Hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.

(1)

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN

DI PERUSAHAAN TAMBANG

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang berusia 30–55 tahun yang telah memiliki masa kerja minimal satu tahun dan bekerja di luar ruang/lapangan.Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Peneliti menggunakan teknikpurposive samplingdalam pengambilan sampel penelitian.Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Stres Kerja dan Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan.Reliabilitas Skala Stres Kerja adalah 0,923 dari 38 item dan reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan adalah 0,948 dari 42 item. Reliabilitas kedua skala diperoleh dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari program SPSS for windows16.0. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment Pearsondengan program SPSS for windows 16.0. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah -0,606 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu adanya hubungan negatif antara variabel kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja.


(2)

RELATION BETWEEN PHYSICAL WORK ENVIRONMENT CONDITIONS

WITH JOB STRESS OF EMPLOYEES

IN THE MINING COMPANY

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRACT

This research aimed to examine the relation between physical work environment conditions with job stress of employees in the mining company. The hypothesis in this research there was a negative relation between physical work environtment conditions and job stress of employees in the mining company. Subjects in this research were employees aged 30 55 years who had one year minimum term of work and worked outside the room/field. In this research, researcher used purposive sampling technique. Data were obtained by using two scales, that is Job Stress Scale and Physical Environment Work Conditions Scale. Reliability of Job Stress scale reliability was 0,923 of 38 items and reliability of Physical Work Environment Conditions was 0,948 of 42 items. Reliability of both scales is obtained by using Cronbach Alpha of SPSS for Windows 16.00. Data were analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with SPSS for Windows 16.00 and were obtained coefficient correlation was -0,606 with significance level 0,000 (p < 0,01). The result showed that the hypothesis was accepted that there was negative relation between physical work environment conditions.job and job stress.


(3)

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN

DI PERUSAHAAN TAMBANG

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Pricillya Regina JulyaTampi

NIM : 109114126

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015


(4)

(5)

iii


(6)

iv

“Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu

hari depan yang penuh harapan.” (Yeremia 29 : 11)

“Cobalah untuk tidak menjadi orang sukses,

melainkan menjadi orang yang bernilai.”

(Albert Einstein)

“Karena masa depan sungguh ada,

dan harapanmu tidak akan hilang” (1 Tawarikh 16 : 34)

“Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan,yang menaruh harapannya pada Tuhan” (Yeremia 17:5) ( 1 Tawarikh 16 : 34 )


(7)

v

Karya ini aku persembahkan untuk :

Tuhan Yesus Kristus, untuk kasih setia dan berkat yang terus

diberikan dalam hidupku

Anugerah terbesarku, Mama, Papa, dan Kak Ivonne

Keluarga keduaku, saudara, teman-teman, dan

sahabat-sahabatku yang terkasih, yang telah memberikan warna dalam


(8)

(9)

vii

HUBUNGAN ANTARA KONDISI LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN

DI PERUSAHAAN TAMBANG

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang berusia 30–55 tahun yang telah memiliki masa kerja minimal satu tahun dan bekerja di luar ruang/lapangan.Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.Peneliti menggunakan teknikpurposive samplingdalam pengambilan sampel penelitian.Data penelitian diperoleh dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Stres Kerja dan Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan.Reliabilitas Skala Stres Kerja adalah 0,923 dari 38 item dan reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan adalah 0,948 dari 42 item. Reliabilitas kedua skala diperoleh dengan menggunakan teknik Alpha Cronbach dari program SPSS for windows16.0. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan teknik korelasiProduct Moment Pearsondengan program SPSS for windows 16.0. Nilai koefisien korelasi yang diperoleh adalah -0,606 dengan nilai signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,01). Hasil ini menunjukkan bahwa hipotesis diterima yaitu adanya hubungan negatif antara variabel kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja.


(10)

viii

RELATION BETWEEN PHYSICAL WORK ENVIRONMENT CONDITIONS

WITH JOB STRESS OF EMPLOYEES

IN THE MINING COMPANY

Pricillya Regina Julya Tampi

ABSTRACT

This research aimed to examine the relation between physical work environment conditions with job stress of employees in the mining company. The hypothesis in this research there was a negative relation between physical work environtment conditions and job stress of employees in the mining company. Subjects in this research were employees aged 30 55 years who had one year minimum term of work and worked outside the room/field. In this research, researcher used purposive sampling technique. Data were obtained by using two scales, that is Job Stress Scale and Physical Environment Work Conditions Scale. Reliability of Job Stress scale reliability was 0,923 of 38 items and reliability of Physical Work Environment Conditions was 0,948 of 42 items. Reliability of both scales is obtained by using Cronbach Alpha of SPSS for Windows 16.00. Data were analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with SPSS for Windows 16.00 and were obtained coefficient correlation was -0,606 with significance level 0,000 (p < 0,01). The result showed that the hypothesis was accepted that there was negative relation between physical work environment conditions.job and job stress.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih setiaNya yang luar biasa penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi di Universitas Sanata Dharma.

Skripsi ini juga tidak lepas dari adanya dukungan dan bantuan dari berbagai pihak selama perjalanan studi penulis. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Universitas Sanata Dharma khususnya Fakultas Psikologi sebagai almamaterku. Terima kasih atas pembelajaran hidup yang begitu berharga yang telah penulis dapatkan selama menjalakan studi di sini.

2. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, juga selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas nasihat-nasihat dan motivasi yang telah diberikan selama penulis menjalankan studi di Fakultas Psikologi.

3. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

4. Ibu Dewi Soerna Anggraeni, M. Psi., selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan banyak bantuan, masukan, dan waktunya kepada penulis selama penulis mengerjakan skripsi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.


(13)

xi

5. Bapak R. Landung Eko P., M.Psi. dan Bapak TM Raditya Hernawa, M.Psi., selaku dosen penguji skripsi. Terima kasih atas berbagai masukan, saran, dan kritik membangun yang telah diberikan agar skripsi yang disusun penulis dapat menjadi lebih baik.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan begitu banyak pembelajaran dan pengetahuan sehingga penulis dapat menambah wawasan mengenai dunia Psikologi.

7. Seluruh staff di Fakulas Psikologi, Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Donny, dan Pak Gie. Terima kasih atas bantuan dan canda tawanya selama ini, yang memberikan warna tersendiri ketika penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi. Semoga terus diberkati dalam tugas dan tanggung jawabnya.

8. PT Vale Indonesia Tbk sebagai perusahaan tempat penulis melakukan penelitian. Terima kasih atas bantuan dan izin yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat melakukan penelitian.

9. Karyawan PT Vale Indonesia Tbk bagian Departemen Process Plant dan Utilities. Terima kasih karena di tengah kesibukan dan tugas pekerjaannya masih menyediakan waktu dan tenaganya sebagai subjek penelitian penulis.

10. Kedua orangtuaku. Papa dan Mama, rasanya tidak cukup mengucapkan rasa sayang dan terima kasih di lembaran ini untuk kedua orang terhebatku di dunia ini. Terima kasih Papa dan Mama atas semua yang sudah diberikan kepadaku selama ini, yang menjadi sumber motivasi dan kekuatanku selama menjalankan


(14)

xii

studi di Yogyakarta. Semoga aku selalu bisa membahagiakan dan membanggakan kalian terus.

11. Kakakku Ivonne Anastasya Ariesta Tampi, saudara sekaligus sahabatku. Terima kasih kak sudah jadi tempat curhat dan untuk segala masukan dan bantuannya. Terima kasih untuk selalu menenangkanku dengan caramu ketika aku mulai merasa down.

12. Rio Ferland Junior. Terima kasih sudah selalu menamani hari-hariku. Terima kasih sudah mau direpotkan selama aku menjalankan studi di Yogyakarta, mulai dari waktu dan tenaga yang sudah kamu berikan sangat berharga. Thank you for always there and making me smile even on my worst of day.

13. Raisa Vienlentia dan Andin Marchelyna, kedua sahabat lengketku yang paling gokil dan gesrek :D Terima kasih atas persaudaraan dan kebersamaan kita selama ini yang begitu berharga. Semoga ke depannya kita tetap seperti ini, melakukan kegilaan dan hal-hal bodoh yang selalu bikin perut sakit karena ketawa. Aku sayang kalian! Semoga kesuksesan senantiasa mengikuti kita.

14. Monica Astria Sitorus dan Agustina. Kedua sahabatku yang selalu ada di waktu yang tepat untuk menghiburku (hahaha). Terima kasih kalian, sudah bersama-sama saling membantu, menguatkan, dan berjuang menyelesaikan studi di Kota Yoyakarta ini. Aku sayang kalian!

15. Kerabat Dewiku. Kak Jojo, Kak Dicky, Kak Rea, Kak Alvi, Kak Anggi, Raisa, Istri, Nanda, Rani, Mitha, dan Lydia. Keluarga keduaku selama tinggal di Yogyakarta. Terima kasih untuk semua cerita, tawa, dan pengalamannya. Kalian


(15)

xiii

semua adalah spesialis humor yang handal. Aku akan kangen banget sama kalian. Keep contactdankeep in touchya.

16. Geng YPS 2010 chapter Jogja. Monica, Agustina, Kiki, Rio, Randhy, Dedy, Agung, Andar, Sammy, dan lainnya yang tidak sempat ngumpul bareng di saat-saat terakhir karena keburu lulus duluan. Terima kasih atas kebersamaannya! Terima kasih untuk malam-malam yang kita lalui hingga pagi bersama UNO sambil curhat tentang kuliah dan skripsi masing-masing. Pada akhirnya semuanya juga berhasil kita lewati. Selamat mengejar mimpi dan cita-cita masing-masing, guys!

