Keragaman genetik, Morfologi dan Kesuburan Tapak Tanaman Mindi di Hutan Rakyat Jawa Barat

40 DNA genom yang menyebabkan salah satu fragmen akan diamplifikasi dalam jumlah banyak dan fragmen lainnya sedikit; dan 3 kemurnian dan konsentrasi cetakan DNA akan mempengaruhi efisiensi amplifikasi, DNA yang memiliki tingkat kontaminasi yang tinggi dari senyawa-senyawa seperti polisakarida dan fenolik seringkali menghasilkan fenotipe penanda RAPD yang tidak jelas Siburian 2009. Keragaman genetik dalam populasi mindi Nilai-nilai variabilitas genetik dari hasil pengolahan data menggunakan program POPGENE versi 1.2 Yeh et al. 1999 tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai parameter keragaman genetik dalam populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat Populasi n PPL Na ne H e Gambung 20 53,33 1,533 1,2748 0,1613 Kuningan 20 53,33 1,533 1,2665 0,1603 Megamendung 20 53,33 1,533 1,3007 0,1790 Wanayasa 20 51,67 1,516 1,2933 0,1712 Nagrak 20 43,33 1,433 1,2922 0,1612 Sumedang 20 60,00 1,600 1,3198 0,1956 Nilai rata-rata 52,49 1,525 1.2912 0,1714 Keterangan: n = jumlah sampel PPL= Percentage of Polymorphic Loci; na = Observed number of alleles ; ne = Effective number of alleles ; He = Gene diversity Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 7, keragaman genetik mindi di dalam populasi berkisar antara 16–19 dan persentase lokus polimorpik berkisar antara 43,33 – 60,00, dengan nilai rata-rata 52,49 . Adapun jumlah total lokus yang muncul adalah 60, sehingga jumlah lokus yang menunjukkan polimorfisme adalah 32. Populasi yang mempunyai keragaman terendah adalah Kuningan 0,1603, selanjutnya diikuti oleh populasi Nagrak dan Gambung 0,1612 dan 0,1613, sedangkan populasi Wanayasa dan Megamendung mempunyai keragaman masing-masing 0,1712 dan 0,1790. Populasi Sumedang mempunyai keragaman paling tinggi diantara 6 populasi yang diuji, yaitu sebesar 0,1956. Tinggi dan rendahnya keragaman genetik suatu spesies dalam satu populasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah ukuran luas populasi efektif, produksi bunga, aliran serbuk sari diantara tegakan dan sistem perkawinan Siregar 2000; Sedgley and Griffin 1989. Bunga mindi adalah bunga majemuk, dimana dalam rangkaian bunga tersebut selain terdapat bunga hermaprodit organ 41 reproduksi betina dan jantan ada dalam satu bunga, juga terdapat bunga yang hanya mempunyai organ reproduksi jantan Styles 1972. Kondisi ini berpeluang untuk terjadinya selfing, yang dapat menurunkan variabilitas genetik suatu populasi. Disamping karakter bunga serta sistem perkawinan, tinggi rendahnya keragaman dalam populasi juga dipengaruhi pola sebaran tanaman, khususnya di hutan rakyat yang umumnya tanaman tersebar dengan jumlah yang terbatas Hamid et al. 2008. Kondisi ini berbeda pada variasi genetik di kebun benih, hasil penelitian Siregar 2000 yang menyatakan bahwa keragaman genetik populasi Pinus merkusii di Kebun Benih adalah sebesar 0,395. Hal ini berarti keragaman genetik populasi P. merkusii di kebun benih cukup tinggi. Keragaman genetik antar populasi mindi Peubah lain yang digunakan untuk mencirikan variasi antar populasi adalah nilai diferensiasi genetik Gst dan jarak genetik. Nilai Gst yang diperoleh adalah 0,3005. Hal ini berarti rata-rata keragaman genetik antar populasi tanaman mindi di hutan rakyat adalah sekitar 30. Jarak genetik adalah mengukur perbedaan struktur genetik antar dua populasi pada suatu lokus gen tertentu. Perbedaan genetik dari dua atau lebih populasi pada umumnya dianalisis dengan sebuah matrik dimana elemen-elemennya berupa jarak genetik dan pasangan kombinasi dari masing-masing populasi Finkeldey 2005. Data mengenai jarak genetik dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Jarak genetik antar populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat GBG KNG MGD WNY NGK SMD Gambung 0,0000 Kuningan 0,0352 0,0000 Megamendung 0,0626 0,0770 0,0000 Wanayasa 0,0740 0,0718 0,0976 0,0000 Nagrak 0,0919 0,0881 0,1357 0,1127 0,0000 Sumedang 0,1459 0,1560 0,1681 0,1201 0,1920 0,0000 Berdasarkan data jarak genetik yang tersaji pada Tabel 9, terlihat populasi Gambung, Kuningan dan Megamendung mempunyai jarak genetik yang cukup dekat. Jarak genetik terjauh terlihat antar populasi Sumedang dan Nagrak 0,1920. Nilai jarak genetik pada Tabel 8 diolah berdasarkan metode Unweighted Pair Grouping Method with Aritmatic Averaging UPGMA dengan 42 menggunakan software NTSYS versi 2.02. Hubungan kekerabatan serta pola pengelompokkan populasi berdasarkan jarak genetik yang dimiliki