Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System Of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara luas Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), negara agraris adalah negara dengan sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Tabel 1 menjelaskan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi rata-rata sebesar 41,6 persen sebagai penyedia lapangan pekerjaan. Selain sebagai penyedia lapangan kerja, pertanian juga memiliki peran dalam perolehan devisa, penyedia bahan pangan, pembentukan PDB (Produk Domestik Bruto), serta perwujudan pemerataan hasil pembangunan (Saragih, 2000).
Tabel 1. Penduduk yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2007-2010
No. Lapangan Pekerjaan
Utama 2007 2008 2009 2010
1 Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan
42.608.760 42.689.635 43.029.493 42.825.807 2 Pertambangan dan
Penggalian 1.020.807 1.062.309 1.139.495 1.188.634
3 Industri Pengolahan 12.094.067 12.440.141 12.615.440 13.052.521 4 Listrik, Gas, dan Air 247.059 207.909 209.441 208.494
5 Bangunan 4.397 132 4.733.679 4.610.695 4.844.689
6 Perdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan, dan Hotel
19.425.270 20.684.041 21.836.768 22.212.885 7 Angkutan,
Pergudangan dan Komunikasi
5.575.499 6.013.947 5.947.673 5.817.680 8 Keuangan, Asuransi,
Usaha Persewaan Bangunan, Tanah, dan Jasa Perusahaan
1.252.195 1.440.042 1.484.598 1.639.748 9 Jasa Kemasyarakatan,
Sosial dan Perorangan 10.962.352 12.778.154 13.611.841 15.615.114
Total 97.583.141 102.049.857 104.485.444 107.405.572
Sumber : Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2011(diolah)1
1
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06¬ab=2 (13 Juni 2011)
(2)
3 Pentingnya peran sektor pertanian tersebut tidak diikuti dengan tingginya tingkat kesejahteraan para pelaku pertanian. Pada umumnya, penduduk miskin berada di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani ( Tabel 2.). Keadaan tersebut menjadi sangat ironi karena Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris, namun para pelaku penting dalam penopang pembangunan ekonomi tidak mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Saragih (2000) menjelaskan bahwa pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang pembangunan industri, yaitu dengan dijaganya harga produk pertanian (terutama pangan) agar tidak mengalami kenaikan yang signifikan. Dengan demikian, sektor industri dapat memberi upah yang murah kepada tenaga kerjanya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing produknya.
Tabel 2. Rumah Tangga Penduduk Indonesia Menurut Mata Pencaharian Tahun 2008 Karakteristik Rumah Tangga Tidak Bekerja (%) Pertanian (%) Industri (%) Lainnya (%) Rumah Tangga Miskin :
1. perkotaan 2. pedesaan 3. perkotaan+pedesaan 14,71 8,67 10,62 30,02 68,99 58,35 10,55 5,09 6,86 44,72 17,26 26,16 Rumah Tangga Tidak
Miskin : 1. perkotaan 2. pedesaan 3. perkotaan+pedesaan 15,38 7,91 11,10 9,39 55,2 35,06 12,19 5,97 8,70 63,07 30,92 45,05 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2008 (diolah)2
Kesejahteraan petani semakin menurun pasca diterapkannya sistem pertanian dengan pola HEIA (High External Input Agriculture). Suwantoro (2008) menyebutkan bahwa revolusi hijau dengan asumsi yang mendasarkan pada pertumbuhan produksi ternyata salah. Pertumbuhan produksi yang berhasil dicapai tidak mampu mengangkat kesejahteraan petani. Revolusi hijau membuat petani menjadi tergantung pada perusahaan-perusahaan besar untuk menjalankan usaha pertanian mereka.
Wijaya (2002) menyebutkan beberapa ciri dari pola penerapan HEIA yaitu (1) penggunaan bahan kimiawi dan pengendalian hama dan penyakit seperti
2
(3)
4 pupuk, pestisida, dan zat pengatur tumbuh; (2) terjadinya perbaikan mutu faktor produksi seperti penggunan benih dari varietas unggul; (3) terjadinya mekanisasi pertanian seperti penggunaan mesin-mesin pertanian; dan (4) adanya perbaikan sarana dan prasarana pertanian seperti sistem pengairan dan alat-alat pertanian.
Berdasarkan penerapan pola HEIA tersebut, selain memarjinalkan petani, berdampak pula pada kerusakan lingkungan (Suwantoro, 2008). Tanah persawahan lambat laun menjadi semakin keras. Penggunaan pupuk kimia yang meningkat dari waktu ke waktu menyebabkan serangan hama menjadi semakin eksplosif dan menuntut penggunaan pestisida yang semakin meningkat pula. Pestisida tidak hanya mematikan hama tanaman tetapi juga memusnahkan banyak kehidupan yang lain. Menyadari dampak negatif pada tanah dari pertanian yang boros energi tersebut, maka berkembanglah konsep pertanian organik.
Organik identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan alami tanpa bahan kimia buatan atau sintetis. Bahan organik sebenarnya mengandung unsur atau senyawa kimia yang membangunnya, namun unsur atau senyawa kimia tersebut dapat diurai dengan baik oleh alam. Istilah “organik” berdasarkan SNI adalah istilah pelabelan yang menyatakan bahwa suatu produk telah diproduksi sesuai dengan standar produksi organik dan disertifikasi oleh otoritas atau lembaga sertifikasi resmi.
Metode pertanian organik mulai digunakan dalam budidaya tanaman padi. Syam (2008) menjelaskan bahwa padi organik sebagaimana digunakan pada kebanyakan tanaman sawah memiliki arti: (1) Tidak ada pestisida dan pupuk dari bahan kimia sintetis atau buatan yang telah digunakan; (2) Kesuburan tanah dipelihara melalui proses “alami” seperti penanaman tumbuhan penutup dan/atau penggunaan pupuk kandang yang dikompos dan limbah tumbuhan; (3) Tanaman dirotasikan di sawah untuk menghindari penanaman tanaman yang sama dari tahun ke tahun di sawah yang sama; dan (4) Pergantian bentuk-bentuk bukan-kimia dari pengendalian hama digunakan untuk mengendalikan serangga, penyakit dan gulma, misalnya serangga yang bermanfaat untuk memangsa hama, jerami setengah busuk untuk menekan gulma, dan lain-lain.
Atmojo (2003) menjelaskan bahwa kandungan bahan organik yang cukup di dalam tanah dapat memperbaiki kondisi tanah. Struktur tanah menjadi lebih
(4)
5 kompak dengan adanya penambahan bahan-bahan organik dan lebih tahan menyimpan air dibanding dengan tanah yang tidak dipupuk bahan organik. Harga jual dari produk-produk organik juga lebih mahal. Hal tersebut dikarenakan produk organik memiliki cita rasa dan kandungan gizi yang lebih baik.
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang menjadi kelemahan sistem pertanian organik, salah satunya yaitu hasil pertanian organik lebih sedikit jika dibandingkan dengan pertanian non organik yang menggunakan bahan kimia terutama pada awal penerapan pertanian organik. Lebih lanjut juga dijelaskan oleh Mapsary (2010) hasil percobaan yang dilakukan oleh PPL Kecamatan Kalibagor menunjukkan padi organik bisa berproduksi 4,9 kg/ ubin (7,84 ton/ha), sedangkan padi kimia menunjukkan 5 kg/ ubin (8 ton/ ha). Hal ini disebabkan karena sistem pertanian organik yang diterapkan pada umumnya menggunakan metode pertanian konvensional. Dengan demikian, perlu adanya metode lain guna menyelesaikan permasalahan rendahnya produksi padi organik di awal penanaman.
Saat ini muncul metode bertani padi dengan System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air. Metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Madagaskar antara tahun 1983-84 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh penemunya, metode ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie Systme de Riziculture Intensive. Sedangkan, dalam bahasa Inggris populer dengan nama System of Rice Intensification atau SRI.
SRI menjadi terkenal di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director of Cornell International Institute for Food, Agriculture, and Development (CIIFAD)). Pada tahun 1987, Uphoff mengadakan presentasi SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar (Wakid, 2010). Secara umum, dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi. Uphoff dan Fernandes (2003) menjelaskan SRI bukanlah suatu teknologi atau varietas, namun lebih dianggap sebagai suatu
(5)
6 sistem. SRI didasari pemahaman bahwa padi mempunyai potensi untuk menghasilkan lebih banyak batang dan biji daripada yang diamati sekarang. SRI juga didasari pengetahuan bahwa potensi tersebut dapat diwujudkan dengan pemindahan awal dan menciptakan kondisi untuk pertumbuhan terbaik (jarak jauh, kelembaban, tanah yang aktif dan sehat dari segi biologis, serta keadaan tanah aerobik selama masa pertumbuhan). Metode SRI memang sangat menganjurkan penggunaan pupuk organik sebagai langkah jangka panjang untuk memperbaiki struktur dan kesuburan tanah serta hasil yang lebih baik (terutama segi kualitas beras yang dihasilkan). Akan tetapi, metode SRI tidak harus menggunakan pupuk organik untuk dapat menghasilkan produksi yang maksimal3.
Madagaskar merupakan lokasi percobaan pertama penanaman padi SRI. Diujicoba pada tanah tidak subur dengan produksi normal dua ton per hektar, petani padi SRI memperoleh hasil panen lebih dari delapan ton per hektar. Beberapa petani juga ada yang mencapai 10-15 ton/hektar. Berdasarkan penelitian Richardson (2010) petani di Jawa Timur memanen tujuh ton padi per hektar pada awal penerapan metode SRI. Dengan demikian, metode SRI dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian antara para praktisi yang berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan para penganut kelestarian lingkungan hidup.
Kegiatan partisipatif dalam menerapkan metode SRI juga telah dilakukan oleh petani di banyak propinsi di Indonesia. Lebih lanjut, Anugrah (2008) menyatakan bahwa penerapan SRI di Indonesia terus berkembang dan dipraktekkan para petani di beberapa Kabupaten di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, NTB, Kalimantan, Sulawesi, serta dibeberapa lokasi lainnya di tanah air. Apabila produksi padi dilihat menurut wilayah di Indonesia, maka Pulau jawa merupakan Pulau dengan tingkat produksi beras tertinggi. Dapat dilihat pada Tabel 3. pada setiap tahunnya produksi beras di Jawa lebih tinggi dari pulau lainnya, meskipun peningkatan produksi tersebut karena adanya penambahan luas panen. Karena Pulau Jawa memiliki peranan yang cukup penting dalam perberasan nasional, maka metode pertanian padi SRI ini sangat cocok untuk dikembangkan.
