23
4. Sealdah Station
Sealdah Station adalah stasiun kereta api dari Estern Railway. Di dalam stasiun itu sepuluh ribu orang memasak, makan, tidur dan meninggal dunia
beralaskan lantai batu ruang-ruang tunggu, sementara kereta-kereta api datang dari pagi kemudian melangkahkan kaki di sela-sela orang banyak itu. Setiap hari Ibu
Teresa dan Misionaris Cinta Kasih membagi-bagikan bahan pangan berupa campuran bulgur dan kedelai kepada para wanita yang mempunyai kompor dan bagi
mereka yang tidak mempunyai kompor Ibu Teresa memasak di tong-tong besar dan dibagikan kepada mereka Beding, 1989: 166.
5. Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni
Nirmal Hriday atau Wisma Hati nan Murni adalah rumah yang didirikan oleh Ibu Teresa untuk menampung orang-orang yang sekarat, melarat dan
menghadapi ajalnya. Rumah ini diberi nama Wisma Hati nan Murni karena rumah ini dipersembahkan kepada Hati Tak Bernoda Maria. Ibu Teresa mendirikan Nirmal
Hriday karena banyak orang yang tidak peduli akan penderitaan orang yang sekarat yang meninggal di jalanan dan dijilati oleh anjing. Ibu Teresa menginginkan di akhir
hidup orang-orang yang melarat dan sekarat itu mereka bisa merasakan cinta, perhatian dan kebahagiaan sehingga ketika ajal menjemput mereka bisa tersenyum
dan mengatakan terima kasih. Setiap orang yang mengunjungi Nirmal Hriday akan memiliki suatu gambaran umum tentang tempat itu, tentang keindahan terhadap
sikap pasrah maut yang tak dapat dielakkan Beding, 1989: 152. Ibu Teresa menyebut kematian itu sebagai pulang ke rumah, ia berkata
”Nirmal Hriday” sesungguhnya merupakan kekayaan kota Kalkuta. Orang-orang ini
24
berangkat langsung menuju Tuhan. Dan kalau mereka pergi, meraka akan bercerita kepada-Nya tentang kita. Kami membantu mereka untuk mati dalam Tuhan. Kami
membantu mereka untuk minta maaf pada Tuhan, sesuai dengan iman-Nya masing- masing” itulah yang dikatakan oleh Ibu Teresa. Beliau sangat mencintai dan
memperhatikan semua orang yang menderita termasuk orang yang sudah mendekati ajalnyapun berusaha Ibu perhatikan agar mereka merasakan kedekatan mereka
dengan Tuhan tanpa harus memaksakan orang yang dirawatnya untuk menjadi Katolik seperti dirinya. Ibu Teresa memberikan kebebasan kepada mereka untuk
berdoa sesuai dengan kepercayaannya. Bagi Ibu Teresa perbedaan bukan menjadi halangan untuk mengasihi Tuhan melalui sesama yang menderita Beding, 1989:
160.
6. Prem Daan
Prem Daan adalah rumah untuk menampung orang-orang sakit yang mempunyai harapan untuk sembuh dan hidup lebih lama. Semula Prem Daan adalah
gedung yang dibangun untuk dijadikan Labolatorium Kimia, tetapi pada bulan April 1973 pabrik itu diserahkan kepada Ibu Teresa. Bagi Ibu Teresa itu merupakan
contoh yang bagus tentang praktek cinta kasih maka Ibu Teresa menamakan tempat itu Prem Daan yang berarti “Anugrah Cinta” Beding, 1989: 214. Di Prem Daan,
Ibu Teresa dan suster-susternya merawat orang-orang sakit, baik jiwa maupun badan, orang-orang yang mengidap penyakit parah. Di Prem Daan ada ruangan
khusus untuk merawat orang-orang yang sakit ingatan. Prem Daan merupakan tempat yang tenteram dimana orang-orang sakit dapat merasakan damai dan tidak
takut untuk menghadapi penyakitnya mereka lebih mampu untuk bersikap pasrah.
25
Prem Daan juga juga memiliki tempat untuk pusat rehabilitasi. Untuk orang-orang miskin, mereka diajari untuk mengolah serabut kelapa menjadi barang-barang
kebutuhan rumah tangga seperti sikat, keset, tali dan kranjang. Sampah yang sebelumnya menjadi masalah dalam masyarakat dapat Ibu Teresa olah menjadi
barang yang mempunyai nilai jual sehingga ini mampu menjadi biaya hidup bagi orang miskin Beding, 1989: 215-217.