oleh mindi di hutan rakyat Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 15 dan 16. Gambar 15. Dendogram berdasarkan analisis genetik populasi mindi di hutan rakyat di Jawa Barat. Ket: GBG Gambung, KNG Kuningan, WNY Wanayasa, MGD Megamendung, NGK Nagrak dan SMD Sumedang Gambar 16. Pola penggelompokan populasi mindi berdasarkan PCA 43 Berdasarkan dendogram jarak genetik Gambar 15 dan PCA Gambar 16 terlihat penggelompokkan populasi tanaman mindi, terdapat 3 kluster yaitu untuk populasi Gambung, Kuningan, Megamendung dan Wanayasa terdapat dalam satu kelompok, kluster ke dua adalah populasi Nagrak dan kluster ke tiga adalah populasi Sumedang. Hal ini berarti untuk populasi Gambung, Kuningan, Megamendung dan Wanayasa mempunyai jarak genetik yang dekat, sehingga dapat dikatakan ke empat populasi tersebut mempunyai struktur genetik yang hampir seragam. Apabila dikaitkan dengan jarak geografis, sebenarnya ke empat populasi tersebut mempunyai jarak yang cukup jauh, tetapi apabila dilihat historisnya, tanaman mindi pertama kali diintroduksi di daerah perkebunan teh. Dari ke empat populasi tersebut daerah Gambung, Wanayasa dan Megamendung merupakan bagian atau berdekatan dengan perkebunan teh yang ada di daerah tersebut, sehingga kemungkinan tegakan mindi yang ada di lahan masyarakat berawal dari area perkebunan. Oleh karena itu jarak genetik dari ke tiga populasi tersebut cukup dekat. Namun lain halnya dengan populasi Nagrak dan Sumedang, dimana di daerah ini tidak terdapat perkebunan, sehingga mempunyai struktur genetik yang cukup berbeda dengan populasi lainnya. Hasil analisis genetik menunjukkan tingkat keragaman genetik yang ada di dalam maupun antar populasi tersebut dapat mengindikasikan bagaimana sumberdaya genetik tanaman mindi rakyat di daerah Jawa Barat. Berdasarkan hasil di atas, keragaman genetik tanaman mindi adalah antara 16–19 untuk seluruh populasi yang diteliti. Hal ini menunjukkan keragaman genetik tanaman mindi di hutan rakyat tergolong sedang, sehingga perlu diupayakan untuk mempertahankan tingkat keragaman yang ada atau dilakukan peningkatan keragaman genetik, terutama jika populasi tersebut akan digunakan sebagai sumber benih. Kondisi ini harus diantisipasi karena mindi merupakan jenis eksotik, kemungkinan besar pada awal introduksi ke Indonesia, benih yang digunakan untuk penanaman hanya berasal dari beberapa pohon induk saja. Demikian pula halnya dengan keterbatasan pengetahuan masyarakat dalam tanam menanam pohon hutan, menurut Roshetko et al. 2004 dan Dhakal et al. 2005 sebagian besar benih yang digunakan petani hutan dikumpulkan dari pohon-pohon pohon-pohon benih di lahan petani maupun adat, dan benih untuk sumber benih 44 ini seringkali dikumpulkan dari beberapa pohon 1 hingga 5 pohon tanpa diketahui asal-usulnya dan diduga keragaman genetiknya sempit. Berdasarkan hasil Analysis of Molecular Variance AMOVA, seperti yang tercantum pada Tabel 9, keragaman genetik yang tersimpan didalam populasi adalah sebesar 69 sedangkan keragaman genetik antar populasi adalah 31. Tabel 9. Hasil Analysis of Molecular Variance AMOVA Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Est.Var. Antar Populasi 5 265.092 53.018 2.380 31 Dalam Populasi 114 617.150 5.414 5.414 69 Total 119 882.242 7.794 100 Hal ini menunjukkan sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dibandingkan variasi yang tersimpan antar populasi, hasil ini sesuai dengan pendapat Hamrick dan Godt 1996 dalam Yunanto 2010 bahwa pada umumnya sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dan perbedaan antara populasi hanya sedikit. Hasil penelitian Craft dan Ashley 2007 pada tanaman oak Quercus macrocarpa juga menyatakan keragaman genetik yang tersimpan dalam populasi adalah sebesar 97,31 sedangkan antar populasi hanya 2,69. Demikian pula pada tanaman Melia volkensii bahwa keragaman terbesar tersimpan dalam populasi yaitu sebesar 75,4 Runo et al. 2004. 4.1.2 Analisis keragaman morfologi Karakter morfologi dapat menjadi penciri dalam menentukan keragaman pada tanaman maupun hewan, sehingga dapat diketahui kedekatan antar populasi. Penelitian yang berkaitan dengan hal ini sudah pernah dilakukan antara lain pada tanaman kelapa Tampake dan Luntungan 2002, kakao Taufik et al. 2007, pasang Kremer et al. 2002, pinus Calamassi et al. 1988, jambu mete Samal et al . 