3
Ulliych M. 2010. Padi SRI Tidak Identik Dengan Padi Organik. http://sukatani-banguntani.blogspot.com/2010/03/padi-sri-tidak-identik-dengan-padi.html[16 April 2011]
(6)
7 Tabel 3. Luas Panen, Produktivitas, Produksi Padi Menurut Wilayah di Indonesia
Tahun 2007-2009
2007 2008 2009
Propinsi (a) (b) (c) (a) (b) (c) (a) (b) (c) Jawa 5,6 318,10 30,5 5,7 328,16 32,3 6,1 336,73 34,9 Sumatera 3,1 382,39 12,8 3,1 387,74 13,6 3,3 395,73 14,7 Bali &
Nusa Tenggara
0,5 134,21 2,9 0,7 137,79 3,2 0,7 139,72 3,4 Sulawesi 1,2 267,32 5,5 1,4 236,21 6,6 1,4 285,96 6,8 Maluku &
Papua 0,6 140,02 0,2 0,7 143,91 0,3 0,1 148,70 0,3 Luar Jawa 1,3 130,26 4,3 1,3 132,38 4,4 1,3 135,97 4,4 Indonesia 12,1 1.372,30 57,2 12,3 1.366,19 60,32 12,9 1.442,81 64,4 Ket : (a) :Luas Panen (juta ha);
(b) :Produktivitas (Ku/ha); (c) :Produksi (juta ton). Sumber, BPS 2009 (diolah)4
Jawa Tengah sebagai salah satu propinsi di Pulau Jawa memiliki kontribusi yang sangat besar dalam penyediaan beras di Jawa. Berdasarkan data BPS dari tahun 2007-2009 Jawa Tengah berturut-turut memproduksi beras sebesar 8.616.855 ton, 9.136.405 ton, dan 9.600.415 ton. Desa Ringgit merupakan salah satu desa di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah menerapkan pertanian padi organik sejak tahun 1997, dan menjadi desa yang pertama kali menerapkan metode SRI organik sejak tahun 2003 di Kabupaten Purworejo. 1.2. Perumusan Masalah
Ringgit merupakan salah satu desa dari 57 desa lumbung padi di Kecamatan Ngombol Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Sebagai desa penghasil beras, maka tanaman padi menjadi komoditas utama dalam kegiatan budidaya. Pada tahun 1997 beberapa petani Desa Ringgit sudah mulai menerapkan pertanian organik dengan metode konvensional. Akan tetapi, hasil panen yang diperoleh sebesar 4,3 ton per hektar lebih rendah dibandingkan dengan pertanian konvensional dengan jumlah 4,5 ton per hektar. Oleh sebab itu, hanya sedikit petani yang tetap mempertahankan penanaman padi dengan input organik
4
(7)
8 tersebut. Hingga saat ini terdapat dua metode yang diterapkan oleh petani Desa Ringgit dalam menanam padi yaitu metode konvensional dan SRI.
Metode SRI mulai dikenal oleh petani Desa Ringgit pada tahun 2003 melalui Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) yang diadakan oleh seorang biarawati yang berasal dari Magelang. Pembelajaran Ekologi Tanah adalah metodologi pembelajaran untuk melihat kaitan unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain yang membentuk kehidupan di dalam tanah. Berkat adanya pembelajaran tersebut mulai banyak petani yang bersedia menerapkan metode SRI dengan input organik atau biasa disebut dengan SRI organik. Walaupun tidak sedikit pula petani yang masih skeptis akan adanya metode tersebut. Hal ini disebakan karena banyak perlakuan yang berbeda pada teknis budidaya SRI dengan budaya bertanam padi yang selama ini telah dilakukan petani. Sebagian kelompok tani yang telah menerapkan metode SRI mampu menghasilkan padi dengan warna lebih cerah, kuning, dan lebih berat daripada padi umumnya. Menurut petani pembudidaya padi metode SRI daerah setempat, apabila dirata-rata hasil panen padi mencapai 9 ton per hektar.
Dengan demikian, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, terdapat beberapa kondisi yang menjadi pertanyaan. Bagaimanakah keragaan usahatani padi SRI organik yang berada di Desa Ringgit, serta adakah perbedaan pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang signifikan antara pertanian dengan metode SRI organik dan konvensional.
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit.
2. Menganalisis pendapatan, produktivitas, dan efisiensi antara pertanian padi konvensional dengan metode SRI organik.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi petani setempat untuk menjadi bahan pertimbangan dalam memilih metode bertanam padi yang akan diterapkan, sehingga petani dapat lebih menerapkan keahlian dan
(8)
9 pengalamannya dengan baik. Serta penulisan ini diharapkan dapat menjadi sarana belajar dan berbagi ilmu pengetahuan bagi penelitian selanjutnya.
(9)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Pertanian Organik di Indonesia
Pada tiga dekade terakhir ini, peningkatan kepedulian konsumen terhadap lingkungan semakin meningkat dan isu pemasaran hijau mulai bergeser dari sekedar nilai tambah menjadi hal yang utama. Meskipun jumlah pembeli produk organik semakin meningkat, namun banyak diantara mereka yang tidak mengerti secara jelas apa pengertian sebenarnya dari istilah organik tersebut. Pada umumnya konsumen cenderung berpikir bahwa produk organik adalah produk yang bagus tidak hanya dari segi kandungan nutrisi namun juga penampilan produknya.
Pada pengertian sebenarnya organik tidak hanya tertuju pada produk atau kandungan bahan-bahan di dalamnya, tetapi pada keseluruhan sistem produksi budidaya. Oleh sebab itu, pada tahun 2000 United States Department of Agriculture (USDA) menegaskan bahwa pengertian organik sebagai suatu sistem manajemen produksi lingkungan yang mampu meningkatkan keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan kegiatan biologi dengan menggunakan input minimal.
Untung (1997) menyatakan bahwa pertanian organik merupakan sistem pertanian yang bertujuan untuk tetap menjaga keselarasan (harmoni) dengan sistem alami, dengan memanfaatkan dan mengembangkan semaksimal mungkin proses-proses alami dalam pengelolaan usahatani. Prayogo dkk (1999) juga memberikan definisi bahwa pertanian organik adalah suatu sistem pertanian yang tidak menggunakan bahan kimia buatan; mewujudkan sikap dan perilaku hidup yang menghargai alam; dan berkeyakinan bahwa kehidupan adalah anugerah Tuhan yang harus dilestarikan.
Pada tahun 1984 pertanian organik mulai muncul di Indonesia. Hingga saat ini pertanian organik semakin berkembang di berbagai pelosok wilayah di Indonesia. Adiyoga (2002) menjelaskan bahwa status pertanian organik di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup baik, walaupun kontribusinya terhadap produksi total relatif masih kecil (diperkirakan masih < 1%). Semakin
(10)
11 banyaknya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pertanian organik merupakan suatu indikator dan refleksi meningkatnya tingkat kesadaran akan pentingnya konsumsi sayuran sehat/bersih. Prospek pengembangan pertanian organik juga cenderung menjanjikan, sebagaimana diindikasikan oleh masih banyaknya permintaan yang belum dapat dipenuhi karena adanya keterbatasan pasok.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suwantoro (2008) seringkali terdapat berbagai perbedaan praktek pertanian organik di beberapa wilayah dalam proses budidaya. Berbagai perbedaan tersebut antara lain disebabkan oleh (1) belum diterapkannya standarisasi yang ada sehingga masing-masing kelompok atau pelaku pertanian organik dapat menerapkan standard sendiri; (2) Orientasi pasar, dengan standar yang sudah ditetapkan oleh kelompok dan apabila bisa menyakinkan pasar bahwa produknya berkualitas dan layak dihargai lebih maka untuk selanjutnya cukuplah memakai standar tersebut; dan (3) para petani kita, dengan adanya revolusi hijau terbiasa melihat tanaman selalu dalam kondisi hijau. Untuk melakukan pertanian organik sebagaimana mestinya seringkali belum mempunyai ketetapan 100 persen sehingga dalam prakteknya masih menggunakan pupuk kimia sebagai pupuk dasar dan sudah sebisa mungkin meninggalkan penggunaan pestisida kimia.
Berdasarkan perbedaan asumsi tersebut Suwantoro (2008) juga menjelaskan sistem pertanian organik juga terbagi menjadi tiga yaitu (1) sistem pertanian organik – proses budidaya yang dilakukan tidak menggunakan pupuk dan pestisida kimia serta mengembangkan jenis benih lokal. Adanya konversi selama 3 – 4 musim tanam dengam melihat riwayat penggunaan pupuk dan pestisida kimi sintetis pada lahan tersebut; (2) sistem pertanian semi organik – dalam proses budidaya masih mentoleransi penggunaan pupuk kimia sintetis dalam jumlah terbatas untuk pupuk dasar maupun pupuk lanjutan dan sebagian yang lain masih mentoleransi penggunaan pestisida kimia dalam keadaan khusus; (3) sistem pertanian konvensional - Sistem pertanian ini masih mengandalkan pupuk dan pestisida kimia sintetis. Pemupukan yang dilakukan belum berimbang kebanyakan masih menggunakan pupuk putih (urea). Hasil produksi dijual ke pasar umum.
(11)
12 2.2. Dampak Penerapan Metode Organik
Pada beberapa tahun terakhir pertanian organik menjadi pusat perhatian karena sistem ini mampu menawarkan beberapa alternatif pemecahan masalah yang menimpa sektor pertanian. Pertanian organik dapat memberi perlindungan terhadap lingkungan dan konservasi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, memperbaiki kualitas hasil pertanian, menjaga pasokan produk pertanian sehingga harganya relatif stabil, serta memiliki orientasi dari memenuhi kebutuhan hidup ke arah permintaan pasar.
Naibaho mengungkapkan bahwa penggunaan pupuk organik yang tepat mampu menghasilkan 6,16 ton per hektar5. Dikatakan juga bahwa tercapainya produksi padi tersebut karena adanya perbaikan struktur dan tekstur tanah diakibatkan adanya pemakaian pupuk organik pada lahan sawah yang dibudidayakan setelah dilakukan masa bera selama kurang lebih 2-3 tahun tergantung pada kandungan anorganik di dalamnya. Berdasarkan tanah tersebut, maka kesuburan tanah semakin meningkat sehingga dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk menyerap unsur hara yang ada dalam tanah.
