PENGGAMBARAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TEATER

(1)

commit to user

i

PENGGAMBARAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN

DALAM TEATER

(Analisis Semiotik tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pementasan Teater “Wajah Sebuah Vagina” oleh Klompok Tonil

Klosed Surakarta tahun 2005)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi

Oleh:

Dwi Retno Pusporini D0203063

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan panitia ujian skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Pembimbing Skripsi

Prof. Pawito, Ph. D. NIP. 19540805 198503 1 002


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah diuji dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta Hari : Jumat

Tanggal :29 April 2011

Panitia Ujian Skripsi

1. Ketua : Prof.Drs.H.Totok Sarsito,SU,MA,Ph.D (………) NIP. 19490428 197903 1 001

2. Sekretaris : Nora Nailul Amal, S.Sos, MLMed, Hons (………) NIP. 19810429 200501 2 002

3. Penguji : Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D (………) NIP. 19540805 198503 1 002

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Drs. H. Supriyadi, SN, S. U. NIP. 19530128 198103 1 001


(4)

commit to user

iv

MOTTO

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(QS. 94: 5)


(5)

commit to user

v

PERSEMBAHAN

Karya sederhana ini kupersembahkan untuk: Ibuk, Bapak, Mas


(6)

commit to user

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Terimakasih yang tak terhingga untuk ALLAH Subh’annallahu Wa Ta’ala atas semua rahmat yang selalu di berikan pada hamba.yang akhirnya hamba dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Ibuk dan Bapak, untuk segenap curahan kasih sayangnya, kesabaran, dan ketulusan hati.

Mas Hendro, yang tak bosan menyemangatiku. Thanks bro.

Faturrohman, terima kasih untuk cinta, perhatian dan dukungannya.

Teman-teman Komunikasi 2003, Ajeng, Simon, Yan, Widi, Diah, Agni, Siska, Budi, Yudha.

Keluarga di Kos Kinasih 2, Era, Anne, Winda, Dek Rahma, Rina.

Keluarga di Teater SOPO, Irawan, Rudy Gemphile, Niken, Mas Gharenk, Uni Cempluk, Sari Wuryani, Mas Gondrong.

Teman-teman di Rumah Jeruk Semarang, Umam, Tambeng, Erna, Norma, Anton.

Sahabat dan teman-teman yang telah memberi warna tersendiri dalam kehidupanku.


(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan, untuk memenuhi sebagian persyratan mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Komunikasi.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk itu atas segala bentuk bantuannya, disampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Drs. H. Supriyadi, S. U. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Prahastiwi Utari, M. Si, Ph. D selaku Ketua Jurusan Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Prof. Pawito, Ph.D. selaku pembimbing atas arahan dan kesabaran beliau membimbing penulis dalam menyelesaikan tulisan ini.

4. Bapak Sukatno dan Ibu Suwarsi, atas semua perjuangan dan kepercayaan serta doa yang tak henti-hentinya untuk ananda.

5. Teman-teman Komunikasi 2003.

6. Pihak yang teramat banyak untuk disebutkan atas kesempatan yang diberikan untuk memaknai arti kehidupan

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan sumbang saran agar skripsi ini bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkompeten.

Surakarta, Februari 2011


(8)

commit to user

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kajian Pustaka ... 7

1. Penelitian Terdahulu ... 7

2. Kajian Teori ... 10

3. Teater ... 13

4. Teater sebagai Salah Satu Media Komunikasi ... 17

5. Perempuan dalam Media Teater ... 24

6. Kekerasan terhadap Perempuan ... 26 7. Semiotika: Sebuah Kajian Pemaknaan dalam Seni Teater . 30


(9)

commit to user

ix

8. Terminologi dan Kategorisasi ... 42

E. Metodologi Penelitian... 43

1. Jenis Penelitian ... 43

2. Metode Penelitian ... 44

3. Sumber Data ... 46

4. Teknik Pengumpulan Data ... 46

5. Analisis Data ... 47

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN A. Deskripsi Pentas Wajah Sebuah Vagina ... 49

B. Sinopsis ... 51

C. Alur Cerita ... 52

D. Konstruksi Dramatik Teater ... 59

E. Penataan Artistik Pentas Wajah Sebuah Vagina ... 61

1. Tata Rias ... 61

2. Kostum ... 62

3. Properti Pendukung ... 63

4. Setting dan Lighting ... 63

5. Musik ... 64

F. Para Tokoh ... 64

G. Profil Klompok Tonil Klosed... 65

1. Penulis dan Sutradara ... 66


(10)

commit to user

x

BAB III. SAJIAN DAN ANALISIS DATA ... 69

A. Analisis Bentuk Kekerasan Fisik yang Dialami Tokoh Sumira... 70

1. Kekerasan terhadap Perempuan Secara Seksual ... 70

2. Penganiayaan ... 74

B. Analisis Bentuk Kekerasan Non Fisik yang Dialami Tokoh Sumira ... 79

1. Human Traficking ... 79

2. Ancaman/ Intimidasi ... 83

3. Penghinaan ... 85

4. Pelecehan Seksual ... 86

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 89

B. Saran... 91


(11)

commit to user

xi

ABSTRAK

DWI RETNO PUSPORINI, D0203063, PENGGAMBARAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TEATER (Analisis Semiotik tentang Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pementasan Teater “Wajah Sebuah Vagina” oleh Klompok Tonil Klosed Surakarta Tahun 2005). Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta 2011.

Teater merupakan media yang mampu menggambarkan berbagai keadaan sosial maupun budaya di mana suatu masyarakat tersebut tinggal. Sebagai media penyampai informasi, teater merupakan media massa yang menjangkau khalayak sebagai penerima pesan. Dalam pementasan teater terkandung pesan-pesan yang berupa simbol verbal maupun non verbal.

Pementasan teater Wajah Sebuah Vagina yang dipentaskan oleh Klompok Tonil Klosed Surakarta menggambarkan tentang kekerasan terhadap perempuan yang dialami tokoh utama wanitanya yang bernama Sumira. Dalam pementasan ini sutradara mencoba mengkomunikasikan pesan-pesan tentang kekerasan terhadap perempuan melalui simbol-simbol teater yang ditampilkan melalui para pemain maupun desain artistik pendukung pementasan.

Penelitian ini mencoba untuk mengetahui bagaimana penggambaran kekerasan terhadap perempuan dalam pementasan teater Wajah Sebuah Vagina, yang mana simbol-simbol di dalam pementasan teater tersebut disampaikan secara verbal dan non verbal. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan Teknis Analisis Semiotika Roland Barthes (denotasi, konotasi dan mitos) untuk meneliti simbol-simbol dalam pementasan teater tersebut. Metode pengumpulan data diperoleh melalui data dokumentasi pementasan teater Wajah Sebuah Vagina. Sedangkan proses analisa data dilakukan dengan beberapa tahap yaitu: mengelompokkan adegan-adegan kunci ke dalam kategori yang telah ditentukan, menganalisanya kemudian menarik kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa penggambaran kekerasan terhadap perempuan dalam pementasan teater Wajah Sebuah Vagina meliputi: (a) kekerasan fisik dan (b) kekerasan non fisik. Kekerasan fisik yaitu berupa kekerasan seksual dan penganiayaan. Sedangakan kekerasan non fisik berupa human traficking, ancaman/ intimidasi, penghinaan dan pelecehan seksual.


(12)

commit to user

xii

ABSTRACT

DWI RETNO PUSPORINI, D0203063, DWI RETNO PUSPORINI, D0203063, PENGGAMBARAN KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM TEATER (Semiotic Analysis of Violence against Women in Theatre Performance Wajah Sebuah Vagina by Klompok Tonil Klosed Surakarta Year 2005).

Theatre is a medium that is able to describe various social and cultural circumstances in which a society lives. As the medium in the information, theatre is mass media to reach audiences as a recipient of the message. In the theatrical performance contained the messages in the form of verbal and non verbal symbols.

Theatrical performance Wajah Sebuah Vagina that performed by Klompok Tonil Klosed Surakarta described on violence against women in the female main character named Sumira. The theatrical director tries to communicate the messages about violence against women through theater symbols displayed by those actors and supporters stage artistic design.

This study tries to find out how depiction of violence against women in Wajah Sebuah Vagina, which the symbols in the theater was conveyed verbally and non verbally. The research method uses qualitative research methods with Technical Analysis Roland Barthes Semiotics (denotation, connotation and myth) to examine the symbols in the theater. Methods of data collection is obtained through data documentation theatre performance Wajah Sebuah Vagina. The data analysis process carried out by several steps: classifying the key scenes into predefined categories, analyze them and draw conclusions.

Based on research results, it is concluded that the depiction of violence against women in theatrical Wajah Sebuah Vagina include: (a) physical violence and (b) non-physical violence. Physical violence is the form of sexual violence, and abuse. While the non-physical violence in the form of threats/ intimidation, humiliation, human trafficking, and sexual harassment.


(13)

commit to user

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan orang lain dalam memenuhi kebutuhannya. Sedangkan untuk hidup berdampingan bermasyarakat, manusia sangat membutuhkan komunikasi. Dengan melakukan komunikasi, manusia bisa saling tukar informasi dan berinteraksi dengan orang lain. Komunikasi merupakan salah satu aktivitas kehidupan yang tidak mungkin ditinggalkan. Setiap orang melakukan berkomunikasi, baik secara individu maupun kelompok. Tanpanya, kehidupan sosial tidak akan berjalan sehingga orang tidak bisa menyampaikan apa yang menjadi pendapatnya kepada orang lain. Komunikasi pada dasarnya adalah kegiatan pertukaran pesan dari satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain. Dengan komunikasi, manusia dapat saling mengenal, saling kontak dengan yang lain sehingga terjadi pertukaran informasi, ide, dan pengalaman.

