Faktor Teman Sebaya Faktor Ekternal

Sejalan dengan pendapat diatas, Hikmawati 2014: 22 mengungkapkan peranan guru dalam pelaksanaan BK yaitu guru sebagai informatory, guru sebagai fasilitator, guru sebagai mediator, dan guru sebagai kolaborator. Dalam penyelenggaraan layanan di sekolah melibatkan personel sekolah lainnya agar lebih berperan sesuai dengan batas-batas kewenangan dan tanggungjawab. Salah satu personel yang berperan penting yaitu guru, karena guru lebih sering berinteraksi dengan siswa secara langsung. Dapat disimpulkan bahwa guru mempunyai peranan penting dalam peyelengaraan layanan bimbingan dan konseling di sekolah yaitu guru sebagai informatory, guru sebagai fasilitator, guru sebagai mediator, dan guru sebagai kaolaborator.

1.5.2.3 Faktor Teman Sebaya

Remaja lebih banyak diluar rumah bersama dengan teman-teman sebaya sebagai kelompok, maka dapat dimengerti bahwa pengaruh teman-teman sebaya pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan, dan perilaku lebih besar daripada pengaruh keluarga. Hasil penelitian yang dikemukakan Hans Sebald dalam Yusuf dan Nurikhsan 2011: 194 bahwa “teman sebaya lebih memberikan pengaruh dalam cara berpakaian, hobi, perkumpulan dan kegiatan- kegiatan sosial lainnya”. Hal ini menunjukkan bahwa teman sebaya pada remaja juga memberikan kontribusi terhadap minat memanfaatkan layanan konseling perorangan. Jika teman- temannya berminat datang dan memiliki pendapat yang positif mengenai konselor, maka remaja akan mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Faktor teman sebaya ini yang akan dijabarkan adalah aspek yang dapat berkembang dan turut mempengaruhi minat siswa memanfaatkan layanan bimbingan konseling Yusuf dan Nurihsan, 2011:193, aspek tersebut adalah 1. Social cognition Social cognition adalah kemampuan untuk memikirkan tentang pikiran, perasaan, motif, dan tingkah laku dirinya dan orang lain Yusuf dan Nurihsan, 2011:193. Pada perkembangan kognitif remaja yang harus diperhatikan tidak hanya pada cara berpikir dan banyaknya informasi yang dikuasainya saja, namun lebih kepada cara remaja itu menggunakan informasi yang dimilikinya untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Kemampuannya memahami orang lain, memungkinkan remaja untuk lebih menjalin hubungan sosial yang lebih baik. Selain itu, Santrock 2003: 119 menyebutkan bahwa kognisi sosial mengacu pada bagaimana seseorang memandang dan berpikir mengenai aspek sosial mereka, orang-orang yang mereka temui dan yang berkomunikasi dengan mereka, berhubungan dengan orang-orang tersebut, kelompok tempat mereka bergabung, dan bagaimana mereka berpikir mengenai diri mereka sendiri dan orang lain. 2. Konformitas Konformitas diartikan sebagai motif untuk menjadi sama, sesuai, atau seragai dengan nilai-nilai, kebiasaan, kegemaran hobi, atau budaya teman sebayanya. Konformitas muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka Santrock, 2003:221. Pada diri remaja pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Meskipun remaja telah mencapai tahap perkembangan kongitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berpikir lebih banyak dipengaruhioleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Konformitas terhadap tekanan teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif maupun negatif. Dalam kaitannya dengan hal ini, konformitas negatif pada teman sebaya akan mempengaruhi siswa untuk tidak mengeikuti layanan konseling perorangan karena teman tersebut mempunyai pengalaman yang tidak baik dalam pelaksanaan konseling perorangan yang tidak optimal dari konselor. Begitupun sebaliknya apabila teman sebaya mempunyai pengalam yang baik setelah mengikuti layanan konseling maka akan membentuk konformitas positif, sehingga akan menumbuhkan minat untuk mengikuti layanan konseling perorangan bagi teman yang lain. Faktor teman sebaya diartikan sebagai faktor yang memberikan pengaruh terhadap rendahnya minat isiwa untuk mengikuti layanan konseling perorangan. Kelompok teman sebaya dapat menilai apabila teman yang pernah masuk ke ruang bimbingan dan konseling maupun siswa yang pernah mengikuti layanan konseling perorangan dinilai sebagai siswa yang bermasalah. Sehingga siswa enggan untuk datang ke konselor untuk mengikuti layanan konseling perorangan.

1.5.2.4 Faktor Sarana dan Prasarana