dan mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi Diana, 1991, dalam Waluyo, 2012. Maka dari itu, stres yang dialami individu sebenarnya
berada di bawah kontrol individu itu sendiri karena masalahnya ada pada individu yang mempersepsikannya Munandar, 2012.
Dalam melakukan pekerjaan, individu tidak lepas dari lingkungan kerja.Lingkungan kerja merupakan aspek
penting dalam mempengaruhi
pelaksanaan suatu pekerjaan dan juga memiliki pengaruh yang besar dalam penyelesaian tugas Anogoro dan Widiyanti, 1990.Menurut Nitisemito 1982
lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pegawai yang dapat
mempengaruhi dirinya
dalam menjalankan
tugas-tugas yang
dibebankan.Anogoro dan Widiyanti 1990 berpendapat bahwa lingkungan kerja yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula kepada para karyawan,
pimpinan, dan hasil pekerjaannya. Lingkungan kerja yang kurang nyaman dari berbagai sisi, baik sisi fisik maupun non fisik, mempunyai akibat yang berantai
antara lain semangat kerja karyawan semakin menurun, gairah kerja karyawan menurun, dan tingkat produktifitas karyawan juga semakin menurun. Mia 2011
juga menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang sehat dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan pekerja, seperti peningkatan moral pekerja,
penurunan absensi, dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya, tempat kerja yang kurang sehat atau tidak sehat sering terpapar zat yang berbahaya yang dapat
mempengaruhi kesehatan dapat meningkatkan angka kecelakaan, rendahnya kualitas kesehatan pekerja, meningkatkan biaya kesehatan, dan banyak lagi
dampak negatif lainnya. Anogoro dan Widiyanti 1990 menyatakan bahwa lingkungan kerja
mencakup kondisi fisik maupun non-fisik psikologis. Lingkungan fisik merupakan keadaan ruangan beserta perlengkapan yang mendukung, sedangkan
lingkungan psikologis merupakan kondisi organisasi dan interaksi sosial di dalamnya.
Menurut Wignjosoebroto 2008 lingkungan fisik pekerjaan merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi sosial, mental, dan fisik
dalam kehidupan pekerja. Lingkungan fisik pekerjaan yang merupakan keadaan di sekitar tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara,
pencahayaan, kebisingan, getaran, bau-bauan, dan warna, akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja seseorang dalam lingkungan kerjanya.
Pencahayaan sangat mempengaruhi manusia untuk melihat objek-objek secara jelas dan cepat tanpa menimbulkan masalah. Pencahayaan yang kurang
dapat mengakibatkan mata pekerja menjadi cepat lelah. Lelahnya mata juga dapat
menyebabkan lelahnya
mental dan
menimbulkan kerusakan
mata Wignjosoebroto, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Setyadi 2012 pada
perusahaan garmen menemukan adanya hubungan positif antara pencahayaan di tempat kerja dengan kelelahan. Selain itu, Suma’mur 2013 juga menambahkan
bahwa penerangan yang buruk dapat meningkatkan peristiwa kecelakaan. Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki oleh telinga
yang dapat mengganggu ketenangan kerja Wignjosoebroto, 2008. Kebisingan juga diartikan sebagai semua suara atau bunyi yang bersumber dari alat-alat
proses produksi atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi dan
menyebabkan teralihnya perhatian sehingga karyawan menjadi tidak fokus terhadap masalah atau pekerjaan yang sedang dihadapi. Selain itu, motivasi untuk
berpikir dan bekerja menjadi lemah dan dapat mempengaruhi ketelitian seseorang dalam berbuat dan bertindak. Penelitian yang dilakukan oleh Jennie 2007 pada
karyawan di sebuah pabrik semen menunjukkan adanya hubungan antara intensitas kebisingan di lingkungan kerja dengan peningkatan tekanan darah.Hal
ini membuktikan bahwa kebisingan yang terdapat pada lingkungan kerja juga dapat berpengaruh terhadap fisiologis pekerja.
Getaran mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis yang berdampak hingga ke tubuh dan dapat menimbulkan
akibat-akibat yang tidak diingikan pada tubuh Wignjosoebroto, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih 2009 pada salah satu industri yang bergerak
dalam bidang pengolahan kayu menemukan adanya hubungan antara getaran dengan kelelahan pada pekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
56,8 pekerja mengalami kelelahan dalam tingkat sedang dan berat. Survei awal yang dilakukan oleh peneliti juga menunjukkan bahwa 68,8 pekerja merasa
teragnggu dengan adanya getaran yang dihasilkan oleh mesin dan 70,2 pekerja merasa cepat lelah setelah bekerja akibat getaran yang ditimbulkan.
