Strategy of seed source development of mindi (Melia azedarach L.) in community forest in West Java Province

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER BENIH MINDI

(Melia azedarach L.) PADA HUTAN RAKYAT

DI PROVINSI JAWA BARAT

YULIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Strategi Pengembangan Sumber Benih Mindi (Melia azedarach L.) pada Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Baratadalah benar merupakan karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Y u l i a n t i NIM E461070071


(3)

ABSTRACT

YULIANTI. Strategy of Seed Source Development of Mindi (Melia azedarach L.) in Community Forest in West Java Province. Under direction of NURHENI WIJAYANTO, ISKANDAR Z SIREGAR and IGK TAPA DARMA.

Melia azedarach L. or mindi (local name) is one of the widely planted exotic species in Indonesia, mostly found in community forests in West Java. It is still an urgent need for improvement of mindi plantation productivity, especially in community forest in West Java. One of the factors that affect forest productivity is high quality seed, but seed quality is not easily obtained by farmers. For this it is necessary to carry out a strategies which can support the development of seed sources in the community forest. The general objective of this research is to formulate development strategies of mindi seed sources in the community forest in West Java, while specific purposes of this study are to (1) determine the genetic and morphology diversity of mindi in the community forest in West Java, (2) improve seed pre-treatment to develop the seed viability of mindi, and (3) analyze of socio-economic and institutional aspect of farmers, to support the development of the seed sources. Six populations of mindi plantation in the community forests were chosen for this research. i.e Nagrak village (Bogor); Megamendung (Bogor); Hamlet of Gambung (Bandung); Wanayasa subdistrict (Purwakarta); Padasari village (Sumedang) and Babakan Rema village (Kuningan). RAPD markers were used to assess the genetic variation, while various pre-treatments employing chemical and physical methods were tested to improve seed viability and vigor. SWOT analysis was used to evaluate the capacity of farmers in developing seed source. The results showed that the genetic variation of mindi in community forests in West Java was moderate ranging from He = 0.1603-0.1956. With respect to seed treatment, the use of sulfuric acid (95%)

increased the viability of seed by 57% over control, especially seed from Padasari (Sumedang) population. Prospective populations to be developed for seed sources were proposed namely Padasari (Sumedang) and Legok Huni (Purwakarta). Evaluation of socio-economic and institutional aspect in these two location showed that generally farmers have the sufficient capacity to manage community forests. Four strategies that can be used to develop seed sources of mindi in community forest in West Java : i.e

1. The strategy based on utilization of plant genetic resources of mindi to increase seed production in order to meet the need of mindi timber market.

2. The strategy based on market and networking opportunities to improve the quality of mindi seeds .

3. The strategy based on capacity building and institutional development of farmers in the cultivation of mindi.

4. The strategy based on increasing farmers' interest in cultivation of mindi In conclusion, effective strategy of mindi seed source development should emphasize following important considerations such as the utilization of exisiting genetic resources, enhancement of institutions and networks as well as optimizing opportunities in mindi timber markets.


(4)

YULIANTI. Strategi Pengembangan Sumber Benih Mindi (Melia azedarach L.) pada Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh NURHENI WIJAYANTO, ISKANDAR Z SIREGAR dan IGK TAPA DARMA.

Melia azedarach L. atau mindi (nama lokal), salah satu jenis eksotik yang tumbuh baik di Indonesia, khususnya di lahan milik masyarakat atau hutan rakyat di Jawa Barat. Kayu mindi mempunyai nilai ekonomi yang cukup baik. Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengembangan hutan rakyat mindi saat ini adalah belum tersedianya benih mindi berkualitas yang dapat diakses oleh masyarakat. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menyusun strategi pengembangan sumber benih mindi pada hutan rakyat di Jawa Barat, adapun tujuan khusus yang juga menjadi aspek penelitian adalah (1) menganalisis potensi keragaman genetik dan morfologi tanaman mindi di hutan rakyat di Jawa Barat; (2) menganalisis teknik penanganan mindi yang didasarkan pada struktur anatomi dan biokimia benih, dan (3) menganalisis kondisi sosial-ekonomi dan kelembagaan petani hutan rakyat khususnya yang mengembangkan tanaman mindi, guna mendukung sumber benih yang akan dikembangkan.

Penyusunan strategi pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat di Jawa Barat dilakukan dengan menggunakan metode Analisis SWOT, dalam bentuk matriks dan bersifat kualitatif. Unsur internal dan eksternal ditentukan berdasarkan hasil penelitian 1, 2 dan 3.

Penelitian dilakukan dari Bulan Januari 2009 sampai dengan Bulan Agustus 2010. Pengambilan sampel dilakukan di Desa Gambung, Kabupaten Bandung; Desa Padasari, Kabupaten Sumedang; Desa Legok Huni, Kabupaten Purwakarta; Desa Babakanrema, Kabupaten Kuningan; dan Desa Nagrak serta Desa Megamendung Kabupaten Bogor. Pengujian keragaman genetik dan morfologi menggunakan 20 pohon induk terpilih secara acak dari setiap lokasi penelitian. Analisis keragaman genetik menggunakan penanda RAPD (Random Amplified Polimorphic DNA). Analisis morfologi dilakukan dengan pengamatan dan pengukuran terhadap 19 karakter morfologi. Pengujian viabilitas dan vigor benih menggunakan perlakuan mekanis dan kimia. Pemilihan lokasi untuk


(5)

ii

penelitian analisis sosial ekonomi dan kelembagaan didasarkan pada hasil penelitian 1 dan 2.

Berdasarkan analisis DNA, populasi tanaman mindi di hutan rakyat di Jawa Barat memiliki keragaman genetik (He) di dalam populasi berkisar antara

0,1603-0,1956 dengan nilai rata-rata He = 0,1714, nilai keragaman ini

menunjukkan bahwa tingkat keragaman genetik tanaman mindi di hutan rakyat Jawa Barat termasuk dalam kategori sedang, selain itu jarak genetik antar populasi menunjukkan terdapat 3 pengelompokkan populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat. Tegakan mindi di hutan rakyat di Sumedang mempunyai potensi untuk dikembangkan menjadi sumber benih karena memiliki keragaman genetik (He)

tertinggi (0,1956) dan kondisi tapak yang cukup subur. Hasil analisis keragaman morfologi tanaman mindi menunjukkan terdapat keragaman antar populasi berdasarkan karakter morfologi sebesar 5–10%.

    Berdasarkan hasil pengujian terhadap struktur anatomi benih mindi, ketebalan endocarp berkisar antara 331,4 –1448,2 µm dan tebal testa berkisar 41,9–148,6 µm, dengan kerapatan sel berkisar 2031-4635 sel per mm2. Benih mindi mengandung ABA yang cukup tinggi (0,0386- 0,0955 mg/g ) dengan kadar lignin pada kulit benih yang termasuk kategori sedang yaitu berkisar antara 22,26-26,57%. Keberadaan ABA pada benih dapat menjadi faktor penghambat dalam perkecambahan, selain juga ketebalan dan kekerasan endocarp. Hasil pengujian viabilitas menunjukkan, benih asal Sumedang mempunyai viabilitas tertinggi, yaitu terjadi peningkatan viabilitas sebesar 57% dari kontrol apabila benih direndam terlebih dahulu dalam larutan H2SO4 (95%) selama 45 menit sebelum

disemaikan. Kandungan lignin dalam endocarp berkorelasi positif dengan ketebalan endocarp (R2= 43%), namun delignifikasi dapat terjadi dengan bantuan asam sulfat sehingga mampu meningkatkan daya berkecambah benih mindi.

Penelitian kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan petani hutan, khususnya yang mengelola tanaman mindi, dilakukan di Desa Padasari (Sumedang) dan Desa Legok Huni (Kabupaten Purwakarta). Petani hutan rakyat di kedua lokasi ini mempunyai potensi untuk mengembangkan sumber benih mindi, berdasarkan hasil analisis, secara umum kapasitas petani hutan rakyat di kedua lokasi sudah mampu mengelola hutan rakyat. Hal ini dilihat dari nilai


(6)

kontribusi pendapatan yang diperoleh petani dari pengusahaan hutan rakyat, khusus petani hutan rakyat di Desa Padasari (Sumedang) walaupun luasan yang dikelola lebih sempit yaitu rata-rata di bawah 0,5 ha, namun memberikan kontribusi pendapatan lebih tinggi yaitu rata-rata di atas 50%. Sedangkan kontribusi pendapatan dari HR pada petani di Desa Legok Huni masih di bawah 50% di semua luasan hutan rakyat yang dikelola. Kapasitas petani yang memadai di kedua lokasi ini dapat dilihat pula berdasarkan kemampuan mereka untuk membentuk suatu kelompok tani, yang dapat menjadi embrio untuk pengembangan sumber benih mindi secara kolektif.

Jejaring kerja antar petani, kelompok tani, LSM dan institusi formal kehutanan sudah mulai terbangun, sehingga informasi mengenai adanya pembimbingan, penyuluhan, pemberian bibit serta bantuan dalam permodalan sudah dapat dimanfaatkan oleh petani. Namun jejaring kerja ini belum berjalan dengan baik di Desa Legok Huni. Peluang pasar untuk kayu rakyat, khususnya kayu mindi dapat pula menjadi pendorong pengembangan sumber benih mindi, yang berkaitan dengan penyediaan benih berkualitas yang dapat diakses oleh masyarakat.

Hasil analisis strategi menghasilkan empat strategi yang dapat digunakan untuk pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat, khususnya untuk Desa Padasari (Sumedang) dan Desa Legok Huni (Purwakarta). Strategi pengembangan sumber benih mindi dapat ditekankan pada aspek pemanfaatan potensi genetik, kelembagaan, jaringan kerja serta peluang pasar kayu mindi. Ke-empat alternatif strategi tersebut adalah:

1. Strategi pemanfaatan potensi sumberdaya genetik tanaman mindi untuk peningkatan produksi benih dalam rangka pemenuhan kebutuhan pasar kayu mindi.

2. Strategi pemanfaatan peluang pasar dan jaringan kerja untuk memperbaiki mutu benih mindi.

3. Strategi peningkatan kapasitas petani dan pengembangan kelembagaan dalam usaha budidaya mindi.

4. Strategi untuk meningkatkan minat petani dalam budidaya tanaman mindi. Kata kunci: Melia azedarach, genetik, hutan rakyat, Jawa Barat, strategi, sumber


(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.


(8)

(Melia azedarach L.) PADA HUTAN RAKYAT

DI PROVINSI JAWA BARAT

YULIANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

Penguji luar pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Bedjo Santoso, MS.

(Direktur Bina Perbenihan Tanaman Hutan, Ditjen Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan)

Dr.Ir.Prijanto Pamoengkas, M.Sc.F.Trop. (Ketua Lab. Silvikultur, Fakultas Kehutanan

IPB)

Penguji luar pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Tachrir Fathoni, M.Sc.

(Kepala Badan Litbang, Kementerian Kehutanan)

Prof. Dr. Ir. Harjanto, MS.

(Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB)


(10)

(11)

PRAKATA

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunia – NYA, yang telah diberikan kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan tugas akhir di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adapun tugas akhir tersebut adalah tersusunnya disertasi yang berjudul “Strategi Pengembangan Sumber Benih Mindi (Melia azedarach L.) pada Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat”.

