BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910, sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus
penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. Center for Disease Control and Prevention CDC di Amerika Serikat menyebutkan
terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak diperlukan unnecessary prescribing dari 150 juta peresepan setiap tahun. Menurut Menteri
Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, sekitar 92 masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat. Bahkan Indonesia
menduduki peringkat ke-8 dari 27 negara dengan beban tinggi kekebalan obat terhadap kuman Multidrug ResistanceMDR di dunia berdasarkan
WHO World Health Organization tahun 2009.
1
Pemakaian antibiotik yang irasional menyebabkan resistensi dan menimbulkan berbagai masalah baik dari segi kesehatan maupun segi
ekonomi. Resistensi antibiotik merupakan ancaman yang meningkat dan melanda rumah sakit di seluruh dunia.
1,2,3
Antibiotik β-laktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan dan β-laktamase merupakan enzim
Universitas Sumatera Utara
yang dihasilkan oleh bakteri yang mampu menghidrolisis antibiotik β-laktam. β-laktamase adalah penyebab utama dari resistensi untuk senyawa ini.
3
ESBL adalah salah satu bentuk resistensi akibat β-laktamase dan dikenal berspektrum luas karena memiliki kemampuan menghidrolisis
antibiotik golongan penisillin, cephalosporin generasi I, II, III serta golongan aztreonam kecuali cephamycin dan carbapenem. ESBL berasal dari jenis
enzim TEM dan SHV.
2-6
Infeksi yang disebabkan oleh bakteri penghasil ESBL menimbulkan tantangan serius bagi para mikrobiologi klinis, dokter, para profesional
pengontrol infeksi, serta para ilmuwan penemu antibiotik karena mereka resisten terhadap berbagai β-laktam, termasuk generasi ketiga sefalosporin.
ESBL terletak di plasmid yang dialihkan dari strain ke strain bahkan antar spesies bakteri. Oleh karenanya infeksi nosokomial yang disebabkan oleh
mikroorganisme ini menyulitkan terapi.
2-5
Sejak pertama kali, ditemukan yaitu pada pertengahan tahun 1980-an, ESBL telah semakin cepat menyebar dan bermutasi menjadi beberapa tipe.
Sebenarnya prevalensi yang jelas terhadap angka kejadian ESBL tidaklah diketahui dengan pasti. Hal tersebut disebabkan sulitnya dalam menemukan
dan mendeteksinya. Namun demikian, jelas bahwa organisme penghasil ESBL memang telah menyebar secara luas di seluruh dunia dan
prevalensinya semakin meningkat.
5
Meskipun ESBL
telah banyak
ditemukan pada
berbagai Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae di berbagai belahan dunia,
Universitas Sumatera Utara
namun mereka paling sering teridentifikasi dalam Klebsiella pneumonia dan Escherechia coli.
5,7-9
Pada berbagai belahan dunia 10-40 strain Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae mengekspresikan ESBL.
5,6
Bakteri lain yang pernah dilaporkan sebagai penghasil ESBL adalah Acinetobacter baumannii,
Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter spp., Salmonella spp., Morganella morganii, Proteus mirabilis dan Serratia marcescens.
9-13
Prevalensi ESBL bervariasi dari satu negara dengan negara lain dan dari suatu institusi dengan institusi lain. Dari sebuah survei oleh SENTRY
Antimicrobial pada 81,213 kultur darah selama tahun 1997-2002
menunjukkan bahwa isolat Klebsiella spp. yang memiliki fenotip sebagai penghasil ESBL adalah sebanyak 42.7 di Latin America, 21.7 di Eropa
dan 5.8 di Amerika Selatan.
14
Menurut studi yang dilakukan The Pan European Antimicrobial Resistance using Local Surveillance PEARLS
selama 2001-2002 menunjukkan persentase ESBL diantara E. coli, K. pneumonia dan Enterobacter spp adalah 5,4 , 18,2, dan 8,8.
15
Sangat mengejutkan bahwa ternyata menurut data dari European Antimicrobial
Resistance Surveillance System EARSS tahun 2010, resistensi terhadap generasi ketiga cephalosporin pada E.coli meningkat 2,6 di Sweden hingga
25 di Bulgaria; sedangkan pada K. pneumonia di Sweden sebanyak 1,7 dan meningkat ke level yang sangat tinggi yaitu 75,6 dan 74,6 di Bulgaria
dan Yunani.
16
Sementara di daerah lain di Asia cukup bervariasi, yaitu 4,8 di Korea, 8,5 di Taiwan dan 12 di Hongkong.
17,18
Universitas Sumatera Utara
Data prevalensi kejadian ESBL di Indonesia masih belum jelas. Hanya terdapat beberapa studi terkait ESBL. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
The Indonesia Antimicrobial Resistance tahun 1999, didapati bahwa terdapat 33.3 K. pneumonia penghasil ESBL dan 23.0 E. coli penghasil ESBL.