Dalam proses penyampaian pesan, komunikasi memerlukan sebuah media sebelum akhirnya sampai pada penerima pesan. Zaman dahulu, sebelum ditemukannya media elektronik, manusia menggunakan media tradisional untuk menyampaikan pesan, antara lain seperti kentongan untuk memberitahukan adanya kematian di suatu daerah, isyarat api yang dapat berarti suatu berita


(14)

commit to user

xiv

untuk disampaikan kepada masyarakat, maupun bentuk drama yang disisipi pesan sosial. Di Indonesia sendiri, Sunan Kalijaga menggunakan media wayang kulit untuk penyebaran agama Islam. Kemudian seiring dengan perkembangan teknologi, media komunikasi juga berkembang. Dimulai pada saat ditemukannya mesin cetak yang membawa dampak besar bagi komunikasi, media cetak dan perkembangan pers telah memberi pengaruh yang signifikan dalam proses komunikasi. Dengan keberadaan mesin cetak tersebut maka munculnya surat kabar yang semakin memperluas cakupan komunikasi massa. Lalu disusul kehadiran film pada akhir abad ke-19 sebelum kemudian ditemukan radio dan televisi.

Kini, di abad ke-21 dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat telah muncul media komunikasi yang sangat beragam membuat orang semakin mudah melakukan komunikasi. Munculnya internet, siaran streaming dari radio maupun televisi, perkembangan teknologi telepon seluler yang semakin canggih, telah mengubah cara manusia berkomunikasi. Dengan kata lain teknologi telah mendekatkan jarak dan mempersempit waktu, sehingga komunikasi lebih efektif dan efisien.

Namun diantara media komunikasi modern tersebut masih terdapat media tradisional yang sampai sekarang masih dipakai, salah satunya adalah teater. Teater yang keberadaannya telah ada sejak 1849 SM sampai sekarang masih bisa eksis diantara gempuran perkembangan teknologi. Selain sebagai media komunikasi yang dapat menyampaikan pesan kepada khalayak, teater


(15)

commit to user

xv

juga berfungsi sebagai media kritik terhadap realitas sosial di masyarakat. Teater yang merupakan media komunikasi tradisional dinilai masih mampu bersanding di antara media-media komunikasi modern yang lainnya. Contoh penggunaan media teater di saat ini antara lain digunakan oleh BKKBN dalam rangka penyuluhan KB pada masyarakat yang dikemas dalam bentuk sandiwara teater, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat. Demikian juga dengan sebuah partai politik yang menggunakan media teater saat melakukan kampanye di suatu tempat untuk menjaring massa menjelang pemilihan umum.

Dengan kelebihannya, media teater yang mempunyai karakteristik berbeda dengan media komunikasi lain, yaitu dengan pesan moral yang disampaikan secara eksplisit melalui aktor dan unsur-unsur di dalamnya, teater diharapkan mampu berkontribusi dalam perubahan sosial. Dalam hal ini, teater mempunyai fungsi antara lain: fungsi propaganda, fungsi media kritik realitas sosial dan penyampai pesan moral kepada audiensnya.

Dalam upayanya membangun dan memperlancar komunikasi, sebuah pementasan teater menggunakan simbol dan lambang sebagai medianya. Setiap unsur dalam pementasan merupakan sebuah simbol dari apa yang ingin disampaikan oleh teater tersebut. Simbol diwujudkan melalui dialog, pemilihan kostum, make up, setting panggung, tata cahaya, pilihan musik, maupun gerak tubuh/ gesture dan mimik sang aktor. Kesemua unsur tersebut saling mendukung dan membentuk sebuah kesatuan suatu bahasa teatrikal yang


(16)

commit to user

xvi

digunakan untuk penyampaian pesan kepada penonton agar dapat tersampaikan dengan baik.

Seperti yang pernah diungkapkan Arifin C. Noer semasa hidupnya, bahwa teater tak hanya merupakan masalah artistik saja, tetapi juga orientasi budaya, panutan hidup, perilaku, bahkan juga latar belakang sosial-politik dan reformasi estetika serta merupakan sarana penyaluran aspirasi sutradara kepada masyarakat.

Dengan pertimbangan inilah media kesenian yaitu teater digunakan sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai fenomena kehidupan masyarakat. Salah satunya yaitu mengenai kehidupan perempuan yang mengalami kekerasan yang diungkapkan melalui pementasan teater berjudul Wajah Sebuah Vagina. Melalui media teater, diharapkan pesan-pesan mengenai kekerasan terhadap perempuan tersebut bisa sampai kepada khalayak masyarakat.

Dikotomi perempuan dan laki-laki diciptakan oleh budaya, mitos dan agama. Pandangan stereotype yang menempel pada perempuan adalah sifat lemah, emosional, kurang cerdas, tidak rasional, tergantung pada laki-laki, dan sebagainya. Sementara laki-laki distereotipkan sebagai sosok yang kuat, perkasa, tidak emosional dan publik figur. Stereotype ini juga didukung oleh sikap perempuan sendiri yang memposisikan diri sebagai makhluk yang lebih rendah dari laki-laki. Kehidupan perempuan di Indonesia masih jauh di belakang dibanding dengan kehidupan perempuan di negara maju. Kurangnya


(17)

commit to user

xvii

pengetahuan dan rendahnya tingkat pendidikan menambah parah keadaan ini. Tanggapan terhadap masalah ini disikapi dengan berbagai bentuk, salah satunya dengan mengangkat tema tentang perempuan ini ke dalam sebuah pertunjukan panggung, salah satunya pementasan teater di samping seni tari sebagai media pertunjukan.

Pementasan teater bertema perempuan secara tidak langsung dapat menggambarkan keadaan masyarakat saat ini, seperti misalnya pementasan teater berjudul Wajah Sebuah Vagina yang dipentaskan oleh Klompok Tonil Klosed Surakarta. Melalui pementasan tersebut, sutradara mencoba mengkomunikasikan kondisi dan potret kehidupan seorang perempuan Indonesia yang mengalami berbagai konflik dalam hidupnya terkait dengan keadaannya sebagai perempuan.

Pementasan teater yang akan dikaji di sini berjudul Wajah Sebuah Vagina. Awalnya berupa sebuah novel karya Naning Pranoto, kemudian dialihtekskan menjadi sebuah naskah teater oleh Wijang Wharek. Dengan judul yang sedemikian lugas, pementasan teater ini tidak melulu ingin menunjukkan kevulgaran dari kata vagina, namun pementasan ini hendak membawa pesan moral yang ingin disampaikan oleh penulis. Tema tentang kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan yang sejak dulu ada dinilai masih relevan hingga saat ini. Melalui garapan yang mengandung banyak komposisi gerak teater serta simbol-simbol teatrikal, pementasan teater ini berusaha


(18)

commit to user

xviii

mengeksplorasi naskah pertunjukan secara gamblang dan khas garapan Klompok Tonil Klosed.

Tema tentang perempuan telah banyak menginspirasi sejumlah penulis untuk membuat karya tentang perempuan. Novel Nawal El Saadawi “Perempuan di Titik Nol” yang bercerita tentang perempuan terpenjara, pementasan “Vagina Monolog”, sampai pada novel “Perempuan Berkalung Sorban” yang telah difilmkan. Tema perempuan tidak akan pernah habis, karena banyak sekali aspek yang bisa digali tentang perempuan, tentang feminisme, tentang kekerasan terhadap perempuan, diskriminasi perempuan maupun persoalan gender.

B. PERUMUSAN MASALAH

Teater sebagai media komunikasi berfungsi sebagai penyampai pesan dari penulis maupun sutradara kepada penonton sebagai penerima pesan. Teater dilihat sebagai sebuah bentuk media penyampai pesan mempunyai karakteristik tersendiri yang berbeda dibandingkan dengan media pesan lainnya. Dalam penyampaiannya, teater banyak menggunakan bahasa non-verbal untuk menggambarkan pesan yang ingin disampaikan. Pesan yang terkandung dalam sebuah pementasan teater diwujudkan melalui unsur-unsur teater, yang mencakup: pemilihan kostum, pemilihan artistik panggung, dialog para pemain, keaktoran pemain, tata cahaya, maupun dari cara penyutradaraan yang kesemuanya merupakan lambang/ simbol yang mempunyai makna tersendiri.


(19)

commit to user

xix

Makna di sini berupa penginterpretasian oleh sutradara dengan benda-benda atau unsur pementasan yang digunakan dalam penyampaian pesan tersebut.

Sebuah pementasan teater merupakan penyampaian pesan, begitu juga dengan pementasan teater berjudul Wajah Sebuah Vagina yang mengandung makna kompleks dan kaya akan tanda-tanda dan simbol mengenai kekerasan terhadap perempuan.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menjelaskan bagaimana kekerasan terhadap perempuan digambarkan melalui tanda-tanda dalam pementasan teater Wajah Sebuah Vagina?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kekerasan terhadap perempuan yang digambarkan melalui tanda-tanda dalam pementasan teater

Wajah Sebuah Vagina.

D. KAJIAN PUSTAKA 1. Penelitian Terdahulu

Sampai saat ini telah banyak penelitian yang meneliti tentang teater. Hal ini disebabkan oleh sekup dan ruang lingkup teater sendiri yang amat luas, mulai dari penelitian akademik yang bersifat sastra sampai pada penelitian mengenai kehidupan sosial dalam komunitas teater. Teater bisa diartikan sebagai sarana apresiasi proses berkesenian namun juga menjadi sebuah wadah tempat


(20)

commit to user

xx

berkumpulnya orang-orang yang mempunyai kesamaan visi dan membentuk sebuah komunitas maupun organisasi teater.

Salah satu penelitian terhadap teater pernah dilakukan oleh Yudho Wahyanto pada tahun 2006 yang meneliti makna pesan dalam naskah teater berjudul “Aib” karya Putu Wijaya. Dalam karya skripsinya yang berjudul KEBOBROKAN BANGSA DALAM NASKAH TEATER, Yudho Wahyanto menggunakan analisis semiotik Roland Barthes untuk meneliti lambang-lambang berupa teks yang terdapat dalam naskah teater tersebut. Dalam pandangan peneliti, naskah karya Putu Wijaya tersebut mengandung makna yang kompleks dan kaya akan konstruksi tanda-tanda simbol dan lambang serta tersirat makna kebobrokan yang digambarkan melalui tokoh-tokoh dan adegan. Selain itu naskah teater “Aib” mempunyai kekuatan dalam menggambarkan kondisi bangsa Indonesia (Yudho Wahyanto, 2006: 5).

