38
Sejarah SMAMA Jilid 1 Kelas X
adalah legenda tokoh Panji. Panji adalah seorang putra raja Kera- jaan Kahuripan di Jawa Timur yang senantiasa kehilangan istri-
nya. Akibatnya, banyak muncul cerita Panji yang temanya selalu perihal istrinya yang menjelma menjadi wanita lain. Cerita Panji
yang semula merupakan kesusasteraan lisan legenda, namun telah banyak dicatat orang sehingga mempunyai beberapa versi
dalam bentuk tulisan. Beberapa cerita yang tergolong ke dalam cerita panji misalnya “Ande-Ande Lumut” dongeng Cinderella
ala Jawa, Kethek Ogleng seorang pangeran disihir menjadi see- kor kera, ”Cerita Sri Tanjung”, ”Jayaprana dan Layongsari”.
Suatu jenis legenda perseorangan mengenai perampok seperti
Robin Hood , yang merampok penguasa korup atau orang kaya
untuk didermakan kepada rakyat miskin. Legenda semacam ini di Jakarta pada ”tempo doeloe” adalah kisah petualangan ”Si
Pitung”.
d. Legenda Setempat
Legenda setempat adalah cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk topografi, yaitu bentuk permu-
kaan suatu tempat, berbukit-bukit, berjurang dan sebagainya. Legenda setempat yang berhubungan dengan nama suatu tempat
misalnya, legenda Kuningan. Kuningan adalah nama suatu kota kecil yang terletak di lereng Gunung Ceremai, di sebelah selatan
kota Cirebon, Jawa Barat. Contoh lain mengenai legenda setem- pat yang berhubungan erat dengan nama tempat adalah legenda
“Anak-anak Dalem Solo yang Mengembara Mencari Sumber Bau Harum”. Legenda ini berasal dari Trunyan, Bali. Legenda ini
dapat dimasukkan ke dalam golongan legenda setempat karena menceritakan asal mula nama beberapa desa di sekitar Danau
Batur, seperti Kedisan, Abang Dukuh, dan Trunyan. Selain itu contoh-contoh lain legenda setempat ini misalnya ”Asal Mula
Nama Banyuwangi”, serta legenda ”Roro Jongrang”, ”Tangku- ban Perahu”, ”Asal Mula nama Tengger dan Terjadinya Gunung
Batok” serta “asal mula nama kota Bogor”.
5. Upacara-Upacara Adat Istiadat
Sebelum pengaruh India masuk, masyarakat kuno Nusantara telah mengenal cara-cara upacara. Prosesi upacara ini dilaksana-
kan untuk menghormati roh nenek-moyang. Upacara ini dapat dilaksanakan pada berbagai kesempatan. Ada yang dilaksanakan
pada proses penguburan, untuk keperluan perkawinan, ketika pengangkatan kepala suku, ketika panen padi, ketika sedekah
laut, atau ketika menjelang peperangan. Upacara ini pun sering dibarengi dengan pertunjukan wayang, terutama setelah panen
padi. Upacara-upacara yang berkembang di masyarakat biasanya didasari oleh adanya keyakinan agama, atau pun kepercayaan
Di unduh dari : Bukupaket.com
39
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara.
mereka. Upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus
yang mendiami alam gaib. Upacara tersebut juga dimaksudkan untuk mendapatkan kemurahan hati para dewa dan untuk men-
ghindarkan diri dari kemarahan para dewa yang seringkali diwu- judkan dengan berbagai malapetaka dan bencana alam. Upacara
Larung Samudro
, misalnya yang diselenggarakan setiap tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, dimaksudkan untuk menghindarkan
diri dari kemarahan Ratu Pantai Selatan sebagai penguasa Laut Selatan.
Adakalanya upacara-upacara itu terkait dengan legenda yang berkembang di kalangan masyarakatnya tentang asal-usul ketu-
runan mereka sehingga upacara itu juga sebagai alat legitimasi tentang keberadaan mereka seperti yang tertuang dalam cerita
rakyat itu. Hal ini tampak dalam upacara Kasodo yang diseleng- garakan setiap tahun sekali oleh masyarakat Tengger di sekitar
Gunung Bromo.