Dengan tersusunnya disertasi ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing, serta Prof. Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. dan Prof. Dr. Ir. IGK.Tapa Darma, MSc. selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis mulai dari penyusunan proposal, selama penelitian dan analisis, hingga selesainya penulisan disertasi.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kepala Badan Litbang Kehutanan, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan dan Kepala Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Kementerian Kehutanan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mengikuti studi S-3 di Sekolah Pascasarjana, IPB serta kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah memberikan dana Hibah Penelitian Tim Pascasarjana, tahun 2009-2010 (No.Kontrak : 78/13.24.4/SPK/BG-PD/2009 dan 4/13.24.4/SPK/PD/2010), sehingga penelitian ini dapat berjalan. Terima kasih disampaikan pula kepada pengelola Program Studi Silvikultur Tropika, dan seluruh staf Fakultas Kehutanan IPB yang telah membantu kelancaran studi. Ucapan terima kasih disampaikan pula pada Suci Dian Firani dan Andina (alumnus IPB) yang telah membantu dalam pengumpulan data lapangan.

Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada ibunda tercinta (RA. Julmini Martono Mangunsumarto), suami terkasih (Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS.) dan ke-empat anak-anakku (Restu, Panji, Sarah dan Recta) serta seluruh keluarga dan teman-teman atas doa dan semua bantuannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juli 2011 Y u l i a n t i


(12)

Penulis lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 31 Juli 1962 sebagai anak ke enam dari delapan bersaudara keluarga H. Amir Hamzah Hassan (Alm) dan Ibu RA. Julmini Martono Mangunsumarto. Penulis menikah dengan Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS. dan dikarunai tiga orang putri dan satu orang putra, yaitu Restu Gusti Atmandhini Bramasto, S.Hut, M.Si; Rahadimas Panjinegoro Bramasto; Rahaulia Sarah Miradiantri Bramasto dan Rahassanti Recta Regitya Bramasto.

Penulis lulus sebagai mahasiswa sarjana strata I di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1986. Pada tahun 1991 penulis mendapatkan beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Kementerian Kehutanan untuk mengikuti studi S-2 pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2007 penulis mendapatkan Tugas Belajar untuk menempuh pendidikan S-3 pada Mayor Silvikultur Tropika, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1988 sebagai calon peneliti di Kelompok Peneliti Pemuliaan Pohon, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Dari tahun 1994 sampai sekarang penulis adalah Peneliti Madya pada Kelompok Peneliti, Teknologi Perbenihan, Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan RI.

Karya ilmiah yang berjudul Genetic variation of Melia azedarach L. in community forests of West Java assessed by RAPD dan merupakan bagian dari disertasi penulis telah dipresentasikan sebagai poster pada The 2010 International Meeting of the Association for Tropical Biology and Conservation di Denpasar, Bali pada 19 – 24 Juli, 2010, dan telah terbit dalam Jurnal Biodiversitas (Terakriditasi DIKTI) pada Vol 12. No. 2. Bulan April 2011.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

RINGKASAN ... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Hipotesis ... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Kerangka Pemikiran ... 6

1.7 Kebaruan (Novelty) ... .6

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Hutan Rakyat ... 7

2.2 Profil Tanaman dan Kayu Mindi ... 11

2.3 Perbenihan Jenis Mindi... 15

2.4 Sebaran Populasi Tanaman Mindi di Jawa Barat... 20

III. METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Pendekatan Masalah... 21

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 22

3.3 Keragaman Genetik, Morfologi dan Kesuburan Tapak Tanaman Mindi di Hutan Rakyat Jawa Barat ... 23

3.3.1 Analisis keragaman genetik ... 24

3.3.2 Analisis keragaman morfologi ... 26

3.3.3 Analisis kesuburan tapak tanaman mindi... 28

3.4 Teknik Penanganan dan Perkecambahan Benih Mindi untuk Pengembangan Sumber Benih di Hutan Rakyat... 29

3.4.1 Bahan dan alat... 29

3.4.2 Tempat penelitian... 29

3.4.3 Pengumpulan data ... 30

3.4.4 Prosedur kerja ... 30

3.4.4.1 Pengukuran struktur anatomi benih mindi ... 30

3.4.4.2 Pengujian biokimia benih mindi ... 32

3.4.4.3 Teknik pematahan dormansi benih ... 33

3.4.4.4 Rancangan percobaan ... 34

3.4.4.5 Variabel yang diamati ... 35


(14)

 

3.5 Analisis Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan untuk Pengembangan Sumber Benih Mindi : Studi Kasus di Desa Padasari,

Kabupaten Sumedang dan Desa Legok Huni Kabupaten Purwakarta. 36

3.5.1 Waktu dan tempat penelitian ... 36

3.5.2 Bahan dan alat... 36

3.5.3 Metode pengumpulan data ... 36

3.5.4 Analisis data... 37

3.6 Analisis Strategi Pengembangan Sumber Benih Mindi... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 39

4.1 Keragaman Genetik, Morfologi dan Kesuburan Tapak Tanaman Mindi di Hutan Rakyat Jawa Barat ... 39

4.1.1 Analisis keragaman genetik ... 39

4.1.2 Analisis keragaman morfologi ... 44

4.1.3 Kesuburan tapak tegakan mindi di hutan rakyat Jawa Barat ... 54

4.2 Teknik Penanganan dan Perkecambahan Benih Mindi untuk Pengembangan Sumber Benih di Hutan Rakyat... 59

4.2.1 Struktur anatomi dan kandungan biokimia benih ... 59

4.2.2 Pematahan dormansi benih ... 67

4.2.3 Hubungan antara karakter anatomi, biokimia dan perkecambahan ... 77

4.2.4 Pengelompokkan asal benih mindi berdasarkan viabilitas benih ... 84

4.3 Analisis Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan Untuk Pengembangan Sumber Benih Mindi : Studi Kasus Di Desa Padasari, Kabupaten Sumedang Dan Desa Legok Huni Kabupaten Purwakarta ... 85

4.3.1 Karakteristik petani hutan rakyat ... 85

4.3.2 Luas dan status kepemilikan lahan ... 86

4.3.3 Komoditas atau jenis tanaman yang diusahakan ... 88

4.3.4 Tahapan kegiatan dalam pengelolaan hutan rakyat ... 90

4.3.5 Kontribusi usaha hutan rakyat terhadap pendapatan petani... 93

4.3.6 Hubungan diantara para petani hutan serta bentuk kelembagaan yang sudah ada... 96

4.3.7 Peran institusi formal maupun non formal dalam pengembangan hutan rakyat... 98

4.3.8 Kondisi pasar untuk kayu rakyat... 100

V. STRATEGI PENGEMBANGAN SUMBER BENIH MINDI DI HUTAN RAKYAT ... 103

5.1 Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal dari Setiap Penelitian... 103

5.1.1 Analisis Keragaman Genetik, Morfologi dan Kesuburan Tapak Tanaman Mindi di Hutan Rakyat Jawa Barat... 103

5.1.2 Analisis Penanganan dan Perkecambahan Benih Mindi untuk Pengembangan Sumber Benih di Hutan Rakyat ... 106

5.1.3 Analisis Sosial, Ekonomi dan Kelembagaan untuk Pengembangan Sumber Benih Mindi : Studi Kasus Desa Padasari, Kabupaten Sumedang dan Desa Legok Huni, Kabupaten Purwakarta. Jawa Barat ... 107


(15)

 

5.2 Matriks SWOT ... 110

5.3 Strategi Pengembangan Sumber Benih Mindi di Hutan Rakyat ... 111

VI. KESIMPULAN DAN SARAN... 119

6.1 Kesimpulan... 119

6.2 Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA... 121 LAMPIRAN


(16)

 

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Biaya produksi dan pendapatan usaha dari pemanfaatan kayu mindi ... 14

2. Sebaran populasi tanaman mindi pada beberapa wilayah di Jawa Barat.... 20

3. Enam lokasi pengambilan bahan penelitian di Jawa Barat ... 22

4. Jumlah sampel kerja untuk kegiatan penelitian 1 ... 24

5. Primer dan susunan basa yang digunakan ... 24

6. Jumlah sampel untuk analisis anatomi,biokimia dan pematahan dormansi benih mindi ... 30

7. Nilai parameter keragaman genetik populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat ... 40

8. Jarak genetik antar populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat... 41

9. Hasil Analysis of Molecular Variance (AMOVA) ... 44

10. Rangkuman hasil analisis ragam setiap karakter morfologi ... 45

11. Rangkuman hasil perhitungan CDA untuk semua karakter morfologi... 46

12. Nilai koefisien untuk setiap karakter morfologi pada setiap fungsi Canonical Discriminant Analaysis... 47

13. Hasil analisa korelasi antar sifat morfologi tanaman mindi... 49

14. Dugaan kedekatan individu antar populasi mindi di Jawa Barat ... 51

15. Sifat kimia dan fisik tanah serta kondisi lingkungan tempat tumbuh mindi di beberapa lokasi HR di Jawa Barat... 54

16. Kandungan unsur hara makro pada daun mindi dari berbagai lokasi penelitian ... 56

17. Data produksi buah, kerapatan dan umur tegakan mindi di enam lokasi penelitian... 57


(17)

 

18. Ukuran benih mindi dari berbagai asal benih ... 59

19. Rata-rata ukuran sel penyusun kulit benih mindi ... 61

20. Rangkuman hasil Uji Beda Nyata struktur anatomi benih mindi ... 62

21. Kandungan ABA, lemak dan lignin pada benih mindi ... 64

22. Hasil analisis sidik ragam (Fhit) DB dan KCT benih mindi dari setiap asal benih ... 68

23. Daya berkecambah, kecepatan berkecambah dan waktu perkecambahan benih mindi tanpa perlakuan ... 76

24. Persentase responden pada setiap strata lahan garapan di setiap lokasi .... 86

25. Harga beberapa jenis kayu rakyat di Desa Padasari dan Legok Huni ... 96

26. Matriks SWOT pengembangan sumber benih mindi... 112


(18)

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.Kerangka pemikiran ... 6

2. Luas hutan rakyat (ha) per propinsi di P. Jawa-Madura s/d tahun 2008... 9

3. Potensi kayu (juta m3) per propinsi di P. Jawa-Madura s/d tahun 2008 ... 9

4. Bagan permasalahan strategi pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat di Jawa Barat ... 22

5. Lokasi pengambilan sampel penelitian di hutan rakyat Jawa Barat : (1) Kab.Purwakarta, (2) Kab. Kuningan, (3) Kab. Sumedang, (4) Kab. Bandung dan (5&6) Kab. Bogor ... 23

6. Cara pengukuran panjang (p) dan diameter (d) buah dan benih mindi... 26

7. Cara pengukuran terhadap lima karakter morfologi (PL,LL,WP, LW dan SW) daun mindi... 27

8. Penilaian untuk karakter BS... 28

9. Penunjukkan pohon induk (a) dan pengunduhan buah (b&c) ... 30

10. Bagan kerja pengamatan struktur anatomi benih mindi... 32

11. Bagan pengujian kadar lemak benih mindi... 32

12. Bagan pengujian kandungan ABA pada benih mindi... 33

13. Bagan analisis strategi pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat Jawa Barat ... 38

14. Pola polimorfik pada (a) Populasi Megamendung pada primer OPA-07, (b) Populasi Nagrak pada primer OPA-07 dan (c) Populasi Sumedang pada primer OPA-07 ... 39