2003, sungkai Imelda et al. 2007, Albizia sp. Aparajita dan Rout 2010 dan mimba Hamid et al. 2008, juga pada hewan seperti kerbau Johari et al. 2009 dan ulat sutera Nezhad et al. 2009. Karakter morfologi yang umumnya digunakan untuk dapat mengetahui keragaman pada tanaman adalah bagian 45 batang, daun, buah dan bunga. Namun tidak semua karakter pada bagian-bagian tersebut dapat diterapkan pada semua jenis tanaman. Berdasarkan hasil pengujian analisis DNA pada populasi tanaman mindi di hutan rakyat terlihat bahwa keragaman genetik didalam populasi berkisar antara 16–19 di bawah 20. Hal ini mengisyarakatkan bahwa sekitar 20 ada perbedaan struktur genetik di antara individu pada satu populasi. Namun apakah kesamaan struktur genetik juga diikuti oleh kesamaan karakteristik morfologi di antara individu-individu pada satu populasi, maka dilakukan analisis terhadap beberapa sifat morfologi tanaman mindi. Hasil analisis ragam untuk setiap karakteristik morfologi tanaman mindi disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Rangkuman hasil analisis ragam setiap karakter morfologi No. Karakter morfologi db1 db2 F hit p0.05 1 Tinggi total TT 5 114 3,123 0,011 2 Tinggi bebas cabang TBC 5 114 13,932 0,000 3 Diameter pohon 5 114 16,788 0,000 4 Produksi buah 5 114 12,163 0,000 5 Berat 1000 butir 5 114 3,564 0,005 6 Panjang buah 5 114 10,351 0,000 7 Diameter buah 5 114 6,396 0,000 8 Berat buah 5 114 10,340 0,000 9 Panjang benih 5 114 4,592 0,001 10 Diemeter benih 5 114 18,598 0,000 11 Berat benih 5 114 14,044 0,000 12 Laminal length LL 5 114 5,394 0,000 13 Petiole length PL 5 114 4,948 0,000 14 Widest point WP 5 114 3,290 0,008 15 Lobe width LW 5 114 7,792 0,000 16 Sinus width SW 5 114 9,180 0,000 17 Number of lobesNL 5 114 17,121 0,000 18 Number of intercalary vein NV 5 114 1,841 tn 0,110 19 Basal shape of lamina BS 5 114 1,780 tn 0,122 Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada p0,05 Hasil analisis ragam Uji F untuk setiap karakter morfologi Tabel 10 terlihat bahwa dari 19 karakter yang diuji, ada dua 2 karakter yang tidak berbeda nyata, yaitu karakter jumlah rangka daun NV serta bentuk dasar helai daun BS. Hal ini berarti dua karakter ini tidak dapat dijadikan penentu untuk melihat adanya keragaman morfologi dari 6 populasi mindi yang diuji. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Kremer et al. 2002 yang dilakukan pada jenis Quercus sp. menunjukkan bahwa ke dua karakter ini NV dan BS 46 mempunyai nilai korelasi yang rendah, sehingga tidak dapat dijadikan karakter pembeda diantara jenis Quecus sp. Adapun karakter morfologi yang diduga mampu membedakan ada 17 karakter yaitu tinggi total TT, tinggi bebas cabang TBC, diameter pohon, produksi buah, berat 1000 butir benih, panjang benih, diameter benih, berat benih, panjang buah, diameter buah, berat buah, lamina length LL, petiole length PL,widest point WP, lobe width LW, sinus width SW dan number of lobes NL. Canonical Discriminant Analysis dan Principal Component Analysis Untuk mengetahui seberapa besar karakter morfologi mampu menunjukkan adanya keragaman dapat dilihat dari hasil perhitungan Canonical Discriminant Analysis CDA. Berdasarkan hasil perhitungan tersebut terdapat lima 5 fungsi pertama yang dapat digunakan untuk mengetahui seberapa besar keragaman yang dapat diduga dari karakter morfologi. Rangkuman hasil perhitungan CDA dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Rangkuman hasil perhitungan CDA untuk semua karakter morfologi Fungsi Eigenvalue keragaman kumulatif Canonical correlation 1 5,715 a 53,9 53,9 0,923 2 2,127 a 20,1 74,0 0,825 3 1,206 a 11,4 85,4 0,739 4 0,897 a 8,5 93,9 0,688 5 0,651 a 6,1 100,0 0,628 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata Hasil perhitungan menunjukkan terdapat lima fungsi utama yang dapat menduga adanya keragaman diantara enam populasi mindi yang didasarkan pada 17 karakter morfologi yang diamati. Untuk mengetahui fungsi yang dapat menduga adanya keragaman dapat dilihat dari nilai korelasinya. Fungsi yang mempunyai nilai korelasi diatas 70 dapat digunakan untuk menduga adanya keragaman. Pada Tabel 11 terlihat fungsi 1,2 dan 3 mempunyai nilai korelasi diatas 70, sehingga ke 3 fungsi ini dapat digunakan untuk menduga adanya keragaman diantara populasi mindi di hutan rakyat berdasarkan karakter morfologinya. Fungsi ke 1 PC1 dengan nilai eigenvalue sebesar 5,715 mampu menduga adanya keragaman sebesar 53,9, fungsi ke 2 PC 2 dengan nilai 47 eigenvalue 2,127 mampu menduga adanya keragaman sebesar 20,1 dan fungsi ke 3 PC1 dengan nilai eigenvalue sebesar 1,206 mampu menduga adanya keragaman sebesar 11,4, apabila ketiganya digabung maka persen kumulatif keragaman yang dapat diduga adalah sebesar 85,9. Untuk mengetahui karakter