Naskah tersebut menceritakan keadaan sebuah negara yang sedang mengalami kemunduran moral seperti menggambarkan keadaan negara Indonesia pada saat ini yang sedang dilanda kebobrokan. Dalam penelitiannya, Wahyanto menentukan beberapa korpus yang digunakan sebagai fokus penelitian yang dipandang sebagai representasi keadaan Bangsa Indonesia. Terdapat 7 buah korpus yang ditemukan dalam naskah ini, yaitu: 1). Tentang karakteristik bangsa Indonesia yang majemuk, 2). Tentang kebobrokan moral, 3). Ketidakdisiplinan sebagai cermin masyarakat Indonesia, 4). Kesejahteraan dan kepentingan rakyat yang kurang diperhatikan pemerintah, 5). Saling melempar


(21)

commit to user

xxi

tanggung jawab sebagai bentuk lemahnya mental masyarakat Indonesia, 6). Penyelesaian masalah menggunakan kekerasan, dan 7). Perlawanan rakyat sebagai bentuk usaha dalam mencari keadilan. Korpus-korpus tersebut diteliti dengan menggunakan analisis semiotik Roland Barthes yaitu signifikasi 2 tahap melalui makna denotasi dan konotasi. Korpus yang telah ditentukan tersebut masing-masing diinterpretasi dengan penarikan makna denotatif kemudian makna konotatif untuk mengetahui apa makna yang terkandung dalam korpus tersebut. Dalam kajian Yudho Wahyanto yang berlatar belakang Ilmu Komunikasi ini, dia menyebutkan bahwa sebuah naskah teater merupakan media penyampai pesan kepada masyarakat yang memungkinkan adanya distribusi sebuah ideologi teks naskah teater ke khalayak yang lebih luas maupun sebagai alat propaganda penyebaran ideologi nasionalisme kapada masyarakat.

Dalam penelitian lain yang ditulis oleh Muchlis Daroini (2007) sedikit banyak juga mengupas tentang kekuatan pesan dalam sebuah naskah teater. Dalam skripsinya yang berjudul PESAN DAKWAH DALAM NASKAH PROFETIK TEATER ESKA UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA tersebut, Muchlis Daroini mengambil 3 judul naskah teater Eska yang menurutnya sarat akan pesan dakwah yaitu Hingga Perbatasan Hari, Berdiri di Tengah Hujan dan Togh-Out. Dalam penelitiannya tersebut, peneliti menggunakan analisis isi untuk mengupas makna pesan profetik yang ada dalam ketiga naskah teater tersebut.

Penelitian ini menemukan ada 3 jenis pesan etik profetik yang terkandung dalam setiap naskah, 1). Pesan Akhlaqul Karimah yang merupakan bagian dari


(22)

commit to user

xxii

unsur profetik yaitu humanisasi. Di dalamnya mengandung ajaran-ajaran humanisme yaitu pentingnya ilmu bagi manusia, kesabaran, amanah, keikhlasan dan kekuasaan yang adil serta berpihak kepada rakyat, 2). Pesan Syariah yang dimaknai sebagai penegakan hukum dan keadilan sosial (Liberasi) seperti dihapuskannya diskriminasi terhadap perempuan, terhapusnya kesewenang-wenangan, terhapusnya hegemoni budaya dan anjuran dihentikanya perang karena hanya akan menyengsarakan masyarakat sipil, dan 3). Pesan Aqidah (Transendensi) yaitu perdamaian yang berakar pada essensi ketauhidan, pluralisme dalam beragama dan bermasyarakat.

Menurut peneliti, media seni seperti naskah teater bukan hanya sebagai sarana penyaluran ekspresi berkesenian saja namun bisa menjadi sarana dakwah penyampaian pesan kebaikan. Di sisi lain, Teater ESKA merupakan komunitas seni di sebuah universitas Islam yang tentu saja tetap mengemban misinya sebagai sarana dakwah. Berkaitan dengan dakwah tersebut jika memakai teori Kuntowijoyo; seni dalam konteks ini naskah teater sebagai karya sastra diposisikan bukan hanya sebagai alat dakwah tetapi proses berkesenian – yang bukan sekedar hasil, tapi adalah simbol dari sebuah peradaban. Sehingga pesan dakwah dari sebuah karya seni dapat ditangkap karena merupakan ekspresi dari keislaman itu sendiri (Daroini, 2007: 42).

Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pesan yang dikaji dari beberapa peneliti sebelumnya hanya sebatas teks saja, sedangkan pesan yang terkandung dalam teater baru bisa tersampaikan apabila


(23)

commit to user

xxiii

telah dipentaskan. Selain itu pesan teater dapat lebih mudah ditangkap dalam pementasan dibanding pada saat masih berupa teks naskah.

2. Kajian Teori

Teori adalah himpunan konstruk (konsep) definisi dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematika tentang gejala dengan menjabarkan relasi antara variabel untuk menjelaskan gejala tersebut (Jalaluddin Rahmat, 1996: 6).

Menurut istilah, komunikasi bermakna bersama-sama (common,

commones : Inggris). Istilah komunikasi (Indonesia) atau communication (Inggris) itu berasal dari bahasa Latin—communicatio yang berarti pemberitahuan, pemberian bagian, pertukaran di mana si pembicara (komunikator) mengharapkan pertimbangan atau jawaban dari pendengarnya. Kata sifatnya

communis mempunyai arti bersifat umum atau bersama-sama. Kata kerjanya

communicare, artinya berdialog, berunding atau bermusyawarah (Anwar Arifin, 1992: 19).

Komunikasi, menurut Carl I. Hovland (dalam Onong U. Effendy, 1981: 12) yaitu “the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (ussually verbal symbols) to modify the behaviour of other individuals (communicates)” yang artinya “proses di mana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang (biasanya dalam bentuk kata-kata) untuk merubah perilaku orang-orang lain (komunikate)”.


(24)

commit to user

xxiv

Komunikasi bukan sekedar tukar-menukar pikiran serta pendapat saja, akan tetapi kegiatan yang dilakukan untuk berusaha mengubah pendapat dan tingkah laku orang lain. Definisi komunikasi kemudian juga digambarkan oleh Harold Lasswell dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Who? Says what? In which channel? To whom? With what effect? Atau “siapa”, “mengatakan apa”, “dengan saluran apa”, kepada siapa”, dan “dengan akibat atau hasil apa” (Deddy Mulyana, 2000: 30). Dari paradigma Lasswell tersebut komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Melalui media yang tepat maka kemudian gambaran mengenai komunikasi menurut Lasswell tersebut dapat dijawab.

Kehidupan manusia tak pernah lepas dari apa yang dinamakan dengan komunikasi. Dengan melakukan komunikasi, manusia bisa saling tukar informasi. Karena bentuk jaringan interaksi yang kompleks bagi manusia. Komunikasi merupakan salah satu aktivitas kehidupan yang tidak mungkin ditinggalkan. Setiap orang berkomunikasi, baik secara individu maupun kelompok. Tanpa komunikasi, kehidupan sosial tidak akan berjalan. Orang tidak bisa menyampaikan apa yang menjadi pendapatnya kepada orang lain, karena komunikasi pada dasarnya adalah kegiatan pertukaran pesan dari satu individu atau kelompok dengan individu atau kelompok lain. Dengan komunikasi, manusia dapat saling mengenal, saling kontak dengan yang lain sehingga terjadi pertukaran informasi, ide, dan pengalaman.


(25)

commit to user

xxv

Sebagai kegiatan pertukaran pesan dari sumber pesan (komunikator) kepada penerima (komunikan), komunikasi terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima olah komunikan. Jadi antara komunikator dan komunikan harus memiliki frame of reference yang sama (Jalaluddin Rahmat,1996:280).

Menurut Onong U. Effendy (1999: 11) proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder. Proses komunikasi secara

primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol) sebagai media. Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi, adalah proses membuat pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Yang kedua yaitu komunikasi secara

sekunder. Proses secara sekunder adaalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain, dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Penggunaan media kedua ini dimaksudkan apabila seorang komunikator berkomunikasi dengan komunikan sebagai sasarannya dan berada di tempat yang relatif jauh atau jumlahnya banyak.

Akan halnya teater, juga merupakan media komunikasi sekunder, teater menyampaikan pesan kepada khalayak dengan sajian yang dipentaskannya. Media-media seperti televisi, surat kabar, radio, film maupun pertunjukan teater dinilai efisien dalam hal penyampaian pesan kepada khalayak, karena dengan


(26)

commit to user

xxvi

satu kali saja dalam penyampaian pesan akan sudah dapat tersebar luas kepada khalayak yang jumlahnya banyak (massive).

3. Teater

Menurut asal katanya teater berasal dari bahasa Yunani teatron, yang berarti sebuah tempat pertunjukan yang sangat besar. Teater juga bisa diartikan mencakup gedung, pekerja dan kegiatannya atau juga dapat diartikan sebagai semua jenis dan bentuk tontonan baik yang di panggung atau area terbuka (N. Riantiarno, 2003: 7).

Menurut pengertiannya, teater adalah salah satu bentuk kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya sebagai unsur utama untuk menyatakan dirinya yang diwujudkan dalam suatu karya seni suara, bunyi dan rupa yang dijalin dalam cerita pergulatan kehidupan manusia.

Ada beberapa definisi tentang pengertian teater, ada yang mengartikan teater sebagai “gedung pertunjukan”, ada yang mengartikan sebagai “panggung” (stage). Namun secara etimologi/ asal katanya, teater adalah gedung pertunjukan (auditorium) yang bisa menampung banyak orang. Dalam arti luas teater adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang dipertunjukan di depan orang banyak, misalnya wayang orang, ludruk, lenong, reog, sulapan. Sedangkan dalam arti sempit teater adalah kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan dalam pentas, disaksikan oleh orang banyak, dengan media, gerak, percakapan dan laku, dengan atau tanpa dekor (layer) yang didasarkan pada naskah tertulis (hasil seni sastra) dengan atau tanpa musik. Selain hal tersebut


(27)

commit to user

xxvii

teater juga bisa diartikan mencakup gedung, pekerja (pemain dan kru panggung), sekaligus kegiatannya (isi-pentas/ peristiwanya).