15. Dendrogram berdasarkan analisis genetik populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat. Keterangan : GBG (Gambung), KNG (Kuningan), WNY (Wanayasa), MGD (Megamendung), NGK (Nagrak) dan SMD (Sumedang) ... 42

16. Pola penggelompokkan populasi mindi berdasarkan Principal Coordinates Analysis (PCA) ... 42

17. Canonical Discriminant Analysis untuk pengelompokkan asal benih mindi berdasarkan karakter morfologi ... 52

18. Dendrogram populasi mindi berdasarkan karakter morfologi ... 53

19. Diagram nilai C-N ratio pada setiap lahan penelitian ... 55

20. Struktur anatomi makroskopis benih mindi asal Kuningan ... 59

21. Struktur anatomi secara mikroskopis benih asal Kuningan ... 60

22. Sel penyusun kulit benih asal Sumedang... 62

23. Kerapatan sel penyusun kulit benih mindi asal Gambung... 63

24. Daya berkecambah benih mindi pada berbagai perlakuan awal dari 6 Populasi di hutan rakyat ... .70

25. Kecepatan tumbuh benih mindi pada berbagai perlakuan awal dari 6 populasi di hutan rakyat ... 72

26. Periode awal dan akhir pengamatan benih mindi pada berbagai perlakuan ... 74


(19)

 

27. Kurva perkecambahan benih mindi asal Sumedang dengan perlakuan

perendaman dalam H2SO4 selama 45 menit ... 75

28. Hubungan DB dan KCT terhadap beberapa karakter anatomi dan Kandungan biokimia benih mindi... .79

29. Korelasi antara DB (a) dan KCT (b) dengan tebal endokarp... .80

30. Korelasi antara DB (a) dan KCT (b) dengan kadar lignin ... .81

31. Korelasi antara tebal endokarp (a) dan testa (b) terhadap kadar lignin ... .81

32. Korelasi antara tebal dinding sel dengan kadar lignin ... 82

33. Korelasi antara kerapatan sel per mm2 dengan kadar lignin... .82

34. Korelasi antara tebal endokarp dan kerapatan sel ... .83

35. Korelasi antara DB dengan kadar ABA... .83

36. Pengelompokkan asal benih mindi berdasarkan viabilitas benih ... 84

37. Profil hutan rakyat mindi di Desa Padasari Sumedang (A) dan di Desa Legok Huni Purwakarta (B)... 90

38. Persentase sumber pendapatan petani dari sektor hutan rakyat (HR) dan sumber lain (Non HR) di Desa Legok Huni Purwakarta ... 94

39. Pendapatan per tahun petani dari sektor hutan rakyat (HR) dan sumber lain (Non HR) di Desa Legok Huni Purwakarta ... 94

40. Persentase sumber pendapatan petani dari sektor hutan rakyat (HR) dan sumber lain (Non HR) di Desa Padasari Sumedang ... 94

41. Pendapatan per tahun petani dari sektor hutan rakyat (HR) dan sumber lain (Non HR) di Desa Padasari Sumedang ... 94


(20)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Prosedur kerja analisis genetik menggunakan metode RAPD ... 131 2. Skema tahapan persiapan pengamatan struktur anatomi

benih mindi ... 135 3. Kuisoiner kondisi sosial-ekonomi dan kelembagaan petani

hutan rakyat mindi di Desa Padasari (Sumedang) dan

Legok Huni (Purwakarta)... 137 4. Hasil Analysis of Variance daya berkecambah benih mindi dan

Uji Lanjut ... 144 5. Hasil Analysis of Variance kecepatan tumbuh benih mindi ... 150 6. Hasil Analysis of Variance struktur anatomi dan kimia benih... 153


(21)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laju deforestasi yang berlangsung sangat cepat di hutan alam mengakibatkan produk kayu yang dihasilkan dari hutan alam menurun tajam dan menimbulkan kelangkaan pasokan kayu. Kelangkaan kayu dapat dilihat dari supply dan demand kayu, kebutuhan kayu secara nasional diperkirakan mencapai 60 juta m3/tahun, sementara pasokan kayu dari hutan alam dan hutan tanaman hanya sekitar 32 juta m3/tahun (Kementerian Kehutanan 2008). Berbagai upaya dilakukan untuk mengantisipasi kelangkaan kayu tersebut, antara lain dengan mendorong pengembangan hutan tanaman agar dapat menggantikan pasokan kayu untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam maupun luar negeri. Hutan tanaman berbasis masyarakat atau hutan yang dikelola oleh rakyat dikenal sebagai hutan rakyat diyakini memberikan andil yang cukup besar dalam penyediaan kayu terutama untuk konsumsi lokal.

Hutan rakyat saat ini berkembang cukup pesat, hal ini dapat dilihat dari peningkatan luas dan produksi kayu rakyat yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Perkembangan hutan rakyat khususnya di Jawa - Madura untuk kurun waktu 2003-2010 sangat pesat, diperkirakan terjadi peningkatan luasan hutan rakyat sebesar ± 200.000 ha per tahun (Nugroho 2010). Luasan hutan rakyat pada tahun 2003 adalah ± 1,56 juta ha dengan potensi kayu ± 39,50 m3 (Departemen Kehutanan 2003). Pada tahun 2008 berkembang menjadi ± 2,58 juta ha dengan potensi kayu ± 74,76 juta m3 (BPKH Wilayah XI dan MFP II 2009). Bahkan pada tahun 2010 telah mencapai ± 2,80 juta ha dengan potensi standing stock sebesar ± 97,97 juta m3 (Pusat P2H 2010). Inisiatif masyarakat dalam pembangunan hutan tanaman berbasis masyarakat perlu mendapat dukungan dari semua pihak.

Kondisi ini seiring dengan terjadinya perubahan paradigma mengenai bentuk pengelolaan hutan. Untuk itu pula pemerintah akan merealisasikan program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), yang akan dibangun pada areal-areal kawasan hutan negara yang saat ini belum dibebani hak. Target


(22)

sementara yang telah ditetapkan adalah membangun seluas 5,4 juta ha HTR dimulai dari tahun 2007 sampai tahun 2016 (Ditjen Bina Produksi Kehutanan 2006).

Usaha ekstensifikasi hutan rakyat dapat meningkatkan produksi kayu, sehingga diyakini potensi hutan rakyat untuk menjadi salah satu penyedia kayu sangatlah besar. Untuk mendapatkan produktivitas tegakan yang tinggi dengan kualitas kayu yang sesuai dengan persyaratan produk akhir (end product) haruslah didukung oleh penyediaan benih dan bibit yang berkualitas. Penggunaan benih dan bibit yang baik merupakan langkah awal dari suatu usaha pembudidayaan tanaman yang akan menentukan kualitas dan hasilnya (Adinugraha dan Moko 2006). Namun secara umum ketersediaan benih berkualitas dan kemudahan masyarakat untuk dapat mengakses benih berkualitas tersebut masih menjadi kendala.

Jayusman (2006) mengemukakan bahwa salah satu upaya untuk mengantisipasi sempitnya pilihan jenis pada pengembangan hutan tanaman dan hutan rakyat dapat dilakukan seleksi terhadap jenis-jenis potensial yang secara alami telah banyak tumbuh di Indonesia. Namun tidak menutup kemungkinan mengembangkan jenis eksotik yang sudah beradaptasi sejak lama di Indonesia dan sudah sangat dikenal oleh masyarakat luas, seperti jenis mindi (Melia azedarach L.). Pengembangan jenis mindi pada hutan rakyat saat ini sudah mulai dilakukan dan Perum Perhutani sudah mengembangkannya menjadi hutan tanaman di berbagai lokasi di Jawa. Tanaman mindi memiliki prospek yang baik, karena kayunya sudah cukup dikenal oleh masyarakat. Kayu mindi merupakan salah satu jenis kayu dari hutan rakyat yang digunakan sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik. Sifat kayu mindi sesuai untuk mebel karena kayunya bercorak indah mudah dikerjakan termasuk kelas kuat III-II dan dapat mengering tanpa cacat (Basri dan Yuniarti 2006). Manfaat lain dari tanaman mindi adalah daun dan biji mindi dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif mindi sama dengan mimba (Azadirachta indica) yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol (Milimo 1995).

Berdasarkan uraian tersebut di atas perlu disusun suatu strategi pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat guna mendukung penyediaan


(23)

3 benih yang akan berkaitan dengan peningkatan produktivitas hutan rakyat, khususnya di Jawa Barat sebagai salah satu sentra hutan rakyat yang cukup potensial. Untuk itu, penelitian ini dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Untuk pengembangan hutan rakyat dengan jenis mindi, perlu ditunjang dengan penyediaan benih (seed procurement) yang berkualitas tinggi, baik kualitas fisik, fisiologik maupun genetik. Salah satu penentu kualitas benih adalah dari mana benih tersebut diperoleh atau sumber benih yang digunakan dan hal ini sangat berkaitan dengan mutu genetik benih. Pada umumnya benih yang digunakan untuk hutan rakyat belum memperhatikan hal tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Widiarti (2005) terhadap masyarakat sekitar Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Lampung, dikatakan hanya 7,8 % petani yang membeli bibit dari luar, namun sebagian besar menggunakan bibit yang berasal dari tegakan sekitar, baik dari benih ataupun cabutan tanpa memperhatikan kualitas. Selain itu menurut Roshetko et al. (2004), sebagian besar benih yang digunakan petani hutan dikumpulkan dari pohon-pohon (pohon-pohon benih) di lahan petani maupun adat, dan benih untuk sumber benih ini seringkali dikumpulkan dari beberapa pohon (1 hingga 5 pohon) tanpa diketahui asal-usulnya dan diduga keragaman genetiknya sempit (Dhakal et al. 2005). Demikian pula hal ini terjadi

pada penanaman mindi di hutan rakyat di Jawa Barat, sehingga menimbulkan pertanyaan pertama yaitu seberapa besar variasi genetik dan variasi morfologi tanaman mindi di Jawa Barat yang dapat dikembangkan menjadi sumber benih?.

Hal lain yang cukup penting untuk dicermati dalam pengadaan benih mindi adalah teknik penanganannya, karena akan berkaitan dengan mutu fisik dan fisiologik benih. Benih mindi mempunyai kulit benih yang cukup keras, benih yang mempunyai kulit benih yang keras kemungkinan akan mengalami dormansi fisik, hal ini terbukti pada benih kemiri (Murniati 1995). Tanpa perlakuan pendahuluan benih mindi akan berkecambah secara alami setelah 3 bulan. Menurut Pramono dan Danu (1998) dikatakan bahwa pematahan dormansi benih mindi dapat dilakukan secara fisik dan kimiawi. Pertanyaan kedua yang timbul


(24)

adalah bagaimanakah struktur anatomi dan biokimia kulit benih mindi yang berimplikasi terhadap teknik pematahan dormansinya?