Lebih lanjut dijelaskan pula beberapa dampak yang diberikan dari hasil pertanian organik oleh Gunarno6, Karnowo (2003), serta Wijaya (2002) yaitu : (1) Biaya tunai yang dikeluarkan lebih kecil; (2) Aktivitas mikroorganisme antagonis yang bisa membantu meningkatkan kesuburan tanah meningkat; (3) harga jual produk organik lebih tinggi; (4) Meningkatkan cita rasa hasil pertanian; (5) Kandungan nutrisi lebih tinggi; dan (6) Meningkatkan waktu penyimpanan.
Gunarno (2010), Karnowo (2003), serta Wijaya (2002) juga menjelaskan beberapa kelemahan dari pertanian organik yaitu : (1) Banyak petani di Indonesia beranggapan bahwa pupuk organik tidak dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman dan memiliki respon yang lebih lamban; (2) Pengendalian hama secara biologis masih dipandang mahal dan kurang efektif bagi petani umumnya; (3)
5
Naibaho Yuni. 2011. Pupuk Organik Tingkatkan Produksi Padi Kabubaten Batubara.http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2011/01/26/16746/pupuk_organik_tingkatk an_produksi_padi_kabubaten_batubara/ ( 26 April 2011)
6
Gunarno. 2010. Kelebihan dan Kekurangan Pertanian Organik. http://gunarno.student.umm.ac.id/2010/02/02/kelebihan-dan-kekurangan-pertanian-oranganik/ ( 09 Mei 2011).
(12)
13 Wilayah pertanian organik yang tidak terisolasi dengan pertanian konvensional, membuat pertanian organik lebih rawan terhadap hama; (4) Hasil produksi pada musim tanam awal sedikit dan akan meningkat sesuai dengan kondisi tanah yang semakin membaik; dan (5) Para petani enggan menggunakan pupuk organik secara keseluruhan karena pupuk kompos menyebabkan banyak tumbuh gulma. 2.3. Gambaran Umum Pertanian Padi SRI di Indonesia
SRI merupakan akronim dari System of Rice Intensification. SRI merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan7. SRI mengembangkan praktek pengelolaan padi yang memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman yang lebih baik, terutama di zona perakaran, dibandingkan dengan teknik budidaya cara tradisional (Berkelaar, 2001). SRI dikembangkan di Madagaskar awal tahun 1980 oleh Henri de Lauline, seorang pastor Jesuit yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. WASSAN (2006) menjelaskan bahwa dalam metode SRI terdapat beberapa komponen penting yang membangunnya yaitu :
1. Jarak tanam yang lebar – dengan jarak antar tanaman yang lebar masing-masing tanaman mendapatkan lebih banyak ruang, udara, dan cahaya sehingga akar padi akan tumbuh lebih sehat dan dapat menyerap nutrisi lebih banyak sehingga menghasilkan jumlah anakan dan malai dengan lebih banyak bulir dan padat berisi.
2. Penggunaan sedikit benih – dengan jarak tanam yang lebar maka kebutuhan benih padi menjadi lebih sedikit. Sehingga juga dapat mengurangi biaya pembelian bibit.
3. Penanaman bibit muda – penanaman pada saat bibit muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga batang yang muncul lebih banyak jumlahnya dalam satu rumpun maupun bulir padi yang dihasilkan
7
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Rice
(13)
14 oleh malai. Disamping itu juga agar mendapatkan jumlah anakan dan pertumbuhan akar maksimum.
4. Penggunaan sedikit air – apabila air menggenangi lahan penanaman padi maka akar tanaman akan mati karena kekurangan udara. Akar tanaman padi yang mati berwarna coklat. Tanaman padi dapat tumbuh tanpa air yang menggenang sebab padi bukan merupakan tanaman air melainkan tanaman yang membutuhkan banyak air. Oleh sebab itu, kondisi tidak tergenangi hanya dipertahankan selama pertumbuhan vegetatif. Selanjutnya setelah pembuangan sawah digenangi air 1-3cm. Dengan cara seperti ini akan tercipta kondisi perakaran yang teroksidasi dan tumbuh sehat.
5. Pengembalian gulma ke dalam tanah – hal tersebut dilakukan agar dapat meningkatkan aerasi tanah dan gulma dapat menjadi pupuk organik bagi tanaman padi. Dengan demikian, akar dan tanaman tumbuh sehat serta lahan menjadi lebih subur.
6. Penggunaan bahan organik – bahan organik merupakan asupan utama bagi tanah. Penggunaan bahan organik dapat mendatangkan berbagai jenis mikroorganisme yang dapat memperbaiki struktur tanah, sehingga padi dapat tumbuh baik.
Uji coba SRI pertama kali di Indonesia dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Sukamandi Jawa Barat pada musim kemarau 1999 dengan hasil 6,2 ton/ha dan pada musim hujan 1999/2000 menghasilkan padi rata-rata 8,2 ton/ha (uphoff, 2002; Sato, 2007). Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode penanaman padi lain. Namun demikian, hasil penelitian IRRI (International Rice Research Institute) di Cina dan Filipina tidak menemukan tambahan hasil yang nyata dari penerapan SRI. Dari perbedaan hasil tersebut, para ahli padi menyimpulkan bahwa kemungkinan telah terjadi kesalahan pengukuran dan observasi dalam pelaksanaan kajian SRI di Madagaskar.
Dalam beberapa forum diskusi, pengembangan SRI masih menimbulkan debat dan polemik teknis yang kadangkala bersifat kontroversi. Dalam kaitan ini, IRRI sebagai Lembaga Penelitian Padi Nasional yang lebih berkompeten dalam inovasi teknologi padi tidak begitu antusias dalam mengembangkan SRI, bahkan
(14)
15 IRRI bersama-sama dengan lembaga penelitian nasional di berbagai negara, termasuk di Indonesia mengembangkan model dan pendekatan Integrated Crop Management (ICM) atau Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Perbedaan dalam perhitungan hasil produksi, menjadi polemik yang paling utama disamping aspek teknis usahatani padi yang diterapkan pada SRI tersebut.
Namun demikian, diakui atau tidak kegiatan partisipatif yang telah dilakukan oleh para petani dalam menerapkan metode SRI di beberapa daerah terus berkembang. Terdapat banyak istilah berbeda pula yang digunakan dalam pelaksanaan pertanian padi metode SRI ini, seperti istilah yang digunakan oleh masyarakat Sumatera Barat khususnya di daerah Sawahlunto yaitu “Metoda Padi Tanam Sabatang”. Sedangkan di Klaten Jawa Tengah SRI diperkenalkan dengan cara “bertanam maju” atau tanam padi tidak mundur yang diperkenalkan oleh Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP). Di kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan metode ini dikenal dengan istilah “padi SRI organik”.
Penelitian yang telah dilakukan oleh Rakhmi (2008) menjelaskan bahwa pelaksanaan metode SRI yang dilakukan oleh kelompok tani Binuang Saiyo telah sukses melakukan usahatani padi sawah dengan sistem SRI. Sebuah penelitian lain mengenai penerapan metode SRI yang dilakukan oleh Richardson (2010) di Jawa Timur menyatakan bahwa metode SRI yang diterapkan mampu menghasilkan panen rata-rata sebesar 7 – 8 ton/ha. Sedangkan biasanya jumlah hasil panen hanya mencapai 3 ton/ha.
Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Richardson dan Rakhmi, penelitian Putra (2009) pada kelompok tani Lolongkaran budidaya padi yang diterapkan tidak sepenuhnya sesuai dengan prosedur pelaksanaan metode SRI, namun petani tersebut menyesuaikan dengan kemampuan petani itu sendiri seperti dalam kegiatan penyemaian, penanaman, dan pengaturan jarak tanam. Hal tersebut disebabkan karena petani Lolongkaran belum terbiasa dengan metode SRI tersebut.
Ketidakberhasilan penerapan metode SRI pada beberapa petani disebutkan oleh Berkelaar (2010) salah satunya karena praktek penerapan SRI tampak “melawan arus”. SRI menentang asumsi dan praktek yang selama ratusan bahkan ribuan tahun telah dilakukan. Beberapa contoh lain diantaranya yaitu (1)
(15)
16 Kebanyakan petani padi menanam bibit yang telah matang (umur 20-30 hari), dalam bentuk rumpun, secara serentak, dengan penggenangan air di sawah seoptimal mungkin di sepanjang musim. (2) SRI "harus" menggunakan pupuk organik dimana sampai saat ini petani belum siap memproduksi pupuk organik sendiri dan pupuk organik masih "mahal" untuk dibeli. (3) Penanaman 1 (satu) bibit per lubang tanam dengan bibit yang masih muda masih merupakan praktek yang sulit dilaksanakan petani karena harus dilaksanakan secara cepat. (4) Sistem pemberian air yang terputus (intermittent) di lahan beririgasi merupakan hal yang masih sulit dilaksanakan dimana pergiliran pengairan pada petak-petak tersier atau sekunder dilaksanakan berdasarkan waktu hari (10 harian, dua mingguan atau pada musim kemarau di daerah kering dilaksanakan sebulan sekali). (5) Proses pengeringan lahan di lahan beririgasi yang relatif datar masih sulit dilaksanakan. 2.4. Dampak Penerapan Metode SRI
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Mediana (2010) dampak penerapan metode SRI dapat terlihat dari tiga hal yaitu (a) dampak terhadap produktivitas – peningkatan produksi atau produktivitas pada umumnya terjadi karena jumlah anakan padi lebih banyak. Dengan anakan yang cukup banyak, menyebabkan anakan produktif yang terbentuk juga cukup tinggi sehingga sangat memungkinkan hasil gabah lebih tinggi; (b) dampak terhadap penggunaan saprodi - secara umum penerapan pola SRI lebih ditekankan pada pola penghematan dalam penggunaan air. Dengan kebutuhan pengairan yang macak-macak maka kebutuhan jumlah air per hektar mengalami penurunan sangat drastis; dan (c) dampak terhadap pendapatan petani - dampak yang dirasakan dari penerapan metode SRI adalah tingginya produksi padi yang dihasilkan jika dibandingkan dengan cara konvensional8. Semakin tinggi produksi maka nilai jual padi juga semakin besar. Dengan demikian, keuntungan yang diperoleh petani juga menjadi lebih besar.