19
Sebuah studi lain yang dilakukan pada tahun 2005 di RS. Dr. Soetomo di Surabaya, melaporkan bahwa terdapat 86 K.pneumonia penghasil ESBL
yang didapat dari isolat urin dan darah.
20
Sebelumnya, tahun 2004 prevalensi E.coli ESBL di Surabaya sebesar 10,8.
21
Peningkatan penyebaran ESBL ini diduga oleh karena beberapa faktor resiko. Banyak sekali faktor resiko yang diduga berhubungan dengan
kejadian ESBL, antara lain; tingkat keparahan dari penyakit, lamanya rawatan di rumah sakit, lamanya mendapat perawatan di ruang rawat intensif,
mendapat prosedur-prosedur invasif, pemakaian selang infus, pemakaian kateter vena sentral, pemakaian ventilator, pemberian nutrisi secara
parenteral, pemakaian kateter urin, usia, hemodialisa, pemakaian antibiotik yang tidak tepat, berat lahir rendah dan status gizi yang kurang.
4
Pada penelitian yang dilakukan oleh Ebbing Lautenbach dkk di Philadelphia tahun 2001 didapatkan bahwa infeksi nosokomial, pemakaian
selang infus, pemakaian kateter dan durasi lamanya rawatan rumah sakit merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ESBL.
22
Berbeda dengan Pena C dkk, mereka menemukan bahwa satu-satunya faktor resiko yang meningkatkan resiko mortalitas pada pasien dengan infeksi oleh
E. coli penghasil ESBL adalah infeksi saluran kemih.
23
Universitas Sumatera Utara
Rizky, tahun 2010, melakukan penelitian di RS. Kariadi Semarang dan mendapatkan bahwa perawatan di ruang rawat intensif dan BBRT Bangsal
Bayi Beresiko Tinggi merupakan faktor risiko independen kejadian infeksi oleh bakteri penghasil ESBL.
24
ESBL menimbulkan banyak masalah, yaitu tingginya tingkat mortalitas, lamanya rawatan dan beban ekonomis. Kompleksnya masalah resistensi
pada ESBL menyebabkan sulitnya pengobatan karena terbatasnya pilihan antibiotik. Keterlambatan pemberian terapi antibiotik yang tepat diduga
merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas pada infeksi oleh organisme penghasil ESBL. Quresi dkk
dengan studi kontrol-kasus menemukan bahwa pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat berhubungan
kuat dengan tingginya angka mortalitas pada pasien-pasien yang terinfeksi oleh baik K. pneumonia dan E. coli penghasil ESBL.
16
Hasil yang sama dibuktikan juga oleh Emese Szilagyi di Hungaria yang dilakukan oleh pada
tahun 2009 bahwa tingkat mortalitas pada pasien dengan infeksi K.
pneumonia penghasil ESBL berbeda singnifikan dengan K. pneumonia non- ESBL.
25
Angka mortalitas terhadap pasien yang terkena infeksi ESBL yang diterapi dengan antibiotik yang tidak tepat mencapai 42-100.
4
Pemberian terapi yang tidak tepat pada infeksi ESBL ini juga tentunya berdampak pada lamanya rawatan rumah sakit dan kemudian berdampak
besar pada biaya episode bakteremia. Jadi tidaklah mengherankan jika infeksi oleh organisme penghasil ESBL ini mengakibatkan peningkatan
beban ekonomis. Lautenbach menunjukkan bahwa infeksi oleh karena K.
Universitas Sumatera Utara
pneumonia dan E. coli penghasil ESBL membutuhkan biaya 2.9 kali lebih tinggi dengan infeksi oleh bakteri non-ESBL, pada studi lain juga terjadi
peningkatan 1.5-1.7 kali lipat biaya yang diperlukan.
16
Pendapat lain mengatakan bahwa biaya oleh karena E. coli dan K. pneumonia penghasil
ESBL meningkat sampai 71 dibandingkan non-ESBL.
26
Oleh karenanya, pengidentifikasian faktor resiko dan adanya pola sensitivitas antibiotik terhadap infeksi oleh penghasil ESBL sangat diperlukan
dalam menekan angka kejadian ESBL dan berbagai masalah yang ditimbulkannya.
Di RSUP H. Adam Malik Medan belum ada penelitian mengenai faktor resiko infeksi oleh kuman ESBL. Karena E. coli dan K. pneumonia merupakan
bakteri yang paling banyak menghasilkan ESBL, maka pada tulisan ini akan disampaikan mengenai faktor resiko yang berpengaruh terhadap infeksi E.
coli atau K. pneumonia penghasil ESBL yaitu perawatan inap di rumah sakit, pemakaian alat invasif medis, penyakit komorbid dan tindakan pembedahan.
Akan dipaparkan juga prevalensi dan pola sensitivitas bakteri E. coli dan K. pneumonia penghasil ESBL. Hal ini tentunya berguna untuk meningkatkan
kewaspadaan tentang keberadaan ESBL dan sebagai rekomendasi antibiotik untuk klinisi sehingga semakin tepat dalam penangan pasien dengan infeksi
oleh ESBL.
1.2. Rumusan Masalah