yang mampu menjadi penentu keragaman dari populasi mindi dapat dilihat dari nilai koefisien setiap karakter pada setiap fungsi. Karakter morfologi yang mempunyai nilai koefisien tertinggi pada setiap fungsi dapat diduga menjadi penentu keragaman populasi mindi. Nilai koefisien setiap karakter pada setiap fungsi dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Nilai koefisien untuk setiap karakter morfologi pada setiap fungsi Canonical Discriminant Fungsi Karakter morfologi 1 2 3 4 5 TT -0,155 0,127 0,107 -0,091 -0,215 TBC -0,040 0,117 0,099 0,181 0,314 Diameter Phn 0,177 -0,125 -0,048 0,032 0,042 Prod Buah 0,015 -0,077 0,031 -0,039 0,028 Berat 1000 butir 0,000 0,001 -0,001 0,003 0,001 Panjang buah 0,106 -0,185 0,277 0,670 -0,102 Diameter buah 0,597 -0,481 -0,445 0,221 -0,281 Berat buah -1,656 2,947 2,546 -4,233 1,308 Panjang benih 0,146 -0,145 0,046 0,614 -0,469 Diemeter benih 0,389 0,256 -1,689 1,226 0,200 Berat benih -1,704 2,928 5,246 -17,277 6,410 LL 2,084 1,661 -0,452 -0,285 -1,428 PL 1,036 0,175 -2,764 3,663 1,071 WP -2,074 -3,097 0,641 -0,001 2,338 LW -2,797 5,404 4,175 -4,371 -5,768 SW -4,356 -3,697 -0,959 6,945 5,818 NL 0,234 -0,062 0,117 0,040 -0,009 NV -0,285 -0,109 -0,143 0,016 0,085 BS 0,523 0,035 0,203 -0,197 -0,276 48 Berdasarkan nilai koefisien Tabel 12, karakter yang terlihat kuat mempengaruhi keragaman pada tanaman mindi adalah berat buah, berat benih, diameter benih, laminal length LL, petiole length PL, lobe width LW , sinus width SW dan widest point WP. Karakter lain yang turut berperan dalam keragaman namun dengan nilai yang lebih rendah adalah tinggi bebas cabang TBC, diameter pohon, panjang buah, diameter buah dan panjang benih. Terdapat delapan karakter yang kuat mempengaruhi keragaman pada tanaman mindi, hal ini dapat dikatakan sebagai penciri utama pada keragaman morfologi. Dari delapan karakter tersebut tiga diantaranya berkaitan dengan buah berat buah dan benih berat benih dan diameter benih sedangkan lima karakter lainnya adalah morfologi daun. Untuk mengetahui korelasi antar karakter morfologi maka dilakukan analisis korelasi Correlation analysis untuk setiap karakter yang diamati. Hasil analisis korelasi dapat dilihat pada Tabel 13. Hasil analisis korelasi Tabel 13 menunjukkan bahwa diameter pohon mempunyai korelasi yang sangat nyata α ≤ 0.01 dengan tinggi total. Berat buah berkorelasi sangat nyata dengan panjang dan diameter buah. Sifat morfologi benih yaitu berat, panjang dan diameter benih saling berkorelasi sangat nyata satu dan lainnya, demikian pula dengan berat 1000 butir benih. Demikian pula dengan beberapa ukuran dimensi daun, yaitu LL berkorelasi sangat nyata dengan PL, WP, LW dan NL. Sedangkan PL berkorelasi sangat nyata dengan WP, LW dan SW. Korelasi sangat nyata juga terjadi antara WP dengan LW dan SW, juga antara LW dengan SW. Dengan dapat teridentifikasinya beberapa karakter penciri keragaman morfologi dan adanya korelasi positif diantara sifat tersebut, sangat membantu dalam kegiatan seleksi untuk kegiatan pemilihan pohon induk untuk produksi benih. Tabel 13. Hasil analisa korelasi antar sifat morfologi tanaman mindi Karakter morfologik Ø phn Prod buah P Buah D buah B Buah P Benih D Benih B Benih LL PL WP LW SW NL TT TBC B 1000 butir Ø phn 1.00 0,487 0,348 0,177 0,228 0,037 0,005 -0,002 -0,184 -0,162 -0,184 -0,274 -0.290 0,047 0,543 0,266 0,017 Prod buah 1.000 0,106 0,094 0,138 0,024 -0,059 -0,025 0,172 -0,115 -0,184 -0,124 -0,122 -0,047 0,220 0,016 -0,008 P. Buah 1.000 0,810 0,827 0,006 -0,031 -0,040 -0,086 -0,108 -0,116 -0235 -0,255 0,122 0,239 0,243 0,006 D. Buah 1.000 0,922 0,062 0,092 0,123 -0,033 -0,086 -0,137 -0,185 -0,194 0,143 0,115 0,209 0,128 B. Buah 1.000 0,059 0,069 0,124 -0,032 -0,045 -0,103 -0,199 -0,214 0,184 0,173 0,236 0,122 P. Benih 1.000 0,564 0,721 0,110 -0,018 0,041 -0,068 -0,101 0,310 -0,070 -0,048 0,455 D. Benih 1.000 0,920 0,220 0,042 0,113 -0,050 -0,112 0,394 -0,021 0,050 0,517 B. Benih 1.000 0,163 0,020 0,062 -0,092 -0,141 0,402 -0,005 0,060 0,599 LL 1.000 0,704 0,943 0,801 0,747 0,463 -0,115 -0,065 0,086 PL 1.000 0,677 0,654 0,627 0,246 -0,047 0,000 0,048 WP 1.000 0,833 0,795 0,347 -0,055 -0,059 0,007 LW 1.000 0,976 0,110 -0,110 -0,087 -0,009 SW 1.000 0,020 -0,128 -0,104 -0,047 NL 1.000 0,001 0,108 0,241 TT 1.000 0,550 0,044 TBC 1.000 -0,012 B. 1000 butir 1.000 Keterangan : Ø phn diameter pohon;prod buah produksi buah; P buah panjang buah; D buah diameter buah; B buah berat buah; P benih panjang benih; D benih diameter benih; B benih berat benih; LL Laminal length; PL Petiole length; WP Widest point; LW Lobe width; SW Sinus width; NL Number of lobe ; TT tinggi total; TBC tinggi bebas cabang ; B 1000 butir berat 1000 butir. 