Menurut Roshetko et al. (2004) terdapat perbedaan dalam pengelolaan kebun benih secara umum yang diusahakan oleh institusi/perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan dengan kebun benih yang diusahakan oleh petani. Kebun benih adalah tegakan pohon yang dibangun khusus untuk produksi benih, umumnya monokultur, pengelolaannya ditujukan untuk menghasilkan benih dengan mutu genetik dan fisiologik setinggi mungkin. Sedangkan kebun benih petani merupakan suatu bentuk pengelolaan terintegrasi antara kebun benih dengan sistem pertanian skala kecil yang terdiri dari berbagai spesies, sehingga menghasilkan berbagai produk dan resiko yang dihadapi juga lebih beragam. Pengelolaan di kebun benih petani harus adaptif sesuai dengan kondisi lahan, tenaga kerja, modal dan waktu petani, benih adalah salah satu produknya dengan mutu yang lebih baik dibanding sumber benih lokal. Hal ini menimbulkan pertanyaan terakhir yaitu bagaimana bentuk pengelolaan sumber benih mindi yang dapat dikembangkan di hutan rakyat di Jawa Barat, yang sesuai dengan kapasitas petani?.

Dari uraian tersebut di atas dapat diidentifikasi pertanyaan-pertanyaan penelitian, yaitu :

1. Bagaimanakah tingkat keragaman genetik dan morfologi di dalam dan antar populasi mindi yang ada di Jawa Barat yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai sumber benih?

2. Bagaimanakah struktur anatomi dan biokimia kulit benih mindi serta implikasi dari struktur yang dijumpai terhadap teknik pematahan dormansi benih dan teknik pengecambahannya?

3. Apakah kapasitas (kondisi sosial - ekonomi dan kelembagaan) petani hutan dapat berpengaruh dalam pengembangan sumber benih skala petani?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menformulasikan strategi pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat di Jawa Barat berdasarkan informasi yang berkaitan dengan potensi keragaman genetik, teknik penanganan


(25)

5 benih dan kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan petani hutan rakyat mindi, sedangkan tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis keragaman genetik dan morfologi tanaman mindi hutan rakyat di Jawa Barat, sebagai bahan dasar untuk pengembangan sumber benih.

2. Menganalisis teknik penanganan benih mindi dalam rangka meningkatkan viabilitas dan vigor benih mindi yang didasarkan pada struktur anatomi dan kandungan biokimia benih.

3. Menganalisis kapasitas petani hutan rakyat dari sisi sosial-ekonomi dan kelembagaan guna menyusun strategi pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat yang sesuai dengan tingkat kemampuan petani.

1.4 Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Populasi tanaman mindi di Jawa Barat merupakan hutan tanaman yang dibangun dari sumber benih yang tidak diketahui asal-usulnya, sehingga diduga keragaman genetiknya tidak terlalu tinggi.

2. Viabilitas dan vigor benih mindi tanpa perlakuan pendahuluan lebih rendah dibandingkan dengan viabilitas dan vigor benih mindi yang telah diberi perlakuan pendahuluan (pematahan dormansi), mengingat kendala dari struktur anatomi dan biokimia benih mindi.

3. Pengembangan sumber benih mindi (pola pengelolaan) dipengaruhi oleh kapasitas petani ( kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan)

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkanbeberapa hal, yaitu :

1. Informasi tingkat kekerabatan intra dan interpopulasi mindi di Jawa Barat berdasarkan perhitungan hasil analisis genetik.

2. Informasi keragaman morfologi tanaman mindi di Jawa Barat.

3. Landasan dalam penyusunan pedoman penanganan benih mindi untuk petani, khususnya dalam teknik pematahan dormansi dan perkecambahan.

4. Tersusunnya strategi pengelolaan sumber benih mindi skala petani yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan setempat.


(26)

1.6 Kerangka Pemikiran

Untuk dapat lebih memahami permasalahan yang ada, maka perlu disusun kerangka pemikiran penelitian. Kerangka pemikiran yang dimaksud secara skematis disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka pemikiran 1.7 Kebaruan (Novelty)

a. Diperolehnya informasi mengenai keragaman genetik populasi mindi di hutan rakyat Jawa Barat, dengan menggunakan penanda DNA, sebagai dasar untuk pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat Jawa Barat.

b. Informasi struktur anatomi (makroskopis dan mikroskopis) serta kandungan biokimia pada benih mindi, belum pernah diketahui sebelumnya.

c. Analisis strategi untuk pengembangan sumber benih mindi di hutan rakyat Jawa Barat yang didasarkan pada potensi sumber daya mindi serta kapasitas petani hutan rakyat belum pernah dilakukan sebelumnya.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian

Hutan rakyat dalam pengertian peraturan perundang-undangan (UU No 5/1967 dan penggantinya UU No.41/1999), adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan adat atau aturan-aturan-aturan-aturan masyarakat lokal (Suharjito 2000).

Pengertian hutan rakyat tersebut menyebabkan persepsi bahwa hutan rakyat dilihat berdasarkan status kepemilikan lahannya bukan dari pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Menurut Suharjito (2000), terdapat konsekuensi-konsekuensi yang dihasilkan dari pengertian tersebut, yaitu:

a. Hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluarga petani sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim pemerintah sebagai hutan negara dan tidak termasuk ke dalam hutan rakyat.

b. Hutan yang tumbuh diatas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota atau perusahaan swasta yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat.

Berbagai pengertian yang berkaitan dengan hutan rakyat:

a. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, berkisar antara seperempat hektar atau lebih.

b. Hutan adat atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan-tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.

c. Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan rakyat yang dibangun di atas lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada


(28)

sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.

Istilah hutan rakyat tidak dikenal dalam kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan, kata tersebut tidak lazim dalam kelompok masyarakat. Istilah yang digunakan sehari-hari berbeda-beda antar kelompok masyarakat, ada talun, leuweung (Jawa Barat), wono (Jawa Tengah), lembo (Kutai), simpukng (Dayak Benuaq), repong (Sumatera) dan lain-lain sebutan (Hendra 2009).

Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah, air, dan udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya (Suharjito 2000). Tradisi yang muncul tumbuh setahap demi setahap, sebagai proses kreatif rakyat mengolah dan mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, untuk kepentingan mempertahankan hidupnya. Tradisi tersebut berbasis pada pengalaman dan kearifan serta pengetahuan lokal. Hingga kini tradisi tersebut terus berkembang dan dipertahankan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.

2.1.2 Luas dan produktifitas kayu hutan rakyat

Menurut Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan pada tahun 1992/1993 luas hutan rakyat di pulau Jawa berkisar 105.354 ha, sedangkan pada tahun 1993/1994 berkembang menjadi 228.520 ha dan pada tahun 2000 hutan rakyat sudah mencapai 1.265.460,26 ha, di mana sebagian besar (1.151.653,13 ha) merupakan swadaya masyarakat (Jauhari 2003). Khusus di Jawa Barat dan Banten luas hutan rakyat masing-masing adalah 166.524,41 ha dan 19.611,66 ha (Mindawati et al. 2006). Luas dan produksi kayu hutan rakyat terus meningkat, pada tahun 2008 (BPKH Wilayah XI 2009) menyatakan luas hutan rakyat di Pulau Jawa - Madura mencapai ± 2,58 juta ha dengan potensi kayu ± 74,75 juta m3. Sebaran luas dan produksi kayu untuk setiap propinsi dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.


(29)

9

Gambar 2. Luas HR (ha) per propinsi di P. Jawa -Madura s/d tahun 2008

Gambar 3. Potensi kayu (juta m3) per propinsi di P. Jawa-Madura s/d tahun 2008

Luas hutan rakyat di Jawa Barat menempati posisi terbesar yaitu sekitar 37% dari total luas hutan rakyat di P. Jawa-Madura demikian pula dengan potensi kayu yang dihasilkan mencapai 26,2 juta m3 atau 35% dari total produksi kayu hutan rakyat di Jawa-Madura pada tahun 2008.

Peranan hutan rakyat dari segi ekonomi cukup penting mengingat kurang lebih 70% konsumsi kayu di pulau Jawa berasal dari hutan rakyat, baik untuk


(30)

kayu pertukangan, pemasok industri maupun kayu bakar (Perum Perhutani 1995; LP IPB 1990). Umumnya kayu dari hutan rakyat tersebut dimanfaatkan oleh industri kecil pengolahan kayu untuk dijadikan barang jadi maupun barang setengah jadi.

2.1.3 Pemilihan jenis di hutan rakyat

Menurut Herawati (2005) dikatakan bahwa berbagai pertimbangan dalam pemilihan jenis yang akan dikembangkan di hutan rakyat diutamakan pada aspek ekonomi, teknis, sosial dan lingkungan agar jenis yang diusahakan dan dikembangkan dapat menghasilkan secara optimal. Aspek ekonomi yaitu dapat memberikan penghasilan dan mudah dipasarkan serta memenuhi standar bahan baku industri. Aspek teknis yaitu mudah dibudidayakan. Aspek sosial yaitu jenis yang dipilih harus jenis yang cepat menghasilkan setiap saat, dikenal dan disukai masyarakat. Aspek lingkungan yaitu dimana jenis yang dipilih harus sesuai dengan iklim, jenis tanah dan kesuburan serta keadaan fisik wilayah.

Hasil penelitian Supangat et al. (2002) menunjukkan bahwa petani memilih atau menentukan suatu jenis tanaman yang ditanam di lahannya tidak selalu berdasarkan kesesuaian lahan tapi lebih ke faktor lain, seperti faktor bibit yang tidak membeli (41%), pemasaran bagus (38%), kayunya mempunyai nilai jual tinggi (17%) dan meniru nenek moyang (4%). Jenis-jenis yang ditanam di hutan rakyat umumnya adalah jenis asli setempat (indigenous species) maupun jenis-jenis introduksi (exotic species).

Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.33/Menhut-II/2007 terdapat uraian jenis-jenis kayu yang dihasilkan dari hutan hak atau hutan rakyat, diantaranya adalah mindi. Selain mindi, jenis eksotik lainnya yang termasuk jenis kayu rakyat (menurut PP.33/Menhut-II/2007) adalah mahoni, gmelina dan karet. Pengembangan jenis eksotik, khususnya di hutan rakyat adalah karena jenis-jenis tersebut mampu tumbuh dengan baik dan telah melalui tahap adaptasi, aklimatisasi dan domestikasi sehingga mampu tumbuh dan beregenerasi dengan baik. Selain itu kayu yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomis dan dikenal di pasaran.


(31)

11 2.1.4 Pengadaan benih di hutan rakyat

Penanaman di hutan rakyat secara umum belum menggunakan benih dan bibit yang berkualitas, padahal kualitas tersebut akan mempengaruhi keragaan (perfomance) dan produktivitas tegakan. Kualitas benih ditentukan salah satunya oleh asal dimana benih tersebut dikumpulkan atau tipe sumber benih yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian Widiarti (2005) terhadap masyarakat sekitar Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Lampung menyatakan hanya 7,8% petani yang membeli bibit yang berasal dari tempat lain, selebihnya petani menggunakan bibit yang berasal dari tegakannya sendiri, baik dari benih ataupun cabutan. Hal ini dilakukan pula oleh masyarakat di Desa Sukaraja, Bogor, umumnya mereka menanam pohon dengan menggunakan benih yang berasal dari tegakan sekitar (Komunikasi pribadi dengan pemilik penggergajian rakyat di Desa Sukaraja 2007). Keterbatasan pengetahuan dan informasi tentang penggunaan benih berkualitas menyebabkan petani hutan masih menggunakan benih yang berasal dari tegakan yang ada dan biasanya dari 1 atau 2 pohon saja, tanpa memperhitungkan penampakan (fenotipe) dari pohon tersebut atau kriteria yang disyaratkan dalam pemilihan pohon induk untuk sumber benih.

