II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Rakyat 2.1.1 Pengertian
Hutan rakyat dalam pengertian peraturan perundang-undangan UU No 51967 dan penggantinya UU No.411999, adalah hutan yang tumbuh di atas
tanah yang dibebani hak milik. Definisi ini diberikan untuk membedakannya dari hutan negara, yaitu hutan yang tumbuh di atas tanah yang tidak dibebani hak milik
atau tanah negara. Dalam pengertian ini, tanah negara mencakup tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat berdasarkan ketentuan-ketentuan atau aturan-
aturan adat atau aturan-aturan masyarakat lokal Suharjito 2000. Pengertian hutan rakyat tersebut menyebabkan persepsi bahwa hutan
rakyat dilihat berdasarkan status kepemilikan lahannya bukan dari pelakunya atau subyek yang mengelola hutan. Menurut Suharjito 2000, terdapat konsekuensi-
konsekuensi yang dihasilkan dari pengertian tersebut, yaitu: a. Hutan yang tumbuh di atas tanah adat dan dikelola oleh keluarga petani
sebagai anggota suatu kelompok masyarakat adat diklaim pemerintah sebagai hutan negara dan tidak termasuk ke dalam hutan rakyat.
b. Hutan yang tumbuh diatas tanah milik dan diusahakan oleh orang-orang kota atau perusahaan swasta yang menyewa atau membeli tanah masyarakat lokal
dapat dikategorikan sebagai hutan rakyat. Berbagai pengertian yang berkaitan dengan hutan rakyat:
a. Hutan milik, yakni hutan rakyat yang dibangun di atas tanah-tanah milik. Ini
adalah model hutan rakyat yang paling umum, terutama di Pulau Jawa. Luasnya bervariasi, berkisar antara seperempat hektar atau lebih.
b. Hutan adat atau dalam bentuk lain: hutan desa, adalah hutan-hutan rakyat
yang dibangun di atas tanah komunal; biasanya juga dikelola untuk tujuan- tujuan bersama atau untuk kepentingan komunitas setempat.
c. Hutan kemasyarakatan HKm adalah hutan rakyat yang dibangun di atas
lahan-lahan milik negara, khususnya di atas kawasan hutan negara. Dalam hal ini, hak pengelolaan atas bidang kawasan hutan itu diberikan kepada
8 sekelompok warga masyarakat; biasanya berbentuk kelompok tani hutan atau
koperasi. Model HKm jarang disebut sebagai hutan rakyat, dan umumnya dianggap terpisah.
Istilah hutan rakyat tidak dikenal dalam kelompok-kelompok masyarakat pengelola hutan, kata tersebut tidak lazim dalam kelompok masyarakat. Istilah
yang digunakan sehari-hari berbeda-beda antar kelompok masyarakat, ada talun, leuweung Jawa Barat, wono Jawa Tengah, lembo Kutai, simpukng Dayak
Benuaq, repong Sumatera dan lain-lain sebutan Hendra 2009. Keberadaan hutan rakyat tidaklah semata-mata akibat interaksi alami
antara komponen botani, mikro organisme, mineral tanah, air, dan udara, melainkan adanya peran manusia dan kebudayaannya Suharjito 2000. Tradisi
yang muncul tumbuh setahap demi setahap, sebagai proses kreatif rakyat mengolah dan mengelola sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, untuk
kepentingan mempertahankan hidupnya. Tradisi tersebut berbasis pada pengalaman dan kearifan serta pengetahuan lokal. Hingga kini tradisi tersebut
terus berkembang dan dipertahankan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat.
2.1.2 Luas dan produktifitas kayu hutan rakyat
Menurut Direktur Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan pada tahun 19921993 luas hutan rakyat di pulau Jawa berkisar 105.354 ha, sedangkan pada
tahun 19931994 berkembang menjadi 228.520 ha dan pada tahun 2000 hutan rakyat sudah mencapai 1.265.460,26 ha, di mana sebagian besar 1.151.653,13 ha
merupakan swadaya masyarakat Jauhari 2003. Khusus di Jawa Barat dan Banten luas hutan rakyat masing-masing adalah 166.524,41 ha dan 19.611,66 ha
Mindawati et al. 2006. Luas dan produksi kayu hutan rakyat terus meningkat, pada tahun 2008 BPKH Wilayah XI 2009 menyatakan luas hutan rakyat di
Pulau Jawa - Madura mencapai ± 2,58 juta ha dengan potensi kayu ± 74,75 juta m
3
. Sebaran luas dan produksi kayu untuk setiap propinsi dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3.