17. Sahabat-sahabatku 9999’ers. Ilva, Donna, Tinnang, Rini, Lisa, Anti, Agni, Wati. Sahabat-sahabat tergokilku yang meskipun kita kuliahnya berpencar-pencar tapi tetap bersatu padu meramaikan grup Line, BBM, dan Whatsapp :D. Terima kasih kalian yang tak henti-hentinya memberikan semangat dari jauh dan selalu memberikan cerita-cerita lucu.

18. Rosy Mardiniyanti dan Priscylia Anali Christy Rorie, dua sahabat yang sudah aku anggap keluargaku sendiri. Terima kasih karena sudah selalu mendukungku menyelesaikan skripsi ini. Selalu memberi keceriaan baru ketika aku mulai suntuk dan butuh teman cerita. Sayang banget sama kalian!

19. Teman-teman di Kelas C dan D Fakultas Psikologi yang gokilnya tiada tara. Senang dan sangat bersyukur bisa menjadi bagian dari kelas ini. Kompak dan keep contact terus yaa teman-teman meskipun kita udah pisah-pisah nanti. See you on top, guys!


(16)

xiv

20.Paduan Suara Angel’s Voice, terima kasih atas pengalaman bernyanyi bersama selama ini.

21. Alice, Jasper, dan para Cibung yang telah menemani hari-hari penulis.

22. Seluruh pihak yang telah membangtu dan mendukung penyelesaian skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala bantuan dan dukungannya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu, kritik dan masukan sangat penulis harapkan agar skripsi ini bisa menjadi lebih baik lagi.Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang mememerlukannya.

Penulis


(17)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……… ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……… iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……… vi

ABSTRAK ……… vi

ABSTRACT ……… vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………... ix

KATA PENGANTAR ………..………. x

DAFTAR ISI ………..………. xv

DAFTAR TABEL ………... xviii

DAFTAR GRAFIK ……… xix

DAFTAR LAMPIRAN ……….………... xx

BAB I. PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ……… 11

C. Tujuan Penelitian ……… 11

D. Manfaat Penelitian ……… 11

1. Manfaat Teoretis ……… 11

2. Manfaat Praktis ……… 12

BAB II. LANDASAN TEORI ……… 13

A. Stres Kerja ……… 13

1. Pengertian Stres ……… 12

2. Pengertian Stres Kerja ……… 15

3. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja ……… 16

4. Aspek-aspek Stres Kerja ……… 23


(18)

xvi

B. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 32

1. Pengertian Kondisi Lingkungan Pekerjaan ……… 32

2. Pengertian Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 33

3. Aspek-aspek Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan …… 36

4. Dampak Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ... 41

C. Karyawan di Perusahaan Tambang ……… 43

D. Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang……… 47

E. Kerangka Pemikiran ……… 55

F. Hipotesis ……… 56

BAB III. METODE PENELITIAN……… 57

A. Jenis Penelitian ……… 57

B. Identifikasi Variabel Penelitian ……… 57

C. Definisi Operasional ……… 57

1. Stres Kerja……… 58

2. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 51

D. Subjek Penelitian ……… 60

E. Metode Pengumpulan Data ……….... 61

1. Skala Stres Kerja ……… 61

2. Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……… 64

F. Validitas dan reliabilitas Alat Ukur ……… 66

1. Validitas…..………. 66

2. Seleksi Item ……… 67

3. Reliabilitas ……… 70

G. Metode Analisis Data……… 70

1. Uji Asumsi ……….... 70

a. Uji Normalitas………..……….. 70

b. Uji Linearitas ………..……….. 71


(19)

xvii

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……..……….. 72

A. Pelaksanaan Penelitian ……… 72

B. Gambaran PT. Vale Indonesia ………..……….……. 73

C. Deskripsi Subjek Penelitian …..……….. 74

D. Deskripsi Data Penelitian ………..……….. 79

E. Analisis Data Penelitian …..……….. 83

1. Uji Asumsi ……..….………. 83

a. Uji Normalitas.….……….. 83

b. Uji Linearitas …..……….. 84

2. Uji Hipotesis ………...………. 85

3. Analisis Data Tambahan ……… 87

a. Uji U tingkat stres kerja dengan usia subjek ……… 87

b. Uji U tingkat stres kerja dengan pengalaman kerja subjek ………... 88

c. Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan usia subjek……… 89

d. Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan pengalaman kerja subjek ……… 90

F. Pembahasan ………...……… 91

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ...………...……….. 98

A. Kesimpulan ………...………. 98

B. Saran ………...………. 98

DAFTAR PUSTAKA ………..…....…...….. …… 100


(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue PrintSkala Stres Kerja (Sebelum Penelitian) ... 64

Tabel 2 Blue PrintSkala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan (Sebelum Uji Coba) ………...…………66

Tabel 3 Blue PrintSkala Stres Kerja (Setelah Uji Coba) ... 68

Tabel 4 Blue PrintSkala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan (Setelah Uji Coba) ………...………69

Tabel 5 Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia ………...………77

Tabel 6 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ……..……… 77

Tabel 7 Deskripsi Subjek Berdasarkan Lama Bekerja ……..……… 77

Tabel 8 Deskripsi Subjek Berdasarkan Jabatan (Posisi) ………..…… 78

Tabel 9 Deskripsi Subjek Berdasarkan Shift Kerja ………..……… 78

Tabel 10 Deskripsi Data Penelitian ………..…… 79

Tabel 11 Norma Kategorisasi Skala ………..……… 81

Tabel 12 Kategorisasi Skor Skala Stres Kerja ………..……… 81

Tabel 13 Kategorisasi Skor Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ……….. 82

Tabel 14 Hasil Uji Normalitas ………..……… 84

Tabel 15 Hasil Uji Linearitas ………..……… 85

Tabel 16 Hasil Uji Hipotesis ………..…… 86

Tabel 17 Uji U tingkat stres kerja dengan usia subjek ………..… 87

Tabel 18 Uji U tingkat stres kerja dengan pengalaman kerja subjek …….. 88

Tabel 19 Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan usia subjek ……….. 89

Tabel 20 Uji U persepsi terhadap kondisi lingkungan fisik pekerjaan dengan pengalaman kerja subjek ……….. 90


(21)

xix

DAFTAR GRAFIK


(22)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Stres Kerja ………... 104 Lampiran 2 Skala Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan ………. 114 Lampiran 3 Hasil Uji Reliabilitas Skala Stres Kerja ………. 121 Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Skala Kondisi Lingkungan

Fisik Pekerjaan ………. 128 Lampiran 5 Hasil Uji T dan Uji Deskriptif Rata-Rata Empiris

Dan Teoritis Stres Kerja dan Kondisi Lingkungan

Fisik Pekerjaan ……….… 135 Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas …...……….. 137 Lampiran 7 Hasil Uji Linearitas ……….. 139 Lampiran 8 Hasil Uji Hipotesis ……….. 141 Lampiran 9 Hasil Analisis Tambahan (Uji U Mann Whitney) ...….. 142


(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor penting yang memberikan kontribusi bagi Indonesia. Pada tahun 2010, industri pertambangan menyumbang Rp 173,3 triliun atau 0,3% dari keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal tersebut menggambarkan betapa besar dan pentingnya industri tambang di Indonesia. Di sisi lain, sektor industri ini cenderung memiliki berbagai permasalahan kesehatan dan keselamatan kerja (Markkanen, 2004). NIOSH (National Institute of Occupational Savety and Health) menyebutkan bahwa fatality rate pada industri pertambangan dari tahun 2003 hingga tahun 2008 termasuk dalam kategori tinggi.

Markkanen (2004) berpendapat bahwa salah satu sektor yang memiliki risiko kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja paling tinggi dapat dijumpai di pertambangan. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan dari Biro Statistik Buruh Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa pertambangan merupakan salah satu sektor industri yang paling berbahaya. Kemudian, data dariU.S. Bureau of Labor Sourcetahun 2007 menunjukkan bahwa di antara 10 jenis industri, pertambangan menempati posisi kedua sebagai industri yang memiliki angka kecelakaan karyawan paling tinggi (dalam Schultz & Schultz, 2010).


(24)

Karyawan yang bekerja di sektor pertambangan pun harus menghadapi risiko bahaya yang cukup besar terkait pekerjaannya. Kecelakaan fatal dapat terjadi ketika karyawan jatuh dari ketinggian, tertimpa, kejatuhan, atau terhantam oleh benda atau mesin yang sedang bergerak. Bahaya yang lain dapat berupa kebisingan, getaran, suhu panas, terpapar debu, gas, asap, dan bahan-bahan kimia berbahaya. Selain itu, karyawan yang bekerja di sektor pertambangan juga tidak lepas dari gangguan-ganggaun fisik akibat penggunaan peralatan kerja baik secara mekanik ataupun manual sepertigangguan bahu, cidera pada pergelangan kaki dan lutut, dan kelelahan dan gangguan tidur dalam kaitannya dengan kerja shift (Markkanen, 2004).