Menurut Roshetko et al. (2004), sebagian besar benih yang digunakan petani hutan dikumpulkan dari pohon-pohon di lahan petani dan adat. Kelebihan proses ini adalah benih segera tersedia, proses pengumpulannya tidak mahal dan pohon-pohon tidak memerlukan pengelolaan khusus. Namun pada awal penanaman, benih untuk sumber benih ini seringkali dikumpulkan dari beberapa pohon (1 hingga 5 pohon), asalnya tidak diketahui dan diduga keragaman genetiknya sempit. Selain itu kriteria pemilihan pohon benih yang utama adalah melimpahnya panen benih bukan kualitas pohon, juga benih dikumpulkan dari pohon yang terisolir, sehingga faktor-faktor ini menyebabkan benih yang dihasilkan mutu fisiologik dan genetiknya di bawah optimal.

2.2 Profil Tanaman dan Kayu Mindi

Pohon mindi atau sering disebut geringging merupakan salah satu jenis pohon cepat tumbuh dan selalu hijau di daerah tropis dan menggugurkan daun pada musim kemarau. Mindi mampu pula tumbuh di daerah beriklim sedang


(32)

(temperate), hingga ketinggian diatas 1200 m diatas permukaan laut (dpl). Di Himalaya mindi mampu tumbuh pada ketinggian 1800-2200 m dpl dan tahan terhadap suhu dingin 3-10ºC, bahkan pada tanaman tua mampu bertahan pada suhu -15ºC. Tanaman mindi suka cahaya, agak tahan kekeringan dan agak toleran terhadap salinitas tanah, namun tidak toleran terhadap tanah asam (Ahmed dan Idris 1997).

2.2.1 Habitus

Tinggi pohon dapat mencapai 45 m, tinggi bebas cabang 8- 20 m, diameter sampai 60 cm. Tajuk menyerupai payung, percabangan melebar, kadang menggugurkan daun. Pohon mindi termasuk jenis yang tumbuh cepat, dengan batang lurus, bertajuk ringan, berakar tunggang dalam dan berakar cabang banyak ( Ahmed dan Idris 1997). Pohon mindi di kebun rakyat Cimahpar, Bogor umur 10 tahun mempunyai tinggi bebas cabang sekitar 10 m dan diameter 38,20 cm (Badan Litbang Kehutanan 2001).

2.2.2 Morfologi

Batang silindris, tegak, tidak berbanir, kulit batang (pepagan) abu-abu coklat, beralur membentuk garis-garis dan bersisik. Pada pohon yang masih muda memiliki kulit licin dan berlentisel. Daun majemuk ganda menyirip ganjil, anak daun bundar telur atau lonjong, pinggir helai daun bergerigi. Bunga majemuk malai, pada ketiak daun, panjang malai 10-22 cm, warna keunguan, berkelamin dua (biseksual) atau bunga jantan dan bunga betina pada pohon yang sama. Buah bulat atau jorong, tidak membuka, ukuran 2-4 cm x 1-2 cm, kulit luar tipis, licin, berkulit kering keriput, kulit dalam keras, buah muda hijau, buah masak kuning, dalam satu buah umumnya terdapat 4-5 biji. Biji kecil 3,5 x 1,6 mm, lonjong, licin, warna coklat, biji kering warna hitam (Ahmed dan Idris 1997).

2.2.3 Hama Penyakit

Pohon mindi mudah diserang penggerek pucuk Hypsipyla robusta Moore danbatangnya kadang-kadang diserang kumbang ambrosia Xyleborus ferrugineus (Martawijaya et al. 1989) yang mengakibatkan kualitas kayunya menurun.


(33)

13 Pengendalian hama penggerek pucuk dapat dilakukan dengan tindakan silvikultur, antara lain menggunakan bibit tanaman yang tahan serangan hama, dapat pula dengan membuat hutan tanaman campuran. Cara pemberantasan lainnya adalah dengan menyuntikkan insektisida Nuvacron 20 SCW, Dimecron 50 SCW atau Gusadrin 15 WSC melalui takikan di batang (Badan Litbang Kehutanan 2001).

2.2.4 Sifat kayu

Kayu teras berwarna merah coklat muda keunguan, gubal berwarna putih kemerahan dan mempunyai batas yang jelas dengan kayu teras. Serat lurus atau agak berpadu, berat jenis rata-rata 0,53. Penyusutan dari keadaan basah sampai kering tanur 3,3% (radial) dan 4,1% (tangensial). Kayu mindi tergolong kelas kuat III-II. Pengeringan alami, pada papan tebal 2,5 cm dari kadar air 37% sampai 15% memerlukan waktu 47 hari, dengan kecenderungan pecah ujung dan melengkung. Pengeringan dalam dapur pengering dengan bagan pengeringan yang dianjurkan adalah suhu 60-80 % dengan kelembaban nisbi 80-40% (Martawijaya et al. 1989).

2.2.5 Manfaat kayu

Kayu mindi merupakan salah satu jenis kayu dari hutan rakyat yang sudah terbukti baik sebagai bahan baku mebel untuk ekspor dan domestik. Kayu mindi sesuai untuk mebel karena kayunya bercorak indah, mudah dikerjakan termasuk kelas kuat III-II dan dapat mengering tanpa cacat (Basri dan Yuniarti 2006). Mebel kayu mindi dapat terdiri dari kayu utuh atau merupakan kombinasi antara kayu utuh dan panel kayu yang dilapisi venir mindi. Produk lantai kayu biasanya berupa parket atau mozaik. Bahan baku untuk lantai mindi yang berupa parket berupa kayu lapis indah (multipleks) dan berupa produk perekatan terdiri dari 3 lapis kayu gergajian atau bagian bawah venir sedangkan bagian atas dan tengah berupa kayu gergajian. Pada saat ini kayu gergajian mindi tebal 5 mm dipakai untuk bagian atas lantai parket 3 lapis dan produknya di ekspor. Di sisi lain, kayu mindi yang berukuran kecil dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat barang kerajinan (Badan Litbang Kehutanan 2001).


(34)

2.2.6 Manfaat non kayu

Daun dan biji mindi telah dilaporkan dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif mindi yaitu azadirachtin, selanin dan meliantriol, dikandung pula oleh tumbuhan mimba. Ekstrak daun mindi dapat digunakan pula sebagai bahan untuk mengendalikan hama termasuk belalang. Charleston et al. (2006) menyatakan bahwa ekstrak daun mindi yang disemprotkan pada tanaman kubis, mampu mengurangi kerusakan pada tanaman kubis yang disebabkan oleh serangan hama Plutella xylostella. Kulit mindi dipakai sebagai penghasil obat untuk mengeluarkan cacing usus. Kulit, daun dan akar mindi telah digunakan sebagai obat rematik, demam, bengkak dan radang. Suryati (2006) melaporkan bahwa komponen kimia yang terkandung dalam ekstrak kulit batang mindi adalah senyawa triterpen dan steroid. Senyawa ini bersifat antifeedant, penghambat pertumbuhan serangga, antijamur, antivirus, antibakteri dan antikanker. Pemanfaatan lebih lanjut dari senyawa ini untuk bidang pengobatan dan bidang pertanian (bioinsektisida).

2.2.7 Nilai ekonomi

Berdasarkan data yang diperoleh dari pengrajin/industri pengolahan kayu mindi di Bogor, Sukabumi dan Jakarta pada tahun 2000 (Badan Litbang Kehutanan 2001), nilai ekonomi kayu mindi tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Biaya produksi dan pendapatan usaha dari pemanfaatan kayu mindi

No. Jenis Produk Harga jual

(Rp) Biaya Produksi (Rp) Pendapatan (Rp) Pelaku

1. Tegakan (Pohon) 250.000,- 250.000,- Petani Pemilik

2. Kayu bundar (m3) 300.000,- 250.000,- 50.000,- Pedagang

pengumpul

3. Kayu gergajian

(m3)

850.000,-s/d 1.900.000,- 710.000,- 140.000,-s/d 1.190.000,- Industri penggergajian 4. Meubel

- Dalam negeri (unit) 250.000,-s/d 500.000,- 175.000,- s/d 441.000,- 26.000,- s/d 75.000,- Perajin Meubel

- Ekspor,FOB

(unit) 935.000,- 1.995.000,- 935.000,- 1.995.000,- Industri mebel (kursi,meja dan tempat tidur)


(35)

15

No. Jenis Produk Harga jual

(Rp)

Biaya Produksi (Rp)

Pendapatan (Rp)

Pelaku

2.975.000,- 2.975.000,- Sumber :Badan Litbang Kehutanan 2001

Berdasarkan Tabel 1 di atas, kayu mindi yang telah diolah mempunyai nilai tambah, sedangkan jika kayu dijual dalam bentuk tegakan atau kayu bundar, nilai tambahnya masih lebih rendah.

2.3 Perbenihan Jenis Mindi

Kegiatan perbenihan suatu jenis tanaman hutan meliputi semua aspek yang berkaitan dengan sebaran tempat tumbuh, keragaman genetika populasi, sistem pengadaan benih, teknik penanganan benih dan perkecambahan hingga sistem distribusi dan sertifikasi benih.

2.3.1 Sebaran tempat tumbuh dan habitat mindi

Mindi (Melia azedarach L.) termasuk dalam famili Meliaceae. Tanaman ini berasal dari bagian Selatan Asia menyebar hingga Afrika Timur, Timur Tengah, benua Amerika serta Indonesia. Di Indonesia tumbuh di Jawa, khususnya di dataran tinggi. Di Jawa Barat dapat ditemukan di daerah Bogor, Sukabumi, Cianjur dan Bandung. Di Jawa Timur tumbuh di Bondowoso juga tumbuh di Bali dan Nusa Tenggara. Mindi tumbuh subur pada tanah berdrainase baik, tanah yang dalam, tanah liat berpasir dengan pH 5,5 – 6,5. Mindi dapat tumbuh di bukit-bukit rendah hingga dataran tinggi (ketinggian 700– 1400 m diatas permukaan laut), curah hujan di atas 900 mm/tahun, termasuk tipe iklim A-C (Wulandini et al. 2004; Martawijaya et al. 1989; Soerianegara et al. 1995). Informasi mengenai sebaran tumbuh dan kondisi tempat tumbuh yang sesuai untuk jenis mindi akan sangat diperlukan untuk membangun sumber benih jenis ini. Selain itu informasi ini sangat diperlukan untuk mengetahui keragaman genetik dari populasi mindi yang sudah ada saat ini sebagai modal dalam pembangun sumber benih, yaitu sebagai sumber plasma nutfah.