8
Mediana Susti. 2010. Dampak Penerapan Metode SRI (System of Rice Intensification).JurnalUripSusanto.http://uripsantoso.wordpress.com/10/10/16/dampak-penerapan-metode-sri-system-of-rice-intensification/ (16 April 2011).
(16)
17 Lebih lanjut dikatakan oleh Kunia bahwa paling tidak terdapat empat alasan utama perlu dikembangkannya SRI9. Pertama, metode SRI terbukti mampu menghasilkan produktivitas padi yang tinggi di atas rata-rata nasional. Kedua, SRI juga dapat menghemat penggunaan air sampai 40 persen. Penggunaan bibit juga dapat dihemat sampai 80 persen, sehingga dapat mengurangi biaya usahatani. Ketiga, SRI mampu memulihkan kesuburan lahan dan mampu memelihara keberlanjutan produktivitas lahan. Keempat, metode SRI dikenal ramah lingkungan karena : a) memitigasi terjadinya polusi asap akibat berkurangnya pembakaran jerami sehingga mampu menekan emisi gas CO2; b) memitigasi emisi gas metan yang dihasilkan oleh proses reduksi (anaerob) akibat penggenangan sawah; c) mitigasi emisi CO2 dan metan (CH4) akan menekan produksi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dapat memicu pemanasan global; d) daur ulang limbah (sampah) menjadi prinsip SRI, sehingga penumpukan sampah dapat dihindari; e) aplikasi bahan kimia (agrochemical) sangat dibatasi, kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat kontaminasi dengan bahan dan residu kimia dapat dicegah; dan f) produk beras SRI dapat digolongkan sehat, karena tidak diproduksi dengan pupuk kimia dan pestisida sintetis.
Penerapan metode SRI yang telah dilakukan oleh sebagian petani di Indonesia selain memberikan dampak positif juga memberikan dampak negatif. Seperti penjelasan yang diberikan oleh Andrina bahwa kurang tersedianya pupuk kandang merupakan kendala bagi pengembangan SRI, karena petani tidak mampu memproduksi kompos untuk keseluruhan lahannya. Oleh sebab itu, dilihat dari aspek ekonomi usahatani dengan metode SRI, apabila penggunaan tenaga kerja keluarga diperhitungkan, maka terjadi peningkatan total biaya tunai10. Total biaya ini akan lebih banyak lagi apabila harga kompos diperhitungkan. Lebih tingginya total biaya tunai dari usahatani dengan metode SRI secara langsung akan mengurangi tingkat keuntungan dibanding usahatani dengan teknologi intensif yang telah ada.
9
Kunia Kabelan. 2009. SRI : Teknologi Budidaya Padi Serba Hemat.
http://belan.blogdetik.com/2009/06/26/httpnewspaperpikiran-rakyatcomprprintphpmibberitadetailid83032/ (16 April 2011)
10
Andrina. 2009. Sudah Siapkah SRI Diterapkan di Indonesia. http://rinaedogawa.blogspot.com/2009/01/sudah-siapkah-system-of-rice.html (16 April 2011)
(17)
18 Secara finansial, usahatani padi dengan metode SRI memang lebih efisien daripada usahatani dengan metode intensif konvensional. Namun secara ekonomi, efisiensi produksi usahatani padi dengan metode SRI lebih rendah dibanding metode intensif konvensional. Seperti juga halnya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Rachmiyanti (2009) bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi konvensional. Berdasarkan R/C ratio yang diperoleh menjelaskan petani padi konvensional memiliki angka lebih besar dari petani padi organik metode SRI. 2.5. Perbedaan dan Persamaan dengan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini memiliki kesamaan dalam unsur alat analisis yang digunakan, dimana penelitian ini menggunakan alat analisis usahatani dan uji signifikasi dengan menggunakan uji t. Dengan demikian, penelitian terdahulu digunakan sebagai referensi mengenai alat analisis yang akan digunakan pada saat penelitian dilakukan.
Hal yang menjadi pembeda antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu lokasi penelitian yang dilaksanakan di Desa Ringgit, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Perbedaan dari penelitian ini terletak pula pada komponen variabel yang diujibedakan yaitu adanya tambahan uji beda antara produktivitas dan efisiensi.
(18)
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Definisi Usahatani
Menurut Adiwilaga (1982), ilmu usahatani adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan orang melakukan pertanian dan permasalahan yang ditinjau secara khusus dari kedudukan pengusahanya sendiri atau ilmu usahatani yaitu menyelidiki cara-cara seorang petani sebagai pengusaha dalam menyusun, mengatur dan menjalankan perusahaan itu.
Menurut Mosher (1968) usahatani adalah suatu tempat atau sebagian dari permukaan bumi dimana pertanian diselenggarakan seorang petani tertentu, apakah ia seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji dari sumber-sumber alam yang terdapat pada tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah itu dan sebagainya.
Menurut Kadarsan (1993) dalam Kamaluddin, usahatani adalah suatu tempat dimana seseorang atau sekumpulan orang berusaha mengelola unsur-unsur produksi seperti alam, tenaga kerja, modal dan ketrampilan dengan tujuan berproduksi untuk menghasilkan sesuatu di lapangan pertanian11.
Menurut Soekartawi (1995) bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu terapan yang membahas atau mempelajari bagaimana menggunakan sumberdaya secara efisien dan efektif pada suatu usaha pertanian agar diperoleh hasil maksimal. Sumberdaya itu adalah lahan, tenaga kerja, modal dan manajemen.
11
Kamaluddin. 2010. Analisis Usaha Tani.
(19)
20 3.1.2. Definisi Usahatani Berkelanjutan
Technical Advisory Committee of the CGIAR (Concultative Group on International Agricultural Research) pada tahun 1988 menjelaskan bahwa pertanian berkelanjutan adalah pengelolaan sumberdaya yang berhasil untuk usaha pertanian guna membantu kebutuhan manusia yang berubah sekaligus mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan melestarikan sumberdaya alam.
FAO (Food and Agriculture Organization) mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan mengkonservasi sumberdaya alam.
Sedangkan Gips (1986) dalamWijaya (2002) mendefinisikan secara lebih luas dan menilai pertanian bisa dikatakan pertanian berkelanjutan jika mencakup hal-hal berikut :
1. Mantap secara ekologis, yang berarti bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, dan hewan sampai organisme tanah dapat ditingkatkan. 2. Berlanjut secara ekologis, yang berarti bahwa petani bisa cukup
menghasilkan output untuk pemenuhan kebutuhan dan/atau pendapatan sendiri, serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan.
3. Adil, yang berarti bahwa sumberdaya dan kekuasaan didistribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua anggota masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin.
4. Manusiawi, yang berarti bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan, dan manusia) dihargai.
5. Luwes, yang berarti bahwa masyarakat pedesaan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usahatani yang berlangsung terus, misalnya pertambahan penduduk, kebijakan, dan permintaan pasar.
(20)
21 Adapun komponen pertanian berkelanjutan secara ekologi, antara lain : a. Mempertahankan sumberdaya terpenting dalam pertanian yaitu tanah dan air; b. Melindungi proses ekologi dan mempertahankan keseimbangan ekologi; c. Konservasi terhadap biodiversity.
Dengan menggunakan metode yang berkelanjutan untuk tanaman pangan, para petani dan pekebun dapat menanam lebih banyak di lahan yang sempit, dengan sedikit atau tanpa pupuk dan pestisida kimia. Ini akan menghasilkan pangan yang lebih banyak dan lebih baik untuk dimakan dan dijual, biaya memproduksi bahan makanan lebih kecil, dan mengurangi pencemaran udara, air, tanah, dan tubuh. Usahatani yang berkelanjutan dapat meningkatkan kesehatan masyarakat karena:
mengurangi ancaman kekeringan melalui konservasi air.
mengurangi ketergantungan pada bahan kimia, menghemat uang, dan membangun kepercayaan pada kemampuan untuk mandiri. Usahatani tanpa bahan kimia mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat bahan kimia pada petani, pekerja di lahan pertanian, dan semua orang yang mengkonsumsi makanan yang diproduksi atau meminum air dari sumber air setempat.
menurunkan jumlah pekerjaan yang diperlukan untuk menghasilkan pangan bila metode yang berkelanjutan ini digunakan. Misalnya dengan membuat pupuk hijau.
3.1.3. Unsur – Unsur Pokok Usaha Tani
Menurut Tjakrawiralaksana (1983) dalam usahatani atau bercocok tanam terdapat :
1. Lahan dalam luasan dan bentuk tertentu.
Unsur pokok lahan dalam usahatani mempunyai fungsi sebagai tempat atau wadah penyelenggaraan sarana usaha bercocok tanam. Lahan merupakan faktor produksi yang relatif langka dibanding dengan faktor produksi lainnya dan distribusi penguasaannya di masyarakat pun tidak merata. Adapun lahan itu sendiri memiliki beberapa sifat, antara lain: luas relatif tetap atau dianggap tetap, tidak dapat dipindah-pindahkan, dan dapat dipindahtangankan. Berdasarkan hal tersebut maka lahan kemudian dianggap sebagai salah satu faktor produksi
(21)
22 usahatani meskipun di bagian lain dapat juga berfungsi sebagai faktor atau unsur pokok dari modal usahatani.
2. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan faktor produksi kedua selain lahan, modal, dan manajemen. Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu manusia, ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya.
Tenaga kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan. Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak dan atau manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat memperkerjakan tenaga kerja dari luar keluarga dengan memberi balas jasa berupa upah.
3. Modal
Menurut Hernanto (1991), modal adalah barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lain yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang baru, yaitu produk pertanian. Diantara empat faktor produksi yang terdapat dalam usahatani, modal merupakan salah satu faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan usahatani, terutama modal operasional. Hal ini karena modal operasional terkait langsung dengan aktivitas yang terjadi dalam kegiatan usahatani. Adapun yang dimaksud dengan modal operasional adalah modal dalam bentuk tunai yang dapat ditukarkan dengan barang modal lain seperti sarana produksi dan tenaga kerja, bahkan untuk membiayai pengelolaan (manajemen). 4. Pengelolaan (manajemen).
Pengelolaan atau manajemen usahatani adalah kemampuan petani menentukan, mengorganisir, dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasainya sebaik mungkin serta mampu memberikan produksi pertanian sebagaimana yang diharapkan. Ukuran dari keberhasilan pengelolaan itu adalah produktivitas dari setiap faktor maupun produktivitas dari usahanya.