7. Shantinagar
Shantinagar adalah salah satu rumah untuk penderita kusta, Shantinagar yang berarti tempat ketentraman merupakan tempat yang dapat memberikan rasa
aman dan hidup secara layak dan bermartabat bagi penderita kusta. Selain sebagai tempat perawatan orang-orang penderita kusta, Shantinagar juga memiliki pondok-
pondok kecil untuk orang-orang penderita kusta yang ingin tinggal bersama keluarga mereka, pasien penderita kusta yang sudah menikah diijinkan untuk
membawa keluarganya dan tinggal bersama-sama. Di tempat ini penderita kusta dapat hidup secara tenteram bersama keluarga mereka tanpa harus dijauhi oleh
orang-orang Beding, 1989: 243.
8. Membangun Klinik Kesehatan
Berawal dari klinik keliling, Ibu Teresa menolong penyandang kusta ke perkampungan-perkampungan. Melihat semakin hari penyandang kusta semakin
banyak berdatangan Ibu Teresa berusaha bekerja sama dengan pemerintah dan dokter, mereka membangun sebuah lembaga perawatan yang baru jauh di luar kota
supaya semua penyandang kusta mendapat pertolongan Beding, 1989: 22. Selain
26
klinik untuk penyandang kusta ada juga klinik untuk anak-anak cacat fisik dan mental, klinik untuk pasien AIDS dan TBC serta klinik untuk anak-anak yang
kekurangan gizi serta klinik mobil yang masih berkeliling setiap hari di daerah Kalkuta Vardey, 1997: 83.
9. Protima Sen School
Protima Sen School merupakan sekolah yang menolong anak-anak yang di buang dan yang tidak bisa diatur dan dikendalikan oleh orang tua mereka lagi,
anak-anak yang berkeliaran di jalan-jalan, yang melakukan pencurian dan anak yang sering berurusan dengan polisi. Di protima Sen School mereka dilatih untuk bekerja
untuk membangun kehidupan yang lebih baik dan anak diajarkan untuk mengembangkan bakat mereka Beding, 1989: 80.
D. Hambatan yang Dialami Oleh Ibu Teresa pada Awal Karyanya
Buku Teresa dari Kalkuta, Krispurwana Cahyadi 2010: 29-32 menyebutkan bahwa ada empat kendala yang dialami oleh Ibu Teresa pada awal
karyanya diantaranya adalah perubahan gaya hidup, tiadanya bekal, “ladang” yang
berbeda dan yang terakhir adalah semuanya dimulai dengan sendirian.
1. Perubahan Gaya Hidup
Ketika memutuskan untuk keluar dari biara Loreto tentunya hal pertama yang langsung berubah dari kebiasaan-kebiasan yang sering Ibu Teresa lakukan
adalah perubahan gaya hidup. Kehidupan Ibu Teresa ketika menjadi suster Loreto dan setelah keluar dari biara Loreto tentunya sangat berbeda dimana Ibu Teresa
27
berangkat dari biara yang teratur, baik dari hidup dan karya semua teratur, dengan pekerjaan sebagai pendidik dengan jadwal yang jelas, dan interaksi dengan orang
lain juga terbatas. Tentunya ini sangat jauh berbeda dengan karya pelayanan Ibu bagi kaum miskin. Ketika Ibu Teresa berkarya di tengah-tengah orang miskin
tentunya tidak ada jadwal yang tertata dengan baik sehingga perubahan cara hidup yang dia jalani begitu berbeda dengan sebelumnya. Hal ini membuat Ibu Teresa
sering merindukan biara Loreto dan membayangkan hidup teratur, terjamin, tentram dan aman disana. Perubahan ini sangat tidak mudah untuk dia jalankan sehingga
perubahan ini menjadi pengalaman yang menyakitkan, pengalaman yang membawa masuk ke dalam kekeringan dan kesepian rohani bagi Ibu Teresa Krispurwana
Cahyadi, 2010: 30.
2. Tiadanya Bekal
Pada awal keluar biara Ibu Teresa tidak tahu apa yang akan dia lakukan karena dia tidak punya uang dan juga pengalaman berkarya di kalangan kaum
miskin. Ibu Teresa hanya memiliki pengalaman sebagai guru yang bertugas untuk mengajar anak-anak di sekolah. Ibu Teresa sadar bahwa kemampuannya mengajar
tidak bisa dia jadikan sebagai bekal untuk melayani kaum miskin karena kaum miskin tidak hanya butuh pendidikan tapi banyak hal lain. Oleh karena itu Ibu
Teresa mulai belajar untuk merawat orang sakit dan membantu ibu yang melahirkan. Dari situ Ibu Teresa belajar bahwa yang terpenting bukan bekal melainkan hati,
bukan uang, tetapi kasih. Tetapi untuk sampai kesitu tentunya mengalami proses yang tidak mudah Ketika Ibu Teresa masih berada di dalam biara Loreto Ibu Teresa
tidak pernah berpikir tentang hidupnya Krispurwana Cahyadi, 2010: 31.