Warna yang dimaksud di sini adalah tembok ruangan dan interior yang ada di sekitar tempat kerja Wignjosoebroto, 2008. Schultz dalam Munandar,
2012 menyebutkan bahwa penggunaan warna pada ruangan kerja merupakan upaya untuk menghindari timbulnya ketegangan mata. Selanjutnya, Suyatno
1985 menyebutkan bahwa penggunaan warna juga dapat menciptakan efek psikologis seperti ruangan yang dicat dengan warna gelap menyebabkan ruangan
terasa lebih sempit dan tertutup. Sebaliknya, ruangan yang dicat dengan warna terang menyebabkan ruangan terasa lebih luas dan terbuka dalam Munandar,
2012. Iklim kerja merupakan kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara,
kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi di tempat kerja. Iklim kerja dapat mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kerja.
Lingkungan kerja yang memiliki suhu netralmerupakan lingkungan kerja yang kondusif bagi para pekerja untuk melaksanakan dan memperoleh hasil pekerjaan
yang baik. Suhu yang panas dapat berakibat pada penurunan kemampuan berpikir, kesigapan, dan pengambilan keputusan Suma’mur, 2013. Selain itu,
suhu yang panas pada lingkungan kerja juga dapat mempengaruhi fisiologis pekerja. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Adella dkk 2010
pada area peleburan di sebuah tambang nikel yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu lingkungan kerja dengan kadar asam urat urin pada para
pekerja. Pengoperasian mesin-mesin peleburan menghasilkan suhu yang tinggi sehingga pekerja akan terpapar oleh radiasi panas. Selain itu, suhu tinggi yang
dihasilkan selama proses produksi juga menyebar ke seluruh sudut di area peleburan, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga
meningkat. Bau yang tidak disukai atau tidak enak dapat mengganggu perasaan orang
yang menciumnya, mengurangi kenyamanan, memberikan kesan tidak sehat, dan mencerminkan keadaan kotor atau kurangnya kebersihan. Selain itu, bau-bauan
tertentu dapat menjadi petunjuk bagi adanya pencemaran oleh bahan berbahaya atau beracun Suma’mur, 2013.
Kondisi lingkungan fisik seperti yang telah dijelaskan secara umum di atas sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka meningkatkan aspek-aspek yang
berkaitan dengan sosial, psikologis, dan motivasi manusia dalam rangka peningkatan produktivitas kerja Wignjosoebroto, 2008. Penelitian yang
dilakukan oleh Soewondo terhadap 200 karyawan di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang perminyakan menyatakan bahwa salah satu sumber
stres yang dialami oleh karyawan berhubungan dengan tempat mereka bekerja, seperti ruangan kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin, ruangan sempit,
berisik, dan penerangan yang kurang. Kondisi ruangan pengap dan ventilasi udara tidak ada, penerangan kurang jelas dan udara ruangan yang panasmembuat
individu mengalami perasaan tidak puas. Situasi tersebut juga menyebabkan keamanan dan kenyamanan kerja karyawan terganggu sehingga karyawan
mengalami perasaan jengkel, tertekan, dan stres Wijono, 2013. Gibson 1996 menjelaskan bahwa lingkungan fisik pekerjaan merupakan
serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran yang besar
dalam mengarahkan tingkat laku karyawan. Maka dari itu, bagaimana karyawan merasakan lingkungan kerjanya itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak
menyenangkan, mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari bagaimana karyawan memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap
sesuatu yang terjadi di lingkungan kerjanya. Andriani 2004 juga menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal
walaupun berada dalam situasi yang sama. Apabila karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut
sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, jika karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut
sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Seseorang bisa saja menganggap lingkungan kerjanya buruk, sedangkan yang lain menganggap lingkungan
kerjanya baik. Perbedaan pandangan terhadap lingkungan kerja dapat terjadi
karena masing-masing individu mempunyai kebutuhan, kepentingan, maupun harapan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan
dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang”.
A. Rumusan Masalah - Apakah terdapat hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan
dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang?
B. Tujuan Penelitian - Untuk mengetahui hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan
dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.
C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi dalam bidang
Psikologi Ergonomi, yang berkaitan dengan akibat dari kondisi lingkungan fisik pekerjaan.
2. Manfaat Praktis a. Bagi Subjek Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi karyawan yang bekerja di industri pertambangan
mengenai sejauh mana tingkat stres yang mereka alami terkait kondisi lingkungan fisik pekerjaan tempat mereka bekerja.
b. Bagi Perusahaan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi perusahaan,
khususnya perusahaan dalam industri pertambangan, mengenai stres kerja yang dialami oleh karyawan berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik
pekerjaannya. c. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik
pekerjaan dan stres kerja, khususnya dalam industri pertambangan.
13
BAB II LANDASAN TEORI