(36)

Untuk meningkatkan produktivitas tegakan maka diperlukan upaya peningkatan mutu genetik. Peningkatan ini dapat dicapai melalui kegiatan pemuliaan pohon. Modal utama dalam kegiatan ini adalah adanya keragaman genetik. Keragaman genetik adalah variasi yang dapat diwariskan dalam suatu populasi sebagai hasil dan perbedaan alel yang ada dalam gen. Oleh karena itu penggunaan keragaman genetik dalam program pemuliaan merupakan modal dasar yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan pengembangan jenis dengan sifat unggul seperti dalam kecepatan adaptasi lingkungan, pengembangan tanaman yang resisten terhadap hama dan penyakit dan lain lain (Jayusman 2006; Zobel dan Talbert 1984).

Timbulnya keragaman genetik pada suatu jenis tanaman dapat disebabkan antara lain oleh keragaman antar provenansi, keragaman antar tempat tumbuh, keragaman antar pohon dan keragaman di dalam pohon itu sendiri. Keragaman genetik antar individu atau populasi suatu jenis tanaman penting untuk diketahui sebagai dasar dalam melakukan seleksi. Seleksi dilakukan dalam rangka memilih sifat-sifat yang diinginkan dari suatu pohon, yang selanjutnya akan dikembangkan dalam suatu tegakan. Untuk mengetahui adanya keragaman genetik dapat digunakan beberapa metode seperti metode isoenzim dan analisis asam deoksinukleat (DNA). Salah satu teknik analisis DNA yang dapat digunakan adalah teknik mengamplifikasi DNA yang didasarkan pada penggunaan primer atau oligonukleotida dengan susunan acak (Aritonang et al. 2007). Teknik ini dikenal dengan teknik Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) dan dapat digunakan untuk menunjukkan tingkat keragaman DNA antara spesies-spesies yang mempunyai hubungan dekat juga dapat mendeteksi adanya variasi susunan nukleotida dalam DNA. Teknik ini sudah dilakukan untuk mendeteksi keragaman genetik berbagai populasi tanaman hutan di antaranya adalah jenis dukuh (Song et al. 2000), jeruk (Karsinah et al. 2002), jambu mete (Samal et al. 2003), Melia volkeensii (Runo et al. 2004), sandalwood (Rimbawanto et al. 2006), ulin (Rimbawanto et al. 2006), merbau (Rimbawanto dan Widyatmoko 2006), mimba (Kota et al. 2006), Pulai (Hartati et al. 2007), sungkai (Imelda et al. 2007), meranti (Siregar et al. 2008). gaharu (Siburian 2009; Widyatmoko et al 2009) dan jelutung (Purba dan Widjaya 2009).


(37)

17

2.3.3 Sistem pengadaan benih

Sistem pengadaan benih suatu jenis tanaman dimulai dengan sumber benih, hal ini akan berkaitan dengan mutu genetik benih yang dihasilkan. Kelas sumber benih ditentukan oleh sumber materi genetik yang digunakan dalam membangun sumber benih ini. Terdapat tujuh klasifikasi sumber benih ( Peraturan Menteri Kehutanan. No.P.01/Menhut-II/2009) yaitu : (1) tegakan benih teridentifikasi, (2) tegakan benih terseleksi, (3) areal produksi benih, (4) tegakan benih provenan, (5) kebun benih semai, (6) kebun benih klon dan/atau (7) kebun pangkas.

Sistem pengadaan benih di hutan rakyat dilakukan melalui pembangunan kebun benih petani (Bramasto 2002; Mulawarman et al. 2003), tujuannya adalah peningkatan mutu genetik dan produktivitas tanaman. Kebun benih petani dibangun di lahan desa atau pengangonan atau di lahan kelompok petani sendiri dengan menyisihkan lahannya untuk digunakan bersama membangun kebun benih. Pembangunan kebun benih desa dapat dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut (Bramasto 2002; Roshetko et al. 2004) :

a. Persiapan benih : meliputi kegiatan koleksi benih yang berasal minimun dari 25-30 pohon induk baik di hutan alam maupun hutan tanaman. Kemudian dilakukan ekstraksi, sortasi, pengujian,pengepakan dan pelabelan benih.

b. Pembibitan di persemaian : meliputi persiapan media tabur dan media sapih,penaburan benih,penyapihan bibit,pemeliharaan bibit dan monitoring jumlah bibit siap tanam.

c. Penanaman : dengan membuat pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi luasan lahan skala kecil. Pola tanam campuran, pola tanam barisan dan pola tanam monokultur.

d. Pemeliharaan : dilakukan untuk memacu pertumbuhan pohon, percepatan bunga dan buah serta menjaga kesehatan tegakan dari serangan hama dan penyakit. Pemeliharaan yang dilakukan terhadap kebun benih petani hutan rakyat meliputi pengendalian gulma, pemangkasan, penjarangan dan pemupukan.


(38)

Sistem pengadaan benih juga meliputi kegiatan produksi benih, yaitu menentukan saat panen serta teknik pemanenannya. Tanaman mindi umumnya berbunga pada awal musim kemarau dan buah masak pada musim hujan. Namun hal ini tidak sepenuhnya tepat, karena tanaman mindi mengalami musim berbunga dan berbuah berbeda antara tempat satu dengan lainnya. Tanaman di Jawa Barat berbunga dalam bulan Maret sampai dengan Mei, di Jawa Timur antara bulan Juni sampai dengan Nopember, di Nusa Tenggara Barat dalam bulan September dan Juni. Buah masak dalam bulan Juni, Agustus, Nopember dan Desember.

Saat panen buah mindi yang paling tepat adalah pada waktu kulit buah sudah berwarna hijau kekuningan, dengan cara dipetik langsung saat masih di pohon atau memungut langsung buah yang telah jatuh di permukaan tanah. Produksi buah segar mencapai 10 – 15 kg per pohon (Nurhasybi dan Danu 1997).

2.3.4 Teknik penanganan benih dan perkecambahan

Penanganan benih akan menentukan kualitas fisik dan fisiologik benih, sehingga benih harus ditangani dengan baik, agar benih yang sudah dikumpulkan dapat dipertahankan mutunya. Kegiatan penanganan benih mindi meliputi sortasi buah, ekstraksi benih, pembersihan benih, sortasi benih, pengeringan benih, pengujian benih dan penyimpanan benih. Tidak sulit melakukan sortasi buah mindi karena ukurannya yang cukup besar. Ekstraksi benih mindi dilakukan secara manual yaitu dengan cara buah diperam hingga daging buah menjadi lunak. Selanjutnya buah digosok-gosok dengan tangan menggunakan pasir kemudian dicuci dengan air mengalir (Nurhasybi dan Danu 1997). Benih yang sudah diekstraksi kemudian dikeringanginkan di dalam ruangan selama ± 3 hari (sampai kadar air mencapai 15–20%). Benih mindi termasuk semi rekalsitrant, hanya dapat disimpan pada kadar air (15 – 20 %). Benih dengan kondisi segar (kadar air sekitar 22%) dibungkus plastik dan dimasukkan ke dalam kaleng lalu disimpan di ruangan dengan suhu 18–20°C dan kelembaban relatif 70–80%. Dengan perlakuan demikian benih mampu disimpan selama 10–12 minggu dan daya kecambah menurun menjadi 20–30% setelah disimpan.

Kulit benih mindi cukup keras, sehingga mengalami dormansi fisik (kulit benih), tanpa perlakuan pendahuluan, benih akan berkecambah secara alami


(39)

19 setelah 3 bulan. Pematahan dormansi dapat dilakukan secara fisik dan kimiawi (Pramono dan Danu 1998). Secara fisik dengan meretakkan kulit benih dan secara kimiawi melalui perendaman dalam larutan asam sulfat (H2SO4 ) pekat (95–97%)

selama 40 menit (Suciandri dan Bramasto 2005). Selain dengan asam sulfat, dapat pula digunakan air kelapa muda, menurut Kurniaty et al. (2003) dikatakan bahwa benih cempaka yang direndam dalam air kelapa muda selama 120 menit mampu ditingkatkan daya kecambahnya. Benih kemiri yang direndam dalam air kelapa muda selama 4 jam mempunyai daya kecambah sebesar 53,33% (Suita et al. 2005).

Setelah dilakukan pematahan dormansi benih dikecambahkan pada bak tertutup plastik transparan dengan media campuran tanah dengan pasir (1:1). Penyemaian dilakukan dengan cara membenamkan benih ke dalam media dengan posisi mendatar sedalam ¾ bagian, selanjutnya ditutup dengan pasir halus (Pramono dan Danu 1998).

2.3.5 Sistim distribusi dan sertifikasi benih

Benih yang dihasilkan dari kebun benih desa juga dapat dijadikan komoditi hasil hutan non kayu yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Hal ini perlu didukung oleh sistem dokumentasi benih yang baik agar benih yang didistribusikan mempunyai identitas yang jelas. Kebun benih desa yang telah dibangun apabila telah memenuhi kriteria suatu sumber benih dapat disertifikasi, sehingga benih yang dihasilkan mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dari tegakan benih asalan. Konsep ini sudah dilakukan oleh kelompok tani Desa Cibugel di Kabupaten Sumedang Jawa Barat, dengan jenis tanaman suren (Toona sinensis) seluas 1 ha di lahan milik desa dengan difasilitasi oleh Balai Perbenihan Tanaman Hutan dan Indonesian Forest Seed Project (Saefullah 2004; Iriantono et al. 2004).

2.4 Sebaran Populasi Tanaman Mindi di Jawa Barat

Sebaran populasi mindi di Jawa Barat menurut Pramono et al. (2008), menyebar di beberapa wilayah, yaitu Kabupaten Bandung, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Majalengka, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Subang, Kabupaten


(40)

Purwakarta, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bogor. Ketinggian tempat dari setiap lokasi tersebut cukup bervariasi, yaitu mulai dari ketinggian 250 m diatas permukaan laut (dpl) sampai 1700 m dpl, namun populasi mindi banyak ditemukan pada ketinggian tempat 500–700 m dpl. Secara ringkas sebaran populasi mindi pada setiap wilayah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sebaran populasi tanaman mindi pada beberapa wilayah di JawaBarat No. Wilayah Kecamatan/Desa Curah hujan

(mm/tahun)

Ketinggian (m dpl) 1 Kabupaten

Bandung Soreang, Kotawaringin,Pasir jambu, Pengalengan, Cimaung, Cangkuang dan Banjaran.

