BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budaya Paternalistik
Budaya merupakan konsep yang sulit untuk dirumuskan karena ia tidak berwujud, implisit dan dianggap sudah semestinya ada atau menjadi sesuatu yang
baku. Menurut Koberg 1991, budaya organisasi merupakan seperangkat nilai, norma, persepsi dan pola perilaku yang dibuat atau dikembangkan dalam suatu
organisasi dengan maksud untuk dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul, apakah masalah yang terkait dengan adaptasi secara eksternal atau masalah integrasi
secara internal. Pada tingkat organisasi, budaya merupakan serangkaian asumsi- asumsi keyakinan belief, nilai-nilai dan persepsi dari para anggota kelompok
organisasi yang mempengaruhi dan membentuk sikap dan perilaku kelompok yang bersangkutan.
Menurut Holmend dan Marsden 1996 dalam Poerwati 2002, budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja dan motivasi para
manajer dan bawahannya untuk mencapai kinerja organisasi. Dengan demikian budaya mempunyai pengaruh terhadap partisipasi panyusunan anggaran dalam
peningkatan kinerja manajerial. Penelitian yang dilakukan oleh Frucot dan Shearon 1991 dalam Supriono 2004 menunjukkan bahwa perilaku dan budaya manajer
berpengaruh terhadap kinerja. Budaya paternalistik menurut Gultom 1994 dalam Mustikawati 1999 adalah
budaya di mana atasan berperan sebagai “Bapak” yang lebih tahu akan segala hal,
Panangaran Ritonga: Pengaruh Budaya Paternalistik Dan Komitmen Organisasi terhadap Hubungan Antara Partisipasi Anggaran Dan Kinerja Manajerial Pada PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara, 2008.
USU e-Repository © 2008
sehingga bawahan merasa tidak enak jika menyampaikan usulan apalagi mengkritik kesalahan atasan. Manajemen yang menerapkan budaya seperti ini akan mengurangi
inisiatif bawahan atau dengan kata lain akan menghambat adanya partisipasi. Secara umum diketahui bahwa para manajer level menengah dan bawah di Indonesia banyak
yang masih merasa sungkan untuk mengungkapkan apa yang menjadi pikiran, gagasan dan ide-ide mereka kepada atasannya meskipun para manajer tersebut tahu bahwa hal itu
lebih baik dari pada sekedar menuruti perintah atasan. Literatur menunjukkan bahwa paternalisme lazim terjadi di negara-negara Timur
Tengah. Lock 2005 menjelaskan bahwa paternalisme pernah terjadi pada sejarah pemerintahan jaman dahulu di Amerika dan Eropa. Webber 1958 dalam Lock 2005
menyebutkan akar dari paternalisme adalah pada ideologi agama pada abad 19 dan awal era industrialisasi.
Pada konteks organisasi, “Paternalisme baru” dikembangkan untuk kemanusiaan dan “moralitas” tempat kerja dengan membangun sistem manajemen yang lebih
fleksibel sebagai ganti dari hubungan kontrak yang kaku antara pekerja dan pemberi kerja. Anthony 1986 dalam Pellegrini.,Scandura 2006 menyatakan bahwa
paternalisme menjembatani kemanusiaan dan eksploitasi ekonomi. Pada paternalisme baru, perusahaan-perusahaan lebih melibatkan diri pada kehidupan si pekerja dengan
membantu mereka dalam masalah-masalah sosial dan keluarga. Menurut Gordon 1998 dalam Pellegrini 2006 “Perusahaan membantu diri pribadi, dan pencapaian promosi
dan komitmen. Paternalisme dirasa negatif di negara-negara Barat bagi perkembangan masyarakat industri. Meskipun pada kenyataannya bahwa paternalisme dirasa negatif
bagi perkembangan dan masyarakat industri hal ini juga menjadi pertimbangan sebagai
Panangaran Ritonga: Pengaruh Budaya Paternalistik Dan Komitmen Organisasi terhadap Hubungan Antara Partisipasi Anggaran Dan Kinerja Manajerial Pada PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara, 2008.
USU e-Repository © 2008
solusi yang bernilai kepada masalah-masalah organisasi dan kemasyarakatan. Kemungkinan keuntungan yang didapat dari paternalisme bagi organisasi adalah
pengurangan biaya, peningkatan fleksibilitas, penurunan perputaran dan menambah komitmen, loyalitas dan kerjasama kelompok, khususnya sangat penting adalah
pemberian wewenang kepada bawahan. Aycan 2000 dalam Lock 2005 menemukan hubungan positif antara paternalisme dan pemberian wewenang.
Secara umum diketahui bahwa para manejer level menengah dan bawah di Indonesia banyak yang masih merasa sungkan untuk mengungkapkan apa yang
menjadi fikiran, gagasan dan ide – ide mereka kepada atasannya meskipun para manejer tersebut tahu bahwa hal itu lebih baik dari pada sekedar menuruti perintah
atasan. Budaya yang seperti ini disebut sebagai budaya Paternalistik sesuai dengan pendapat Gultom 1994 dalam Mustikawati 1999 yang menyebutkan bahwa
budaya paternalistik adalah budaya di mana atasan berperan sebagai “ bapak” yang lebih tahu akan segala hal, sehingga bawahan merasa tidak enak jika menyampaikan
usulan apalagi mengkritik kesalahan atasan. Manajemen yang menerapkan budaya seperti ini akan mengurangi inisiatif bawahan atau dengan kata lain akan
menghambat adanya partisipasi. Dengan demikian apabila suatu perusahaan memiliki budaya paternalistik yang
kuat dapat pula mempengaruhi anggaran. Budaya paternalistik yang cukup kuat dianut para manejer cenderung menghambat adanya partisipasi dan dapat
menurunkan kinerja manajer dan kinerja perusahaan secara keseluruhan.
Panangaran Ritonga: Pengaruh Budaya Paternalistik Dan Komitmen Organisasi terhadap Hubungan Antara Partisipasi Anggaran Dan Kinerja Manajerial Pada PDAM Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara, 2008.
USU e-Repository © 2008
2.2. Komitmen Organisasi