49 Beberapa karakter morfologi yang dapat dijadikan penciri keragaman dari tanaman kakao berproduksi tinggi dan produksi rendah Taufik et al. 2007 adalah berat per buah, berat per benih , berat 100 butir benih, namun untuk karakter daun dan lingkar batang tidak dapat dijadikan pembeda dari kedua kategori kakao tersebut. Pada jenis kelapa karakter morfologi yang dapat menjadi penciri keragaman adalah diameter batang, panjang daun, tangkai bunga tanpa bunga betina dan jumlah bunga betina Tampake dan Luntungan 2002. Sedangkan untuk membedakan beberapa jenis Albizia dapat dilihat secara morfologi dan molekuler, karakter morfologi yang dapat dijadikan pembeda adalah tinggi tanaman dan beberapa karakter daun Aparajita dan Rout 2010. Karakter morfologi jambu mete yang dijadikan penciri keragaman antara lain adalah produksi buah per pohon serta berat buah Samal et al. 2003. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut terlihat bahwa untuk mengetahui keragaman pada suatu populasi dapat menggunakan pendekatan berdasarkan sifat morfologi, namun dengan menggunakan metode molekuler atau DNA akan sangat membantu memperjelas keragamaan yang ada. Sifat morfologi yang dapat digunakan sebagai penciri adanya keragaman tidak selalu sama untuk semua jenis, masing-masing mempunyai kekuatan sendiri dan hal ini hanya dapat dibuktikan dengan analisis statistik. Hasil analisis statistik untuk mengetahui pengelompokkan asal benih mindi yang didasarkan pada karakter morfologi dapat dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan hasil analisis diskriminan Gambar 18 dapat dilakukan pendugaan kedekatan antar individu pada satu populasi dengan individu dari populasi yang lain, yaitu dengan cara pendekatan Predicted Group Membership. Pada Tabel 14 dapat dilihat seberapa besar kedekatan antar populasi yang didasarkan pada karakter morfologi. Pada populasi Gambung terdapat 1satu individu yang bisa masuk dalam kelompok populasi Megamendung atau sebesar 5 dari populasi Gambung mirip dengan populasi Megamendung. Kemiripan cukup besar terdapat antara populasi Wanayasa dengan Gambung, yaitu terdapat 10 dari populasi Wanayasa mempunyai kemiripan dengan populasi Gambung, yang cukup menarik terjadi pada populasi Megamendung terdapat 5 mirip dengan populasi Gambung dan 5 serupa dengan populasi Nagrak. Hal ini membuktikan pula bahwa antara 50 51 populasi mindi di Gambung, Megamendung dan Wanayasa ada kedekatan, dan hal ini terbukti pula secara analisis DNA, bahwa ketiga populasi ini mempunyai jarak genetik yang dekat sehingga masuk dalam satu kluster. Tabel 14. Dugaan kedekatan individu antar populasi mindi di Jawa Barat Jumlah individu yang mempunyai kedekatan antar populasi Populasi GBG KNG WNY MGD NGK SMD Total Gambung 19 0 1 20 Kuningan 0 18 2 20 Wanayasa 2 18 20 Megamendung 1 18 1 0 20 Nagrak 0 20 20 Sumedang 0 1 0 0 19 20 Persentase Gambung 95 5 100 Kuningan 0 90 10 100 Wanayasa 10 90 100 Megamendung 5 0 0 90 5 0 100 Nagrak 0 100 100 Sumedang 0 5 95 100 Berdasarkan hasil analisis genetik, populasi Gambung dan Kuningan mempunyai kemiripan yang sangat dekat, namun berdasarkan karakter morfologi tidak terlihat adanya kedekatan diantara anggota individu. Akan tetapi terdapat 10 anggota populasi Kuningan dapat masuk dalam kelompok populasi Sumedang, hal ini berarti ada kedekatan secara morfologi antara populasi Kuningan dan Sumedang, namun tidak demikian secara genetik, karena jarak genetik antara populasi Sumedang dengan Kuningan cukup jauh Tabel 8. Populasi Nagrak mempunyai karakateristik morfologi yang tidak terdapat pada lima lokasi lainnya, sehingga 100 individu Nagrak tidak mempunyai kemiripan dengan individu dari populasi lain. Hal ini sesuai dengan pengujian secara genetik, populasi Nagrak membentuk kluster tersendiri Gambar 15 dan 16. 