1200 – 1600 700 – 1420

2 Kabupaten Sumedang

Cimalaka,Rancakalong, Cibugel, Sumedang Selatan , Buah Dua, Ciherang dan Sumedang Utara

2000 – 3000 650 – 750

3 Kabupaten Subang

Kalijati, Segalaherang dan Jalan Cagak

2000 – 5000 400 – 1100

4 Kabupaten Purwakarta

Wanayasa, Bojong, Tegal waru dan Darangdan

2532 – 5339 500 – 850

5 Kabupaten Kuningan

Babakan rema 2000 – 3000 400 – 500

6 Kabupaten Garut

Cilawu, Cisewu dan Talegong

3000 – 4000 900 – 1000

7 Kabupaten Bogor

Sukaraja dan Megamendung

2200 – 4500 250-1700


(41)

III. METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Masalah

Salah satu permasalahan yang muncul dalam pengembangan hutan rakyat saat ini adalah belum digunakannya benih yang berkualitas dalam menanam pohon hutan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah tidak tersedianya benih berkualitas yang dapat diakses oleh masyarakat serta tingkat pengetahuan mereka akan pentingnya menggunakan benih yang berkualitas untuk dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas dari kayu yang akan dihasilkan. Kualitas benih meliputi kualitas fisik, fisiologik dan genetik. Untuk mengatasi hal tersebut, maka perlu dibuat strategi pengadaan benih mindi dengan tahapan: a. Mengetahui potensi sumber daya mindi di hutan rakyat khususnya di Jawa

Barat, yaitu dalam hal keragaman genetik dan morfologi dan informasi kesuburan tapaknya sebagai modal dasar untuk pengembangan sumber benih mindi.

b. Mendapatkan metode yang tepat, efisien dan efektif dalam penanganan benih mindi, khususnya dalam hal teknik pematahan dormansi dan perkecambahan.

c. Mengetahui kondisi sosial-ekonomi dan kelembagaan petani hutan rakyat, khususnya yang mengembangkan tanaman mindi, guna mendukung sumber benih yang akan dikembangkan.

Untuk dapat menformulasikan strategi tersebut maka dibuat suatu bagan permasalahan yang ditampilkan pada Gambar 4. Sesuai dengan pendekatan tersebut di atas, maka terdapat tiga sub penelitian untuk dapat menjawab permasalahan tersebut, yaitu:

1. Penelitian mengenai keragaman genetik, morfologi dan kesuburan tapak tanaman mindi di hutan rakyat di Jawa Barat.

2. Penelitian mengenai teknik penanganan dan perkecambahan benih mindi untuk pengembangan sumber benih di hutan rakyat.


(42)

3. Penelitian mengenai kondisi sosial, ekonomi dan kelembagaan petani hutan, dalam hal ini penelitian dilakukan di dua lokasi di hutan rakyat mindi di Jawa Barat.

Gambar 4. Bagan permasalahan strategi pengembangan sumber benih mindi hutan rakyat di Jawa Barat

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan mulai Bulan Januari 2009 hingga Agustus 2010. Tempat pengambilan bahan penelitian dilakukan di 6 (enam) lokasi di Jawa Barat ( Tabel 3 dan Gambar 5).

Tabel 3. Enam lokasi pengambilan bahan penelitian di Jawa Barat

No Nama Lokasi Letak geografis Ketinggian

(m dpl)

Suhu (ºC)

RH (%)

1. Desa Nagrak, Kecamatan

Sukaraja, Kabupaten Bogor

06º 40’ 472” S

106º 53’ 615”E 250 - 350 26-27 70

2. Kampung Coblong, Tegal

Mindi, Desa Sukakarya, Kec. Megamendung, Kab. Bogor

06º 40’ 477” S

106º 53’ 635”E 711 - 721 25,4 73

3. Desa Legok Huni, Kec.

Wanayasa. Kab. Purwakarta

06º 39’ 378” S

107º 32’ 479”E 617 28,6 70

4. Desa Babakan Rema, Kec.

Kuningan, Kab. Kuningan

06º 45’ S


(43)

23

5. Kampung Gambung , Desa

Mekarsari Kec. Pasir Jambu. Kab. Bandung

07º 14’ S

107º 51’44”E 1250 - 1346 25 83

6. Desa Padasari, Kec.

Cimalaka, Kab. Sumedang

06º 47’ S

107º 56’E 600 - 700 30 80 - 85

Gambar 5. Lokasi pengambilan sampel penelitian di hutan rakyat Jawa Barat: (1) Kab. Purwakarta, (2) Kab. Sumedang, (3) Kab. Kuningan, (4) Kab. Bandung dan (5 dan 6) Kab. Bogor.

Pengujian analisis DNA dilakukan di Laboratorium Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Pengujian benih dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor, analisis kimia tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Departemen Tanah, Fakultas Pertanian IPB Bogor. Pengamatan struktur anatomi benih dilakukan di Laboratorium Anatomi Kayu, Pusat Penelitian Tekonologi dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan Bogor, dan pengujian kandungan biokimia kulit benih dilakukan di Pusat Penelitian Tanaman Industri dan Obat, Badan Litbang Pertanian Bogor serta di Laboratorium Kimia Kayu, Fakultas Kehutanan, IPB. Uraian lengkap metode penelitian akan disampaikan pada setiap sub penelitian dari Disertasi ini.

3.3 Keragaman Genetik, Morfologi dan Kesuburan Tapak Tanaman Mindi


(44)

Pada masing- masing lokasi ditunjuk 20 pohon induk, baik untuk keperluan analisis DNA maupun analisis morfologi. Jumlah sampel yang digunakan untuk kegiatan analisis DNA dan morfologi disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah sampel kerja untuk kegiatan penelitian 1

Analisis DNA Analisis morfologi

a. 6 populasi mindi

b. 20 pohon induk/lokasi

c. 6 x 20 = 120 sampel DNA

d. 5 primer

a. 6 populasi mindi

b. 20 pohon induk/lokasi

c. Tinggi total : 120 sampel

d. Diameter : 120 sampel

e. Tinggi bebas cabang : 120 sampel

f. Buah : 10 x 20 x 6 = 1200 sampel

g. Benih : 10 x 20 x 6 = 1200 sampel

h. Daun : 5 x 20 x 6 = 600 sampel

3.3.1 Analisis keragaman genetik

Untuk analisis DNA metode yang digunakan adalah Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD). Penanda genetik yang digunakan adalah lima primer yang berasal dari hasil seleksi dua puluh lima primer, adapun primer yang mampu mengamplifikasi DNA mindi dan memperlihatkan pita polimorphik adalah primer OPA-07; OPY-13; OPY-16; OPA-09 dan OPO-05, yang diproduksi oleh The Midland Certified Reagent Co. dengan susunan basa nukleotida seperti pada Tabel 5.

Tabel 5. Primer dan susunan basa yang digunakan

Primer Susunan Basa

OPA-07 5’-GAAACGGGTG-3’ OPY-13 5’-GGGTCTCGGT-3’ OPY-16 5’-GGGCCAATGT-3’ OPA-09 5’-GGGTAACGGG-3’ OPO-05 5’-CCCAGTCACT-3’

Bahan dan alat

Penelitian ini menggunakan 5–10 helai daun dari setiap pohon induk, daun tersebut dimasukkan dalam kantong plastik yang telah berisi silica gel,


(45)

25 selanjutnya disimpan di lemari pendingin dengan suhu ±5ºC sampai siap untuk diekstrak DNA.

Alat-alat yang digunakan di Laboratorium meliputi mortar dan pestel, sarung tangan, pipet, pipet mikro, sentrifugasi, vortex, spatula, koleksi tabung, cetakan gel, bak elektroforesis, tray, microvawe, power supply, pH meter, gelas piala, gelas ukur, timbangan analitik, pengaduk magnet, lemari pendingin, water bath, ultraviolet transiluminator dan kamera digital.

Prosedur kerja

Metode yang digunakan untuk analisis DNA adalah metode RAPD (William et al. 1990), yang meliputi isolasi DNA, uji kualitas dan kuantitas DNA, seleksi primer, amplifikasi DNA dan visualisasi hasil amplifikasi. Untuk mendapatkan ekstrak DNA dari setiap individu digunakan metode CTAB (Doyle dan Doyle 1987). Selanjutnya untuk mendapatkan amplifikasi DNA digunakan mesin PCR-PTC100 MJ Research, untuk reaksi PCR digunakan 2 μl DNA ditambah Master Taq/green go taq (Promega) sebanyak 7,5 μl dan 2,5 μl Nuclease–free water (H2O) serta 1,5 μl primer (0,5 – 2 M). Campuran tersebut

selanjutnya dimasukkan dalam mesin PCR-PTC100 MJ Research dengan pengaturan suhu dan tahapan reaksi dengan total siklus 37 kali, yaitu pre denaturasi 1 kali (suhu 95ºC selama 2 menit) dilanjutkan denaturasi pada suhu 95ºC selama 1 menit, kemudian annealing dengan suhu 35ºC selama 2 menit dan extension pada suhu 72ºC selama 2 menit, tahap ini berlangsung 35 kali dan terakhir adalah final extension 1 kali (suhu72ºC selama 5 menit). Hasil PCR selanjutnya dielektroforesis dengan menggunakan agarose 2% pada tegangan 100 Volt selama ±25 menit kemudian dilakukan perendaman pada EtBr selama 15 menit, selanjutnya dilihat pada UV transiluminator, dan dilakukan pemotretan. Hasil pemotretan dianalisis, yaitu dengan menggunakan skoring pada pita yang muncul. Penjelasan mengenai prosedur kerja analisis DNA mindi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Analisis data

Pada metode RAPD pola pita yang muncul diterjemahkan ke dalam data biner berdasarkan ada atau tidaknya pita. Pendugaan keragaman genetik dalam populasi dan antar populasi dilakukan dengan bantuan program POPGENE


(46)

ver.1.31 (Yeh et al. 1999), NTSYS 2.02 (Rohlf 1998). dan GenAlEx 6.3 (Peakall dan Smouse 2006). Adapun parameter keragaman genetik yang dihitung dalam penelitian ini adalah persentase lokus polimorfik (PLP); jumlah alel yang teramati (na); jumlah alel yang efektif (ne); heterozigitas harapan (He), diferensiasi genetik (Gst), Principal Coordinates Analaysis (PCA) dan Analysis of Molecular Variance (AMOVA).

3.3.2 Analisis morfologi

Metode yang digunakan dalam analisis morfologi adalah pengamatan dan pengukuran yang dilakukan pada setiap individu pohon mindi di setiap lokasi asal benih. Pengamatan dan pengukuran dilakukan terhadap tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter batang, morfologi daun, produksi buah, berat buah, panjang buah, diameter buah, berat benih, panjang benih, diameter benih dan berat 1000 butir.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan adalah 20 pohon induk yang telah ditunjuk di setiap lokasi penelitian. Adapun alat yang digunakan untuk pengumpulan data morfologi tegakan adalah haga, pita meteran, galah berkait, teropong, caliper, timbangan dan kamera.

Prosedur kerja

Beberapa variabel morfologi pohon mindi yang diamati pada penelitian ini adalah tinggi total, tinggi bebas cabang, diameter pohon, produksi buah, berat buah per butir, diameter buah, panjang buah, berat benih per butir, morfologi daun dan berat 1000 butir.

Pengukuran buah dan benih mindi  

   

p d

p d


(47)

27 Gambar 6. Cara pengukuran panjang (p) dan diameter (d) buah dan benih mindi  


(48)

Pengukuran morfologi daun

Pengukuran morfologi daun dilakukan pada 5 (lima) helai daun yang berasal dari 20 (dua puluh) pohon induk dari 6 (enam) populasi mindi. Pengukuran menggunakan metode yang telah digunakan untuk mengukur morfologi daun jenis Quercus sp. ( Kremer et al. 2002), adapun karakter yang diukur adalah lima dimensi karakter daun (LL, PL, LW, SW dan WP), dua variable terukur (NL dan NV) dan satu didasarkan pada nilai scoring (BS).