Bagi sebuah kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram, upacara-upacara hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan me-
miliki arti penting. Upacara tersebut sebagai pertanda kebesaran kerajaan, sekaligus juga sebagai alat pemersatu dari wilayah-
wilayah yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan pusat. Sejak zaman Kerajaan Majapahit sudah terdapat kebiasaan
untuk merayakan hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara keagamaan maupun kenegaraan. Setelah masuknya agama dan
kebudayaan Islam upacara tersebut diwarnai dengan unsur-unsur islami. Upacara ”Sekaten” misalnya, pada mulanya merupakan
upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari
Kerafaan Majapahit akhir. Upacara tersebut kemudian diubah
Gambar 2.10 Para abdi dalam Keraton Yogyakarta membawa
sesajian ke pantai Parang Tritis sebagai persembahan mereka
kepada Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul.
Sumber Indonesian Heritage: Agama dan Upcara
Di unduh dari : Bukupaket.com
40
Sejarah SMAMA Jilid 1 Kelas X
menjadi upacara ”Sekaten” oleh Sunan Kalijaga pada zaman ke- kuasaan Kerajaan Demak. Nama sekaten merupakan penyesuaian
makna dari nama ”Jimat Kalimasada” yang berarti obat mujarab dari Dewi Kali. Pada zaman Islam Kalimasada mendapat makna
baru, yaitu Kalimat Syahadat. Oleh karena itu, perayaan Sekaten yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak
Hati Sesak-Hatian = Sekaten, pada zaman para wali diubah menjadi menjadi Syahadatain. Upacara ini kemudian dirayakan
lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakra- kusuma
, raja terbesar Mataram. Bahkan, sampai sekarang upacara tersebut tetap dilakukan setiap tahun di Kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam. Sultan Agung mengembangkan rintisan para Wali dengan
membesarkan perayaan Gerebeg yang berarti Hari Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung dikenal adanya tiga macam
Gerebeg, yaitu sebagai berikut. a Gerebeg Pasa, hari raya setelah selesai berpuasa, yakni hari
raya Idul Fitri, b Gerebeg Besar, hari raya Idul Adha, dan
c Gerebeg Maulud, perayaan hari raya maulid Nabi Muhammad Saw. yang sekarang menjadi hari peringatan ”Sekaten”.
d Upacara Pajang Jimat di Cirebon.
Dengan demikian, jelaslah bahwa Sultan Agung telah mela-
kukan proses adaptasi penyesuaian kebudayaan. Tradisi yang telah berumur lama disesuaikan dengan keadaan zaman yang baru
yang didambakan oleh rakyatnya pada waktu itu.
Gambar 2.11 Pada acara Gerebeg Maulud,
sekelompok pria menggotong gunungan wadon.
Sumber Indonesian Heritage: Agama dan Upcara
Di unduh dari : Bukupaket.com
41
Bab 2 Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Sebelum dan Sesudah Mengenal Aksara.
Sebelum pengaruh Hindu-Buddha hadir, masyarakat kuno di Nusantara telah mengenal kepercayaan animisme dan dinamisme.
Animisme merupakan kepercayaan terhadap roh nenek-moyang yang mendiami benda-benda, seperti pohon, batu, sungai, gunung,
senjata. Sedangkan dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu memiliki tenaga atau kekuatan yang dapat memengaruhi
keberhasilan atau kegagalan manusia dalam kehidupan. Jadi, keper- cayaan animisme dan dinamisme erat berhubungan dengan alam
kosmik, kekuatan alam sekitar dan roh leluhur. Dari kepercayaan inilah, upacara ritual kemudian lahir.