28
3. “Ladang” yang Amat Berbeda
Dunia sekolah dan dunia kampung kumuh sangat berbeda, maka pertama kali masuk kecurigaan dan penolakan dialaminya apa lagi Ibu Teresa orang Barat
dan suster, mengingat waktu itu konflik Hindu-Islam memanas. Tidak mudah membuktikan bahwa dia datang dengan tulus dan sungguh, dengan kasih dan hati.
Banyak orang-orang menentang kehadiran Ibu Teresa dan bahkan ingin mencelakainya, hal ini membuat Ibu Teresa takut dan cemas tetapi dia tidak pernah
mau mundur karena semuanya baru dimulai. Pada awalnya Ibu Teresa tidak kuat untuk melihat darah dan merawat
orang-orang yang sakit, tetapi seiring dengan berjalannya waktu Ibu Teresa bisa mengatasi masalahnya itu. Satu hal yang Ibu Teresa katakan yang membuatnya bisa
kuat melayani dan mencintai kaum miskin adalah karena dia melihat Tuhan di dalam diri mereka yang miskin dan menderita. Hal itulah yang memberikan
kekuatan untuk dia agar tetap bisa melayani, merawat dan mencintai orang yang sedang menderita. Baginya dia mencintai dan mengasihi Allah melalui mereka.
Allahlah yang hadir secara tersamar melalui mereka yang menderita sehingga tidak ada alasan utuk mengabaikan mereka Krispurwana Cahyadi, 2010: 31.
6. Memulai dengan Sendirian
Orang pertama-tama melakukan sesuatu mencari teman tetapi apa yang yang dilakukan oleh Ibu Teresa, dia melakukan semua dengan sendirian. Memang
ada pastor Jesuit yang membantu tetapi dapat dikatakan bahwa Ibu Teresa berjuang sendiri, segalanya dia lakukan sendiri. Kemuian dan datang relawan dan kemudian
datang bekas muridnya sampai mereka terbentuk sebagai Tarekat religius. Bagi Ibu
29
Teresa tidak mudah panggilan itu diterimanya. Akan tetapi dia menyadari bahwa tidak ada panggilan yang mudah. Bagi Ibu Teresa kesulitan, tragedi merupakan jalan
panggilan. Justru kemiskinan dan kesulitan, salib dan derita, kesepian dan kekeringan, penolakan dan kecurigaan, yang dialaminya semakin masuk ke dalam
ajakan panggilan Allah, dan tidak menjadikannya malahan mundur. Di tengah salib, berkat memancar, ditengah tragedi, rahmat menyertai, namun semuanya itu akan
didapat jika umat beriman memberikan diri kepada Allah untuk ikut serta dalam gerakan Yesus, memanggul salib dan masuk dalam derita. Konsekuensinya terlibat
dalam kecemasan, duka, sakit, luka dan penderitaan umat manusia Krispurwana
Cahyadi, 2010: 32.
E. Pandangan Ibu Teresa terhadap Penderitaan
Setiap orang pasti pernah mengalami masalah dalam hidup dan masalah itu memberikan penderitaan bagi orang yang mengalaminya. Sering sekali masalah
yang begitu berat membuat orang tidak mampu untuk bangkit lagi, hanya bisa meratapi tanpa berbuat apa-apa. Dan yang paling menyedihkan adalah di saat orang
mengalami masalah dan penderitaan yang berkepanjangan orang merasakan Tuhan jauh darinya, merasa Tuhan tidak peduli terhadap penderitaannya. Sering orang
merasa kecewa pada Tuhan ketika apa yang diharapkannya tidak jadi kenyataan. Ibu Teresa sebagaimana yang dikutip oleh Egan Egan 2001: 130 pernah
mengatakan bahwa ubahlah kata “masalah” menjadi “karunia” maka ketika kita menghadapai masalah kita tidak terpuruk hanya disitu tetapi mampu menikmati
masalah itu dan menjadikannya sebagai karunia yang harus disyukuri. Bagi Ibu Teresa masalah yang dialami akan menjadi penderitaan jika kita tidak mampu
30
melihat kearah yang berlainan yaitu apa yang diharapkan oleh Tuhan dari masalah yang ada. Ibu Teresa pernah mengatakan bahwa janganlah kamu berkecil hati dan
kecewa ketika kamu sudah berusaha untuk mendapatkan sesuatu dan kamu tidak bisa mendapatkannya.