Teater merupakan aspek paling langsung dan bentuk paling tua dari kesenian. Kendati merupakan cabang kesenian yang sederhana, teater mampu menjadi penyalur inspirasi dan keinginan manusia untuk menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Dalam perkembangannya teater telah mengalami perubahan-perubahan. Namun ada satu kecenderungan yang selalu tetap, yang kemudian menempatkannya sebagai aspek langsung dari seni, yaitu penggambaran kembali dan pencerminan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, dalam dimensi ruang dan waktu yang sama yang ditempati penonton.

Unsur utama sebuah karya seni teater adalah lakon atau naskah cerita. Menurut Aston (dalam Satoto, 1994: 7) ada empat unsur yang membangun sebuah naskah drama/ teater yaitu: (1) wujud atau bentuk dramatik/dramatic shape, (2) tokoh/character, (3) dialog/dialogue, dan (4) petunjuk pementasan/stage directions.

Menurut Roedjito, teater merupakan pertunjukan dari serangkaian peristiwa, dengan pemeran sebagai materi baku utama, dalam upaya mengungkapkan pengalaman. Dengan demikian, impersonifikasi (peniruan) atau peniruan peran (role playing) tidaklah penting. Seluruh aktifitas pertunjukan, dari serangkaian peristiwa, dituntut untuk memenuhi logika peristiwa (Roedjito, 1998: 74).


(28)

commit to user

xxviii

Dari rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur teater menurut urutannya adalah sebabagai berikut :

a. Tubuh, manusia sebagai unsur utama ( pemeran/ pelaku/ pemain) b. Gerak, sebagai unsur penunjang.

c. Suara, sebagai unsur penunjang ( kata/untuk acuan pemeran) d. Bunyi, sebagai unsur penunjang ( bunyi benda,efek dan musik). e. Rupa sebagai unsur penunjang ( cahaya, rias dan kostum.).

f. Lakon sebagai unsur penjalin ( cerita, non cerita, fiksi dan narasi ).

Unsur-unsur tersebut merupakan bagian dari teater yang mutlak ada dalam setiap pementasan teater. Karena dalam penyampaian pesannya menggunakan teater sebagai sarana komunikasi kepada penontonnya.

Teater sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan modern memiliki wilayah estetis yang eksklusif dan tertutup, dengan keterbatasan sekaligus kelebihan yang sesungguhnya menjadi karakteristiknya yang membedakannya dengan televisi, film, dan sebagainya.

Teater dapat dirumuskan dalam pengertian sebagai suatu kegiatan berekspresi yang bertolak dari alur cerita yang dipertunjukkan, dengan menggunakan tubuh sebagai media utama yang dalam proses penciptaannya dengan menggunakan unsur gerak, suara, bunyi dan rupa (wujud) yang akan disampaikan kepada penonton. (Achmad, 2005: 3 ).


(29)

commit to user

xxix

Berdasarkan pengertian tersebut, arti teater dapat dibagi menjadi 2 yaitu tetaer dalam arti luas dan teater dalam arti sempit. Dalam arti luas teater adalah segala macam tontonan yang dipertunjukan di depan banyak orang. Sedangkan dalam arti sempit teater adalah drama, kisah hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan dan diproyeksikan di atas pentas sebagai suatu bentuk kualitas komunikasi, situasi, aksi, (dan segala apa yang terlihat dalam pentas baik secara obyektif maupun subyektif) yang menimbulkan perhatian, kehebatan, ketrenyuhan dan ketegangan perasaan pada pendengar atau penontonnya dimana konflik sikap dan sifat manusia sebagai tulang punggungnya. Disajikan dengan media percakapan, gerak dan laku. Dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah tertulis (sebagai hasil sastra) atau secara lisan, improvisasi, dengan atau tanpa musik, nyanyian maupun tarian.

Meluasnya teater yang bergerak di bidang penyadaran dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia mulai marak sejak tahun 1950-an, tetapi dalam prosesnya berubah menjadi gerakan bawah tanah di tahun 1965. Baru kemudian di awal tahun 1980-an generasi baru seniman teater dari Yogyakarta kembali menyuarakan kritik-kritik politik di bidang kesenian. Proses tersebut terinspirasi dari suksesnya pelatihan-pelatihan dan kerjasama yang dibangun di Philipina, dengan berbagai kelompok macam kelompok teater yang menyuarakan pembebasan.

Pementasan teater merupakan suatu bentuk pengembangan produk kebudayaan yang mengalami perluasan pandangan dan ekplorasi. Juga


(30)

commit to user

xxx

merupakan hasil kerja kolaboratif dari sejumlah pikiran kreatif, yang menghasilkan suatu keutuhan, saling mendukung dan saling melengkapi. Unsur-unsur yang terlibat dalam proses pembuatan sebuah pementasan teater antara lain: sutradara, yang menemukan tema yang dimaksud kemudian mengungkapkannya ke dalam bentuk garapan; para aktor, serta tim artistik yang mengatur dan menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan keindahan audio dan visual yang meliputi setting, lighting, make up dan kostum, serta musik pengiring.

Seluruh unsur yang terlibat dalam proses pementasan teater memiliki peranan yang sangat penting dan saling terkait satu sama lain. Apabila salah satu unsur tersebut mengalami gangguan, maka isi proses produksi dari pementasan tersebut juga akan mengalami gangguan. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama yang baik antar masing-maing unsur yang terlibat untuk menunjang kelancaran suatu proses produksi sehingga dapat tercipta suatu hasil karya yang memuaskan.

Seni pertunjukan teater sebagai suatu hasil kebudayaan selalu mengalami perkembangan, mengikuti gerak kebudayaan. Kebudayaan muncul dan tumbuh di masyarakat sehingga segala gerak dan dinamisasi yang terjadi di masyarakat dapat mempengaruhi kebudayaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

4. Teater sebagai Salah Satu Media Komunikasi

Teater merupakan salah saru media seni peran yang bisa berfungsi sebagai media komunikasi yang pada hakekatnya merupakan suatu wadah,


(31)

commit to user

xxxi

tempat dari pengalaman manusia yang sudah diringkas-padatkan. Pengalaman yang terjadi dalam suatu konteks, dari suatu situasi kebudayaan aktual, yaitu saat di mana seseorang berada bersama yang lainnya dalam kehidupan yang kini dan nyata.

Teater dapat dianggap sebagai gejala sosial karena ia mempresentasikan situasi sosial, suatu persekutuan sosial, ia membangun suatu kerangka sosial teretntu yang didalamnya para aktor merupakan bagian yang integral. Teater merupakan gejala sosial karena teater tidak mungkin terbentuk tanpa adanya sekelompok aktor. Kelompok aktor ini biasanya sangat menyatu, mereka begitu aktif, hidup dan kohesif, namun juga penuh dengan konflik, persaingan, intrik dan pertentangan.

Pada saat bersamaan, sebuah lakon yang dimainkan oleh aktor-aktor tersebut merupakan serangkaian tindakan yang tokoh-tokohnya harus dihidupkan. Hal ini menjadi tidak mungkin tanpa adanya beberapa kerangka sosial bagi kelompok tersebut: mereka harus bertemu bersama, bersatu, membentuk afiliasi, terpecah-pecah, serta saling menyesuaikan cara interaksi dan lingkungan sosial bersama-sama.

Pada setiap pertunjukan teater selalu terdapat penonton yang membentuk publik yang tidak jarang selera, kebutuhan, dan asal sosial mereka cukup beragam. Publik teater ini mungkin membentuk kelompok-kelompoknya sendiri yang anggotanya terdiri dari sekumpulan massa, mulai dari lingkungan kecil kenalan sampai pada sebuah komunitas (Amin, 2001: 51). Karena teater


(32)

commit to user

xxxii

selalu membutuhkan komunitas sebagai penyangga eksistensinya. Bahkan dalam teater tradisi, pertunjukan adalah bagian dari dinamika sosial komunitas atau masyarakat pendukungnya. Di sinilah, fungsi sosial teater menjadi penting karena dapat mengolah persoalan-persoalan sosial ke dalam pertunjukan.

Dalam hubungannya dengan komunikasi, teater berperan sebagai sarana/ media penyampai pesan kepada khalayak. Pesan yang disampaikan dalam pementasan tersebut berupa pesan nonverbal yang diungkapkan dalam bentuk simbol. Dale G. Leather menyebutkan beberapa alasan mengapa komunikasi nonverbal sangat penting: pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Ketika terjadi komunikasi tatap muka, gagasan dan pikiran lebih banyak tersampaikan melaui pesan-pesan nonverbal.

Kedua, perasaan dan emosi lebih cermat diampaikan lewat pesan nonverbal daripada pesan verbal. Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara sadar. Keempat, pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif (memberikan informasi tambahan yang memperjelas makna dan pesan) yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Kelima, pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Keenam, pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat (Rahmat, 1996: 287-289).


(33)

commit to user

xxxiii

Dalam sebuah proses penyampaian komunikasi, pesan merupakan hal yang utama (Effendy, 1995: 1). Definisi pesan sendiri adalah segala sesuatu, verbal maupun nonverbal yang disampaikan komunikator untuk mewujudkan motif komunikasi (Vardiansyah, 2004: 23). Pesan pada dasarnya bersifat abstrak, kemudian diciptakan lambang komunikasi sebagai media atau saluran dalam menghantarkan pesan berupa suara, mimik, gerak–gerik, bahasa lisan dan tulisan yang dapat saling dimengerti sebagai alat bantu dalam berkomunikasi.

Pertunjukan teater sebagai produk kebudayaan dapat digunakan sebagai sarana untuk komunikasi menyampaikan pesan tertentu (tema cerita) yang disampaikan secara eksplisit maupun implisit melalui isyarat, ekspresi, gerak tubuh (gesture), sikap, dan tanda-tanda atau lambang-lambang serta secara audio visual bertutur secara dramatik. Tanda dan lambang-lambang ini memiliki makna.