Sebagai profesi yang memiliki risiko bahaya yang tinggi di lingkungan kerjanya, pekerja tambang rentan mengalami tekanan atau stres karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan (Rini, 2002). Data menunjukkan bahwa di antara 30 jenis profesi, karyawan tambang merupakan profesi yang memiliki tingkat stres paling tinggi (Haslam, 2004). Beehr dan Newman (1978) mendefinisikan stres kerja sebagai suatu keadaan yang timbul dalam interaksi antara manusia dengan pekerjaan. Pada dasarnya, stres yang dialami oleh individu bersifat merusak apabila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya (dalam Waluyo, 2013). Munandar (2012) juga menyatakan bahwa stres merupakan suatu kondisi yang negatif, suatu kondisi yang mengarah pada timbulnya penyakit fisik maupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tidak wajar.


(25)

Menurut National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yang dikutip oleh Suksmono (2013), lebih dari setengah pekerja di Amerika melihat stres kerja sebagai permasalahan besar dalam kehidupan mereka. The American Institute of Stress memperkirakan bahwa stres dan penyakit yang disebabkan oleh stres membuat dunia usaha di Amerika mengalami kerugian sebesar 300 miliar dolar pertahun. Kerugian ini diakibatkan oleh banyaknya jumlah jam kerja yang terbuang akibat absennya karyawan, turnover, dan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sebagai jaminan kesehatan para karyawannya. Komunitas Eropa juga secara resmi menyatakan bahwa stres merupakan permasalahan kesehatan yang terkait dengan pekerjaan terbesar kedua yang dihadapi oleh para pekerja di Eropa (Suksmono, 2013).

Stres kerja yang dialami oleh karyawan tidak hanya dapat merugikan diri karyawan itu sendiri tetapi juga dapat merugikan perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, dan frustasi. Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi juga dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, dan kurang mampu berkonsentrasi (Waluyo, 2013). Selain itu, Arnold (dalam Waluyo, 2013) juga menyatakan empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Pada perusahaan, konsekuensi yang timbul adalah


(26)

meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi, hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993, dalam Waluyo, 2013)

Menurut Munandar (2012) setiap faktor dalam pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres (stressor). Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar yaitu faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, struktur dan iklim organisasi, tuntutan dari luar organisasi/pekerjaan, serta ciri-ciri individu (Hurrel dkk, dalam Munandar, 2012). Di samping itu, Luthans (2005) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri dari empat hal utama, yaitu: (1) Extra Organizational Stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta keadaaan komunitas/tempat tinggal; (2) Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, kondisi lingkungan kerja fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi; (3) Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial; (4) Individual Stressors, yang terdiri dari disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, personal control, learned helplessness, dan daya tahan psikologis. Di sisi lain, Riggio (2008) mengemukakan bahwa sumber stres juga dapat berasal dari jenis pekerjaan, organisasi, dan karakteristik individu. Stres kerja yang bersumber dari organisasi terdiri dari tugas kerja (meliputi beban kerja dan underutilization),


(27)

peran kerja (meliputi ketidakjelasan peran, kurangnya kontrol terhadap pekerjaan, kondisi fisik pekerjaan, hubungan interpersonal, pelecehan yang berasal dari rekan kerja ataupun atasan, perubahan organisasional, dan konflik keluarga-pekerjaan). Kemudian, stres kerja yang bersumber dari karakteristik individu terdiri dari pola kepribadian Tipe A, ketidaktahanan individu terhadap stres, dan kurangnyaself efficacy.

Faktor kunci dari stres adalah bagaimana seseorang mempersepsikan dan memberikan penilaian terhadap situasi dan kemampuan yang dimilikinya untuk menghadapi dan mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991, dalam Waluyo, 2012). Maka dari itu, stres yang dialami individu sebenarnya berada di bawah kontrol individu itu sendiri karena masalahnya ada pada individu yang mempersepsikannya (Munandar, 2012).

Dalam melakukan pekerjaan, individu tidak lepas dari lingkungan kerja.Lingkungan kerja merupakan aspek penting dalam mempengaruhi pelaksanaan suatu pekerjaan dan juga memiliki pengaruh yang besar dalam penyelesaian tugas (Anogoro dan Widiyanti, 1990).Menurut Nitisemito (1982) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pegawai yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.Anogoro dan Widiyanti (1990) berpendapat bahwa lingkungan kerja yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula kepada para karyawan, pimpinan, dan hasil pekerjaannya. Lingkungan kerja yang kurang nyaman dari berbagai sisi, baik sisi fisik maupun non fisik, mempunyai akibat yang berantai


(28)

antara lain semangat kerja karyawan semakin menurun, gairah kerja karyawan menurun, dan tingkat produktifitas karyawan juga semakin menurun. Mia (2011) juga menjelaskan bahwa lingkungan kerja yang sehat dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap kesehatan pekerja, seperti peningkatan moral pekerja, penurunan absensi, dan peningkatan produktivitas. Sebaliknya, tempat kerja yang kurang sehat atau tidak sehat (sering terpapar zat yang berbahaya yang dapat mempengaruhi kesehatan) dapat meningkatkan angka kecelakaan, rendahnya kualitas kesehatan pekerja, meningkatkan biaya kesehatan, dan banyak lagi dampak negatif lainnya.

Anogoro dan Widiyanti (1990) menyatakan bahwa lingkungan kerja mencakup kondisi fisik maupun non-fisik (psikologis). Lingkungan fisik merupakan keadaan ruangan beserta perlengkapan yang mendukung, sedangkan lingkungan psikologis merupakan kondisi organisasi dan interaksi sosial di dalamnya. Menurut Wignjosoebroto (2008) lingkungan fisik pekerjaan merupakan hal yang sangat penting dalam mempengaruhi sosial, mental, dan fisik dalam kehidupan pekerja. Lingkungan fisik pekerjaan yang merupakan keadaan di sekitar tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran, bau-bauan, dan warna, akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja seseorang dalam lingkungan kerjanya.

Pencahayaan sangat mempengaruhi manusia untuk melihat objek-objek secara jelas dan cepat tanpa menimbulkan masalah. Pencahayaan yang kurang dapat mengakibatkan mata pekerja menjadi cepat lelah. Lelahnya mata juga dapat


(29)

menyebabkan lelahnya mental dan menimbulkan kerusakan mata (Wignjosoebroto, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Setyadi (2012) pada perusahaan garmen menemukan adanya hubungan positif antara pencahayaan di tempat kerja dengan kelelahan. Selain itu, Suma’mur (2013) juga menambahkan bahwa penerangan yang buruk dapat meningkatkan peristiwa kecelakaan.

Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki oleh telinga yang dapat mengganggu ketenangan kerja (Wignjosoebroto, 2008). Kebisingan juga diartikan sebagai semua suara atau bunyi yang bersumber dari alat-alat proses produksi atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. Kebisingan dapat mengganggu konsentrasi dan menyebabkan teralihnya perhatian sehingga karyawan menjadi tidak fokus terhadap masalah atau pekerjaan yang sedang dihadapi. Selain itu, motivasi untuk berpikir dan bekerja menjadi lemah dan dapat mempengaruhi ketelitian seseorang dalam berbuat dan bertindak. Penelitian yang dilakukan oleh Jennie (2007) pada karyawan di sebuah pabrik semen menunjukkan adanya hubungan antara intensitas kebisingan di lingkungan kerja dengan peningkatan tekanan darah.Hal ini membuktikan bahwa kebisingan yang terdapat pada lingkungan kerja juga dapat berpengaruh terhadap fisiologis pekerja.

Getaran mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis yang berdampak hingga ke tubuh dan dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diingikan pada tubuh (Wignjosoebroto, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih (2009) pada salah satu industri yang bergerak


(30)

dalam bidang pengolahan kayu menemukan adanya hubungan antara getaran dengan kelelahan pada pekerja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa 56,8 % pekerja mengalami kelelahan dalam tingkat sedang dan berat. Survei awal yang dilakukan oleh peneliti juga menunjukkan bahwa 68,8 % pekerja merasa teragnggu dengan adanya getaran yang dihasilkan oleh mesin dan 70,2 % pekerja merasa cepat lelah setelah bekerja akibat getaran yang ditimbulkan.

Warna yang dimaksud di sini adalah tembok ruangan dan interior yang ada di sekitar tempat kerja (Wignjosoebroto, 2008). Schultz (dalam Munandar, 2012) menyebutkan bahwa penggunaan warna pada ruangan kerja merupakan upaya untuk menghindari timbulnya ketegangan mata. Selanjutnya, Suyatno (1985) menyebutkan bahwa penggunaan warna juga dapat menciptakan efek psikologis seperti ruangan yang dicat dengan warna gelap menyebabkan ruangan terasa lebih sempit dan tertutup. Sebaliknya, ruangan yang dicat dengan warna terang menyebabkan ruangan terasa lebih luas dan terbuka (dalam Munandar, 2012).

Iklim kerja merupakan kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi di tempat kerja. Iklim kerja dapat mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kerja. Lingkungan kerja yang memiliki suhu netralmerupakan lingkungan kerja yang kondusif bagi para pekerja untuk melaksanakan dan memperoleh hasil pekerjaan yang baik. Suhu yang panas dapat berakibat pada penurunan kemampuan berpikir, kesigapan, dan pengambilan keputusan (Suma’mur, 2013). Selain itu,


(31)

suhu yang panas pada lingkungan kerja juga dapat mempengaruhi fisiologis pekerja. Hal ini dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Adella dkk (2010) pada area peleburan di sebuah tambang nikel yang menunjukkan adanya hubungan antara suhu lingkungan kerja dengan kadar asam urat urin pada para pekerja. Pengoperasian mesin-mesin peleburan menghasilkan suhu yang tinggi sehingga pekerja akan terpapar oleh radiasi panas. Selain itu, suhu tinggi yang dihasilkan selama proses produksi juga menyebar ke seluruh sudut di area peleburan, sehingga mengakibatkan suhu udara di lingkungan kerja juga meningkat.