(22)
23 3.1.4. Konsep Produksi dan Biaya
Salvatore (2001), Samuelson dan Nordhaus (1992) serta Schileer (1989) menjelaskan bahwa fungsi produksi menyatakan hubungan antara jumlah output maksimum yang bisa diproduksi dan input yang diperlukan guna menghasilkan out put tersebut, dengan tingkat pengetahuan teknik tertentu. Fungsi produksi menggambarkan apa yang layak secara teknis (technically feasible) bila perusahaan berusaha secara efisien.
Asumsi dasar untuk menjelaskan fungsi produksi ini adalah berlakunya “The Law of Diminishing Return” yang menyatakan bahwa apabila suatu input ditambahkan dan input-input lain tetap, maka tambahan output dari setiap tambahan satu input yang ditambahkan mula-mula menaik, tapi pada suatu tingkat tertentu akan menurun jika input tersebut terus ditambahkan (Gambar 1).
Gambar 1. Kurva Produksi
Sumber : Iswardono SP,1990
Kurva biaya adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara jumlah ongkos produksi dengan tingkat output yang dihasilkan. Biaya produksi adalah semua pengeluaran yang dilakukan oleh petani untuk memperoleh faktor-faktor produksi guna memproduksi output. Macam-macam biaya yang dimaksud yaitu sebagai berikut :
(23)
24 1. Total Fixed Cost (Biaya Tetap Total) adalah jumlah biaya yang tetap yang tidak dipengaruhi oleh tingkat produksi. Contoh : penyusutan, sewa lahan, dan sebagainya.
2. Total Variable Cost (Biaya Variabel Total) adalah jumlah biaya-biaya yang dibayarkan yang besarnya berubah menurut tingkat yang dihasilkan. Contoh : biaya bahan mentah, tenaga kerja, dan sebagainya.
3. Total Cost (Biaya Total) adalah penjumlahan antara biaya total tetap dengan biaya total variabel.
Gambar 2. Kurva Biaya Total
Sumber : Iswardono SP,1990
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Pertanian di Indonesia saat ini sudah mulai berkembang mengikuti isu-isu lingkungan yang ada. Organik merupakan salah satu metode yang mulai digunakan dalam menyikapi isu tersebut. Akan tetapi, produksi dari pertanian organik yang sedang dilakukan saat ini tidak mampu mencukupi seluruh kebutuhan pangan masyarakat di negara berkembang ini. Kemudian muncul metode menanam padi SRI yang dikatakan memiliki produktivitas lebih tinggi
(24)
25 dibandingkan dengan bertanam padi dengan metode konvensional. Desa Ringgit merupakan salah satu desa di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang telah menerapkan pertanian organik sejak tahun 1997. Pada tahun 2003 di desa ini diperkenalkan metode bertanam padi dengan metode SRI. Hingga saat ini terdapat petani yang membudidayakan padi konvensional dan SRI organik.
Adapun kerangka pemikiran operasional penelitiannya, yaitu dengan cara membandingkan keragaan usahatani antara metode konvensional dan SRI organik yang akan dijelaskan secara deskriptif. Perbandingan keragaan usahatani akan dilihat dari input yang digunakan serta cara budidaya yang dilakukan. Selain keragaan usahatani, terdapat tiga variabel yang akan dibandingkan antara metode konvensional dan SRI organik yaitu produktivitas, pendapatan, serta efisiensi. Ketiga variabel tersebut didapatkan dari perhitungan usahatani yang dilakukan pada 60 responden, kemudian data yang diperoleh dari hasil perhitungan usahatani akan digunakan dalam perhitungan uji beda t. Untuk lebih jelasnya mengenai gambaran dari penelitian yang akan dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.
(25)
26 Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah)
Kesejahteraan petani padi umumnya rendah Isu lingkungan (global warming)
Pertanian organik dengan metode konvensional menghasilkan produksi yang rendah khususnya pada awal penanaman
Desa Ringgit menjadi desa pertama yang menerapkan
metode SRI organik di kabupaten Purworejo Perbandingan
pendapatan, produktivitas,
dan efisiensi
Keragaan usahatani
Masukan bagi petani daerah setempat
Analisis deskriptif
Uji beda T Analisis usahatani
(26)
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengambilan data telah dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2011 di Desa Ringgit Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah dengan data yang digunakan yaitu pada musim tanam II. Pemilihan lokasi dan pemilihan waktu penelitian dilakukan dengan cara sengaja (purposive), dengan pertimbangan karena daerah ini merupakan daerah yang pertama kali menerapkan metode SRI organik di Kabupaten Purworejo. Untuk pemilihan waktu, bulan Juli-Agustus yaitu karena pada bulan tersebut petani sudah memanen hasil padinya. Hal tersebut menjadi pertimbangan karena kajian yang diteliti adalah usahatani, bukan proses budidayanya. Walaupun dalam penulisan dijelaskan beberapa hal berkaitan dengan pembudidayaan padi.
4.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden yang dipandu dengan kuisioner. Wawancara dilakukan dengan petani, penyuluh pertanian dari kantor Dinas Pertanian Kabupaten Purworejo, dan tokoh masyarakat. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui penelusuran karya-karya ilmiah dan data-data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemerintah yang memberikan informasi dan data yang relevan dengan topik yang dikaji.
4.3. Metode Pengambilan Sampel
Populasi adalah keseluruhan orang, kejadian, atau hal minat yang ingin peneliti investigasi (Sekaran, 2006). Menurut Cooper (2009) populasi adalah total kumpulan elemen atau unsur yang kita harapkan membuat kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah petani padi konvensional dan SRI organik di Desa Ringgit tahun 2011 pada musim panen kedua. Jumlah populasi petani padi konvensional di Desa Ringgit yaitu sebanyak 74 orang, serta populasi petani padi SRI organik Desa Ringgit tahun 2011 yaitu sebanyak 31 orang.
(27)
28 Sampel adalah sebagian dari populasi atau sejumlah anggota yang dipilih dari populasi (Sekaran, 2006). Penelitian ini mengambil sampel dengan jumlah sebanyak 60 orang petani. Masing-masing petani baik konvensional dan SRI organik sebanyak 30 orang. Akan tetapi, terdapat 13 orang petani yang menerapkan kedua metode tersebut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani di Desa Ringgit tidak hanya mengerjakan lahannya sendiri, namun ada pula petani yang mengerjakan lahan orang lain (penggarap).
Jumlah sampel tersebut telah memenuhi aturan umum secara statistik yaitu ≥ 30 orang karena sudah terdistribusi normal dan dapat digunakan untuk memprediksi populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel untuk responden organik menggunakan metode sensus, karena jumlah petani yang telah menerapkan SRI organik selama tiga tahun lebih di Desa Ringgit ada 31 orang. Untuk responden konvensional teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu dengan metode simple random sampling.
4.4. Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data kuantitatif dilakukan dengan menggunakan komputer (software Microsoft Excel dan SPSS), sedangkan untuk data kualitatif, diolah secara deskriptif. Data kuantitatif yang dianalisis yaitu sistem usahatani padi dan uji beda produktivitas, pendapatan, serta efisiensi antara padi organik dan konvensional. Analisis data kualitatif digunakan untuk menjelaskan hasil analisis dan keragaan usahatani.
4.4.1. Analisis Pendapatan Usahatani
Usahatani adalah suatu kegiatan ekonomi yang ditujukan untuk menghasilkan output (penerimaan) dengan input fisik, tenaga kerja, dan modal sebagai korbanannya. Penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu. Pengeluaran total usahatani adalah semua nilai input yang dikeluarkan dalam proses produksi. Menurut Soekartawi (1995), pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya yang dikeluarkan. Pendapatan usahatani padi organik maupun SRI diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
(28)
29 TL = Y.Py - Σ X i . Pi
Keterangan :
TL = Pendapatan usahatani padi Y = Produksi GKP (kw)/beras (kg)
Py = Harga GKP (Gabah Kering Panen) (Rp/kw)/harga beras organik (Rp/kg) Xi = Penggunaan input ke-i
Pi = Harga input ke-i per unit
Pengeluaran total usahatani terdiri dari biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai adalah biaya yang dikeluarkan petani secara tunai. Sedangkan biaya tidak tunai adalah biaya yang dibebankan untuk penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat pertanian, sewa lahan, serta biaya bibit. Biaya penyusutan alat-alat pertanian diperhitungkan dengan membagi selisih antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang ditafsirkan dengan lamanya umur ekonomis. Metode yang digunakan ini adalah metode garis lurus. Metode ini digunakan karena jumlah penyusutan alat tiap tahunnya dianggap sama dan diasumsikan tidak laku bila dijual. Rumus yang digunakan yaitu (Ibrahim, 2003):
Biaya Penyusutan = n NbxNs
dengan:
Nb = Nilai pembelian (Rp) Ns = Tafsiran nilai sisa (Rp) n = Jangka usia ekonomis (Tahun) 4.4.2. Analisis Rasio (R/C Rasio)
Analisis R/C rasio merupakan salah satu cara untuk mengetahui perbandingan antara penerimaan dan biaya yang dikeluarkan. Selain itu R/C rasio ini juga dilakukan untuk mengetahui efisiensi usahatani, yang dapat diketahui dari perbandingan antara total penerimaan dengan total biaya pada masing-masing usahatani.
Analisis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu R/C rasio terhadap biaya tunai, R/C rasio terhadap biaya diperhitungkan, dan R/C rasio terhadap biaya total dengan perhitungan sebagai berikut (Soekartawi, 1995). :
R/C rasio atas biaya total =
(Rp) Total Biaya
(Rp) Penerimaan Total
(29)
30 Sementara itu, dalam mengukur tingkat efisiensi usahatani maka terdapat kriteria penilaian dari hasil perhitungan R/C rasio tersebut, yaitu :
Apabila nilai R/C > 1, maka usahatani tersebut dikatakan menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih besar dari satu rupiah.
Apabila nilai R/C = 1, maka usahatani tersebut dikatakan impas karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar satu rupiah pula.
Apabila nilai R/C < 1, maka usahatani tersebut dikatakan tidak menguntungkan karena setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan lebih kecil dari satu rupiah.
R/C rasio menunjukkan besarnya penerimaan untuk setiap rupiah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani padi. Semakin tinggi nilai R/C, semakin menguntungkan dan efisien usahatani tersebut.