Pada hakikatnya semua seni termasuk pertunjukan teater bermaksud untuk dikomunikasikan kepada khalayak. Oleh karena itu, sebagai hasil pengungkapan nilai maupun hasil ekspresi perasaan manusia, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Makna adalah balasan terhadap pesan, makna baru timbul jika ada seseorang yang menafsirkan lambang atau tanda yang bersangkutan dan berusaha memahami artinya. Tanpa ada penafsiran, lambang tetaplah lambang tanpa ada makna khusus yang menyertainya. Pesan dalam bentuk tanda atau lambang ini diharapkan dapat ditangkap dan diinterpretasikan oleh khalayak yang menyaksikan pertunjukan teater tersebut. Seberapa jauh


(34)

commit to user

xxxiv

penonton dapat menangkap arti dan isi dari suatu pertunjukan teater yang dilihatnya, sangat tergantung dari latar belakang kebudayaannya, pengalaman hidup, pendidikan, pengetahuan dan perasaan, kepekaan artistik dan kesadaran sosial mereka.

Pada dasarnya, persepsi visual dan auditif itu bersifat subyektif. Dua orang penonton teater yang mengamati sebuah pertunjukan teater yang sama akan membuat persepsi yang berbeda. Kepekaan akan sisi dramaturgi dan pengalaman serta sudut pandang sangat diperlukan untuk dapat mengenali dan mencermati sebuah bentuk pementasan teater. Akan tetapi, ada kepekaan lain yang lebih penting yaitu kepekaan untuk mengenali dan menemukan nilai-nilai atau pesan-pesan yang terkandung di dalam sebuah karya.

Sebagai media komunikasi, teater menggunakan sarana panggung serta unsur-unsur pendukung sebuah pementasan dalam penyampaian pesannya. Alat tersebut dapat berupa media tubuh si aktor, cara berakting, setting properti yang mendukung, ilustrasi musik, dan tentu saja kostum yang sangat menentukan. Sebuah pertunjukan teater yang diselenggarakan di sebuah gedung kesenian kemasannya mungkin akan berbeda dengan pertunjukan teater yang diselenggarakan di sebuah kampung ataupun di sebuah pondok pesantren.

Dalam beberapa hal, teater atau yang dalam masyarakat kita lebih dikenal dengan istilah drama; kadang kala juga digunakan sebagai alat propaganda politik kepada masyarakat. Pada saat Indonesia mengadakan pesta demokrasi beberapa waktu yang lalu, banyak calon legislatif ataupun partai


(35)

commit to user

xxxv

politik yang mengadakan kampanye di kampung dan mengemasnya sebagai sebuah pertunjukan teater yang mengandung pesan politik. Teater atau drama tersebut disisipi pesan-pesan tertentu yang dirasa akan mudah diterima oleh masyarakat dan tidak terkesan semata-mata kampanye.

Seringkali juga dalam rangka memperingati hari-hari tertentu dan digelar demonstrasi, aksi teatrikal tak ketinggalan turut ambil bagian di dalamnya. Melalui aksi teatrikal, diharapkan pesan yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan.

Menurut Vardiansyah (2004: 23) proses pengolahan pesan sendiri merupakan bagian proses komunikasi yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1. Proses penginterpretasian pesan (interpreting) sebagai upaya mewujudkan motif komunikasi dalam diri komunikator.

2. Proses penyandian (encoding), yaitu usaha untuk mengubah pesan yang abstrak menjadi konkret, berupa proses pembentukan dan pemilihan lambang komunikasi yang sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.

3. Proses pengiriman (transmitting) pesan dalam bentuk lambang komunikasi oleh komunikator.

4. Proses perjalanan pesan dalam bentuk lambang komunikasi oleh komunikator.

5. Proses penerimaan (receiving) dalam bentuk lambang komunikasi pada diri komunikan.

6. Prosen penguraian (decoding) dalam bentuk lambang komunikasi kembali kepada pesannya oleh komunikan.

7. Proses penginterpretasian pesan (interpreting) denotatif dan konotatif sebagaimana dimaksud komunikator yang terjadi dalam diri komunikan.

Jadi melalui teater, terjadilah suatu proses penyampaian pesan yang kompleks mulai dari saat komunikastor menyampaikan pesan sampai pada akhirnya pesan tersebut dapat dipahami oleh audiens. Dalam objek kajian ilmu


(36)

commit to user

xxxvi

komunikasi dipelajari tentang bentuk pesan itu sendiri, makna pesan dan penyajian pesan kepada khalayak. Pola, isyarat maupun simbol dalam pesan itu sendiri tidak mempunyai makna, karena hanya perubahan-perubahan wujud perantara yang berguna untuk komunikasi, akal budi manusia penggunanya, serta apa yang dilambangkan (Kincaid & Schramm, 1987: 55).

Dunia dalam kehidupan manusia adalah dunia yang ditafsirkan segala sesuatunya menjadi sebuah makna: itulah sebabnya manusia berbahasa. Dalam bahasa manusia menemukan dunianya dan dalam bahasa itulah manusia berkomunikasi dan terjadilah pertukaran makna. Teater merupakan salah satu media yang dapat mempertemukan manusia dengan dunianya melalui sebuah pertunjukan di panggung dengan dengan bahasa dan maksud tertentu.

Dalam sebuah pertunjukan teater terdapat komunikasi verbal dan non verbal. Komunikasi verbal ditandai dengan penggunaan bahasa sebagai dialog yang diucapkan oleh para pemain. Bahasa adalah medium yang menjadi sarana dalam memaknai sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Hal ini dapat dilakukan bahasa karena bahasa beroperasi sebagai sistem representasi. Sedangkan komunikasi non verbal dalam sebuah pertunjukan teater ditunjukkan melalui adegan, termasuk di dalamnya adalah gerak tubuh, ekspresi wajah, cara pengucapan, gaya berpakaian dan lain-lain (Pearson & Nelson, 2001: 75).

Teater bisa berperan sebagai bahasa, melalui pertunjukan yang disajikan teater mengungkapkan maksudnya, menyampaikan pesan dan penonton


(37)

commit to user

xxxvii

berhubungan dengannya. Dengan bahasa yang mudah dimengerti maka pesan yang tersirat akan dapat sampai kepada penonton.

Terdapat kesepakatan di kalangan manusia untuk memberikan makna pada simbol-simbol yang mereka pakai. Namun seseorang yang tidak mengenal sandi (kode) atau ketentuan-ketentuannya, hanya akan dapat menerka saja makna simbol-simbol tersebut. Orang-orang tidak akan mempunyai makna yang tepat sama untuk simbol atau tanda yang sama, tetapi masing-masing makna yang dimiliki oleh mereka akan cukup mirip, dan mereka akan dapat menggunakan pesan yang sama itu bersama-sama, dengan begitu mereka berkomunikasi.

Makna sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar sesuai dengan kesepakatan para pemakainya sehingga dapat saling mengerti. Fatimah (1999: 6) mengatakan bahwa makna memiliki tiga tingkat keberadaan, yakni: (1) makna menjadi isi dari suatu bentuk kebahasaan, (2) makna menjadi isi dari suatu kebahasaan, dan (3) makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu. Pada tingkat pertama dan kedua dilihat dari segi hubungannya dengan penutur, sedangkan yang ketiga lebih ditekankan pada makna di dalam komunikasi.


(38)

commit to user

xxxviii

Sebagai media komunikasi, teater merupakan sarana yang menyampaikan gagasan seorang sutradara tentang suatu tema cerita tertentu kepada masyarakat yang kebanyakan merupakan refleksi dari kehidupan manusia. Penggambaran kehidupan masyarakat tersebut direpresentasikan melalui sebuah pertunjukan teater yang sarat akan makna dan pesan. Sebuah pertunjukan teater merupakan sebuah karya dari berbagai pihak yang terlibat di dalamnya dan merupakan sebuah hasil karya bersama. Artinya dalam sebuah proses menuju pementasan teater terdapat kerjasama di dalam satu tim yang saling mendukung. Selain itu sebuah hasil pementasan teater sebagai media massa juga dibuat untuk masyarakat umum, sehingga kebanyakan temanya tidak jauh dari realitas di masyarakat.

Sebagai sebuah representasi dari realitas, sebuah pementasan teater juga menyajikan potret hidup masyarakat dalam sistem budayanya yang kemudian dikembangkan sesuai dengan ideologinya sehingga dapat diterima dan memberikan pengetahuan baru bagi masyarakat yang bersangkutan. Meskipun teater merupakan sarana pemunculan realitas hidup masyarakat, namun teater juga memiliki semacam rambu maupun peraturan untuk dipatuhi. Yaitu tanpa menghilangkan unsur seni yang merupakan karakteristik dari sebuah karya teater. Antara seni teater dan masyarakat merupakan hubungan yang saling melengkapi, diantara keduanya terdapat interaksi dan menghasilkan mutualisasi. Dengan teater masyarakat dapat belajar mengembangkan kebudayaannya


(39)

commit to user

xxxix

melalui sifat refleksi tersebut dan seni teater dapat terus berkembang dengan inovasi-inovasi baru mengangkat berbagai tema ke atas panggung pementasan.

Peristiwa teater tidak bisa ditakar hanya dari kacamata estetisme saja. Lebih dari itu, teater adalah sebuah upaya untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan perubahan, yang dalam banyak hal muncul kritik sosial. Disana ide dalam pertunjukan teater adalah ide yang tumbuh di masyarakat. Kegelisahan dalam panggung teater adalah kegelisahan komunitas pendukungnya, penontonnya, dan masyarakatnya. Dengan kata lain, teater sampai pada fungsinya sebagai sebuah medium untuk menyampaikan kegelisahan sosial.

Tema-tema yang diangkat oleh teater sangat beragam, mulai dari kondisi sosial, ekonomi, politik, kebudayaan maupun wacana keberagaman (multikultural) yang posisinya dekat dengan masyarakat. Seperti yang diungkapkan oleh Heather Godall bahwa media tidak dapat dipisahkan dari masyarakat, tetapi sangat dekat dengan hubungannya, terutama dalam hal kaum wanita dengan kaum pria, kelas, usia, ras dan kelompok etnik (Godall, 1994: 47). Melalui karakter yang ditampilkan pada tokoh yang ada dalam sebuah pementasan teater, hal ini merupakan cerminan dari kehidupan nyata masyarakat.