Bau yang tidak disukai atau tidak enak dapat mengganggu perasaan orang yang menciumnya, mengurangi kenyamanan, memberikan kesan tidak sehat, dan mencerminkan keadaan kotor atau kurangnya kebersihan. Selain itu, bau-bauan tertentu dapat menjadi petunjuk bagi adanya pencemaran oleh bahan berbahaya atau beracun (Suma’mur, 2013).

Kondisi lingkungan fisik seperti yang telah dijelaskan secara umum di atas sangat penting untuk diperhatikan dalam rangka meningkatkan aspek-aspek yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan motivasi manusia dalam rangka peningkatan produktivitas kerja (Wignjosoebroto, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Soewondo terhadap 200 karyawan di sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam bidang perminyakan menyatakan bahwa salah satu sumber stres yang dialami oleh karyawan berhubungan dengan tempat mereka bekerja, seperti ruangan kerja yang terlalu panas atau terlalu dingin, ruangan sempit,


(32)

berisik, dan penerangan yang kurang. Kondisi ruangan pengap dan ventilasi udara tidak ada, penerangan kurang jelas dan udara ruangan yang panasmembuat individu mengalami perasaan tidak puas. Situasi tersebut juga menyebabkan keamanan dan kenyamanan kerja karyawan terganggu sehingga karyawan mengalami perasaan jengkel, tertekan, dan stres (Wijono, 2013).

Gibson (1996) menjelaskan bahwa lingkungan fisik pekerjaan merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran yang besar dalam mengarahkan tingkat laku karyawan. Maka dari itu, bagaimana karyawan merasakan lingkungan kerjanya itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari bagaimana karyawan memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungan kerjanya. Andriani (2004) juga menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai persepsi yang berbeda terhadap suatu hal walaupun berada dalam situasi yang sama. Apabila karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, jika karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Seseorang bisa saja menganggap lingkungan kerjanya buruk, sedangkan yang lain menganggap lingkungan kerjanya baik. Perbedaan pandangan terhadap lingkungan kerja dapat terjadi


(33)

karena masing-masing individu mempunyai kebutuhan, kepentingan, maupun harapan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis ingin melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang”.

A. Rumusan Masalah

- Apakah terdapat hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang?

B. Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui hubungan negatif antara kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja pada karyawan di perusahaan tambang.

C. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi dalam bidang Psikologi Ergonomi, yang berkaitan dengan akibat dari kondisi lingkungan fisik pekerjaan.


(34)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Subjek Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman bagi karyawan yang bekerja di industri pertambangan mengenai sejauh mana tingkat stres yang mereka alami terkait kondisi lingkungan fisik pekerjaan tempat mereka bekerja.

b. Bagi Perusahaan

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi perusahaan, khususnya perusahaan dalam industri pertambangan, mengenai stres kerja yang dialami oleh karyawan berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik pekerjaannya.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan bagi peneliti selanjutnya berkaitan dengan kondisi lingkungan fisik pekerjaan dan stres kerja, khususnya dalam industri pertambangan.


(35)

13

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres Kerja

1. Pengertian Stres

Morgan dan King (dalam Waluyo, 2013) mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), lingkungan, atau situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Sedangkan, Cooper (dalam Waluyo, 2013) mendefinisikan stres sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subjek.

Ivancevich dan Matteson (dalam Luthans, 2005) mendefinisikan stres sebagai “interaksi individu dengan lingkungan”. Lebih lanjut, Ivancevich,

Konopaske, dan Matteson (2008) memberikan definisi yang lebih rinci sebagai

berikut: “stres merupakan respon adaptif, dimoderatori oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan khusus pada seseorang. Definisi yang hampir sejalan juga dikemukakan oleh Moorhead dan Griffin (2013) yang menyatakan bahwa stres adalah respon adaptif seseorang terhadap rangsangan yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara


(36)

berlebihan kepada orang tersebut. Selain itu, Luthans (2005) juga mendefinisikan stres sebagai respon adaptif terhadap situasi eksternal yang menghasilkan penyimpangan fisik, psikologis, dan/atau perilaku bagi organisasi.

Cartwright dan Cooper (dalam Rice, 1998) melihat stres sebagai tekanan yang mendorong fungsi psikologis atau fisik di luar jangkauan stabilitas, yang menghasilkan straindalam diri individu. Selye (dalam Wijono, 2010) yang merupakan “penemu” stres menyatakan bahwa stres adalah suatu abstaksi, orang tidak dapat melihat pembangkit stres (stressor), yang dapat dilihat ialah akibat dari pembangkit stres. Pada dasarnya, stres merupakan bentuk tanggapan individu, secara fisik maupun mental, terhadap perubahan di lingkungannya yang dirasa mengganggu dan mengakibatkan individu terancam.

Menurut Rice (1998) stres setidaknya memiliki tiga arti yang berbeda. Pertama, stres dapat dapat mengacu pada suatu stimulus kejadian atau lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tegang. Dalam hal ini, stres adalah sesuatu yang bersifat eksternal. Kedua, stres juga dapat mengacu pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres adalah keadaan mental internal dari ketegangan. Ini adalah interpretatif, emosional, pertahanan, dan proses coping yang terjadi di dalam orang itu. Proses tersebut dapat mendorong pertumbuhan positif atau kedewasaan. Hasil tertentu tergantung pada faktor-faktor yang akan dijelaskan dalam model kognitif stres. Kemudian yang ketiga, stres dapat


(37)

mengacu pada reaksi fisik tubuh terhadap permintaan atau instruksi yang merusak.

Stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya (Hager, dalam Waluyo, 2013). Selain itu, faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, dalam Waluyo, 2013).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres merupakan respon adaptif, dimoderatori oleh perbedaan individu, yang merupakan konsekuensi dari setiap tindakan, situasi, atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis atau fisik secara berlebihan pada seseorang.

1. Pengertian Stres Kerja

Menurut NIOSH Research (dalam Widhiastuti, 2002) stres kerja dapat didefinisikan sebagai keadaan respon fisik dan emosi yang muncul ketika persyaratan-persyaratan kerja tidak sesuai dengan kapabilitas, sumber daya, atau kebutuhan dari pekerja. Beehr dan Newman (dalam Luthans, 2005) mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dan pekerjaannya yang ditandai dengan perubahan pada individu tersebut dimana mereka menyimpang dari fungsi normal mereka. Kemudian, Selye (dalam Rice, 1998) menyatakan bahwa stres kerja dapat diartikan


(38)

sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres kerja adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara karyawan dengan pekerjaan, dimoderatori oleh perbedaan individu, yang kemudian menyebabkan reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku pada karyawan.

2. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja

Luthans (2005) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri dari empat hal utama, yaitu:

a. Extra Organizational Stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, serta keadaaan komunitas/tempat tinggal.

b. Organizational Stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, kondisi lingkungan kerja fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.

c. Group Stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial.

d. Individual Stressors, yang terdiri dari disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, personal control, learned helplessness, dan daya tahan psikologis.


(39)

Cooper (dalam Munandar, 2012) menyebutkan faktor-faktor dalam pekerjaan yang dapat menimbulkan stres ke dalam lima kategori besar yaitu: (1) faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, (2) peran individu dalam organisasi, (3) pengembangan karir, (4) hubungan dalam pekerjaan, dan (5) struktur dan iklim organisasi. Salah satu sumber stres yang akan dibahas secara rinci di sini adalah faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan yang meliputi tuntutan fisik (bising, getaran, dan higiene) dan tuntutan tugas (kerja shift/kerja malam dan beban kerja). Faktor tersebut dianggap lebih relevan dengan topik penelitian yang akan dilakukan yaitu mengenai kondisi lingkungan fisik pekerjaan di pertambangan.

1) Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan terdiri dari tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik mencakup kebisingan, getaran, dan higiene. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup kerja shift/kerja malam, beban kerja, dan paparan terhadap risiko dan bahaya.

a. Tuntutan Fisik - Bising

Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan pada alat pendengaran, juga dapat menjadi sumber stres yang menyebabkan ketidakseimbangan psikologis seseorang bahkan menyebabkan timbulnya kecelakaan. Ivancevich dan Matteson (dalam Munandar, 2012) berpendapat bahwa mendengarkan suara bising yang berlebih


(40)

berulang kali (sekitar 80 desibel) untuk jangka waktu yang lama dapat menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah menurunnya motivasi kerja. Bising oleh para pekerja pabrik dinilai sebagai pembangkit stres yang membahayakan.

- Getaran

Getaran merupakan sumber stres yang kuat. Getaran yang beralih dari benda-benda fisik ke tubuh seseorang dapat memberi pengaruh yang tidak baik pada pelaksanaan pekerjaan.

- Higiene

Lingkungan yang kotor dan tidak sehat merupakan pembangkit stres. Para pekerja menggambarkan kondisi berdebu dan kotor, waktu istirahat yang kurang, juga toilet yang kurang memadai sebagai faktor tinggi pembangkit stres.

b. Tuntutan Tugas

- KerjaShift/Kerja Malam

Penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan sumber utama dari stres bagi para pekerja pabrik (Monk & Tepas, dalam Munandar, 2012). Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerjashiftterhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.


