Koperasi Susu Koperasi .1 Definisi, Nilai dan Prinsip Koperasi

2.1.6 Koperasi Susu

Usaha peternakan sapi perah sebagai usaha rumah tangga yang semakin berkembang, baik jumlah ternak maupun rumah tangga yang mengelolanya. Demikian pula dengan para konsumen susu yang umumnya berada di kota, jumlahnya semakin hari semakin meningkat sejalan dengan pengertian yang makin luas dari masyarakat terhadap manfaat susu dan kemampuan ekonomi yang semakin meningkat pula Soedjono, 1997. Meskipun demikian, terdapat berbagai hambatan yang mempersulit perkembangan usaha peternakan sapi perah rakyat. Lokasi peternakan yang umumnya berada di daerah pegunungan, jauh dari kota dengan kondisi jalan yang kurang baik mempersulit peternak memasarkan susunya. Sedangkan sifat susu yang cepat rusak sehingga memerlukan pemasaran yang cepat pula. Kesulitan dan kelemahan peternak dalam menghadapi masalah pemasaran ini dimanfaatkan oleh para pengumpul atau tengkulak, yang dengan modal yang cukup besar dapat memborong susu para peternak dengan harga rendah. Akibatnya tingkat hidup para peternak sapi perah lambat berkembang, walaupun mereka telah bekerja keras. Keadaan yang demikian mendorong beberapa peternak sapi perah yang berpikiran maju untuk membentuk suatu wadah kerjasama dalam usahanya untuk dapat menolong dirinya sendiri, baik dalam produksi maupun pemasarannya. Gagasan ini mendapat dukungan penuh, baik dari jawatan kehewanan maupun jawatan koperasi, sehingga dibeberapa daerah kemudian terbentuk koperasi- koperasi. Pilihan pada bentuk koperasi sebagai wadah kerjasama ekonomi antar peternak sapi perah juga dilatarbelakangi oleh kondisi peternak sapi perah rakyat, yang pada umumnya merupakan usaha rumah tangga. Koperasi susu merupakan koperasi yang tumbuh dari bawah bottom-up dalam pendiriannya artinya usaha yang dilakukan dimulai dari kesepakatan bersama antara para peternak sapi perah yang ada bukan merupakan koperasi yang dikembangkan dari pemerintah. Pengalaman berbagai koperasi susu pada awalnya menunjukkan ada masalah besar yang dihadapi, khususnya dalam pemasaran. Koperasi peternakan sapi perah yang pertama didirikan di Indonesia adalah Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan GPPSIP, yaitu pada tahun1949. Karena suasana politik dan keadaan sosial ekonomi memburuk akhirnya mulai tahun 1963, GPPSIP menyerah dan tidak mampu lagi situasi ekonomi yang labil, sehingga tidak dapat berfungsi kembali sebagai koperasi. Koperasi-koperasi susu yang lahir berikutnya diantaranya Koperasi S.A.E Sinau Andandani Ekonomi Pujon tahun 1962, Koperasi Peternak Bandung Selatan KPBS di Pangalengan tahun 1969, Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara KPSBU di Lembang tahun 1971, Koperasi Peternak Lembu Perah KPLP Setia Kawan di Nongkojajar tahun 1977 dan koperasi-koperasi susu lainnya. Dari berbagai pengalaman koperasi-koperasi susu yang ada dahulu, pada umumnya masalah yang ditemukan adalah dalam menghadapi Industri Pengolahan Susu IPS yang terdiri dari pemilik modal kuat yang berasal adari Penanam Modal Asing PMA maupun Penanam Modal Dalam Negeri PMDN sangat berat. Selain produksinya yang menyerbu pasar sehingga mendesak pasaran susu murni, pihak IPS pun masih enggan menerima susu murni dengan koperasi sebagai satu bahan baku produksinya. Apabila mau menerima, jumlahnya relatif masih kecil dengan harga murah, dibawah biaya produksi peternak. Kondisi seperti yang dialami oleh koperasi susu pada awalpertengahan dekade tujuh puluhan tidak terlepas dari kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan ekonomi. Pada Pelita I dan II bentuk usaha yang dikembangkan banyak yang bersifat cepat meghasilkan misalnya ayam ras dan sapi potong. Dalam hal ini pemerintah belum menaruh perhatian pada bidang sapi perah. Pada saat perhatian kearah persususan sudah timbul, maka kebijakansanaan pemerintah ditujukan kepada penanganan susu pasca produksi. Pemerintah memutuskan membangun IPS terlebih dahulu. Pada tahun1978 beberapa IPS sepakat untuk berperan serta secara aktif dengan mengambil susu segar dari koperasi susu. Keberhasilan koperasi susu memasuki pasaran IPS, yang berarti adanya jaminan pasar mempunyai dampak positif pada aspek lain dari pengembangan peternakan sapi perah, yaitu pada pengadaan sapi perah bibit, khususnya yang berasal dari impor. Untuk memperkuat koperasi-koperasi susu dan adanya kebutuhan terhadap suatu lembaga yang mampu memiliki aspirasi koperasi susu tingkat primer, maka koperasi-koperasi susu berupaya mewujudkan kerja sama. Akhirnya terbentuk Gabungan Koperasi Susu Indonesia GKSI tahun 1979 sebagai organisasi koperasi susu tingkat sekunder yang berskala nasional. GKSI sebagai koperasi sekunder dari koperasi-koperasi susu bertugas untuk melaksanakan segala sesuatu yang secara sendiri-sendiri tidak bisa dilaksanakan oleh koperasi-koperasi susu anggotanya. Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, koperasi persususan merupakan pola manajemen usaha agribisnis persusuan yang terdiri dari usaha pra-produksi, produksi dan post-produksi. Kegiatan GKSI terutama pada unsur pra produksi yang mencakup pengadaan pakan ternak, peralatan persusuan dan tehnis peternakan serta pengadaan bibit ternak sapi perah. Disamping itu juga unsur post-produksi yang mencakup pengolahan dan pemasaran susu diperhatikan GKSI. Sedangkan kegiatan usaha koperasi primer persusuan dan peternak terutama pada unsur produksi.

2.2 Organisasi