Untuk menentukan nilai revenue (penerimaan) dan cost (biaya) yang diperlukan agar dapat menghitung nilai R/C rasio dan sekaligus menghitung nilai pendapatan usahataninya, maka dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 4. Perhitungan Usahatani
A. P. Tunai Harga x Hasil panen yang dijual (Kg) B. P. Yang diperhitungkan Harga x Hasil panen yang dikonsumsi (Kg)
C. Total penerimaan A + B
D. Biaya Tunai Pupuk
Benih Pestisida
Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK) Sewa lahan
E. Biaya diperhitungkan Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) Penyusutan alat
Benih Mol
F. Total Biaya D + E
G. Pend. Atas biaya tunai B – A H. Pend. Atas biaya total C – F
I. Pend. Bersih A – D
Keterangan: P = Penerimaan, Pend = Pendapatan Sumber: Hernanto, 1991
(30)
31 4.4.3. Uji untuk Membedakan Tingkat Pendapatan, Produktivitas, dan
Efisiensi
Salah satu penggunaan statistik adalah untuk menguji hipotesis tentang perbedaan tingkat pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang diperoleh petani karena adanya dua metode yang dilakukan. Adapun alasan mengapa perlu dilakukan uji beda ini adalah karena walaupun secara nominal pendapatan petani tersebut tidak sama, namun secara statistik belum tentu berbeda karena bisa saja perbedaan yang terjadi disebabkan oleh faktor kebetulan (Nazir, 1988). Oleh karena itu, perbedaan tersebut perlu diuji terlebih dahulu dengan menggunakan uji perbedaan dua mean. Adapun alat analisis yang digunakan untuk menguji perbedaan dua mean tersebut adalah uji t tidak berpasangan.
Uji t tidak berpasangan digunakan untuk menentukan apakah dua sampel yang tidak berhubungan memiliki nilai rata-rata yang berbeda (Ghozali, 2006). Untuk kasus ini, sampel yang digunakan yaitu petani yang menerapkan metode konvensional dan petani yang menerapkan metode SRI organik. Uji beda t-test dilakukan dengan cara membandingkan perbedaan antara dua nilai rata-rata dengan standar eror dari perbedaan rata-rata dua sampel atau secara rumus dapat ditulis sebagai berikut (Ghozali, 2006):
ii i ii i
Error Std
x x t
, .
Keterangan:
= rata-rata sampel pertama = rata-rata sampel kedua
= standar eror perbedaan rata-rata kedua sampel
Standar error perbedaan dalam nilai rata-rata terdistribusi secara normal. Dengan demikian tujuan uji beda t-test adalah membandingkan rata-rata dua grup yang tidak berhubungan satu dengan yang lain. Bentuk hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini salah satunya untuk mengetahui perbedaan tingkat pendapatan adalah sebagai berikut:
H0 : tidak terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode konvensional dan metode SRI organik
H1 : terdapat perbedaan tingkat pendapatan yang signifikan antara metode konvensional dan metode SRI organik
(31)
32
Variabel dependen : produktivitas
Variabel independen : metode yang digunakan (konvensional dan SRI organik) Level signifikan (
) yang digunakan untuk menolak atau menerima hipotesis pada penelitian ini sama dengan 5 persen (0,05). Hipotesis akan ditolak jika t hitung > t tabel. Untuk membaca tabel angka t-test pada hasil output spss yang digunakan, terdapat dua tahapan analisis yang harus dilakukan. Pertama, asumsi variance populasi kedua sampel tersebut harus diuji apakah sama (equal variances assumed) atau berbeda (equal variances not assumed) dengan melihat nilai levene’s test. Kedua, menentukan apakah terdapat perbedaan nilai rata-rata secara signifikan dengan melihat nilai t-test. Untuk mengetahui apakah varians populasi sama atau berbeda, berikut hipotesis yang digunakan :Ho : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI organik adalah sama.
H1 : varians populasi tingkat pendapatan antara responden konvensional dan SRI organik adalah berbeda.
Pengambilan keputusan :
Jika probabilitas > 0,05, maka terima Ho , dengan kesimpulan varians sama dan menggunakan equal variances assumed. Jika probabilitas < 0,05, maka tolak Ho dan terima H1, dengan kesimpulan varians berbeda dan menggunakan equal variances not assumed.
4.5. Definisi Operasional
Untuk menghindari ketidaksamaan pandangan dalam pengertian, maka terdapat beberapa hal yang perlu diberi batasan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian. Batasan-batasan tersebut meliputi :
1. Petani padi SRI organik (petani organik) adalah petani yang melaksanakan budidaya padi dengan metode SRI dan tidak menggunakan masukan kimia dalam usahataninya, satuannya orang.
2. Petani padi konvensional (petani anorganik) adalah petani yang melaksanakan budidaya dengan metode konvensional dan menggunakan masukan kimia dalam usahataninya, satuannya orang.
3. Luasan lahan yang digunakan dalam perhitungan usahatani penelitian ini yaitu satu iring atau setara dengan 2000 m2.
(32)
33 4. Tenaga kerja adalah tenaga kerja yang digunakan dalam proses produksi. tenaga kerja ini dibedakan menjadi dua, yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Seluruh tenaga kerja disetarakan dengan ukuran Hari Orang kerja (HOK).
5. Jumlah produksi adalah jumlah panen padi yang dihasilkan dari luas lahan, satuannya kilogram.
6. Produktivitas adalah hasil bagi antara jumlah panen atau produksi dengan luas lahan, satuannya kilogram per iring.
7. Biaya tunai adalah besarnya nilai uang tunai yang dikeluarkan petani untuk membeli input-input yang dibutuhkan dalam budidaya padi.
8. Biaya yang diperhitungkan adalah pengeluaran untuk input milik sendir atau input yang digunakan tanpa harus membeli, satuannya rupiah.
9. Biaya total merupakan penjumlahan antara biaya tunai dan biaya yang diperhitungkan, satuannya rupiah.
10. Harga jual beras organik adalah harga jual output dalam bentuk beras organik yang telah ditentukan dan disetujui oleh kedua pihak yaitu kelompok tani Pemuda Tani Lestari dan pembeli, dalam satuan rupiah per kilogram.
11. Penerimaan (nilai produksi) usahatani merupakan nilai yang diperoleh dari hasil kali antara jumlah produksi beras (petani SRI organik) atau gabah kering panen (petani konvensional) dengan harga jualnya, satuannya rupiah. Hasil produksi baik berupa gabah maupun beras didalamnya sudah termasuk penyusutan dan upah panen. Penyusutan volume gabah dari gabah basah ke gabah kering yaitu 15 persen. Penyusutan volume gabah kering ke beras yaitu 45 persen.
(33)
BAB V
KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN
5.1. Karakteristik Desa 5.1.1. Kondisi Geografis
Secara administratif Desa Ringgit terletak di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Letak Desa Ringgit berada pada 4km dari ibu kota kecamatan, dan 20 km dari ibu kota kabupaten dengan batas wilayah desa sebagai berikut :
Sebelah barat : Desa Kaliwungu Lor Sebelah utara : Desa Susukan Sebelah timur : Tunjungan
Sebelah selatan : Kelurahan Lereng
Luas wilayah Desa Ringgit ±103 ha yang terdiri atas sawah, pemukiman dan pekarangan, bangunan umum, dan lain-lain. Secara topografi daerah ini termasuk daerah yang landai, tidak berbukit dengan ketinggian 133 m di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata di daerah ini 2066 mm per tahun dengan suhu udara rata-rata berkisar antara 220-340C. Jenis tanah di daerah ini adalah Regosol dengan pH 5,0-5,4 sehingga tanah cenderung asam.
5.1.2. Kondisi Demografi dan Keadaan Sosial Ekonomi
Jumlah penduduk di Desa Ringgit hingga akhir tahun 2009 berjumlah 4.668 jiwa yang terdiri dari 1440 Kepala Keluarga (KK) dan terbagi dalam satu Rukun Warga (RW) dan empat Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk berjenis kelamin pria sebanyak 367 jiwa dan wanita sebanyak 335 jiwa. Kelompok umur yang terbanyak adalah usia 26-50 tahun. Untuk lebih jelasnya, jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 5.
(34)
35 Tabel 5. Jumlah Penduduk Menurut Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol,
Kabupaten Purworejo Tahun 2009
Umur (Tahun) Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%) Pria (jiwa) Wanita (jiwa)
0-5 115 105 220 4,71
6-15 374 341 715 15,32
16-25 520 475 995 21,31
26-50 1.079 985 2.064 44,21
>50 352 322 674 14,44
Jumlah 2.440 2.228 4.668 100,00 Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009
Tingkat pendidikan masyarakat sudah cukup baik, dimana persentase lulusan SLTA dan sederajat sudah cukup besar yaitu 32,61 persen, disusul kemudian dengan lulusan SLTP sebesar 27,17 persen dan Sekolah Dasar sebesar 17,40 persen. Perincian mengenai tingkat pendidikan masyarakat Desa Ringgit dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009
No. Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Belum sekolah 30 8,15
2 TK 34 9,24
3 Tamat SD/sederajat 64 17,40 4 Tamat SLTP/sederajat 100 27,17 5 Tamat SLTA/sederajat 120 32,61
6 Tamat Diploma 10 2,72
7 Tamat Sarjana 10 2,72
Jumlah 368 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009
Ditinjau dari segi mata pencaharian, sebagian besar masyarakat Desa Ringgit bekerja di sektor pertanian. Dalam usahataninya ada yang menggarap lahan sawah baik milik sendiri maupun milik orang lain (buruh tani). Selain itu, ada petani penggarap, yaitu petani yang menggarap sawah dengan cara menyewa lahan dan hasil panen diterima secara utuh oleh petani, dan petani penyakap, yaitu petani yang menggarap sawah namun tidak dengan menyewa lahan melainkan dengan pembagian hasil panen (sistem bagi hasil 50:50) serta biaya yang
(35)
36 dikeluarkan dari proses penanaman hingga panen berasal dari petani penggarap. Rincian mengenai jenis mata pencaharian penduduk Desa Ringgit pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Ringgit,
Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2009
No. Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)
1 Pegawai Negeri 20 8,09
2 Pegawai Swasta 7 2,83
3 Wiraswasta 22 8,91
4 Tani 105 42,51
5 Pertukangan 7 2,83
6 Buruh Tani 80 32,39
7 Pensiunan 6 2,43
Total 247 100,00
Sumber : Monografi Desa Ringgit, 2009
5.2. Gambaran Umum Usahatani Padi di Desa Ringgit
Penerapan sistem pertanian padi SRI organik di Desa Ringgit diawali dengan penanaman padi secara organik yang telah dilakukan sejak tahun 1997. Penerapan padi secara organik ini didasari oleh kesadaran petani setempat akan buruknya dampak yang diberikan dari penggunaan bahan-bahan kimia terhadap tanah. Pada tahun 2003 pertanian SRI organik mulai diperkenalkan oleh Suster Alfonsa Triatmi PMY yang berasal dari kongregasi Suster Puteri Maria dan Yosef Magelang, Wonosobo. Perkenalan metode SRI pada saat itu dengan diikutsertakannya beberapa petani Purworejo ke Indramayu, Jawa Barat untuk mengikuti Pembelajaran Ekologi Tanah (PET) dan Praktek SRI Organik selama lima hari.