(41)

Menurut Sutherland & Cooper(dalam Munandar, 2012) beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam empat kategori yaitu:

i. Beban Kerja Berlebih “Kuantitatif”

Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat-saat tertentu, dalam saat-saat tertentu waktu akhir (deadline) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.

ii. Beban Kerja Terlalu Sedikit “Kuantitatif”

Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak, dapat menimbulkan rasa bosan dan rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan dapat menghasilkan berkurangnya perhatian.


(42)

Hal ini secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat.

iii. Beban Kerja Berlebih “Kualitatif”

Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif. iv. Beban Kerja Terlalu Sedikit “Kualitatif”

Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan


(43)

kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia "tidak maju-maju", dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan ketrampilannya.

- Paparan terhadap Risiko dan Bahaya

Risiko dan bahaya yang berkaitan dengan jabatan tertentu merupakan sumber dari stres. Kelompok-kelompok jabatan yang dianggap memiliki risiko tinggi, dalam arti kata secara fisik berbahaya antara lain pekerja tambang, tentara, pegawai di lembaga pemasyarakatan, petugas pemadam kebakaran, pekerja pada eksplorasi gas dan minyak, serta pekerja pada instalasi produksi. Berbagai kajian menunjukkan bahwa para pekerja melihat risiko dan bahaya berkaitan dengan pekerjaan sebagai sumber stres. Risiko terhadap paparan bahan-bahan kimia tertentu seringkali dilaporkan oleh pekerja pabrik sebagai salah satu pembangkit stres yang paling merugikan.Hal ini mencakup uap dan debu yang terhirup serta paparan terhadap bahan-bahan kimia yang dapat menyebabkan luka pada kulit.

Risiko dan bahaya yang berkaitan dengan profesi tertentu tidak dapat diubah, tetapi persepsi karyawan terhadap risiko dapat dikurangi melalui pelatihan dan pendidikan. Para karyawan yang merasa cemas akan memiliki ketakutan, kurang termotivasi dalam bekerja, mempunyai semangat yang rendah, lebih mudah menimbulkan


(44)

kecelakaan, dan dalam jangka panjang dapat menderita akibtat-akibat dari penyakit yang berhubungan dengan stres, termasuk sakit jantung dan perut (ulcers).

2) Peran Individu dalam Organisasi

Kurang berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres meliputi: konflik peran (role conflict) dan ketaksaan peran (role ambiguity). 3) Pengembangan Karir

Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

4) Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi (Kahn dkk, dalam Munandar, 2012).

5) Struktur dan Iklim Organisasi

Meliputi struktur organisasi yang berlaku di lembaga yang bersangkutan.Apabila bentuk atau struktur organisasi kurang jelas dan dalam jangka waktu yang lama tidak ada perubahan atau pembaharuan, maka hal tersebut dapat menjadi sumber stres.


(45)

3. Aspek-aspek Stres Kerja

Luthans (2005) menjelaskan aspek stres kerja ke dalam tiga hal berikut, yaitu:

1) Fisiologis

Masalah kesehatan yang dikaitkan dengan stres adalah sebagai berikut: (1) masalah sistem kekebalan tubuh, dimana kemampuan untuk melawan penyakit dan infeksi berkurang; (2) masalah sistem kardiovaskular, seperti tekanan darah tinggi dan penyakit jantung; (3) masalah sistem muskoloskeletal, seperti sakit kepala dan nyeri punggung; dan (4) masalah sistem pencernaan, seperti diare dan sembelit.

2) Psikologis

Salah satu studi menemukan bahwa stres memiliki dampak yang kuat pada tindakan agresif seperti agresi interpersonal, sabotase, permusuhan, dan keluhan. Jenis-jenis masalah psikologis dari stres tersebut pada akhirnya mengarah pada kinerja yang buruk, penurunan harga diri, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan membuat keputusan, serta ketidakpuasan kerja. 3) Perilaku

Perilaku yang dapat menyertai tingkat stres yang tinggi mencakup makan secara berlebihan dan makan yang kurang, sulit tidur, meningkatkan merokok dan minum (alkohol), dan penggunaan obat-obatan.

Kemudian, Beehr dan Newman (dalam Waluyo, 2013) juga menjelaskan lebih rinci mengenai aspek stres kerja dari gejala yang ditimbulkan, yaitu:


(46)

a. Gejala Psikologis

Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres kerja:

- Kecemasan, ketegangan, kebingungan, dan mudah tersinggung. - Perasaan frustasi, rasa marah, dan dendam (kebencian).

- Sensitivedanhyperreactivity.

- Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi. - Komunikasi yang tidak efektif.

- Perasaan terkucil dan terasing. - Kebosanan dan ketidakpuasan kerja.

- Kelelahan mental, penurunan, fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi.

- Kehilangan spontanitas dan kreativitas. - Menurunnya rasa percaya diri.

b. Gejala Fisiologis

Gejala–gejala fisiologis yang utama dan stres kerja adalah:

- Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular.

- Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh : adrenalin dan nonadrenalin).

- Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung). - Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan.


(47)

- Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sidrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome)

- Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada. - Gangguan pada kulit.

- Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot. - Gangguan tidur.

- Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker.

c. Gejala Perilaku

Gejala–gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah: - Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan. - Menurunnya prestasi(performance) dan produktivitas. - Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan. - Perilaku sabotase dalam pekerjaan.

- Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas.

- Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi.

- Meningkatnya kecenderungan berperilaku berisiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi.


(48)

- Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman.

- Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari stres kerja meliputi aspek fisiologis, aspek psikologis, dan aspek perilaku.

4. Dampak Stres Kerja

Arnold (dalam Waluyo, 2013) juga menambahkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, dan mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan. Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, dan frustrasi (Rice, dalam Waluyo, 2013). Selain itu, terdapat beberapa penyakit yang terkait dengan stres yaitu maag, radang usus, tekanan darah tinggi, penyakit jantung, penyakit pernapasan, dan sakit kepala migrain. Selain itu,stres dapat memperburuk masuk angin, flu, dan infeksi, sehingga waktu pemulihan lebih lama (Beehr & Bhagat, 1985; Clark, 2005; Hart & Cooper, 2001, dalam Riggio, 2008). Wolf (1986) mengatakan bahwa stress kerja dapat berdampak buruk pada keadaan psikologis karyawan. Tingginya kadar stres dapat menyebabkan depresi, kecemasan, dan kelelahan kronis, penggunaan alkohol, penyalahgunaan narkoba pada pekerja, dan


(49)

mempengaruhi tingkat kecelakaan di tempat kerja (dalam Riggio, 2008). Corders & Doughtery (1993) menambahkan bahwa kelelahan emosional, pemisahan dari rekan kerja, penilaian diri yang negatif, dan penurunan harga diri juga merupakan dampak dari stres (dalam Riggio, 2008). Selain itu, stres juga dapat berdampak pada hasil kerja. Stres dipercaya dapat mengurangi performansi kerja dan meningkatkan absenteisme danturnover(Riggio, 2008).

Menurut Moorhead dan Griffin (2010) stres dapat berdampak pada: 1. Individual

- Perilaku

Stres dapat merugikan orang yang mengalami stres itu sendiri maupun orang lain. Salah satu perilaku yang ditunjukkan adalah merokok. Penelitian telah menunjukkan bahwa orang-orang yang merokok cenderung merokok lebih banyak ketika mereka mengalami stres. Terdapat juga bukti bahwa penyalahgunaan alkohol dan obat-oabatan berhubungan dengan stres. Dampak lainnya adalah kerentanan terhadap kecelakaan, agresi dan kekerasan, serta perubahan selera makan.

- Psikologis

Dampak psikologis dari stres berhubungan dengan kesehatan mental seseorang. Ketika individu mengalami stres yang begitu banyak di tempat kerja, mereka dapat menjadi lebih tertekan dan tidur terlalu banyak atau terlalu sedikit. Stres juga dapat menimbulkan masalah keluarga dan kesulitan dalam hal seksual.


(50)

- Kesehatan

Stres dapat berdampak pada kesehatan fisik seseorang. Penyakit jantung dan stroke, merupakan dua penyakit yang kerap dihubungkan dengan stres. Masalah kesehatan lainnnya yang diakibatkan oleh stres meliputi sakit kepala, sakit punggung, berbagai kelainan perut dan lambung, serta kondisi kulit, seperti jerawat dan gatal-gatal.

2. Organisasi - Kinerja

Salah satu dampak nyata dari stres yang dialami oleh organisasi adalah penurunan dalam hal kinerja. Bagi karyawan, penurunan seperti ini dapat mengarah pada kualitas kerja yangburuk dan penurunan produktivitas. Bagi manajer, hal ini dapat berdampak pada pengambilan keputusan yang salah atau gangguan dalam hubungan kerja karena individu menjadi mudah marah dan sulit diajak bergaul.

- Penarikan diri

Perilaku menarik diri juga merupakan dampak dari stres. Bagi organisasi, dua bentuk perilaku penarikan diri yang paling signifikan adalah absensi dan turnover. Orang-orang yang kesulitan mengatasi stres dalam pekerjaan mereka memiliki kemungkinan untuk tidak masuk kerja dengan alasan sakit atau bahkan mempertimbangkan untuk keluar dari organisasi. Stres juga dapat menghasilkan bentuk penarikan diri lain yang lebih halus. Sebagai contoh, manajer mungkin mulai melanggar


(51)

tenggat waktu makan siang lebih lama. Karyawan mungkin menarik diri secara psikologis dengan berhenti memedulikan organisasi dan pekerjaannya.