52 Gambar 17. Canonical Discriminant Analysis untuk pengelompokkan asal benih mindi berdasarkan karakter morfologi Hasil pengujian keragaman genetik dapat diperkuat dengan mengetahui keragaman yang didasarkan pada karakter morfologi, pada penelitian keragaman populasi tanaman mindi di hutan rakyat di Jawa Barat, terlihat bahwa penyebab keragaman terbesar adalah individu dalam populasi, karena terlihat dari hasil perhitungan Predicted Group Membership hanya sekitar 5–10 individu yang mempunyai kedekatan antar populasi, tetapi sekitar 90–95 individu spesifik dalam populasinya masing-masing. Hasil ini sesuai dengan perhitungan AMOVA Tabel 9, bahwa keragaman genetik yang tersimpan didalam populasi adalah sebesar 69 sedangkan keragaman genetik antar populasi adalah 31. Function 1 5.0 2.5 0.0 -2.5 -5.0 -7.5 4 2 -2 -4 -6 SMD NGK MGD WNY KNG GBG Canonical Discriminant Functions Group Centroid SMD NGK MGD WNY KNG GBG Lokasi Functi on 2 53 Clustering Analysis Untuk lebih mengetahui kedekatan antar populasi mindi berdasarkan karakter morfologi maka dilakukan analisis kluster, hasil analisis ini dapat dilihat dalam bentuk dendrogram Gambar 18. Gambar 18. Dendrogram populasi mindi berdasarkan karakter morfologi Dendogram populasi mindi yang didasarkan pada keragaman karakter morfologi Gambar 18 menunjukkan bahwa terdapat dua kelompok besar, yaitu kelompok pertama terdiri dari populasi Gambung, Wanayasa dan Kuningan, sedangkan kelompok kedua terdiri dari populasi Megamendung, Sumedang dan Nagrak. Pola ini tidak terlalu berbeda dengan pola pengelompokkan yang didasarkan pada keragaman genetik, berdasarkan keragaman genetik terdapat tiga kelompok yaitu Gambung, Kuningan, Wanayasa dan Megamendung dalam satu kelompok, kemudian Nagrak dan Sumedang masing-masing terpisah membentuk kelompok sendiri Gambar 15. Hal ini berarti tiga populasi yang mempunyai kedekatan dalam keragaman genetik, juga mempunyai kedekatan dalam keragaman morfologi, ketiga populasi tersebut adalah Gambung, Wanayasa dan Kuningan. Sedangkan populasi Megamendung secara genetik mempunyai kemiripan dengan ketiga populasi tersebut, namun agak berbeda dalam keragaman morfologi. Akan tetapi populasi Megamendung mempunyai kemiripan morfologi dengan populasi Nagrak, hal ini dimungkinkan karena letak geografis kedua 54 lokasi ini cukup berdekatan, walaupun dari ketinggian tempat tumbuh agak berbeda. Populasi Nagrak berada pada ketinggian antara 250-350 m dpl dan populasi Megamendung berada pada ketinggian 700 m dpl.

4.1.3 Kesuburan tapak tegakan mindi di hutan rakyat Jawa Barat

Data hasil analisis fisik dan kimia tanah serta data kondisi fisik tapak mindi di hutan rakyat Jawa Barat merupakan data sekunder yang mengacu pada hasil penelitian Atmandhini 2011, yang tersaji pada Tabel 15. Tabel 15. Sifat kimia dan fisik tanah serta kondisi lingkungan tempat tumbuh mindi di beberapa lokasi hutan rakyat di Jawa Barat. Lokasi WNY MGD NGK KNG GBG SMD Sifat kimia tanah C-org 2,04 sd 1,86 r 1,75 r 1,33 r 5,4 st 3,25 t N-total 0,16 r 0,15 r 0,13 r 0,12 r 0,27 sd 0,23 sd P Tersedia ppm 5,95 sr 5,60 sr 4,8 sr 4,65 sr 7,85 sr 8,10 sr K Me100gr 0,61 sr 0,56 sr 0,62 sr 0,28 sr 0,26 sr 0,32 sr KTK Me100gr 15,01 r 16,06 r 15,61 r 11,01 r 27,76 t 15,09 r pH 5,95 am 6,84 n 5,80 am 5,80 am 5,45 m 6,20 am Sifat fisik tanah Debu 45,86 39,38 41,40 33,39 49,69 32,87 Pasir 11,46 16,8 15,29 28,76 11,36 21,11 Liat 42,68 43,81 43,30 37,85 38,94 46,03 Kadar Air 40,17 36,92 33,55 28,41 69,33 26,28 Kondisi lingkungan RH 70 73 70 65 83 80 T °C 28,6 25,4 26 26 25 30 CH mmtahun 4153,8 3659,9 3813,0 1856,2 1822,8 2224,2 Ketinggian tempat m dpl 617 716 300 417 1298 700 Keterangan: sr = sangat rendah;r = rendah; sd = sedang; t= tinggi; st = sangat tinggi; am=agak masam; m=masam; n = netral Sumber : Atmandhini 2011 Kondisi biofisik tempat tumbuh tegakan mindi di hutan rakyat di Jawa Barat secara umum tidak jauh berbeda Tabel 15, kecuali ketinggian tempat tumbuh yang agak bervariasi yaitu berkisar antara 300–1300 m dpl, hal ini berarti mindi dapat tumbuh pada kisaran ketinggian yang cukup lebar. Namun untuk suhu dan kelembaban relatif kisarannya tidak begitu besar. Kondisi iklim lainnya 55 yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah curah hujan, kisaran curah hujan di seluruh lokasi penelitian berkisar antara 1822,8-4153,8 mmth. Tanaman mindi dapat tumbuh di bukit-bukit rendah hingga dataran tinggi ketinggian 700–1400 m dpl dengan curah hujan antara 600–2000 mmtahun yang termasuk tipe iklim A-C Wulandini et al. 2004; Martawijaya et al. 1989; Soerianegara et al. 1995. Faktor tempat tumbuh lainnya yang sangat menentukan pertumbuhan tanaman adalah kondisi lahan, yaitu berkaitan dengan kandungan unsur hara serta fisik tanah. Secara umum kondisi unsur hara dalam tanah pada beberapa tegakan mindi di hutan rakyat Jawa Barat Atmandhini 2011 adalah sebagai berikut : kadar C masuk dalam kategori rendah r hingga sangat tinggi st, kadar N masuk kategori rendah r hingga sedang sd, sedangkan ketersediaan P dan K masuk dalam kategori sangat rendah sr. Sedangkan nilai C-N ratio dan nilai KTK Kapasitas Tukar Kation