Upacara penguburan muncul karena keyakinan bahwa roh orang yang baru meninggal akan pergi dan berdiam di suatu
tempat yang letaknya tak jauh dari lingkungan tempat ia tinggal semasa hidup. Dengan demikian, bila sewaktu-waktu desanya
diserang oleh kelompok lain atau desanya diserang wabah penya- kit maka roh orang meninggal tersebut dapat dipanggil kembali
untuk membantu menanggulangi keadaan. Upacara penguburan ini dilaksanakan sangat sederhana. Namun, di balik kesederha-
naannya itu tersimpan makna yang dalam bahwa meskipun raga atau badan seseorang telah mati namun rohnya tetap hidup dan
berada di sekitar orang-orang terdekatnya. Biasanya, jenazah yang bersangkutan disimpan di sebuah goa batu atau di dalam peti batu.
Di dalam goa atau peti batu tersebut disimpan berbagai “bekal” untuk keperluan jenazah di alam gaib, biasanya berupa alat-alat
perhiasan. Hampir di setiap daerah di Nusantara terdapat upacara ritual penguburan ini.
Selain pada momen penguburan, upacara juga biasanya dilaksanakan pada prosesi pernikahan. Pernikahan merupakan
peristiwa bersejarah bagi sepasang manusia yang hendak hidup
Gambar 2.12 Dalam pernikahan, selalu diser-
tai upacara yang sakral.
Sumber: www.melayuonline.com
Di unduh dari : Bukupaket.com
42
Sejarah SMAMA Jilid 1 Kelas X
bersama. Pernikahan, selain melibatkan dua orang yang berbeda kelamin, juga mempertemukan dua buah keluarga. Karena keis-
timewaannya nilai sebuah perkawinan, manusia pun berusaha agar momentum tersebut diperlakukan secara spesial. Oleh karena
itu, sebuah upacara pun digelar sebagai tanda bahwa pernikahan mereka adalah suci.
Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki tata cara yang ber- beda dalam hal upacara perkawinan. Masing-masing mempunyai
peraturan sendiri. Pada suku Batak dan Bali, misalnya, perkawi- nan dilangsungkan di rumah pihak lelaki. Sementara, di Sunda
atau Jawa pernikahan diadakan di rumah pihak perempuan.
Upacara pun dilakukan ketika seorang didaulat menjadi ke- pala suku. Sebelum masa praaksara, masyarakat Nusantara telah
menganggap pentingnya kedudukan seorang kepala suku dalam sebuah komunitas. Kriteria seorang pemimpin suku ini di anta-
ranya: harus kuat jasmani-rohani, memiliki kekuatan magis, kha- rismatik, dan berpengalaman melebihi orang-orang sekitarnya.
Kepala suku ini akan berperan sebagai pelindung sukunya dari berbagai ancaman suku lain, binatang liar, dan wabah penyakit.
Ia pun akan dijadikan sebagai penasihat bagi anggota sukunya, pemimpin dalam upacara-upacara penguburan atau perkawinan.
Pada masyarakat tradisional, peperangan antar suku merupakan hal lazim terjadi. Biasanya, hal-hal yang menjadi penyebab pepe-
rangan ini adalah masalah perbatasan wilayah, adanya pertikaian antarpribadi yang berbeda suku asal, mempertahankan harga diri
suku masing-masing, atau memang untuk membuktikan siapa pihak terkuat. Oleh karena itu, guna memenangkan peperangan
masing-masing pihak yang berseteru mengharapkan kekuatan yang lebih. Untuk memperoleh kekuatan itu, mereka minta arwah
atau roh leluhur untuk membantu mereka. Secara umum dapat kita simpulkan bahwa upacara-upacara dikaitkan dengan adanya
kepercayaan yang menampilkan tokoh yang disakralkan. Di lain pihak upacara-upacara juga dapat menjelaskan masa lalu dan
kesadaran masyarakat terhadap masa lalunya, contohnya adalah pada masyarakat agraris dengan upacara penghormatan terhadap
Dewi Sri selain itu pada masyarakat pantai muncul upacara untuk menghormati tokoh Nyi Roro Kidul.
6. Nyanyian Rakyat Folksongs