76
tunai, dan lebih menggunakan potensi sumberdaya alam disekitarnya untuk dijadikan input dari output yang dihasilkan serta menandakan bahwa petani SRI
lebih kreatif dan rajin daripada petani konvensional. Petani pada usahatani SRI secara finansial sangat bergantung pada ketersediaan biaya diperhitungkan seperti
bokhasi, MOL, pestisida nabati, dan benih dapat dibuat sendiri dari alam. Adapun rincian perbandingan biaya pada kedua usahatani dapat dilihat pada Tabel 20.
Tabel 20. Perbandingan Biaya untuk Usahatani Padi Organik SRI dan Padi Konvensional perhektar di Kabupaten Cianjur Periode Tahun
20102011
No Biaya Usahatani
SRI Konvensional
Rp Rp
1 Biaya Tunai
974.428,14 42,60
934.825,30 55,07
2 Biaya Diperhitungkan
1.314.750,83 57,40
764.816,67 44,93
Total Biaya 2.289.178,97
100,00 1.699.641,97
100,00 Sumber: Data Primer, 2011
6.2.3. Pendapatan dan RC Ratio Usahatani Padi Metode SRI dan Konvensional
Penelitian menunjukan bahwa usahatani padi konvensional menghasilkan penerimaan yang lebih rendah dari pada usahatani metode SRI. Penerimaan
usahatani padi konvensional sebesar Rp 3.739.458,21 sedangkan penerimaan usahatani padi SRI sebesar Rp 4.553.888,69. Besar kecilnya penerimaan
dipengaruhi dari produksi GKP yang dijual, dalam kasus ini produktivitas padi konvensional lebih kecil daripada produktivitas padi SRI. Penerimaan
berpengaruh terhadap pendapatan atas total biaya usahatani metode SRI maupun usahatani padi konvensional, pendapatan atas total biaya usahatani SRI sebesar
Rp 2.264.709,72 sedangkan usahatani padi konvensional sebesar Rp 2.039.816,24. Total biaya usahatani metode SRI lebih besar dari pada total biaya
usahatani konvensional. Kondisi tersebut disebabkan oleh pengeluaran tenaga
77
kerja dari usahatani SRI lebih besar dari pada usahatani padi konvensional. Informasi lebih lanjut mengenai pendapatan atas biaya tunai dan total biaya
usahatani padi metode SRI dan konvensional dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Pendapatan atas Biaya Tunai dan Total Biaya Usahatani Padi Metode
SRI dan Konvensional perhektar di Kabupaten Cianjur Pada Musim Tanam I Periode Tahun 20102011
Uraian Usahatani Padi
Metode SRI Usahatani Padi
Konvensional Penerimaan
Rp 4.553.888,69 Rp 3.739.458,21
Biaya Tunai Rp 974.428,14
Rp 934.825,30 Total Biaya
Rp 2.289.178,97 Rp 1.699.641,97
Pendapatan atas Biaya Tunai Rp 3.579.460,55
Rp 2.804.632,91 Pendapatan atas Total Biaya
Rp 2.264.709,72 Rp 2.039.816,24
Sumber: Data Primer, 2011 Beras merupakan kebutuhan primer, secara umum disebut barang netral,
sedangkan beras organik dari sudut pandang konsumen sebagai barang mewah. Ini berkaitan dengan harga dan pendapatan. Semakin tinggi pendapatan maka
semakin banyak mengkonsumsi beras organik, namun dilapang harga padi organik rendah sedangkan harga beras organik di konsumen tinggi. Hal ini
dikarenakan pemasaran mengenai beras organik belum ada sehingga petani menjual hasil padi organik dengan harga padi GKP konvensional.
Menurut Sajogyo dalam harian tempo interaktif, indikator kemiskinan dapat dilihat dari tingkat konsumsi beras pertahun, tingkat akan kecukupan gizi
dan tingkat kesejahteraan. Berdasarkan nilai tukar beras di pedesaan diperoleh 320 kilogram per orang pertahun, maka didapat Rp 168.000,00 rata-rata perkapita
setiap bulannya sebagai ukuran garis kemiskinan. Pendapatan atas biaya tunai usahatani metode SRI dan konvensional setiap bulannya adalah Rp 1.193.153,51
dan Rp 934.877,63. Pendapatan rumah tangga petani dengan rata-rata enam orang tanggungan jiwa sebesar Rp 1.008.000,00.
Hal ini menunjukan rata-rata per
78
rumah tangga setiap bulan petani SRI lebih tinggi dari ukuran batas kemiskinan sedangkan petani konvensional masih lebih rendah dari ukuran batas garis
kemiskinan, yang memiliki arti bahwa rumah tangga petani dengan metode SRI tidak dalam keadaan miskin sedangkan konvensional berada dalam keadaan
miskin. Sehingga dapat dikatakan petani SRI di Kabupaten Cianjur sejahtera. Nilai RC ratio atas biaya tunai dan atas total biaya dari usahatani padi SRI lebih
besar dibandingkan dengan nilai RC ratio atas biaya tunai dan atas total biaya usahatani konvensional. Petani SRI akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp
4.670.000,00 sedangkan petani konvensional akan mendapatkan penerimaan sebesar Rp 4.000.000,00 dari setiap satu juta rupiah yang dibayarkan untuk
membiayai usahataninya. Ini dapat dikarenakan secara biaya tunai metode Konvensional cenderung membeli input sehingga biaya tunai yang dikeluarkan
besar, hal ini akan mempengaruhi nilai RC ratio atas biaya tunai metode konvensional yang lebih rendah dibandingkan metode SRI.
Kondisi ini berbeda dengan nilai RC atas total biaya yang diterima oleh petani SRI. Petani SRI menerima lebih sedikit penerimaan yaitu sebesar Rp
1.990.000,00 sedangkan petani konvensional menerima Rp 2.200.000,00 dari setiap satu juta rupiah biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan analisis tersebut
diketahui bahwa kedua jenis metode sama-sama menguntungkan dikarenakan mempunyai nilai RC ratio lebih besar dari satu, efisiensi usahatani konvensional
sedikit lebih tinggi dari pada usahatani SRI atas dasar total biaya dan usahatani SRI sedikit lebih efisien daripada usahatani padi konvensional atas dasar biaya
tunai. Prospek jangka panjang yang mendasari perkembangan metode SRI di Kabupaten Cianjur yaitu meningkatkan produksi beras organik, harga yang
79
ditetapkan beras organik lebih tinggi daripada beras biasa di tangan petani. Begitu pula dengan biaya budidaya metode SRI dapat diminimalisir dengan perolehan
subsidi mesin pembuatan bokhasi dan gencarnya pemberdayaan dari kelompok tani upaya untuk mengurangi biaya tenaga kerja. Imbangan biaya dan penerimaan
RC Ratio Usahatani dari kedua metode dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Imbangan Biaya dan Penerimaan RC Ratio Usahatani Padi Metode
SRI dan Konvensional perhektar di Kabupaten Cianjur Pada Musim Tanam I Periode 20102011
Uraian Usahatani Metode SRI
Usahatani Padi Konvensional
Penerimaan Rp 4.553.888,69
Rp 3.739.458,21 Biaya Tunai
Rp 974.428,14 Rp 934.825,30
Total Biaya Rp 2.289.178,97
Rp 1.699.641,97 RC atas Biaya Tunai
4,67 4,00
RC atas Total Biaya 1,99
2,20 Sumber: Data Primer, 2011
6.3. Dampak Penerapan Metode SRI terhadap Lingkungan