Mengapa tema perempuan diangkat ke dalam pementasan teater? Kegelisahan muncul karena banyak fenomena tentang perempuan yang mengalami kekerasan baik itu dalam pengertian fisik maupun psikis. Tema ini dipandang perlu untuk disajikan dalam pementasan teater, karena tema tentang


(40)

commit to user

xl

perempuan masih menarik untuk di bahas dan ingin menunjukkan kepada khalayak bahwasanya isu tentang kekerasan terhadap perempuan masih terus berlanjut. Sebagai media komunikasi teater juga berperan serta dalam rangka sosialisasi terhadap masyarakat.

6. Kekerasan terhadap Perempuan

Berdasarkan sifatnya, kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) maupun tertutup (covert) dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensive) yang disertai penggunaan kekuatan kepada orang lain. Kekerasan juga bisa diartikan sebagai membawa kekuatan, paksaan dan tekanan. Menurut Johan Galtung kekerasan adalah penyebab perbedaan antara yang potensial dan yang aktual (Windhu, 1992: 64).

Tindakan kekerasan menghasilkan perusakan terhadap emosi, psikologi, seksual, fisik dan material. Tindakan kekerasan melibatkan penggunaan kekuatan atau perlawanan yang dilakukan individu-individu, atas nama mereka sendiri atau tujuan kolektif atau sanksi yang diberlakukan negara (Adam & Jessica Kuper, 2000: 1122).

Dalam bukunya Teori-teori Kekerasan, Thomas Santoso menuliskan pendapat Johan Galtung, bahwa kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Pemahaman Galtung tentang kekerasan lebih ditentukan pada segi akibat atau pengaruhnya pada manusia. Galtung tidak


(41)

commit to user

xli

membedakan violence acts (tindakan-tindakan yang keras, keras sebagai kata sifat) dengan acts of violence (tindakan-tindakan kekerasan). Galtung juga menguraikan enam dimensi penting dari kekerasan yaitu sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik dan psikologis; dalam kekerasan fisik, tubuh manusia disakiti secara jasmani bahkan sampai pada pembunuhan. Sedangkan kekerasan psokologis adalah tekanan yang dimaksudkan untuk meredusir kemampuan mental dan otak.

2. Pengaruh positif dan negatif; sistem orientasi imbalan (reward oriented) yang sebenarnya terdapat “pengendalian” tidak bebas, kurang terbua dan cenderung manipulatif, meskipuin memberikan kenikmatan dan euphoria.

3. Ada objek atau tidak; dalam tindakan tertentu tetap ada ancaman kekerasan fisik dan psikologis meskipun tidak memakan korban tetapi membatasi tindakan manusia.

4. Ada subjek atau tidak, kekerasan disebut langsung atau personal jika ada pelakunya dan bila tidak ada pelakunya disebut struktural atau tidak langsung. Kekerasan tidak langsung sudah menjadi bagian struktur itu dan menampakkan diri sebagai kekuasaan yang tidak seimbang yang menyebabkan peluang hidup tidak sama.

5. Disengaja atau tidak; bertitik tolak pada akibat dan bukan tujuan, pemahaman yang hanya menekankan unsur sengaja tentu tidak cukup untuk melihat, mengatasi kekerasan struktural yang bekerja secara halus


(42)

commit to user

xlii

dan tidak disengaja dari sudut korban, sengaja atau tidak, kekerasan tetap kekerasan.

6. Yang tampak dan tersembunyi; kekerasan yang tampak nyata (manifest), baik yang personal maupun struktural, dapat dilihat meski secara tidak langsung. Sedang kekerasan tersembunyi adalah sesuatu yang memang tidak kelihatan (latent) tetapi bisa dengan mudah meledak. (Santoso, 2002: 168-169)

Perempuan identik dengan diskriminasi akan jenis kelamin dan menjadi kaum yang kedudukannya di bawah kaum laki-laki. Budaya patriarki sendiri yang dianut masyarakat secara langsung membatasi hak-hak yang dimiliki perempuan. perempuan hanya dianggap mempunyai peranan rumah tangga saja dan tidak berperan dalam urusan publik.

Dari pemaparan di atas, terdapat ketidakadilan di dalam masyarakat. Ketidakadilan pemberian hak baik kepada kaum perempuan maupun laki-laki, di sini sama sekali tidak ada pengakuan persamaan gender. Latar belakang banyaknya hak-hak perempuan yang diabaikan dalam pola hidup masyarakat sendiri yang tidak pernah mengakui persamaan gender.

Dalam hal ini yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan adalah segala bentuk perlakuan baik fisik maupun mental yang membuat perempuan menderita baik secara fisik maupun mental. Yang termasuk dalam kekerasan terhadap perempuan dapat berupa penindasan, perlakuan tidak adil, maupun diskriminasi dalam berbagai bidang.


(43)

commit to user

xliii

Mengapa perempuan rentan pada tindak kekerasan? Menurut Coomaraswany dalam bukunya Freedom from Violence (1992) ada beberapa penyebab: 1). Karena kedudukan sosialnya dianggap lebih rendah, maka perempuan menjadi sasaran pemerkosaan. 2). Karena berhubungan dengan laki-laki, maka perempuan rentan terhadap penganiayaan dan perlakuan sewenang-wenang. Ini berkaiatan dengan anggapan bahwa perempuan merupakan milik laki-laki dan tergantung pada laki-laki, yaitu: ayah, suami, saudara laki-laki atau anak laki-laki. 3). Karena posisinya di masyarakat, perempuan gampang menjadi sasaran kemarahan, kebrutalan dan penghinaan pada komunitas di mana perempuan berada.

Di Indonesia sendiri, terdapat budaya yang membentuk perempuan sebagai sosok yang lemah lembut dan harus selalu menurut. Dalam hal ini terdapat mitos bahwasanya perempuan hanyalah “warga kelas dua” dan kedudukannya lebih rendah. Dalam pandangan Jawa, perempuan hanya dianggap sebagai “konco wingking” yang berarti hanya sebagai pelengkap seorang suami saja. Pandangan seperti inilah yang membuat posisi perempuan lebih rendah dan memungkinkan untuk munculnya ketidakadilan dan kekerasan.

Isu kekerasan terhadap perempuan merupakan permasalahan global yang dialami oleh perempuan di seluruh dunia dan telah menggugah lahirnya tindakan yang nyata. Di tahun 1993 , melalui badan PBB telah menyetujui penunjukan Pelaporan Khusus PBB mengenai masalah Kekerasan Terhadap Perempuan (Special Rapporteur on Violence Against Women) dan disepakati


(44)

commit to user

xliv

Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan pada 20 desember 1993. (Jurnal Perempuan edisi 45, 19-20). Kekerasan terhadap perempuan dinilai sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Dengan adanya deklarasi tersebut diharapkan dapat meminimalisir kekerasan terhadap perempuan melalui tindakan tegas yang memberi sanksi kepada pelaku kekerasan.

Kekerasan terhadap perempuan tidak melulu berupa tindakan yang bersifat mencederai fisik namun juga bisa mengarah kepada munculnya gender violence (kekerasan gender). Munculnya kekerasan gender ini menunjukkan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi di lingkungan strata bawah maupun menengah saja akan tetapi meliputi seluruh strata. Kekerasan berbasis gender merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang secara serius menghalangi kesempatan perempuan untuk menikmati hak-hak dan kebebasannya atas suatu dasar kesamaan hak perempuan dan laki-laki. Hak-hak dan kebebasan tersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk tidak mengalami penganiayaan, kekejaman, hak untuk mendapat perlindungan yang sama sehubungan dengan norma-norma kemanusiaan pada saat konflik bersenjata nasional atau internasional, hak atas kebebasan dan keamanan seseorang, hak untuk mendapatkan kesamaan atas perlindungan hukum di bawah Undang-undang, dan hak untuk mendapatkan standard tinggi dalam hal kesehatan mental dan fisik (Jurnal Perempuan/25: 21).


(45)

commit to user

xlv

Pementasan teater sebagai salah satu dari media komunikasi mengandung pesan yang berbentuk tampilan secara audio visual di atas panggung. Sajian ini memerlukan pemaknaan yang lebih dari penonton. Untuk memberi kelengkapan atas proses pemaknaan terhadap pementasan tersebut, maka akan dilibatkan unsur-unsur yang mendukungnya secara keseluruhan. Dalam sebuah pementasan teater terhadap tanda yang memungkinkan untuk diinterpretasikan oleh penonton. Tanda-tanda ini dapat bersifat audio visual atau yang berhubunngan dengan indera lain. Setiap tanda dalam komunikasi harus memiliki 3 ciri khas, yaitu:

a. Harus memiliki bentuk fisik, karena indra harus mampu menerimanya. b. Harus menunjukkan sesuatu yang lain di luar dirinya.

c. Harus digunakan dan dikenal oleh orang lain sebagai suatu tanda. Jika suatu tanda tidak dapat dikenal dan dimengerti oleh orang lain maka tanda itu tidak dapat memberikan makna, sebab itu tidak bisa menjadi unsur dalam komunikasi (Eilers, 2001: 29).

Di sini, teater merupakan media komunikasi yang sarat akan makna. Sedangkan penonton yang menyaksikan pementasan teater juga mempunyai apresiasi dan bebas untuk menafsirkan simbol-simbol yang terdapat dalam medium teater tersebut. Seperti dikemukakan oleh John Fiske dalam jurnal yang ditulis oleh Sonia Katyal yang berjudul Semiotic Disobedience:

“John Fiske, coined the term "semiotic democracy" to describe a world where audiences freely and widely engage in the use of cultural symbols in response to the forces of media.”


(46)

commit to user

xlvi

Semiotika atau semiologi secara etimologis berasal dari kata semeion

yang dalam bahasa Yunani berarti ‘tanda’. Sehingga sebagai suatu disiplin ilmu, semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: caranya berfungsi, hubungannya dengan tanda–tanda yang lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (Sudjiman dan Zoest, 1996: 5).