- Sikap

Dampak lain dari stres bagi organisasi berhubungan dengan sikap. Kepuasan kerja, moral, dan komitmen terhadap organisasi semuanya dapat dirugikan, bersama dengan motivasi untuk berkinerja pada tingkat tinggi. Akibatnya, orang-orang mungkin lebih mudah mengeluh mengenai hal-hal yang tidak penting dan hanya melakukan pekerjaannya secara setengah-setengah.

- Kelelahan

Kelelahan (burnout) adalah perasaan umum dari keletihan yang berkembang ketika seseorang pada saat yang sama mengalami terlalu banyak tekanan. Orang-orang yang memiliki aspirasi yang tinggi dan motivasi yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan dapat mengalami kelelahan (burnout) dalam kondisi tertentu. Mereka rentan mengalami kelelahan (burnout) ketika organisasi terlalu menekan dan hanya menuntut untuk menjalankan tujuan dari organisasi itu sendiri. Dalam situasi seperti ini, individu akan menempakan diri mereka terlalu banyak ke dalam pekerjaan. Di samping berusaha memenuhi agendanya sendiri, mereka juga harus mematuhi ekspektasi organisasi.


(52)

Lebih lanjut, Aamodt (2010) menjelaskan dampak dari stres kerja bagi perusahaan, yaitu:

a. Job Performance

Studi menunjukkan bahwa secara umum, tingkat stres yang tinggi mengurangi kinerja pada banyak tugas. Karyawan yang memiliki tingkat stres yang tinggi dapat mengalami ketegangan baik secara fisik maupun psikologis. Hal inilah yang pada akhirnya dapat menyebabkan karyawan tidak dapat bekerja secara optimal.

b. Burnout

Burnout, merupakan keadaan yang ditimbulkan oleh stres, biasanya dialami oleh para profesional yang sangat termotivasi menghadapi tuntutan kerja yang tinggi. Penelitian awal pada burnout adalah pada orang yang bekerja di bidang pelayanan kesehatan yang ditargetkan sebagai profesi yang paling banyak bepengalaman dalam burnout. Kemudian, definisi diperluas untuk mencakup jenis-jenis profesi karyawan yang menjadi lelah secara emosional dan tidak lagi merasa bahwa mereka memiliki dampak positif pada orang lain atau pekerjaan mereka.Burnout dapat menyebabkan seseorang mengalami kekurangan energi dan dipenuhi dengan frustasi dan ketegangan. Orang-orang yang mengalami burnout juga memperlihatkan jarak terhadap orang-orang yang bekerja dengan mereka. Orang-orang yang mengalami burnout juga dapat mengalami depresi dan menanggapiburnout


(53)

melalui absenteisme, turnover, dan kinerja yang rendah (Parker & Kulik, 2005, dalam Aamodt, 2010).

c. Abseenteism and Turnover

Absenteisme dan turnover, yang mengakibatkan hilangnya produktivitas dan pendapatan, adalah yang paling tinggi selama masa burnout dan meningkatkan stres yang dialami oleh karyawan. Studi yang dilakukan oleh Heaney dan Clemens (1995), menunjukkan bahwa stres/penyakit dapat mengakibatkan kurang bahkan hilangnya produktivitas yang kemudian hal tersebut dapat berujung padaturnover(Mitra, Jenkins, & Gupta, 1992, dalam Aamodt, 2010 ).

d. Drug and Alcohol Abuse

Semakin tinggi tingkat stres dan kemarahan, maka akan semakin sering juga penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol. Ada peningkatan jumlah laporan berita kekerasan yang terjadi di tempat kerja. Dari peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut, banyak dilakukan oleh karyawan yang menyalahgunakan obat dan alkohol.

e. Health Care Cost

Salah satu konsekuensi dari stres yang dialami oleh organisasi adalah terjadinya peningkatan asuransi kesehatan. Tingginya penggunaan fasilitas kesehatan yang disebabkan oleh penyakit akibat stres mengakibatkan organisasi harus membayar biaya asuransi kesehatan karyawan secara penuh.


(54)

Dari uraian di atas dapat disimpulan bahwa stres kerja dapat berdampak pada individu dan organisasi tempat karyawan bekerja. Pada individu, stres kerja dapat berdampak pada kesehatan fisik, psikologis, dan perilaku karyawan. Kemudian, pada organisasi, stres kerja dapat berdampak pada meningkatnya tingkat absensi dan turnover, burnout, menurunnya tingkat produktivitas, penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol di lingkungan kerja, dan peningkatan asuransi kesehatan.

A. Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan 1. Pengertian Kondisi Lingkungan Kerja

Menurut Anoraga dan Widiyanti (2001) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankannya. Menurut Nitisemito (1982) lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar para pegawai yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Kemudian, menurut Sedarmayanti (2010) lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, lingkungan sekitar dimana seseorang bekerja, metode kerja, serta pengaturan kerja baik sebagai perseorangan maupun sebagai kelompok (dalam Riski, 2014).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan.


(55)

2. Pengertian Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan

Menurut Tiffin dan McCormick (1958) lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi kinerja, kondisi fisik, dan psikologis karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian, menurut Wignjoesoebroto (2008) lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan yang terdapat di sekitar tempat kerja seperti temperatur, kelembaban udara, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau-bauan, dan warna. Hal-hal tersebut dapat berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja manusia. Kondisi lingkungan fisik pada hakikatnya diharapkan mampu meningkatkan aspek kenyamanan kerja. Hal tersebut akan sangat penting dalam rangka meningkatkan aspek-aspek lain yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan motivasi manusia dalam rangka peningkatan produktivitas.

Menurut Nitisemito (1982) lingkungan fisik pekerjaan merupakan hal-hal yang ada di sekitar para pekerja yang dapat dirasakan secara fisik melalui indera dan dapat memepengaruhi diri pekerja dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan. Kemudian, menurut Sedarmayanti (dalam Riski, 2014) lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi pegawai baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Sedarmayanti (dalam Riski, 2014) menjelaskan bahwa lingkungan fisik perkerjaan dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu: (1) lingkungan langsung yang berhubungan dengan karyawan


(56)

(seperti: pusat kerja, kursi, meja, dan sebagainya), dan (2) lingkungan perantara atau lingkungan umum, dapat juga disebut lingkungan kerja yang mempengaruhi kondisi manusia, misalnya: temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan, getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.

Gibson (1996) menjelaskan bahwa kondisi lingkungan fisik pekerjaan merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran yang besar dalam mengarahkan tingkah laku karyawan. Menurut Walgito (2005) persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau disebut juga proses sensoris. Stimulus yang diinderakan itu kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan oleh individu, sehingga individu menyadari dan mengerti mengenai apa yang diinderakannya itu (Dafidoff, 1981, dalam Walgito, 2005). Kemudian, menurut Atkinson (dalam Sobur, 2003) persepsi adalah proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus yang diterima individu dari lingkungan.

Dalam mempersepsi suatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lainnya. Hal ini dikarenakan individu memiliki perasaan, kemampuan berpikir, dan pengalaman yang tidak sama antara individu satu dengan individu lainnya. Hal inilah yang membuat persepsi bersifat individual (Davidoff, 1981; Rogers, 1965 dalam Walgito,


(57)

2005). Maka dari itu, kondisi lingkungan fisik pekerjaan yang terdapat dalam suatu perusahaan dapat dipersepsikan secara berbeda oleh setiap karyawan (Walgito, 2003). Bagaimana karyawan merasakan lingkungan fisik pekerjaannya itu baik atau buruk, menyenangkan atau tidak menyenangkan, mendukung atau justru menjadi tekanan, tergantung dari bagaimana karyawan memandang, menafsirkan dan memberi arti terhadap sesuatu yang terjadi di lingkungan fisik pekerjaannya.

Andriani (2004) kemudian menjelaskan bahwa apabila karyawan memiliki persepsi yang positif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut sebagai hal yang menyenangkan. Sebaliknya, apabila karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap lingkungan kerjanya, maka ia akan menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan. Seseorang bisa saja menganggap lingkungan kerjanya buruk, sedangkan yang lain menganggap lingkungan kerjanya baik. Perbedaan pandangan terhadap lingkungan kerja dapat terjadi karena masing-masing individu mempunyai kebutuhan, kepentingan, maupun harapan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kondisi lingkungan fisik pekerjaan adalah semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang dapat mempengaruhi kinerja, kondisi fisik, dan psikologis karyawan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kondisi lingkungan fisik pekerjaan juga merupakan serangkaian hal dari lingkungan yang


(58)

dipersepsikan oleh orang-orang yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi dan mempunyai peran yang besar dalam mengarahkan tingkah laku karyawan.