Metode PET dan praktek SRI Organik ini kemudian dikembangkan untuk memperbaiki metode pembelajaran pertanian organik yang sudah dijalankan sejak tahun 1997. Tanggal 12 - 16 Oktober 2003 kelompok Tani Lestari desa Ringgit mengadakan PET dengan mengundang narasumber Pak Alik Sutaryat dari Ciamis, Jawa Barat. Pembelajaran ini juga menjadi awal terbentuknya pemahaman baru tentang pertanian organik dan bergabungnya petani organik di Purworejo dengan jaringan yang lebih luas untuk mengembangkan PET dan SRI Organik.
Pemahaman praktek PET dan SRI Organik beberapa petani terus terasah melalui kegiatan-kegiatan jaringan yang diikuti. Hingga saat ini para petani telah melaksanakan pembelajaran sebanyak 19 kali, baik secara mandiri maupun
(36)
37 dengan dukungan pihak-pihak yang peduli termasuk pemerintah. Jaringan petani pelaku SRI Organik Kabupaten Purworejo memiliki setidaknya 10 orang petani yang memiliki kemampuan untuk mendampingi pembelajaran ekologi tanah dan praktek SRI Organik, sedangkan jaringan petani pelaku SRI Organik menjangkau tujuh kecamatan dari 16 kecamatan di Kabupaten Purworejo. Jumlah petani yang aktif dalam praktek SRI Organik dan masih terus terhubung dalam komunikasi jaringan ada 85 orang petani.
Tahun 2010 negara Jepang melalui pemerintah Kabupaten Purworejo memberikan bantuan kepada seluruh kelompok tani yang menjalankan program SRI. Terdapat tujuh desa yang diberikan bantuan, salah satunya yaitu Desa Ringgit yang ditujukan untuk dua kelompok tani, kelompok Tani Lestari dan Margodadi. Bantuan pemerintah tersebut berjumlah Rp 309 juta untuk setiap kelompok tani dan diwajibkan mengembangkan padi SRI pada lahan seluas 20 Ha. Bantuan tersebut dialokasikan untuk pembangunan rumah kompos, pembelian 30 ekor sapi, kendaraan roda tiga (Viar), alat pembuat pupuk organik (APPO), serta sekolah lapang.
Musim tanam padi yang ada di desa tersebut ada dua, yaitu musim kemarau (gadu) dan musim hujan (rendeng). Musim kemarau disebut juga dengan Musim Tanam I (MT I), sedangkan musim hujan disebut juga dengan Musim Tanam II (MT II). MT I dilakukan pada bulan November hingga Februari dan MT II dilakukan pada bulan April hingga Juli. Pada peralihan musim tanam antara MT II dan MT I, petani banyak yang menanami ladangnya dengan tanaman palawija.
Tanaman palawija yang biasa ditanam adalah cabai, tomat, kacang panjang, jagung, serta kacang tanah. Hal ini dilakukan agar lahan sawahnya tidak ditumbuhi banyak rumput yang nantinya menjadikan lahan susah diolah, serta dapat menjadi penghasilan tambahan bagi petani. Akan tetapi, sebagian besar petani padi SRI organik tidak melakukan hal tersebut. Sebab, penanaman tanaman palawija biasanya menggunakan pupuk kimia. Dengan demikian, lahan yang telah ditanami organik harus mengalami proses konversi lagi selama kurang lebih 1-2 tahun tergantung dengan kondisi lahan yang ada.
Pada MT I dan MT II hampir seluruh petani padi konvensional maupun SRI organik mengalami perbedaan hasil produksi. Hasil produksi MT I dilihat
(37)
38 dari kuantitasnya lebih banyak dibandingkan dengan hasil panen MT II. Akan tetapi, apabila dilihat dari kualitasnya MT II memiliki kualitas yang lebih baik dari kualitas gabah pada MT I. Hal ini disebabkan karena pada saat musim penghujan kebutuhan tanaman akan air sangat tercukupi, namun dengan kadar air sangat tinggi menyebabkan kualitas gabah cenderung tidak bagus. Adapun pada musim kemarau kebutuhan tanaman akan air kurang tercukupi, sehingga kadar air yang terkandung dalam gabah sedikit. Selain itu pula pada proses penjemuran gabah pada musim penghujan membuat kualitas gabah menjadi tidak baik, karena gabah yang tidak terjemur dengan baik dapat mengakibatkan beras patah dan cepat membusuk.
Varietas padi yang umumnya ditanam yaitu IR 64, Ciherang, Sintanur, Jasmin, serta Janur. Varietas Janur merupakan varietas padi yang dihasilkan oleh salah satu petani setempat dengan mengawinkan benih antara varietas Jasmin dan Sintanur. Varietas Janur ini banyak digunakan oleh petani SRI organik, karena varietas ini sangat cocok diaplikasikan pada sistem tanam SRI organik.
5.3. Karakteristik Petani Responden
Karakteristik petani responden akan diuraikan berdasarkan umur petani, tingkat pendidikan, status kepemilikan lahan, luas lahan garapan serta pengalaman berusahatani padi baik konvensional maupun SRI organik.
5.3.1. Umur Petani
Berdasarkan hasil wawancara terhadap petani responden, diperoleh data yang menunjukkan bahwa sebaran umur petani secara keseluruhan dimulai dari umur 24-66 tahun. Untuk petani konvensional sebaran umur yaitu antara 25-66 tahun, sedangkan untuk petani SRI organik sebaran umur berada antara 24-55 tahun. Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa jumlah petani terbanyak baik dari petani konvensional dan SRI organik terletak pada sebaran umur antara 38-44 tahun dengan jumlah petani sebanyak 19 jiwa dan persentase sebesar 63,33 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani Desa Ringgit berada pada usia produktif.
Pada responden petani SRI organik terdapat jumlah petani terbanyak kedua pada sebaran usia 52-58 tahun sebanyak delapan jiwa dengan persentase
(38)
39 26,67. Hal ini membuktikan bahwa penerapan metode SRI organik di Desa Ringgit bukan semata-mata karena adanya kelangkaan pupuk atau naiknya harga pupuk, melainkan kesadaran seorang petani terhadap lingkungannya yang sudah mulai rusak.
Tabel 8. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Golongan Umur di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
Golongan Umur (Tahun)
Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Petani
Konvensional
Petani Organik
Petani Konvensional
Petani Organik
24 – 30 5 2 16.67 6,67
31 – 37 5 4 16,67 13,33 38 – 44 9 10 30,00 33,33 45 – 51 4 6 13,33 20,00 52 – 58 5 8 16,67 26,67
59 – 66 2 0 6,67 0,00
Jumlah 30 30 100,00 100,00
5.3.2. Tingkat Pendidikan
Ditinjau dari sisi tingkat pendidikan yang pernah diikuti, maka petani responden dapat digolongkan atas beberapa kategori. Berdasarkan tingkat pendidikan yang diperoleh, sebagian besar responden telah mengenyam pendidikan hingga tingkat SMU dan sederajat yaitu sebanyak 22 orang, dengan persentase sebesar 46,808 persen. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan petani responden sudah cukup tinggi. Bahkan ada pula petani responden yang telah menempuh pendidikan hingga sarjana, yaitu sebanyak lima orang atau sebesar 10,638 persen dari total responden secara keseluruhan. Secara terperinci penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikannya dapat dilihat pada Tabel 9.
(39)
40 Tabel 9. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Tingkat Pendidikan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
No. Tingkat Pendidikan
Jumlah (Orang) Persentase (%) Petani
Konvensional
Petani SRI Organik
Petani Konvensional
Petani SRI Organik 1. Tidak Sekolah 3 1 10,00 3,33
2. SD 3 4 10,00 13,33
3. SLTP 5 7 16,67 23,33
4. SMU /sederajat 15 12 50,00 40,00
5. Diploma 1 2 3,33 6,67
6. Sarjana 3 4 10,00 13,33 Total 30 30 100,00 100,00
Untuk pendidikan non formal, mayoritas petani pernah mengikuti pelatihan atau penyuluhan seperti Pelatihan PET, Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), dan lain sebagainya. Pelatihan yang dilakukan untuk tanaman padi khususnya seperti masuknya pembelajaran metode SRI yang dimulai dengan PET diikuti oleh sebagian besar petani di Desa Ringgit. Akan tetapi, keikutsertaan dalam menanam padi dengan metode SRI organik ini hanya dilakukan oleh beberapa petani, dan sebagian besar petani yang menerapkan metode SRI organik tersebut tidak dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Seperti dapat dilihat pada Tabel 5, jumlah petani dengan tingkat pendidikan SMU atau sederajat pada responden SRI organik lebih rendah yaitu berjumlah 12 orang, sedangkan responden konvensional berjumlah 15 orang.
5.3.3. Status Kepemilikan Lahan
Status kepemilikan lahan yang berada di Desa Ringgit terbagi menjadi empat jenis, yaitu lahan milik sendiri, lahan sewa, lahan sakap, serta lahan bengkok. Lahan sewa merupakan lahan yang disewa oleh petani selama beberapa musim tanam dengan sewa lahan per tahun sebesar Rp 1.700.000. Lahan sakap merupakan lahan milik orang lain yang digarap oleh petani dengan sistem bagi hasil namun biaya operasional ditanggung oleh petani, dan pemilik hanya menanggung biaya tetap seperti pajak. Sedangkan lahan bengkok merupakan lahan yang diberikan oleh desa kepada perangkat desa selama menjabat sebagai perangkat desa. Untuk lahan sewa dan bengkok diasumsikan menjadi lahan sewa,
(40)
41 karena lahan bengkok pada dasarnya merupakan penerimaan seorang perangkat desa dalam bentuk sawah.