LL (laminal length) : panjang helai daun

PL (petiole length) : panjang tangkai daun

LW (lobe width ) : lebar dari tulang daun utama ke titik terlebar pada

bagian helai daun

SW (sinus width) : lebar terhadap sudut daun

WP(widest point) : panjang dari pangkal daun ke titik terlebar pada

bagian helai daun

NL (number of lobes) : jumlah lekukan terluar dari helai daun (kanan dan

kiri tulang daun)

NV (number of intercalary veins) : jumlah rangka daun

BS (Basal shape of lamina) : bentuk dasar helai daun (skoring 1- 3)

Cara pengukuran semua karakter dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Cara pengukuran terhadap lima karakater morfologi (PL, LL, WP, LW dan SW) daun mindi (Sumber: Kremer et


(49)

29

Gambar 8. Penilaian untuk karakter BS (Sumber: Kremer et al. 2002)

Analisis data

Untuk mengetahui keragaman karakteristik morfologi individu pohon, maka digunakan metoda analisis statistika peubah ganda (Analysis Multivariate), yaitu melalui pendekatan dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA), Canonical Discriminant Analysis (CDA), Predicted Group Membership dan Clustering. Pengolahan data menggunakan software SPSS ver 15.

3.3.3 Analisis kesuburan tapak tanaman mindi

Sebagai data pendukung untuk mengetahui sumber daya mindi di hutan rakyat dilakukan analisis kesuburan tapak, yaitu untuk mengetahui status hara pada setiap lokasi penelitian. Analisis ini berdasarkan data sekunder dan primer. Data sekunder diperoleh berdasarkan hasil penelitian Atmandhini (2011) yang telah melakukan analisis pengaruh faktor tempat tumbuh terhadap produksi buah mindi di hutan rakyat Jawa Barat. Sedangkan data primer diperoleh dari hasil analisis kadar hara pada daun.

Bahan dan alat

Bahan yang digunakan untuk dapat menilai kondisi kesuburan tapak di bawah tegakan mindi di hutan rakyat di Jawa Barat adalah data sekunder (Atmandhini 2011) dan contoh daun mindi dari setiap lokasi penelitian sebagai bahan untuk analisis jaringan.

Prosedur kerja

Pengambilan contoh daun

Contoh daun diambil secara acak pada setiap populasi di enam populasi tanaman mindi di hutan rakyat. Contoh daun diambil sebanyak 3 ulangan dari


(50)

setiap lokasi. Selanjutnya daun dianalisis di laboratorium, adapun unsur kimia yang dianalisis yaitu C, N, P, K serta kadar air.

Analisis data

Hasil analisis hara pada jaringan daun selanjutnya dibandingkan dengan nilai standar kecukupan dan kekurangan beberapa unsur hara makro untuk beberapa jenis ekaliptus (Dell et al. 2003), sebagai salah satu tanaman kehutanan, karena standar kecukupan hara untuk tanaman mindi belum ada.

3.4 Teknik Penanganan dan Perkecambahan Benih Mindi untuk

Pengembangan Sumber Benih di Hutan Rakyat

3.4.1 Bahan dan alat

Bahan digunakan dalam penelitian ini adalah benih mindi yang dipanen dari 20 pohon induk pada setiap lokasi tanaman mindi (Gambar 9). Bahan yang digunakan untuk pematahan dormansi adalah larutan asam sulfat (H2SO4) dengan

konsentrasi 95%, air accu dan air kelapa muda. Untuk perkecambahan digunakan media campuran tanah dan pasir. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah galah berkait, karung, bak kecambah, tampah, lantai jemur, seng, label, oven, mikroskop, kamera digital dan timbangan analitik.

3.4.2. Tempat Penelitian

Pengamatan struktur anatomi benih dilakukan di Laboratorium Anatomi Kayu, Pusat Penelitian Teknologi dan Pengolahan Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan Bogor, sedangkan pengujian kandungan biokimia kulit benih dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Obat dan Aromatik, Kementrian Pertanian serta di Laboratorium Kimia Kayu, Fakultas Kehutanan, IPB. Selanjutnya pengujian pematahan dormansi dan perkecambahan dilakukan di Laboratorium Balai Teknologi Perbenihan Bogor.


(1)

4

1.5000

4

2.5000

4

3.0000

4

5.5000

4

7.0000

4

7.0000

4

7.5000

4

35.5000

4

38.0000

4

49.5000

.974

.224

4

1.5000

4

2.5000

4

3.0000

4

5.5000

4

7.0000

4

7.0000

4

7.5000

4

35.5000

4

38.0000

4

49.5000

.326

.635

1.000

Perlakuan

Jemur 10 H

Kontrol

Jemur 5 H

Accu 30 mnt

Accu 60 mnt

Air kelapa

Accu 90 mnt

H2SO4 45 mnt

H2SO4 15 mnt

H2SO4 30 mnt

Sig.

Jemur 10 H

Kontrol

Jemur 5 H

Accu 30 mnt

Accu 60 mnt

Air kelapa

Accu 90 mnt

H2SO4 45 mnt

H2SO4 15 mnt

H2SO4 30 mnt

Sig.

Tukey HSD

a

Duncan

a

N

1

2

3

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.

a.

6. Seedlot Nagrak

ANOVA

DB

6858.400

9

762.044

11.098

.000

2060.000

30

68.667

8918.400

39

Between Groups

Within Groups

Total

Sum of


(2)

DB

4

3.0000

4

3.0000

4

4.0000

4

5.5000

4

9.5000

4

10.0000

4

10.5000

4

16.0000

4

22.0000

4

48.5000

.073

1.000

4

3.0000

4

3.0000

4

4.0000

4

5.5000

4

9.5000

9.5000

4

10.0000

10.0000

4

10.5000

10.5000

4

16.0000

16.0000

4

22.0000

4

48.5000

.064

.064

1.000

Perlakuan

Kontrol

Accu 30 mnt

H2SO4 15 mnt

Jemur 5 H

Accu 60 mnt

Accu 90 mnt

Jemur 10 H

Air kelapa

H2SO4 30 mnt

H2SO4 45 mnt

Sig.

Kontrol

Accu 30 mnt

H2SO4 15 mnt

Jemur 5 H

Accu 60 mnt

Accu 90 mnt

Jemur 10 H

Air kelapa

H2SO4 30 mnt

H2SO4 45 mnt

Sig.

Tukey HSD

a

Duncan

a

N

1

2

3

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000.


(3)

1. Seedlot Gambung

ANOVA

KCT

8.749 9 .972 6.627 .000

4.401 30 .147

13.151 39

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

KCT

4 .0294

4 .0311

4 .0601

4 .0676

4 .0976

4 .2468 .2468

4 .7989 .7989

4 .8406 .8406

4 .8904 .8904

4 1.4004

.488 .050 .753 .059

Perlakuan Kontrol Accu 30 menit Accu 60 menit Accu 90 menit Air kelapa Jemur 5 Hari Jemur 10 hari H2SO4 45 menit H2SO4 15 menit H2SO4 30 menit Sig.

Duncana

N 1 2 3 4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.

2. Seedlot Kuningan

ANOVA

KCT

276.753 9 30.750 20.141 .000 45.803 30 1.527

322.556 39 Between Groups

Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

KCT

4 .0588

4 .1299

4 .1633

4 .1934

4 .3652

4 .4945

4 1.2469

4 5.2804

4 5.9858

4 6.8152

.247 .106

Perlakuan Kontrol Accu 30 menit Accu 90 menit Air kelapa Accu 60 menit Jemur 5 Hari Jemur 10 hari H2SO4 30 menit H2SO4 15 menit H2SO4 45 menit Sig.

Duncan a

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.


(4)

3. Seedlot Megamendung

ANOVA

KCT

16.710 9 1.857 9.552 .000

5.831 30 .194

22.541 39

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

KCT

4 .3063

4 .3889

4 .4171

4 .7262 .7262

4 .9578 .9578

4 1.0052 1.0052

4 1.3084 1.3084

4 1.3365 1.3365

4 1.7461

4 2.4786

.056 .089 .195 1.000

Perlakuan Air kelapa Jemur 5 Hari Accu 30 menit Kontrol Jemur 10 hari Accu 60 menit Accu 90 menit H2SO4 30 menit H2SO4 45 menit H2SO4 15 menit Sig.

Duncana

N 1 2 3 4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.

4. Seedlot Sumedang

ANOVA

KCT

207.192 9 23.021 21.607 .000

31.964 30 1.065

239.156 39

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

KCT

4 .1205

4 .1687

4 .1793

4 1.3646 1.3646

4 1.3884 1.3884

4 2.4584 2.4584

4 3.3176

4 4.0121

4 6.1800

4 6.5429

.130 .167 .052 .623

Perlakuan Jemur 5 Hari Kontrol Air kelapa Accu 60 menit Accu 90 menit Jemur 10 hari Accu 30 menit H2SO4 15 menit H2SO4 30 menit H2SO4 45 menit Sig.

Duncana

N 1 2 3 4

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.


(5)

ANOVA KCT

52.645 9 5.849 24.266 .000

7.232 30 .241

59.877 39

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

KCT

4 .0679

4 .0980

4 .1526

4 .2625

4 .2755

4 .3183

4 .3342

4 2.2279

4 2.4409

4 3.2866

.512 .544 1.000

Perlakuan Jemur 10 hari Kontrol Jemur 5 Hari Air kelapa Accu 30 menit Accu 60 menit Accu 90 menit H2SO4 15 menit H2SO4 45 menit H2SO4 30 menit Sig.

Duncan a

N 1 2 3

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.

6. Seedlot Nagrak

ANOVA

KCT

24.133 9 2.681 12.413 .000

6.481 30 .216

30.614 39

Between Groups Within Groups Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

KCT

4 .1306 4 .1411 4 .1883 4 .2388 4 .3928 4 .4094 4 .5358

4 .7091 .7091

4 1.2915

4 2.7903

.139 .087 1.000 Perlakuan

Accu 30 menit Kontrol Jemur 5 Hari H2SO4 15 menit Accu 60 menit Accu 90 menit Jemur 10 hari Air kelapa H2SO4 30 menit H2SO4 45 menit Sig.

Duncan a

N 1 2 3

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. a.


(6)

Lampiran 6.

Hasil Analysis of Variance Struktur Anatomi dan Kimia Benih

Parameter Source DF

SS MS

F

P

Panjang sel

Asal benih

5

67133

13427

7,79

0,002

Error

12

20674

1723

Total

17

87807

Diameter sel

Asal benih

5

5,780

1,156

3,01

0,055

Error

12

4,607

0,384

Total

17

10,388

Diameter lumen Asal benih

5

3,160

0,632

1,67

0,216

Error

12

4,545

0,379

Total

17

7,704

Tebal dinding

sel

Asal benih

5

0,09883

0,01977 4,71

0,013

Error

12

0,05033

0,00419

Total

17

0,14916

Endokarp Asal

benih

5

6416800

1283360

16,79

0,000

Error

24

1834661

76444

Total

29

8251461

Testa Asal

benih

5

95041

19008

8,15

0,000

Error

24

55995

2333

Total

29

151036

Lignin Asal

benih

5

35,357

7,071

23,48

0,000

Error

12

3,615

0,301

Total

17

38,971

Kerapatan sel

Asal benih

5

17225250

3445050 11,09 0,000

Error

12

3728100

310675