3. Aspek-aspek Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan

Menurut Wignjosoebroto (2008) hal-hal yang terdapat dalam kondisi lingkungan fisik pekerjaan meliputi:

a. Temperatur

Tubuh manusia selalu berusaha mempertahankan keadaan normal dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi di luar tubuh tersebut, tetapi kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar adalah jika perubahan temperatur luar tubuh tersebut tidak melebihi 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi dingin. Produktivitas kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar 24° celsius sampai 27° celsius.

b. Kelembaban

Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara. Kelembaban ini sangat berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udaranya. Suatu kedaan dimana udara sangat panas dan kelembaban tinggi akan menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran


(59)

(karena sistem penguapan). Pengaruh lainnya adalah semakin cepatnya denyut jantung karena makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen.

c. Siklus Udara

Pemberian ventilasi yang cukup (misalnya lewat jendela) dapat menggantikan udara yang kotor dengan yang bersih. Udara di sekitar kita dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut telah berkurang dan terus bercampur dengan gas-gas atau bau-bauan yang berbahaya bagi kesehatan tubuh dan dapat mengakibatkan sesaknya pernapasan serta kelelahan.

d. Pencahayaan

Pencahayaan sangat mempengaruhi manusia untuk melihat objek-objek secara jelas dan cepat tanpa menimbulkan masalah. Pencahayaan yang kurang mengakibatkan mata pekerja menjadi cepat lelah. Lelahnya mata juga dapat menyebabkan lelahnya mental dan menimbulkan kerusakan mata.

e. Kebisingan

Kebisingan merupakan bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki oleh telinga yang dapat mengganggu ketenangan kerja.

f. Bau-bauan

Bau-bauan yang dalam hal ini juga dipertimbangkan sebagai “polusi”


(60)

g. Getaran mekanis

Getaran mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis yang berdampak hingga ketubuh dan dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan tubuh.

h. Warna

Warna yang dimaksud di sini adalah tembok ruangan interior yang ada di sekitar tempat kerja. Warna selain berpengaruh terhadap kemampuan mata untuk melihat objek, juga memberikan pengaruh yang lain pula terhadap manusia seperti memberikan kesan luas, terang, sejuk, dan menyegarkan. Pengaturan warna di tempat kerja perlu diperhatikan dalam arti harus disesuaikan dengan kegiatan kerjanya.

Suma’mur (2014) juga menjelaskan aspek-aspek yang mendukung kondisi lingkungan fisik pekerjaan, meliputi:

a. Kebisingan

Kebisingan diartikan sebagai semua suara atau bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat atau proses produksi atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan pendengaran. b. Radiasi

Radiasi yang mungkin berada di tempat kerja dan dapat mempengaruhi keadaan kesehatan tenaga kerja serta mengganggu pelaksanaan pekerjannya terdiri dari: (1) radiasi elektromagnetis, yaitu gelombang mikro, radiasi laser, sinar inframerah, sinar ultraviolet, sinar X


(61)

(Ro) dan sinar gama; (2) radiasi radioaktif, yaitu: radiasi atau sinar dari zat radioaktif.

c. Getaran mekanis

Mesin dari peralatan kerja mekanis dapat menimbulkan getaran. Sebagian dari kekuatan mekanis mesin atau peralatan kerja disalurkan kepada tubuh tenaga kerja atau benda yang terdapat di tepat kerja dalam bentuk getaran mekanis. Pada umumnya, getaran mekanis yang berasal dari suatu mesin atau benda bergerak merupakan sesuatu hal yang tidak disukai dan dikehendaki.

d. Iklim kerja

Iklim kerja merupakan kombinasi dari suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerakan udara, dan panas radiasi di tempat kerja. Iklim kerja dapat mempengaruhi daya kerja, produktivitas, efisiensi, dan efektivitas kerja. Lingkungan kerja yang memiliki suhu netral merupakan lingkungan kerja yang kondusif bagi para pekerja untuk memperoleh hasil pekerjaan yang baik. Suhu yang panas dapat berakibat pada penurunan kemampuan berpikir, kesigapan, dan pengambilan keputusan (Suma’mur, 2013).

e. Tekanan Udara Tinggi dan Rendah

Tekanan udara rendah biasanya dihadapi oleh mereka yang bekerja di atas permukaan laut dan di lereng atau puncak gunung. Gejala-gejala sakit atau gangguan kesehatan oleh rendahnya atau turunnya tekanan udara terutama didasarkan atas kurangnya oksigen dalam udara pernapasan.


(62)

Tekanan udara tinggi biasanya dihadapi oleh pekerja pada tambang-tambang yang sangat dalam. Gejala-gejalanya didasarkan atas besarnya tekanan udara dalam jaringan atau rongga-rongga tubuh.

f. Penerangan di Tempat Kerja

Penerangan yang baik memungkinkan tenaga kerja dala melihat objek yang dikerjakan secara jelas, cepat, dan mudah. Sedangkan penerangan yang buruk dapat mengakibatkan kelelahan mata, kelelahan mental/psikis, keluhan-keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala, kerusakan mata, dan meningkatnya peristiwa kecelakaan.

g. Bau-bauan di Tempat Kerja

Bau yang tidak disukai atau tidak enak dapat mengganggu perasaan orang yang menciumnya, mengurangi kenyamanan, memberikan kesan tidak sehat, dan mencerminkan keadaan kotor atau kurangnya kebersihan. Selain itu, bau-bauan tertentu dapat menjadi petunjuk bagi adanya pencemaran oleh bahan berbahaya atau beracun.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari kondisi lingkungan fisik pekerjaan meliputi temperatur, kelembaban, siklus udara, pencahayaan, kebisingan, bau-bauan, getaran mekanis, warna, radiasi, iklim kerja, serta tekanan udara tinggi dan rendah. Dari aspek-aspek yang telah dijelaskan, peneliti hanya menggunakan temperatur, siklus udara, pencahayaan, kebisingan, bau-bauan, getaran mekanis, dan radiasi sebagai aspek yang akan diteliti dalam lingkungan fisik pekerjaan. Hal tersebut


(63)

dikarenakan aspke-aspek yang telah disebutkan lebih sesuai dengan kondisi lingkungan fisik di pertambangan.

4. Dampak dari Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan

Lingkungan kerja yang aman dan sehat akan membawa dampak yang positif bagi orang-orang yang berada di dalamnya. Lingkungan kerja yang aman dan sehat akan meningkatkan produktivitas karena menurunnya jumlah hari kerja yang hilang, meningkatkan efisiensi dan kualitas pekerja yang lebih berkomitmen, menurunkan biaya-biaya kesehatan dan asuransi, tingkat kompensasi pekerja dan pembayaran yang lebih rendah karena menurunnya pengajuan klaim, fleksibilitas, dan adaptabilitas yang lebih besar sebagai akibat dari meningkatnya partisipasi dan rasa kepemilikian, serta rasio seleksi tenaga kerja yang lebih baik karena naiknya citra perusahaan (Schuler dan Jackson, 1999). Selain itu, Nitisemito (1982) juga menyatakan bahwa lingkungan kerja yang baik akan berpengaruh terhadap efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas, serta dapat menjadi pendorong semangat dan kegairahan dalam bekerja.

Di sisi lain, lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak sehat dapat menyebabkan jumlah hari kerja yang hilang karena cidera dan produktivitas karyawan juga dapat menurun. Lingkungan kerja yang tidak aman dan tidak sehat juga dapat menimbulkan kerugian-kerugian lain seperti kematian dan kecelakaan. Schuller dan Jackson (1999) mengatakan lebih dari 100.000


(64)

pekerja yang setiap tahun menderita penyakit-penyakit yang berkaitan dengan pekerjaan. Jumlah biaya yang besar, yang berkaitan dengan kondisi-kondisi psikologis, sebagai contoh, kecanduan alkohol, yang seringkali merupakan upaya untuk melepaskan diri dari tekanan-tekanan pekerjaan, menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan dan masyarakat. Selain itu, perusahaan mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk asuransi, rumah sakit, dan keperluan-keperluan medis lainnya. Pada akhirnya, lingkungan fisik pekerjaan yang merupakan sumber bahaya di tempat kerja, dapat mempengaruhi kesehatan dan keselamatan kerja karyawan dimana karyawan dapat mengalami kecelakaan kerja dan penyakit-penyakit yang diakibatkan oleh pekerjaan. Hal tersebut juga akan membawa hasil seperti tingginya tingkat absensi dan keluar-masuknya pekerja, ketidakpuasan kerja, klaim medis, rendahnya produktivitas, rendahnya efisiensi, tingginya biaya kompensasi pekerja, rendahnya keterlibatan, dan rendahnya kualitas. Kemudian, Nitisemito (1982) mengatakan bahwa lingkungan kerja yang kurang baik juga akan berpengaruh pada penurunan produktivitas kerja karena pekerja merasa lelah. Schultz dan Schultz (2010) mengatakan bahwa kondisi lingkungan fisik pekerjaan merupakan sumber umum dari stres kerja. Keadaan lingkungan kerja dimana terdapat suhu yang ekstrim, pencahayaan yang buruk, kerja shift, dan polusi dalam ruangan, dapat berkontribusi terhadap stres.


(65)

B. Karyawan di Perusahaan Tambang

Karyawan yang bekerja di perusahaan tambang rentan mengalami tekanan atau stres karena mereka setiap saat dihadapkan pada kemungkinan terjadinya kecelakaan. Hal ini diperkuat oleh data yang menunjukkan bahwa diantara 30 jenis profesi, karyawan tambang termasuk sebagai profesi yang memiliki tingkat stres paling tinggi (Haslam, 2004).

Pertambangan ditandai oleh operasi dan cara kerjanya seperti pekerjaan di dalam lubang bawah tanah, kegiatan operasi pada daerah ketinggian sangat jauh dari permukaan laut, pekerjaan lepas pantai ditengah laut, dan lain-lain. Melihat ruang lingkup ragam kegiatannya, pertambangan dimulai sejak eksplorasi, terus kepada eksploitasi, pengolahan hasil tambang dan mungkin sampai kepada penggunaan lebih lanjut produk pertambangan. Maka dari itu, karyawan yang bekerja pada tambang dalam merupakan pekerjaan berat. Karyawan harus memiliki mental dan kesehatan fisik yang prima agar mampu bekerja di dalam tambang (Suma’mur,2012).

