Bicara tentang iringan, di kalangan jurusan Pendidikan Seni Tari, ada istilah musik
internal, dan musik eksternal. Musik internal adalah musik yang terdapat dalam tari itu sendiri, seperti
tembang, suara lesan, petik jari, hentak kaki, desah nafas, dan sebagainya. Tari yang menggunakan musik
internal ini misalnya adalah tari “Sedati” dari Aceh. Tari Sedati dari Aceh ini musiknya
dari dalam tari itu sendiri yakni tembang, tepuk tangan, petik jari, dan hentak kaki. Memang demikian, banyak tari dari daerah Aceh
itu yang menggunakan musik-musik internal.
Musik eksternal adalah musik apapun yang terdapat di luar
tari, misalnya gamelan, rebana, orgen, dan sebagainya. Banyak tari-tarian yang musiknya
eksternal, misalnya berbagai tari jawa: Klana, Bambangan Cakil, dan sebagainya, iringannya adalah
gamelan. Tari “balet” dari barat iringannya orgen, dan sebagainya. Musik, dalam agama Kristen-katolik digunakan untuk
mencapai tujuan “Allah”. Lain halnya dengan agama Hindu, agama Hindu dengan tari. Sedang untuk agama Islam tidak dengan
musik, tidak pula dengan tari.
7. Pengetahuan tentang Penonton
Pengetahuan tentang penonton, sutradara harus pandai- pandai melihat: maksud dan tujuannya, tingkat apresiasinya, dan
intelektualnya. Penonton itu maksud tujuannya apa: sekedar melepas lelah atau benar-benar apresiasi
?,
tingkat apresiasinya rendah apa tinggi?
,
intelektualnya masyarakat biasa apa seniman ?.
Sutradara jikalau tahu bahwa penonton itu maksud dan tujuannya hanya sekedar melepas lelah, tingkat apresiasinya
rendah, dan intelektualnya masyarakat biasa, boleh sutradara menampilkan drama yang sifatnya hiburan saja, tetapi kalau
maksud dan tujuannya apresiasi, tingkat apresiasiasinya tinggi, intelektualnya seniman, tidak boleh demikian. Maksudnya,
sutradara harus menampilkan drama yang benar-benar digarap. 86
Khusus mengenai penonton, dalam masyarakat Jawa aktivitasnya biasa disebut dengan istilah
ndellok, jarwa dhosok dua kata yang digabung
dari kat kendel dan alok artinya berani asal ngomong
. Penonton yang demikian, berarti apresiasinya rendah, hanya bisa mengkritik, dan tidak bisa memberi masukan
sebagai jalan keluar, atau dengan bahasa kasar: hanya bisa merusak tidak bisa memperbaiki, dan bisa bongkar tidak bisa
pasang. Makna di balik penonton yang apresiasinya rendah, ada penonton yang apresiasinya tinggi. Penonton yang apresiasinya
tinggi, aktivitasnya tidak ada istilah khusus. Karena tidak ada istilah khusus, maka sebut saja menghayati. Sutradara terhadap
penonton demikian, harus tahu ini penonton penonton ndellok apa
penonton menghayati. Kalau ndellok, sutradara bisa menampilkan
drama sederhana yang mudah dicerna, tetapi kalau menghayati, tidak boleh demikian, melainkan harus menampilkan drama tinggi
yang boleh dikata rumit. Beda-beda penonton tersebut setidak-tidaknya berimplikasi
pada penyerapan pesan. Bagi penonton yang pintar, akan bisa menyerap pesan dengan baik, di antara caranya adalah
menganalisis pertunjukan dengan berbagai alat analisa. Bagi pejabat akan menganalisis perilaku tokoh yang mempunyai
jabatan penting di dalamnya dengan formal politik, bagi rakyat biasa akan menganalisis tokoh rakyat biasa dengan formal
kesederhanaan. Bagi yang tidak pintar memang sulit menganalisis dengan
formal apa pun, tetapi biarlah tetap dihargai, karena setidak- tidaknya mereka sudah menonton dengan ikut merasakan apa
yang dirasakan oleh sutradara dan penciptanya.
B. Sutradara Penyajiannya terhadap Cerita