Semiotik bukan hanya hal mengkaji tanda-tanda di sekitar kita. Namun juga telah menjadi sistem tanda pada kegiatan komunikasi. Seperti yang ditulis oleh Pamela Nilan dalam jurnal komunikasi massa dengan judul Applying Semiotic Analysis to Social Data in Media Studies:

“Semiotics is now a field of study involving many different theoretical stances and methodological tools. Semiotics involves the study not only of ‘signs’ in everyday speech, but of anything which ‘stands for’ something else. In a semiotic sense, signs take the form of words, images, sounds, gestures and objects. Contemporary semioticians study signs not in isolation but as part of semiotic ‘sign systems’ (such as a medium or genre), and are thereby concerned not only with communication but also with the construction and maintenance of reality.”

Mengemukakan simbol-simbol dalam seni teater berarti menjelaskan bagaimana hubungan antar unsur tersebut sehingga mencapai makna keseluruhan. Metode analisis semiotika dalam aplikasinya untuk penelitian ini adalah berorientasi pada pesan-pesan yang muncul dan melalui simbol-simbol apa pesan tersebut dimaknai dengan menggali hakikat sistem tanda yang


(47)

commit to user

xlvii

beranjak keluar dari tata bahasa dan yang mengatur arti teks yang rumit dan tersembunyi serta bergantung pada kebudayaan.

Hal ini kemudian menimbulkan perhatian pada makna tambahan

(connotative) dan arti penunjukkan (denotative) atau kaitan dan kesan yang ditimbulkan dan diungkap melalui penggunaan dan kombinasi tanda (Sobur, 2002:126-127).

Tanda (sign) merupakan pusat perhatian dalam pendekatan semiotik. Menurut John Fiske (1990: 40), terdapat 3 area penting dalam studi semiotik, yaitu:

1. The Sign itself. This consists of the study of different varieties of signs, of the different ways they have of conveying meaning, and of the way they relate to the people who use them. For signs are human construct and can only be understood if terms of the uses people put them to. (Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakannya. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang-orang yang menggunakannya.

2. The codes or systems into which signs are organized. This study covers the ways that a variety of codes have developed in order to meet the needs of a society of culture. (Kode atau sistem di mana lambang-lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat dalam sebuah kebudayaan).

3. The culture within which these codes and signs operate.

(Kebudayaan di mana kode dan lambang itu beroperasi).

Istilah semiotika pertama kali diajukan pada akhir abad ke sembilan belas oleh seorang filsuf pragmatis Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce

(1839-1941) untuk merujuk kepada “doktrin formal tanda-tanda”. Peirce mengusulkan kata semiotik sebagai sinonim kata logika. Menurut Peirce, logika


(48)

commit to user

xlviii

harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran ini menurut hipotesis teori Peirce yang mendasar dilakukan melaui tanda-tanda. “Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kita mempunyai kemungkinan yang luas dalam keanekaragaman tanda, diantaranya tanda-tanda linguistik merupakan kategori yang penting, tetapi bukan satu-satunya kategori.”

Peirce membatasi semiotika sebagai ilmu tentang tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimanya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakanya. Dasar pemikiran teori ini adalah: bahwa individu menggunakan tanda (sign) untuk menunjukkan suatu obyek tertentu.

1. Tanda (sign) diberikan untuk menggambarkan sesuatu gambaran dari sesuatu itu disebut makna (meaning).

2. Makna (meaning) akan bervariasi dari individu yang satu dengan yang lain tergantung dari referensi mereka.

Tanda yang digunakan oleh pengguna tanda adalah yang diketahui secara kultural oleh penggunanya. Pengetahuan tentang hal tersebut diperoleh melalui interaksi sosial sebagai anggota suatu masyarakat atau kultur budaya tertentu, berupa suatu bentuk pengalaman dalam menghadapi peristiwa. Suatu tanda dapat dipahami dan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh orang yang sama di tampat dan pada waktu yang berbeda.

Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan obyek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang ada


(49)

commit to user

xlix

dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut (Sobur,2002:114-115).

Berikut ini merupakan gambaran proses semiotika dalam bentuk segitiga yang dikembangkan oleh Peirce:

Bagan 1

Segitiga Makna Peierce

Tanda

Interpretant Obyek

Panah 2 arah menandakan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang dan ini memiliki efek di benak pengguna-interpretant. Harus disadari bahwa interpretant bukanlah pengguna tanda, tapi Peirce menyebutnya sebagai “efek penandaan yang tepat” yaitu konsep mental yang dihasilkan baik itu oleh tanda maupun pengalaman penggunanya terhadap objek. Interpretant kata (tanda dalam setiap konteks akan menghasilkan pengalaman pengguna atas kata itu dan dia tidaka akan menerapkannya pada sebuah kolase teknik), dan pengalamannya dengan institusi bernama “sekolah” sebagai objeknya. Jadi makna itu tidak tetap,


(50)

commit to user

l

dirumuskan dalam kamus, namun bisa beragam dalam batas-batas sesuai dengan pengalaman penggunanya. Batasan itu ditetapkan oleh konvensi sosial, variasi di dalamnya memungkinkan adanya perbedaan sosial dan psikologis di antara penggunanya.

Bagi Peirce, tanda “is something which stand to somebody for something in some respect or capacity”. Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau reprtesentamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yaitu ground,obyek,dan interpretant.

Atas dasar hubungan ini, Peirce mengadakan klasifikasi tanda sebagai berikut: 1. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibagi menjadi:

a. Qualisign : kualitas yang ada pada tanda

b. Sinsign : ekstensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda c. Legisign : norma yang dikandung oleh tanda

2. Tanda berdasarkan obyeknya dibagi menjadi:

a. Icon : tanda yang hubungan antara tanda dan penandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah, atau dengan kata lain, ikon adalah hubungan antara tanda dan obyek atau acuan yang besifat kemiripan.

b. Indeks : hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.


(51)

commit to user

li

c. Symbol : tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbiter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat. 3. Tanda berdasarkan interpretant dibagi menjadi:

a. Rheme : tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan.

b. Dicent sign: tanda yang sesuai kenyataan atau penanda yang menampilkan informasi tentang petandanya.

c. Argument : tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu (Sobur,2003:41-42)

Fokus atau studi utama pendekatan semiotika adalah teks. Dengan mengacu pada model Peirce, makna dalam suatu teks tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi diproduksi dalam interaksi antara teks dengan pengguna tanda. Teks dalam hal ini diartikan secara luas, bukan hanya teks tertulis. Segala sesuatu yang mempunyai sistem tanda tersendiri dapat dianggap sebagai teks. Ketika sebuah teks dan pengguna tanda berasal dari satu kultur atau subkultur yang relatif sama, interaksi keduanya lebih mudah terjadi, karena konotasi (makna tambahan) dan mitos (cara pencapaian suatu pengertian) dalam teks sudah menjadi referensi pengguna tanda yang bersangkutan.

Suatu tanda memiliki beragam makna ketika diinterpretasikan bahwa bisa pula bertentangan denga makna. Di antara semua jenis tanda-tanda yang ada yang terpenting adalah kata-kata. Kata dipakai sebagai sebuah tanda dari suatu


(52)

commit to user

lii

konsep atau ide. Sebagai ilmu tentang tanda, semiotika digunakan sebagai teknik atau metode dalam menganalisa dan menginterpretasikan sebuah teks. Seperti yang dinyatakan Komarudin Hidayat bahwa bidang kajian semiotika atau semiologi adalah mempelajari fungsi tanda dalam teks yang berperan membimbing pembacanya agar bisa menangkap pesan yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain semiologi berperan untuk melakukan interogasi terhadap kode-kode yang dipasang oleh penulis agar pembaca bisa memasuki bilik-bilik makna yang tersimpan dalam sebuah teks. (Sobur, 2003: 107)

Roland Barthes (1915-1980), membangun suatu model yang sistematis dengan nama negosiasi, saling berpengaruh antara ide atas pemaknaan dapat dianalisis. Barthes memberikan perhatian lebih pada interaksi tanda dalam teks dengan pengalaman personal dan kultural pemakainya. Fokus perhatian Barthes lebih tertuju pada gagasan tentang signifikansi dua tahap.

Tingkat pertama tanda ini disebut denotasi.denotasi ini menunjuk kepada “makna awam” atau “makna literal” yang secara obyektif hadir dan mudah dikenali.

Tingkat kedua tanda disebut konotasi. Konotasi merujuk kepada makna yang tersembunyi dibalik makna denotasi akan tetapi tergantung situasinya. Di level ini terbentuklah mitos.

Bagan 3

Signifikasi Dua Tahap Barthes


(53)

commit to user

liii

Seperti dikutip oleh Fiske, dengan model ini, Barthes menjelaskan bahwa signifikansi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna yang nyata dari tanda. Signifikansi tahap kedua yang disebut konotasi menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dan kebudayaannya. Pemilihan kata-kata kadang merupakan pilihan terhadap konotasi, misalnya kata “penyuapan” dengan “memberi uang pelicin”. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda dalam sebuah objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. (Fiske dalam Sobur, 2004: 128).

Konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahab, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum dengan denotasi dan konotasi yang dimengerti melalui konsep Barthes. Dalam pengertian umum denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya” kadang kala ada pula yang dirancu dengan referensi atau acuan. Proses signifikansi secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Barthes denotasi merupakan

Denotasi Signifier Signified


(54)

commit to user

liv

sistem signifikansi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. (Sobur, 2003: 70).

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman dalam Sobur, 2003: 71). Dalam mitos juga terdapat tiga pola dimensi, yaitu: penanda, petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, motos dibangun untuk suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain mitos adalah suatu pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai satu dominasi. Mitos primitif misalnya, mengenai hidup dan mati, manusia dan dewa, dan sebagainya. Sedangkan mitos masa kini, misalnya mengenai femininitas, maskulinitas, ilmu pengetahuan, dan kesuksesan. (Fiske dalam Sobur, 2004: 128). Menurut Susilo (dalam Sobur, 2004: 128), mitos merupakan suatu wahana di mana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya.