Pertambangan memiliki risiko yang cukup besar bagi para pekerja serta orang-orang yang tinggal atau bekerja di daerah sekitarnya. Bekerja di industri pertambangan juga melibatkan berbagai risiko karena tugas-tugas yang dilakukan dan lingkungan dimana mereka bekerja begitu bervariasi. Risiko kematian dan cidera serius yang paling sering terjadi didaerah pertambangan sebagian diakibatkan oleh benda yang jatuh seperti bebatuan, kecelakaan kendaraan, peralatan bergerak dan benda-benda stasioner, ledakan gas, dan jatuh dari


(66)

ketinggian.Risiko lainnya meliputi kebakaran, menghirup gas beracun, dan keracunan terhadap mineral tertentu (www.vwa.vic.gov.au). Salah satu data yang menunjukkan bahwa industri pertambangan memiliki frekuensi dan tingkat keparahan kecelakaan yang tinggi bersumber dari US Bureau of Labor Statistic tahun 2007 (dalam Schultz & Schultz, 2010). Data tersebut menunjukkan bahwa pertambangan menempati urutan kedua dalam industri yang berisiko tinggi terhadap kecelakaan.

Karyawan yang bekerja diperusahaan tambang merupakan profesi yang memiliki risiko bahaya yang tinggi. Menurut Donoghue (2004) dalam Occupational Medicine Journal, bahaya yang berhubungan dengan kesehatan kerja yang dihadapi oleh para karyawan yang bekerja dipertambangan, yaitu: 1. Bahaya Fisik

Luka trauma tetap menjadi masalah yang signifikan dari yang sepele hingga yang mematikan. Penyebab umum dari cidera yang fatal terjadi dimana-mana. Hal ini dihasilkan oleh pengeboran, peledakan, pemotongan, penanganan material, ventilasi, serta penghancuran dan pengolahan bijih. Mengontrol kebisingan telah terbukti cukup sulit dibidang pertambangan dan kehilangan pendengaran umumnya disebabkan oleh kebisingan.

Panas dan kelembaban yang ditemui didaerah tropis serta tambang bawah tanah, dimana suhu bebatuan dan suhu udara meningkat sesuai dengan kedalaman, terutama gradien panas bumi dan auto-kompresi kolom udara.


(67)

Getaran pada seluruh tubuh sering dialami ketika mengoperasikan peralatan mesin, seperti load-haul-dump unit, truk, scrapers, dan diggers.Hal ini dapat menyebabkan atau memperburuk gangguan tulang belakang yang sudah ada sebelumnya. Kondisi jalan dan kendaraan yang buruk juga berkontribusi untuk masalah ini. Sindrom getaran pada tangan dan lengan juga ditemui pada penggunaan alat-alat yang bergetar sepertiair leg rock drills. 2. Bahaya Kimia

Crystaline silica menjadi bahaya yang serius dalam pertambnagan dengan risiko silicosis. Debu batu bara juga telah menjadi bahaya yang serius di bidang pertambangan. Debu batu bara dapat menyebabkan ‘pneumoconiosis’ atau ‘paru-paru hitam’ dan penyakit paru obstruktif kronik. Arsenik yang dihasilkan dari peleburan tembaga dapat menyebabkan kanker paru-paru. Paparan dari senyawa nikel juga dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru dan kanker sinus. Pemaparan bahan-bahan kimia pada kulit yang umum di pertambangan sering mengakibatkan dermatitis.

3. Bahaya Biologis

Risiko penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah sering terjadi di daerah lokasi pertambangan terpencil. Leptospirosis dan ankylostomiasi juga umum terjadi di tambang.

4. Bahaya Ergonomi

Meskipun pertambangan telah menggunakan alat-alat mekanik, masih ada sejumlah besar penanganan yang dilakukan secara manual. Hal ini dapat


(68)

menyebabkan atau memperburuk gangguan bahu. Selain itu, juga dapat menyebabkan cidera pergelangan kaki dan lutut.

Kelelahan dalam kaitannya dengan kerjashifttelah dikenakan investigasi yang cukup besar dalam industri. Tidur yang kurang telah terbukti dapat menyebabkan gangguan kognitif dan kinerja motorik.

5. Bahaya Psikososial

Penyalahgunaan obat dan alkohol telah menjadi masalah yang sulit untuk ditangani dalam industri pertambangan. Namun, berbagai kebijakan dan prosedur telah diterapkan dalam berbagai operasi pertambangan besar untuk menangani masalah ini.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karyawan yang bekerja di pertambangan merupakan profesi yang berisiko tinggi. Selain itu, karyawan yang bekerja di pertambangan juga rentan mengalami tekanan dan stres karena mereka setiap saat dihadapkan pada risiko kecelakaan dan berbagai bahaya yang ditemui di lingkungan kerjanya.

C. Hubungan antara Kondisi Lingkungan Fisik Pekerjaan dengan Stres Kerja pada Karyawan di Perusahaan Tambang

Melihat ruang lingkup pekerjaannya, bekerja di perusahaan tambang merupakan profesi dengan risiko yang cukup besar. Karyawan yang bekerja di perusahaan tambang juga rentan mengalami tekanan atau stres karena mereka setiap saat dihadapkan pada berbagai bahaya dan kemungkinan terjadinya


(1)

143

LAMPIRAN 8

HASIL UJI HIPOTESIS


(2)

Correlations

SK KLFP

Spearman's rho SK Correlation Coefficient 1.000 -.606**

Sig. (1-tailed) . .000

N 50 50

KLFP Correlation Coefficient -.606** 1.000

Sig. (1-tailed) .000 .

N 50 50


(3)

145

LAMPIRAN 9


(4)

HASIL UJI U PADA TINGKAT STRES KERJA DAN USIA SUBJEK

Ranks

KategoriUsia N Mean Rank Sum of Ranks SkorStresKerja Dewasa Awal 35 24.73 865.50

Dewasa Madya 15 27.30 409.50

Total 50

Test Statisticsa

SkorStresKerja Mann-Whitney U 235.500

Wilcoxon W 865.500

Z -.574

Asymp. Sig. (2-tailed) .566 a. Grouping Variable: KategoriUsia

HASIL UJI U PADA TINGKAT STRES KERJA DAN PENGALAMAN

KERJA SUBJEK

Ranks

KategoriMasaKerja N Mean Rank Sum of Ranks


(5)

147

Test Statisticsa

SkorStresKerja Mann-Whitney U 211.500

Wilcoxon W 739.500

Z -1.552

Asymp. Sig. (2-tailed) .121 a. Grouping Variable: KategoriMasaKerja

HASIL UJI U PADA TINGKAT PERSEPSI TERHADAP KONDISI

LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DAN USIA SUBJEK

Ranks

KategoriUsia N Mean Rank Sum of Ranks PersepsiKLFP Dewasa Awal 35 27.41 959.50

Dewasa Madya 15 21.03 315.50

Total 50

Test Statisticsa

PersepsiKLFP Mann-Whitney U 195.500

Wilcoxon W 315.500

Z -1.421

Asymp. Sig. (2-tailed) .155 a. Grouping Variable: KategoriUsia


(6)

HASIL UJI U PADA TINGKAT PERSEPSI TERHADAP KONDISI

LINGKUNGAN FISIK PEKERJAAN DAN PENGALAMAN KERJA SUBJEK

Ranks

KategoriMasaKerja N Mean Rank Sum of Ranks

PersepsiKLFP 1 - 10 tahun 18 22.22 400.00

lebih dari sama dengan 11

tahun 32 27.34 875.00

Total 50

Test Statisticsa

PersepsiKLFP Mann-Whitney U 229.000

Wilcoxon W 400.000

Z -1.195

Asymp. Sig. (2-tailed) .232 a. Grouping Variable: KategoriMasaKerja


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN KERJA DENGAN MOTIVASI KERJA PADA KARYAWAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Kondisi Lingkungan Kerja Dengan Motivasi Kerja Pada Karyawan CV. Sinar Abadi.

0 2 17

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KONDISI LINGKUNGAN KERJA DENGAN MOTIVASI KERJA PADA KARYAWAN Hubungan Antara Persepsi Terhadap Kondisi Lingkungan Kerja Dengan Motivasi Kerja Pada Karyawan CV. Sinar Abadi.

0 3 16

HUBUNGAN ANTARA BUDAYA ORGANISASI DENGAN STRES KERJA KARYAWAN Hubungan Antara Budaya Organisasi Dengan Stres Kerja Karyawan.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN PRESTASI KERJA PADA KARYAWAN Hubungan Antara Stres Kerja Dengan Prestasi Kerja Pada Karyawan.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN PRESTASI KERJA PADA KARYAWAN Hubungan Antara Stres Kerja Dengan Prestasi Kerja Pada Karyawan.

0 1 14

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN Hubungan Antara Dukungan Sosial Dengan Stres Kerja Pada Karyawan.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA KARYAWAN PERUSAHAAN LEASING DI LEMBAGA KEUANGAN.

0 0 16

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN Hubungan Antara Stres Kerja Dengan Produktivitas Kerja Karyawan.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA KARYAWAN Hubungan Antara Stres Kerja Dengan Produktivitas Kerja Karyawan.

2 13 18

HUBUNGAN STRES KERJA DENGAN PRODUKTIVITAS KERJA FISIK KARYAWAN

0 4 6