Sebagai manusia biasa tentunya Ibu Teresa juga pernah mengalami masalah, mengalami penderitaan, dan kesedihan, tetapi Ibu Teresa mampu
mengatasi semua karena dia percaya bahwa Allah selalu menyertainya. Ketika dia harus meninggalkan keluarganya untuk melayani Tuhan dia tetap memiliki
kegembiraan, begitu juga ketika ia harus meninggalkan biara yang sangat dicintainya yaitu Loreto, Ibu Teresa juga merasa terluka tetapi demi panggilannya
yang baru ia tetap mampu bertahan. Dalam buku hariannya seperti yang dikutip oleh Egan Egan 2001: 71 Ibu Teresa menulis:
Tuhan menghendaki diri saya untuk menjadi biarawati yang kesepian, menanggung salib kemiskinan. Hari ini saya memetik pelajaran baik.
Kemiskinan yang ditanggung orang-orang itu sedemikian berat. Ketika saya berjalan dan terus berjalan hingga kaki dan tangan terasa sakit, saya
berpikir betapa berat penderitaan orang-orang itu ketika mereka mencari tempat berlindung.
Dapat di lihat bahwa Ibu Teresa juga merasa kesepian tetapi beliau masih bisa bersyukur dengan merasakan betapa berat penderitaan yang dialami oleh orang-
orang miskin. Penderitaan yang dia alami tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penderitaan orang yang sakit, miskin dan disingkirkan oleh orang lain. Bagi
Ibu Teresa penderitaan yang dialami akan terasa ringan jika kita mampu melihat penderitaan orang lain yang jauh lebih besar dari pada kita. Tidak hanya sampai
disitu pada awal karyanya untuk melayani orang miskin beliau juga ditolak oleh mereka tetapi itu tidak membuatnya mengeluh dan berhenti melayani mereka.
31
F. Cinta Kasih Ibu Teresa 1. Mencintai Kristus dengan Melayani Sesama
Ibu Teresa sangat memahami bahwa cinta-Nya kepada Kristus membuat hidup-Nya berubah, baginya tidak ada artinya dia berkata bahwa dia mencintai
Kristus tetapi tidak ikut ambil bagian dalam melayani Yesus. Apabila kita tidak dapat mencintai seseorang yang kelihatan, bagaimana mungkin kita bisa mencintai
Kristus yang tidak kelihatan. Bagi Ibu Teresa mencintai saudara kita yang hadir secara nyata bersama kita merupakan perwujudan dari cinta kita kepada Kristus. Ibu
Teresa sangat memahami bahwa cinta itu butuh pengorbanan tidak hanya sekedar kata-kata tetapi butuh tindakan nyata. Ibu Teresa sebagaimana yang dikutip oleh
Krispurwana Cahyadi 2003c: 57. mengatakan bahwa: Cinta tidak bermakna jika tidak dibagikan. Cinta harus diletakkan dalam
perbuatan nyata. Kita harus mencintai tanpa mengharapkan imbalan, semata-mata untuk cinta itu sendirian. Cinta yang dalam tidak
mengharapkan apapun, cinta hanya memberi. Kita tidak perlu melakukan hal-hal yang besar kepada Tuhan dan sesama. Justru kemendalaman cinta
yang kita nyatakan dalam perbuatanlah yang membuat perbuatan- perbuatan kita menjadi indah di mata Tuhan.
Cinta Ibu Teresa kepada Yesus membuatnya tidak pernah lelah dalam
melayani sesama karena baginya jika cinta itu tulus maka dia tidak akan pernah menuntut dan tidak akan pernah mengeluh dengan apa yang dikerjakannya. Oleh
karena itu Ibu Teresa tidak pernah mengharapkan apapun dari orang yang dia layani karena dia mengerti betul bahwa yang dia layani itu adalah Yesus sendiri. Bagi Ibu
Teresa Yesus adalah segala-galanya sehingga ketika dia melayani orang miskin dia merasakan bahwa yang dilayaninya itu adalah Yesus sendiri sehingga dia selalu
berusaha melakukan yang terbaik bagi orang yang dia layani. Tentang karya- karyanya Ibu Teresa mengatakan sebagai berikut:
“Aku melakukannya karena