Semiotika: Sebuah Kajian Pemaknaan dalam Seni Teater

commit to user xliv Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada 20 desember 1993. Jurnal Perempuan edisi 45, 19-20. Kekerasan terhadap perempuan dinilai sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dengan adanya deklarasi tersebut diharapkan dapat meminimalisir kekerasan terhadap perempuan melalui tindakan tegas yang memberi sanksi kepada pelaku kekerasan. Kekerasan terhadap perempuan tidak melulu berupa tindakan yang bersifat mencederai fisik namun juga bisa mengarah kepada munculnya gender violence kekerasan gender. Munculnya kekerasan gender ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi di lingkungan strata bawah maupun menengah saja akan tetapi meliputi seluruh strata. Kekerasan berbasis gender merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas suatu dasar kesamaan hak perempuan dan laki-laki. Hak-hak dan kebebasan tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekejaman, hak untuk mendapat perlindungan yang sama sehubungan dengan norma-norma kemanusiaan pada saat konflik bersenjata nasional atau internasional, hak atas kebebasan dan keamanan seseorang, hak untuk mendapatkan kesamaan atas perlindungan hukum di bawah Undang-undang, dan hak untuk mendapatkan standard tinggi dalam hal kesehatan mental dan fisik Jurnal Perempuan25: 21.

7. Semiotika: Sebuah Kajian Pemaknaan dalam Seni Teater

commit to user xlv Pementasan teater sebagai salah satu dari media komunikasi mengandung pesan yang berbentuk tampilan secara audio visual di atas panggung. Sajian ini memerlukan pemaknaan yang lebih dari penonton. Untuk memberi kelengkapan atas proses pemaknaan terhadap pementasan tersebut, maka akan dilibatkan unsur-unsur yang mendukungnya secara keseluruhan. Dalam sebuah pementasan teater terhadap tanda yang memungkinkan untuk diinterpretasikan oleh penonton. Tanda-tanda ini dapat bersifat audio visual atau yang berhubunngan dengan indera lain. Setiap tanda dalam komunikasi harus memiliki 3 ciri khas, yaitu: a. Harus memiliki bentuk fisik, karena indra harus mampu menerimanya. b. Harus menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya. c. Harus digunakan dan dikenal oleh orang lain sebagai suatu tanda. Jika suatu tanda tidak dapat dikenal dan dimengerti oleh orang lain maka tanda itu tidak dapat memberikan makna, sebab itu tidak bisa menjadi unsur dalam komunikasi Eilers, 2001: 29. Di sini, teater merupakan media komunikasi yang sarat akan makna. Sedangkan penonton yang menyaksikan pementasan teater juga mempunyai apresiasi dan bebas untuk menafsirkan simbol-simbol yang terdapat dalam medium teater tersebut. Seperti dikemukakan oleh John Fiske dalam jurnal yang ditulis oleh Sonia Katyal yang berjudul Semiotic Disobedience: “John Fiske, coined the term semiotic democracy to describe a world where audiences freely and widely engage in the use of cultural symbols in response to the forces of media.” commit to user xlvi Semiotika atau semiologi secara etimologis berasal dari kata semeion yang dalam bahasa Yunani berarti ‘tanda’. Sehingga sebagai suatu disiplin ilmu, semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: caranya berfungsi, hubungannya dengan tanda–tanda yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya Sudjiman dan Zoest, 1996: 5. Semiotik bukan hanya hal mengkaji tanda-tanda di sekitar kita. Namun juga telah menjadi sistem tanda pada kegiatan komunikasi. Seperti yang ditulis oleh Pamela Nilan dalam jurnal komunikasi massa dengan judul Applying Semiotic Analysis to Social Data in Media Studies: “Semiotics is now a field of study involving many different theoretical stances and methodological tools. Semiotics involves the study not only of ‘signs’ in everyday speech, but of anything which ‘stands for’ something else. In a semiotic sense, signs take the form of words, images, sounds, gestures and objects. Contemporary semioticians study signs not in isolation but as part of semiotic ‘sign systems’ such as a medium or genre, and are thereby concerned not only with communication but also with the construction and maintenance of reality.” Mengemukakan simbol-simbol dalam seni teater berarti menjelaskan bagaimana hubungan antar unsur tersebut sehingga mencapai makna keseluruhan. Metode analisis semiotika dalam aplikasinya untuk penelitian ini adalah berorientasi pada pesan-pesan yang muncul dan melalui simbol-simbol apa pesan tersebut dimaknai dengan menggali hakikat sistem tanda yang commit to user xlvii beranjak keluar dari tata bahasa dan yang mengatur arti teks yang rumit dan tersembunyi serta bergantung pada kebudayaan. Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan connotative dan arti penunjukkan denotative atau kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkap melalui penggunaan dan kombinasi tanda Sobur, 2002:126-127. Tanda sign merupakan pusat perhatian dalam pendekatan semiotik. Menurut John Fiske 1990: 40, terdapat 3 area penting dalam studi semiotik, yaitu: 1. The Sign itself. This consists of the study of different varieties of signs, of the different ways they have of conveying meaning, and of the way they relate to the people who use them. For signs are human construct and can only be understood if terms of the uses people put them to. Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya. 2. The codes or systems into which signs are organized. This study covers the ways that a variety of codes have developed in order to meet the needs of a society of culture. Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan. 3. The culture within which these codes and signs operate. Kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi. Istilah semiotika pertama kali diajukan pada akhir abad ke sembilan belas oleh seorang filsuf pragmatis Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce 1839-1941 untuk merujuk kepada “doktrin formal tanda-tanda”. Peirce mengusulkan kata semiotik sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce, logika commit to user xlviii harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran ini menurut hipotesis teori Peirce yang mendasar dilakukan melaui tanda-tanda. “Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas dalam keanekaragaman tanda, diantaranya tanda-tanda linguistik merupakan kategori yang penting, tetapi bukan satu-satunya kategori.” Peirce membatasi semiotika sebagai ilmu tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimanya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakanya. Dasar pemikiran teori ini adalah: bahwa individu menggunakan tanda sign untuk menunjukkan suatu obyek tertentu. 1. Tanda sign diberikan untuk menggambarkan sesuatu gambaran dari sesuatu itu disebut makna meaning. 2. Makna meaning akan bervariasi dari individu yang satu dengan yang lain tergantung dari referensi mereka. Tanda yang digunakan oleh pengguna tanda adalah yang diketahui secara kultural oleh penggunanya. Pengetahuan tentang hal tersebut diperoleh melalui interaksi sosial sebagai anggota suatu masyarakat atau kultur budaya tertentu, berupa suatu bentuk pengalaman dalam menghadapi peristiwa. Suatu tanda dapat dipahami dan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang yang sama di tampat dan pada waktu yang berbeda. Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan obyek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada commit to user xlix dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut Sobur,2002:114-115. Berikut ini merupakan gambaran proses semiotika dalam bentuk segitiga yang dikembangkan oleh Peirce: Bagan 1 Segitiga Makna Peierce Tanda Interpretant Obyek Panah 2 arah menandakan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang dan ini memiliki efek di benak pengguna-interpretant. Harus disadari bahwa interpretant bukanlah pengguna tanda, tapi Peirce menyebutnya sebagai “efek penandaan yang tepat” yaitu konsep mental yang dihasilkan baik itu oleh tanda maupun pengalaman penggunanya terhadap objek. Interpretant kata tanda dalam setiap konteks akan menghasilkan pengalaman pengguna atas kata itu dan dia tidaka akan menerapkannya pada sebuah kolase teknik, dan pengalamannya dengan institusi bernama “sekolah” sebagai objeknya. Jadi makna itu tidak tetap, commit to user l dirumuskan dalam kamus, namun bisa beragam dalam batas-batas sesuai dengan pengalaman penggunanya. Batasan itu ditetapkan oleh konvensi sosial, variasi di dalamnya memungkinkan adanya perbedaan sosial dan psikologis di antara penggunanya. Bagi Peirce, tanda “is something which stand to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda sign atau reprtesentamen selalu terdapat dalam hubungan triadik, yaitu ground,obyek,dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda sebagai berikut: 1. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibagi menjadi: a. Qualisign : kualitas yang ada pada tanda b. Sinsign : ekstensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda c. Legisign : norma yang dikandung oleh tanda 2. Tanda berdasarkan obyeknya dibagi menjadi: a. Icon : tanda yang hubungan antara tanda dan penandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan obyek atau acuan yang besifat kemiripan. b. Indeks : hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. commit to user li c. Symbol : tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbiter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi perjanjian masyarakat. 3. Tanda berdasarkan interpretant dibagi menjadi: a. Rheme : tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. b. Dicent sign: tanda yang sesuai kenyataan atau penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya. c. Argument : tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu Sobur,2003:41-42 Fokus atau studi utama pendekatan semiotika adalah teks. Dengan mengacu pada model Peirce, makna dalam suatu teks tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diproduksi dalam interaksi antara teks dengan pengguna tanda. Teks dalam hal ini diartikan secara luas, bukan hanya teks tertulis. Segala sesuatu yang mempunyai sistem tanda tersendiri dapat dianggap sebagai teks. Ketika sebuah teks dan pengguna tanda berasal dari satu kultur atau subkultur yang relatif sama, interaksi keduanya lebih mudah terjadi, karena konotasi makna tambahan dan mitos cara pencapaian suatu pengertian dalam teks sudah menjadi referensi pengguna tanda yang bersangkutan. Suatu tanda memiliki beragam makna ketika diinterpretasikan bahwa bisa pula bertentangan denga makna. Di antara semua jenis tanda-tanda yang ada yang terpenting adalah kata-kata. Kata dipakai sebagai sebuah tanda dari suatu commit to user lii konsep atau ide. Sebagai ilmu tentang tanda, semiotika digunakan sebagai teknik atau metode dalam menganalisa dan menginterpretasikan sebuah teks. Seperti yang dinyatakan Komarudin Hidayat bahwa bidang kajian semiotika atau semiologi adalah mempelajari fungsi tanda dalam teks yang berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain semiologi berperan untuk melakukan interogasi terhadap kode-kode yang dipasang oleh penulis agar pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan dalam sebuah teks. Sobur, 2003: 107 Roland Barthes 1915-1980, membangun suatu model yang sistematis dengan nama negosiasi, saling berpengaruh antara ide atas pemaknaan dapat dianalisis. Barthes memberikan perhatian lebih pada interaksi tanda dalam teks dengan pengalaman personal dan kultural pemakainya. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju pada gagasan tentang signifikansi dua tahap. Tingkat pertama tanda ini disebut denotasi.denotasi ini menunjuk kepada “makna awam” atau “makna literal” yang secara obyektif hadir dan mudah dikenali. Tingkat kedua tanda disebut konotasi. Konotasi merujuk kepada makna yang tersembunyi dibalik makna denotasi akan tetapi tergantung situasinya. Di level ini terbentuklah mitos. Bagan 3 Signifikasi Dua Tahap Barthes Conotation commit to user liii Seperti dikutip oleh Fiske, dengan model ini, Barthes menjelaskan bahwa signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda. Signifikansi tahap kedua yang disebut konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dan kebudayaannya. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda dalam sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Fiske dalam Sobur, 2004: 128. Konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahab, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum dengan denotasi dan konotasi yang dimengerti melalui konsep Barthes. Dalam pengertian umum denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya” kadang kala ada pula yang dirancu dengan referensi atau acuan. Proses signifikansi secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Barthes denotasi merupakan Denotasi Signifier Signified Myth commit to user liv sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Sobur, 2003: 70. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Budiman dalam Sobur, 2003: 71. Dalam mitos juga terdapat tiga pola dimensi, yaitu: penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, motos dibangun untuk suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah suatu pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos myth. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai satu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini, misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan. Fiske dalam Sobur, 2004: 128. Menurut Susilo dalam Sobur, 2004: 128, mitos merupakan suatu wahana di mana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Secara teknis, Barthes menyebutkan bahwa mitos merupakan urutan kedua dari sistem semiologis, di mana tanda-tanda pada urutan pertama pada commit to user lv sistem itu yaitu kombinasi antara petanda dan penanda menjadi penanda dalam sistem kedua. Dengan kata lain dalam sebuah sistem linguistik menjadi penanda dalam sistem yang disebut “penandaan”. Bathes menggunakan istilah khusus untuk membedakan sistem mitos dan hakikat bahasanya. Barthes juga menggambarkan penanda dalam mitos sebagai bentuk petanda sebagai konsep. Kombinasi kedua istilah seperti yang telah tersebut di ata merupakan penandaan. Penjelasannya dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 2 Perbandingan Bahasa dan Mitos Bahasa Mitos Penanda Signifier Petanda Signified Tanda Sign Bentuk Form Konsep Concept Penandaan Signification Sumber: Arthur Asa Berger, Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2000, hal 56. Menurut Barthes mitos adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian ia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin berubah menjadi sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan, yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai sebuah bentuk tidak dibatasi oleh objek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu. Berger, 2000: 83. Dengan demikian, ada batas-batas formal dari mitos, tetapi tidak ada batasan yang “substansial”. Sejarah mengkorvesikan realitas ke commit to user lvi dalam turunan speech dan manusia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya bahasa mitos. Semiologi Barthes yang menekankan semiologi pada tahap kedua mempunyai peran besar bagi pembaca untuk memproduksi makna. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran pusat perhatian dari pengarang kepada pembaca. Menurut Barthes dalam Kurniawan, 2001: 90 sebuah teks mempunyai dua unsur, yaitu writerly text dan readerly text. Writterly text adalah apa yang dapat ditulis pembaca sendiri terlepas dari apa yang ditulis pengarangnya. Sedangkan readerly text adalah apa yang dibaca, tetapi tak dapat ditulis, yakni teks terbaca yang merupakan nilai reaktif dari writerly text. Dalam hal ini Barthes beralasan karena tujuan karya sastra adalah untuk membuat pembaca tak selamanya seorang konsumen, tapi seorang produsen teks. Efeknya, teks kemudian menjadi terbuka terhadap segala kemungkinan. Pembaca akan berhadapan dengan pluralitas signifikasi. Menurut pandangan Barthes, penyempurnaan teori semiotik Saussure, sebuah teks merupakan kontruksi tanda-tanda yang pemaknaannya dilakukan dengan jalan merekontruksi kembali tanda-tanda tersebut. Empat unsur tanda menurut Barthes yaitu: 1. Substansi ekspresi, misalnya suara dan artikulasi. 2. Bentuk ekspresi, yang dibentuk dari sintagmatik dan paradigmatik. 3. Sustansi isi, dilihat dari aspek emosional dan ideologis atau pengucapan sederhana dari petanda, yaitu makna positifnya. 4. Bentuk isi, susunan formal petanda di antara petanda-petanda melalui hadir atau tidaknya sebuah tanda semantik. Kurniawan, 2001: 56 commit to user lvii Teori Roland Barthes mengupas apa yang sering disebut sebagai sistem tataran kedua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya atau dikenal dengan istilah Two Order of Signification Pemaknaan Dua Tahap. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif. Oleh karena itu, semiologi Roland Barthes juga sering disebut sebagai semiologi konotasi, yang menyelidiki makna-makna konotatif atau sekunder dalam bentuk mitos. Pemaknaan pada tataran pertama disebut dengan denotasi, yaitu sebuah pemahaman langsung dari sebuah tanda tanpa memperhatikan kode sosial yang lebih luas. Untuk dapat melihat proses pemaknaan 2 tahap ini dengan lebih rinci, Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja. Cobley Janz dalam Sobur, 2003: 69 Bagan 4 Peta Tanda Roland Barthes 1. signifier penanda 2. signified petanda 3. denotative sign tanda denotatif 4. CONNOTATIVE SIGNIFIER PENANDA KONOTATIF 5. CONNNOTATIVE SIGNIFIED PETANDA KONOTATIF 6. CONNOTATIVE SIGN TANDA KONOTATIF Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif commit to user lviii adalah juga penanda makna konotatif 4. Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya Sobur, 2003: 69.

8. Terminologi dan Kategorisasi