Secara teknis, Barthes menyebutkan bahwa mitos merupakan urutan kedua dari sistem semiologis, di mana tanda-tanda pada urutan pertama pada


(55)

commit to user

lv

sistem itu (yaitu kombinasi antara petanda dan penanda) menjadi penanda dalam sistem kedua. Dengan kata lain dalam sebuah sistem linguistik menjadi penanda dalam sistem yang disebut “penandaan”. Bathes menggunakan istilah khusus untuk membedakan sistem mitos dan hakikat bahasanya. Barthes juga menggambarkan penanda dalam mitos sebagai bentuk petanda sebagai konsep. Kombinasi kedua istilah seperti yang telah tersebut di ata merupakan penandaan. Penjelasannya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2

Perbandingan Bahasa dan Mitos

Bahasa Mitos

Penanda (Signifier) Petanda (Signified) Tanda (Sign)

Bentuk (Form) Konsep (Concept)

Penandaan (Signification)

Sumber: Arthur Asa Berger, Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, Tiara

Wacana, Yogyakarta, 2000, hal 56.

Menurut Barthes mitos adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian ia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin berubah menjadi sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode penandaan, yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai sebuah bentuk tidak dibatasi oleh objek pesannya, tetapi dengan cara apa mitos menuturkan pesan itu. (Berger, 2000: 83). Dengan demikian, ada batas-batas formal dari mitos, tetapi tidak ada batasan yang “substansial”. Sejarah mengkorvesikan realitas ke


(56)

commit to user

lvi

dalam turunan (speech) dan manusia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya bahasa mitos.

Semiologi Barthes yang menekankan semiologi pada tahap kedua mempunyai peran besar bagi pembaca untuk memproduksi makna. Hal ini menyebabkan terjadinya pergeseran pusat perhatian dari pengarang kepada pembaca. Menurut Barthes (dalam Kurniawan, 2001: 90) sebuah teks mempunyai dua unsur, yaitu writerlytext dan readerlytext. Writterlytext adalah apa yang dapat ditulis pembaca sendiri terlepas dari apa yang ditulis pengarangnya. Sedangkan readerlytext adalah apa yang dibaca, tetapi tak dapat ditulis, yakni teks terbaca yang merupakan nilai reaktif dari writerly text. Dalam hal ini Barthes beralasan karena tujuan karya sastra adalah untuk membuat pembaca tak selamanya seorang konsumen, tapi seorang produsen teks. Efeknya, teks kemudian menjadi terbuka terhadap segala kemungkinan. Pembaca akan berhadapan dengan pluralitas signifikasi.

Menurut pandangan Barthes, penyempurnaan teori semiotik Saussure, sebuah teks merupakan kontruksi tanda-tanda yang pemaknaannya dilakukan dengan jalan merekontruksi kembali tanda-tanda tersebut. Empat unsur tanda menurut Barthes yaitu:

1. Substansi ekspresi, misalnya suara dan artikulasi.

2. Bentuk ekspresi, yang dibentuk dari sintagmatik dan paradigmatik. 3. Sustansi isi, dilihat dari aspek emosional dan ideologis atau

pengucapan sederhana dari petanda, yaitu makna positifnya.

4. Bentuk isi, susunan formal petanda di antara petanda-petanda melalui hadir atau tidaknya sebuah tanda semantik. (Kurniawan, 2001: 56)


(1)

commit to user

cviii

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dalam bab ini akan disampaikan kesimpulan dari hasil penelitian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis dan setelah menginterpretasikan simbol dan tanda dalam pementasan teater, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penggambaran kekerasan terhadap perempuan pada tokoh utama wanita dalam pementasan teater berjudul Wajah Sebuah Vagina yang dipentasakan oleh Klompok Tonil Klosed Surakarta meliputi (a) kekerasan fisik dan (b) kekerasan non-fisik.

Dalam hubungannya ini, penggambaran kekerasan fisik dijumpai dalam beberapa bagian adegan kunci sebagai berikut:

i. Bentuk kekerasan fisik secara seksual, yaitu pada saat Sumira remaja diperkosa oleh lurah desanya. Bentuk kekerasan seksual banyak menimpa pada remaja bahkan anak-anak.

ii. Penganiayaan, yaitu saat Sumira dipaksa bekerja sebagai pelacur dan saat Sumira dikubur hidup-hidup oleh Mulder di Afrika.

Kemudian, penggambaran kekerasan non fisik dijumpai dalam beberapa bagian adegan kunci sebagai berikut:

i. Human traficking, yaitu pada saat Sumira dibawa ke Afrika oleh


(2)

commit to user

cix

ii. Ancaman/ intimidasi, yaitu pada saat Sumira difitnah sebagai anak PKI dan diancam akan dibunuh oleh lurah desanya apabila tidak segera pergi dari desa tersebut.

iii. Penghinaan, yaitu pada saat Mulder sudah bosan dengan Sumira maka ia tak segan-segan menghina, merendahkan dan menjelek-jelekkan Sumira di hadapan teman-temannya.

iv. Pelecehan seksual, yaitu saat Sumira ditekan Mulder untuk melayani teman-temannya.

Secara umum dalam pementasan teater ini terdapat kesan tentang kekerasan yang terjadi terhadap perempuan. Kekerasan yang terjadi lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki dibanding dengan perempuan itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kuasa laki-laki dalam masyarakat lebih dominan daripada perempuan, dan juga adanya anggapan di masyarakat jika perempuan memang lebih lemah daripada laki-laki.

Penggambaran kekerasan terhadap perempuan hampir ada dalam seluruh babak dalam pementasan teater ini. Hingga nampak kesan bahwa memang amanat yang ingin diangkat dalam pementasan ini adalah mengenai kekerasan terhadap perempuan. Keterbatasan alat/ properti untuk pementasan membuat simbol/ tanda yang tampak di panggung/ pementasan kurang mudah untuk dipahami. Namun, hal ini adalah pilihan bentuk pementasan dari sutradara.


(3)

commit to user

cx

Dari penelitian yang telah dilakukan ini, penulis menyadari akan adanya kekurangan di sana sini. Penulis juga menyadari akan keterbatasan kemampuan yang dimiliki, serta kendala-kendala yang dihadapi penulis dalam melakukan penelitian ini. Adapun keterbatasan penelitian yang ditemui penulis yaitu meliputi, media yang dianalisis adalah rekaman video yang tentu saja terpengaruh oleh angle atau teknik kamera yang digunakan dan bukan merupakan pergelaran langsung yang bisa menangkap seluruh suasana. Sedangkan hambatan yang dihadapi adalah terbatasnya referensi literatur tentang semiotika yang membahas teater, yang dapat mendukung penelitian. Serta belum adanya penelitian acuan yang mencukupi untuk meneliti lebih lanjut tentang pementasan teater.

Penelitian ini masih jauh dari sempurna, maka diharapkan kepada para peminat penelitian yang sejenis untuk melanjutkannya agar lebih luas dan dalam. Kekurangan dari penelitian ini yaitu mengabaikan apresiasi penonton yang sangat mungkin mempunyai sudut pandang yang berbeda dengan apresiasi sutradara maupun peneliti.


(4)

commit to user

cxi

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Alex Sobur, Analisis Teks Media. PT. Remaja Rosdakarya , Bandung, 2004. Arthur A Berger, Media Analysis Techniques. Atma Jaya, Yogyakarta, 2000. B. Aubrey Fisher, Teori–teori Komunikasi, terjemahan Soedjono Trimo. Remaja

Rosdakarya, Bandung, 1986.

Dedy Mulyana, Psikologi Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. _____, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung,

2004.

D. Lawrence Kincaid & Wilbur Schramm, Azas–azas Komunikasi Antar Manusia. LP3ES, Jakarta, 1987.

Hetty Siregar, Menuju Dunia Baru. Komunikasi, Media dan Gender. PT. Bpk Gunung Mulia, Jakarta, 2001.

John. Fiske, Introduction to Communication Studies. Routledge, London, 1990. Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest, Serba-serbi Semiotika. Gramedia, Jakarta. Nano Riantiarno, Menyentuh Teater, Tanya Jawab seputar Teater Kita.

Sampoerna Foundation, Jakarta, 2003.

Onong U. Effendy, M.A., Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung, 1981

_____, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999.

RMA. Harymawan, Dramaturgi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1986. Soediro Satoto, Pengkajian Drama II. Universitas Sebelas Maret Press, 1986. Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan. Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002. Jurnal Perempuan edisi 25, Jakarta, 2005.


(5)

commit to user

cxii

Eliana, Skripsi, Potret Ketertindasan Perempuan Oleh Obsesi Kecantikan, Analisis Semiotika Pesan Ketertindasan Perempuan Dalam Tari “Bedoyo

Silikon”, 2007.

Muchlis Daroini, Skripsi, Pesan Dakwah dalam Naskah Profetik Teater Eska Uin

Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Analisis Isi Naskah Teater, 2007.

Yudho Wahyanto, Skripsi, Kebobrokan Bangsa dalam Naskah Teater, Studi Analisis Semiotika Tentang Kebobrokan Bangsa Indonesia dalam Naskah Teater “AIB” karya Putu Wijaya, 2006.

INTERNET

Dian T Indrawan, Kekerasan terhadap Perempuan,

http://matarisehatiyogyakarta.blogspot.com/2009/08/kekerasan-terhadap-perempuan-bukti.html

Harja Saputra, Faktor-faktor Penyebab Prostitusi,

http://harjasaputra.wordpress.com/

Lamtiur Kristin Natalia Malau, Melirik Peta Human Trafficking di Indonesia, http://news.okezone.com/

Lusiana Indriasari, Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia, http://www.kesrepro.info/

Siswono, http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1076301474,83216

http://www.jurnalperempuan.com

JURNAL

Pamela Nilan, Applying Semiotic Analysis to Social Data in Media Studies, Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, No. 1, 1 Juli 2007.

Sonia Katyal, Semiotic Disobedience. Washington University Law Review, Vol. 84, No. 2, 2009; Fordham Law Legal Studies Research Paper No. 1015500.


(6)

commit to user