setiap lokasi penelitian tersebut dapat dilihat pada Gambar 19. Gambar 19. Diagram nilai C-N ratio pada setiap lahan penelitian Nilai C-N ratio menunjukkan tingkat derajat laju dekomposisi bahan organik, untuk bahan organik humus nilai C-N ratio berkisar antara 12-13 Hardjowigeno 2003. Lokasi Gambung mempunyai nilai C-N ratio paling tinggi yaitu 20,37 yang diikuti oleh lokasi Sumedang 14,12, sedangkan 4 lokasi lainnya berkisar antara 11–12. Selain nilai C-N ratio tertinggi, nilai KTK untuk lokasi Gambung adalah yang tertinggi pula yaitu 27,76. Hal ini menunjukkan bahwa lahan di daerah Gambung relatif lebih subur dibandingkan lahan-lahan yang lain. Tingginya nilai kapasitas tukar kation KTK pada suatu lahan dapat 56 dijadikan indikator untuk tingkat kesuburan lahan tersebut, karena dapat menunjukkan kemampuan tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut Hardjowigeno 2003. Kesuburan tapak akan berpengaruh terhadap proses-proses pertumbuhan tanaman, seperti perkembangan bagian-bagian vegetatif maupun generatif. Unsur hara makro yang berperan dalam produksi buah adalah P, kekurangan unsur P di dalam tanah dapat memperpanjang waktu pemasakan buah, mengurangi jumlah pembentukan bunga, menurunkan kualitas benih dan pada akhirnya akan menurunkan hasil panen. Kondisi pH yang paling sesuai untuk ketersediaan P adalah pada kisaran pH 6 -7. Lokasi Sumedang Tabel 15, mempunyai ketersediaan unsur P yang paling besar, yaitu 8,1 ppm P tersedia dengan pH 6,2. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi Sumedang mempunyai tingkat kesesuaian tempat tumbuh yang lebih baik untuk produksi benih mindi. Untuk mengetahui status hara kecukupan dan defisiensi pada tegakan mindi, dilakukan analisis jaringan tanaman dalam hal ini dari bagian daun yang berasal dari tegakan mindi pada setiap lokasi. Hasil analisis unsur makro pada jaringan daun mindi dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Kandungan unsur hara makro, kadar air dan C-N ratio daun mindi dari berbagai lokasi penelitian Lokasi Parameter WNY MGD NGK KNG GBG SMD C 52,71 c 53,80 c 51,94 c 52,19 c 53,61 c 52,09 c N 2,8 c 3,72 c 3,2 c 2,67 c 3,83 c 3,03 c P 0,30 c 0,35 c 0,33 c 0,30 c 0,36 c 0,32 c K 1,21 c 1,27 c 1,12 c 1,31 c 1,19 c 1,16 c Kadar air 4,82 4,42 7,43 5,03 4,94 4,55 C-N ratio 18,83 14,45 16,23 19,52 13,98 17,17 Keterangan: c = cukup Dell et al.2003 Karbon merupakan unsur yang diperoleh tanaman dari udara, seperti juga oksigen, maka kandungan C yang tinggi pada daun jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan C dalam tanah. Namun nilai ratio C-N pada bagian daun mempunyai kisaran yang hampir sama dengan ratio C-N pada tanah, yaitu berkisar antara 57 13,98–19,52. Berdasarkan hasil analisis hara pada jaringan daun, nilai unsur hara makro N, P dan K yang terkandung dalam tanaman mindi masih masuk dalam kategori cukup, nilai tersebut dibandingkan dengan nilai standar kecukupan dan kekurangan unsur hara pada beberapa jenis ekaliptus Dell et al. 2003. Hal ini mengindikasikan bahwa secara umum tapak di semua lokasi hutan rakyat mindi mampu menyediakan hara yang cukup bagi pertumbuhan tanaman mindi, walaupun untuk beberapa unsur yaitu P dan K masih masuk dalam kategori sangat rendah Atmandhini 2011. Tujuan dari pengembangan sumber benih mindi adalah dihasilkannya produksi buah yang mencukupi. Selain kadar hara tanah, faktor kerapatan tegakan dan pola pengelolaan hutan rakyat juga dapat mempengaruhi produksi buah. Berdasarkan penelitian Atmandhini 2011, data produksi buah dan kerapatan tanaman mindi pada beberapa tegakan mindi di hutan rakyat adalah sebagai berikut Tabel 17. Tabel 17. Data produksi buah, kerapatan dan umur tegakan mindi di enam lokasi penelitian Lokasi Parameter WNY MGD NGK KNG GBG SMD Produksi Buah per pohonkg 8,11 5,16 4,87 6,37 3,14 1,03 Umur tahun 7 5 5 3 6 4 Kerapatan individuha 60 110 37 63 113 113 Sumber: Atmandhini 2011 Hasil penelitian tersebut menunjukkan kisaran produksi buah mindi rata- rata per pohon adalah antara 1,03–8,11 kg Tabel 17. Lokasi yang memiliki produksi buah tertinggi adalah Purwakarta dengan produksi rata-rata 8,11 kg per pohon dan produksi buah terendah dihasilkan oleh tegakan mindi di Sumedang, yaitu rata-rata 1,03 kg per pohon. Tingkat produksi buah yang dihasilkan suatu tegakan dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah sistem perkawinan, keberadaan pollinator, umur pohon dan kondisi lingkungan seperti curah hujan, suhu, kelembaban dan hara tanah serta sistem pengelolaan tegakan. Kisaran umur pohon mindi