Status kepemilikan lahan untuk responden petani SRI organik sebagian besar adalah lahan milik sendiri, dan sebagian lain merupakan lahan sakap. Hal ini disebabkan karena luas lahan yang dimiliki oleh petani pada umumnya kecil, dengan luas minimum kurang lebih 2000 m2. Dengan demikian, sebagian besar petani umumnya lebih memilih untuk menerapkan metode SRI organik pada lahannya sendiri. Adapun alasan lain penerapan metode SRI organik pada lahan sakap karena adanya permintaan dari pemilik, dan pemilik pun akan mencari petani yang akan bersungguh-sungguh mengelola lahannya dengan baik menggunakan metode SRI organik tersebut. Untuk responden petani konvensional, status kepemilikan lahannya bermacam-macam seperti yang ada pada Tabel 10.
Tabel 10. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
No .
Status Kepemilikan
Lahan
Jumlah (Orang) Persentase (%) Petani
Konvensional
Petani SRI Organik
Petani Konvensional
Petani SRI Organik 1. Milik Sendiri 21 23 70,00 76,67
2. Sakap 8 7 26,67 23,33
3. Sewa 1 0 3,33 0,00
Total 30 30 100,00 100,00
5.3.4. Luas Lahan Garapan
Apabila dilihat dari luas lahan yang digarapnya, ternyata luas lahan petani cukup beragam, yaitu dari petani yang hanya memiliki lahan garapan seluas 769 m2 sampai dengan petani yang memiliki luas lahan garapan lebih dari satu hektar. Pada Tabel 11. diketahui bahwa luas lahan garapan petani konvensional terbanyak berada pada kisaran 0,34-0,99 ha dengan jumlah petani sebanyak 17 orang, sedangkan luas lahan garapan kurang dari 0,34 ha menjadi luas lahan terbanyak yang digarap petani SRI organik dengan jumlah 19 orang. Luas lahan yang digarap lebih dari satu hektar sebagian besar dimiliki oleh para petinggi di perangkat desa seperti Lurah, Sekretaris Desa, atau perangkat desa lainnya.
(41)
42 Tabel 11. Penggolongan Petani Konvensional dan Petani SRI Organik Menurut Status Kepemilikan Lahan di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo Tahun 2011
No. Luas Lahan Garapan (ha)
Jumlah (Orang) Persentase (%) Petani
Konvensional
Petani SRI Organik
Petani Konvensional
Petani SRI Organik 1. < 0,34 9 19 30,00 63,33 2. 0,34-0,99 17 8 56,67 26,67
3. >1 4 3 13,33 10,00
Total 30 30 100,00 100,00
Berdasarkan Tabel 11 dapat terlihat pula petani konvensional memiliki lahan garapan yang lebih luas dibandingkan dengan petani SRI organik. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa lahan pertanian organik di Desa Ringgit memiliki luasan yang kecil, meskipun dengan jumlah petani yang relatif besar. Hal ini menjadi suatu alasan mengapa banyak produk organik yang dipertanyakan keorganikannya karena seharusnya lahan organik berupa hamparan. 5.3.5. Pengalaman Berusahatani Padi
Lama pengalaman berusahatani padi masyarakat Desa Ringgit dapat dilihat pada Tabel 12. Berdasarkan Tabel 12, sebanyak 11 orang dan 10 orang dari golongan petani metode konvensional dan SRI organik telah bertani padi selama kurang dari 10 tahun. Pengalaman bertani kurang dari 10 tahun tahun termasuk pengalaman yang belum terlalu lama. Hal ini disebabkan karena sebagian besar petani merupakan penduduk yang telah pulang kembali ke desa dari perantauan di kota besar. Apabila dilihat dari rentang usia petani pada Tabel 8, usia terbanyak berada pada rentang 38-44 tahun. Hal ini menegaskan bahwa pada usia kurang dari 38 tahun petani lebih memilih untuk mencari pekerjaan di kota besar dan pertanian menjadi harapan terakhir bagi petani sebagai mata pencaharian.
(1)
73 Lampiran 4. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Produksi Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean produksi non organik 30 860.90 231.601 42.284
organik 30 956.33 218.087 39.817
Independent Samples Test Levene's Test for Equality
of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the Difference
Lower Upper produksi Equal variances
assumed .045 .832 -1.643 58 .106 -95.433 58.081 -211.694 20.828 Equal variances not
(2)
74 Lampiran 5. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Total Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean total non organik 30 1.63910 .548528 .100147
organik 30 1.37090 .265903 .048547
Independent Samples Test Levene's Test
for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper total Equal variances
assumed
15.77
4 .000 2.410 58 .019 .268200 .111294 .045422
.49097 8 Equal variances not
assumed 2.410 41.916 .020 .268200 .111294 .043587
.49281 3
(3)
75 Lampiran 6. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Diperhitungkan Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean dphtgk non organik 30 4.02257 1.964335 .358637
organik 30 2.42950 .770767 .140722
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper dphtgk Equal variances
assumed 19.000 .000 4.135 58 .000 1.593067 .385257 .821891 2.364243 Equal variances not
(4)
76 Lampiran 7. Hasil Uji Output SPSS Perbandingan Biaya Tunai Metode Konvensional dan SRI Organik
Group Statistics
VAR00011 N Mean Std. Deviation Std. Error Mean tunai non organik 30 3.21773 1.355322 .247447
organik 30 3.70277 1.369692 .250070
Independent Samples Test Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df
Sig. (2-tailed)
Mean Difference
Std. Error Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper tunai Equal variances
assumed .011 .918 -1.379 58 .173 -.485033 .351803 -1.189243 .219176 Equal variances not
(5)
RINGKASAN EKSEKUTIF
SITI FATIMAH VIETA PRASETYA NINGTYAS. Analisis Usahatani Padi Konvensional dan Padi System Of Rice Intensification (SRI) Organik (Studi Kasus di Desa Ringgit, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah). Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan YUSALINA).
Secara luas Indonesia dikenal dengan sebutan negara agraris. Sewajarnya pertanian di negara Indonesia lebih baik dibandingkan negara lain, karena pertanian memiliki peran yang penting sebagai penyedia lapangan pekerjaan, perolehan devisa, penyedia bahan pangan, serta pembentukan PDB. Akan tetapi pada kenyataannya pertanian lebih banyak dikorbankan untuk dapat menunjang pembangunan industri, sehingga kesejahteraan petani terabaikan karena adanya kebijakan pemerintah tersebut.
Kesejahteraan petani semakin menurun pasca diterapkannya sistem pertanian dengan pola High Eksternal Input Agriculture (HEIA). Hal ini ditandai dengan input yang digunakan semakin tinggi, sehingga biaya produksi yang dikeluarkan semakin besar. Penggunaan input kimia pada pola HEIA mengakibatkan kerusakan pada tanah dan menjadikan produktivitas semakin menurun, sehingga keuntungan yang diterima semakin rendah.
Munculnya isu-isu tersebut membuat beralihnya petani dan konsumen terhadap produk organik. Produk organik memiliki keunggulan dari segi rasa dan kandungan gizi yang lebih baik. Akan tetapi, hasil produksi pertanian organik pada penerapan awal penanaman lebih sedikit. Hal ini disebabkan karena sistem pertanian organik yang diterapkan pada umunya menggunakan metode pertanian konvensional. Namun kemudian muncul metode bertani dengan System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan suatu metode untuk meningkatkan produktivitas padi dengan mengubah pengaturan tanaman, tanah, dan air.
Penerapan metode SRI organik telah dilakukan oleh banyak petani di Indonesia khususnya Pulau Jawa yang memiliki peranan cukup penting dalam perberasan nasional. Desa Ringgit sebagai salah satu desa yang berada di Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah telah menerapkan pertanian organik sejak tahun 1997. Kemudian pada tahun 2003 mulai menerapkan pertanian metode SRI organik. Namun demikian belum adanya kajian mengenai keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit dan apakah terdapat perbedaan produktivitas, pendapatan, serta efisiensi apabila dibandingkan dengan pertanian konvensional. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit dan menganalisis apakah terdapat perbedaan pendapatan, produktivitas, dan efisiensi yang signifikan antara pertanian padi konvensional dengan metode SRI organik.
Terdapat dua metode analisis yang digunakan yaitu analisis kualitatif dan analisis kunatitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis keragaan usahatani, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menguji ada atau tidaknya perbedaan produktivitas, pendapatan, dan efisiensi yang didapatkan melalui analisis usahatani. Pengambilan sampel dilakukan melalui dua cara, yaitu
(6)
metode sensus dan metode simple random sampling. Metode sensus digunakan untuk pengambilan sampel petani SRI organik dengan jumlah 31 orang. Metode simple random sampling digunakan untuk pengambilan sampel petani konvensional yaitu sebanyak 30 orang dari jumlah keselurahan sebanyak 74 orang. Dengan demikian jumlah responden sebanyak 60 orang.
Keragaan usahatani padi SRI organik di Desa Ringgit sudah cukup sesuai dengan panduan penerapan metode SRI organik pada umumnya. Terdapat perbedaan perlakuan antara pertanian konvensional dengan pertanian SRI organik, diantaranya yaitu pertanian konvensional menganggap tanah sebagai mesin sedangkan SRI organik sebagai aset, serangga dianggap sebagai musuh oleh pertanian kovensional dan dianggap sebagai teman oleh pertanian SRI organik, pertanian konvensional menggunakan pupuk dan obat-obatan kimia sedangkan pertanian SRI organik menggunakan pupuk alami seperti kompos dan mol, pertanian SRI organik lebih menyarankan untuk membuat benih sendiri, serta bentuk penjualan hasil panen berupa gabah untuk pertanian konvensional dan beras untuk pertanian SRI organik.
Untuk analisis usahatani produktivitas dari pertanian SRI organik sebesar 4,8 ton per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan pertanian konvensional sebesar 4,5 ton per hektar, sehingga berdampak pada penerimaan yang semakin besar. Karena bentuk output yang diperbandingkan adalah beras, sehingga beras organik memiliki nilai jual lebih tingggi pula, maka pendapatan yang diterima oleh petani SRI organik lebih tinggi sebesar Rp 10.559.276 dan petani konvensional sebesar Rp 3.341.159. Dengan demikian, dilihat dari tingkat efisiensi nilai efisiensi atas biaya total pertanian SRI organik lebih besar yaitu 2,55 dan pertanian konvensional sebesar 1,65.