yang diamati adalah antara 3–7 tahun, fase generatif tanaman akan berlangsung setelah melewati fase juvenile. Fase juvenile pada tanaman dapat berlangsung mulai umur 1 – 45 tahun, tergantung jenis dan kondisi lingkungan 58 Sedgley dan Griffin, 1989. Nampaknya tanaman mindi termasuk dalam kelompok tanaman hutan dengan periode juvenile yang cukup singkat karena pada umur 3 tahun tanaman mindi sudah mulai berbuah. Berdasarkan hasil analisis tanah Atmandhini 2011, kandungan hara di bawah tegakan mindi di Gambung dan Sumedang menunjukkan tingkat kesuburan yang lebih baik, hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai KTK, C-N ratio serta ketersediaan P dan pH tanah. Namun dalam pengelolaan tanaman di kedua lokasi dilakukan pemangkasan yang cukup berat, dengan tujuan agar tajuk pohon mindi tidak menutupi tanaman di bawahnya. Kondisi ini mengakibatkan luas permukaan tajuk mengecil, sehingga mengurangi ruang untuk pembentukan bunga, akibatnya produksi buah yang dihasilkan menjadi rendah Atmandhini 2011. Menurut Owens 1995 pembungaan dan pembuahan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan diantaranya intensitas cahaya, suhu, ketersediaan air serta kandungan hara, disamping faktor biologi lainnya seperti periodisasi inisiasi bunga, ketidaksamaan pertumbuhan dan pembungaan, kerontokan aborsi bunga, kerontokan ovul, kerontokan embrio dan kegagalan benih dan buah menjadi matang. Disamping itu jumlah pohon atau kerapatan tegakan juga akan berpengaruh kepada produksi buah. Kerapatan pohon diharapkan dapat mempengaruhi produksi benih yang dihasilkan, yaitu semakin besar kerapatannya akan semakin besar pula produksi benihnya. Kondisi ini disebabkan dapat memperbesar peluang untuk terjadinya penyerbukan silang outcrossing diantara tanaman, sehingga mengurangi inbreeding depression. Salah satu unsur hara makro yang diperlukan untuk produksi buah adalah ketersediaan P dalam tanah, tapak di lokasi Sumedang mempunyai sediaan unsur P yang paling tinggi Atmandhini 2011. Namun apabila dilihat dari produksi buah yang dihasilkan di Gambung dan Sumedang, hasilnya belum mencerminkan kesuburan tapaknya. Hal ini diduga karena faktor pemangkasan tajuk yang cukup berat di kedua lokasi penelitian, sehingga luas permukaan tajuk lebih kecil dan mengurangi pembungaan serta pembuahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa potensi lahan di Sumedang dan Gambung belum terekspresikan seluruhnya dalam produksi buah yang dihasilkan, karena potensi tempat tumbuh di kedua lokasi ini cukup baik untuk pengembangan sumber benih mindi. 59

4.2 Teknik Penanganan dan Perkecambahan Benih Mindi untuk Pengembangan Sumber Benih Di Hutan Rakyat

4.2.1 Struktur anatomi dan kandungan biokimia benih Struktur anatomi benih

Pengamatan struktur anatomi benih mindi dilakukan terhadap ukuran benih yang meliputi panjang, diameter dan berat benih, tebal endocarp dan testa, kerapatan sel dan ukuran sel penyusun endocarp. Hasil pengamatan untuk setiap variabel tersaji pada Tabel 18 dan 19. Tabel 18. Ukuran benih mindi dari berbagai asal benih Asal benih Panjang benih mm Diameter benih mm Berat benih g Tebal endocarp µm Tebal testa µm Kuningan 10,40±1,50 6,34±1,44 0,25±0,08 1252,2 ±10,5 117,7±5,4 Nagrak 12,45±1,19 7,87±0,55 0,44±0,08 1448,2 ±19,8 198,6±9,65 Sumedang 11,46±1,69 7,82±0,61 0,42±0,11 1250,0±22,8 87,6±7,23 Gambung 11,95±2,05 7,03±0,62 0,31±0,08 455,50±11,2 68,7±6,3 Megamendung 11,69±0,71 7,14±0,41 0,35±0,06 331,40±6,9 29,37±3,1 Wanayasa 11,58±0,87 7,22±0,54 0,36±0,09 425,90±8,9 41,9±2,2 Rata-rata 11,58±0,68 7,23±0,56 0,36±0,07 860,50±22,51 90,7±61,65 Struktur anatomi benih secara makroskopis dapat dilihat pada Gambar 20, terlihat ada dua lapisan yang mengelilingi embrio, lapisan pertama adalah endocarp dan mempunyai ketebalan lebih besar dibandingkan lapisan kedua yaitu testa. endocarp testa 60 Gambar 20. Struktur anatomi makroskopis benih asal Kuningan Secara mikroskopis struktur endocarp dan struktur testa dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21. Struktur anatomi secara mikroskopis benih asal Kuningan Benih asal Nagrak mempunyai ketebalan endocarp dan testa masing- masing sebesar 1448,2 µm dan 198,6 µm, merupakan nilai paling besar diantara asal benih lainnya, demikian pula dengan ukuran benih yaitu panjang, diameter dan berat benih masing-masing 12,45 mm, 7,87 mm dan 0,44 gram Tabel 18. Ketebalan kulit benih akan berdampak kepada proses perkecambahan benih, hal ini akan menjadi penghalang bagi masuknya air dan oksigen serta inhibitor endocarp testa