Kalimat efektif dalam buku terjemahan Fath al-Mu'in

(1)

Studi Kasus Bab “Shalat” dan “Adzan”

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh:

M. KHOAS RUDIN SODIK 107024002801

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

ii

Studi Kasus Bab “Shalat” dan “Adzan”

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk memenuhi persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh:

Muh. Khoas Rudin Sodik NIM: 107024002801

Pembimbing,

Dr. Abdullah, M.Ag NIP: 196108251993031002

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

iii Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memnuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta,

M. Khoas Rudin Sodik


(4)

(5)

v

M. Khoas Rudin Sodik. 107024002801. “Kalimat Efektif dalam Buku Terjemahan Fath Al-Mu’în Studi Kasus Bab “Shalat” dan “Adzan”. Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.

Fath Al-Mu’în karya Syaikh Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry membahas fiqh yang berisikan tentang hukum-hukum dan tata cara dalam ibadah maupun muamalah untuk kehidupan sehari-hari. Penulis hanya mengetahui bahwa Fath Al-Mu’în ini baru diterjemahkan oleh Drs. Aliy As’ad. Akan tetapi, dalam hasil terjemahannya masih banyak kalimat-kalimat yang kurang efektif sehingga sedikit berpengaruh terhada pemahaman pembaca..

Tujuan penelitian ini adalah untuk (1) menilai kualitas keakuratan pengalihan pesan, keberterimaan, dan keterbacaan kalimat dalam teks sasaran, dan (2) dan memberikan kualitas terjemahan yang efektif sesuai tata bahasa Indonesia yang berlaku. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-analitis dengan cara mengumpulkan data-data kemudian dianalisis data tersebut sesuai dengan terjemahan yang berupa kalimat efektif dalam bahasa Indonesia. Sumber data adalah berupa pustaka yang merujuk pada buku-buku mengenai terjemahan dan buku-buku bahasa Indonesia. Dokumen yang dianalisis berupa teks sebuah buku terjemahan mengenai fiqh yaitu buku terjemahan Fath Al-Mu’în berbahasa Arab dan hasil terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Dalam terjemahan buku Fath Al-Mu’în diterjemahkan menggunakan metode terjemahan secara harfiah sehingga menyebabkan:terdapat: (1) adanya kalimat yang tidak lengkap, (2) adanya ketidakutuhan dalam struktur sintaksis, (3) adanya kalimat yang tidak logis, (4) adanya ketidaktepatan diksi, (5) adanya ketidakefesien penggunaan kata, yaitu pemakaian kata kerja gabung, kata depan (atas, daripada, kepada). (6) pemadanan yang tidak tepat, (7) penghilangan yang


(6)

vi

Oleh sebab itu, tujuan penulisan skripsi ini adalah menganalisis terjemahan Fath Al-Mu’în agar lebih efektif dan pembaca dapat mudah memahami pesan yang disampaikan oleh penulis asli.


(7)

vii

Puji Syukur Selalu terpanjatkan ke hadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan berbagai banyak kenikmatan serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke paling agung akhlaknya, manusia yang tidak pernah pergi ke terminal tapi namanya selalu dikenal, manusia yang tidak pernah pergi ke Bogor, namun namanya selalu tersohor, manusia yang tidak pernah pergi ke Bandung, namun namanya selalu tersanjung, dia lah Nabi Besar Muhammad SAW,

Penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan atas terselesaikannya skripsi ini: terutama kepada Bapak Dr. Abdullah, M.Ag selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan, masukan, bimbingan yang sangat berharga bagi Penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta motivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas apa yang telah bapak lakukan dalam hal kebaikan terhadap Penulis. Terima kasih juga kami haturkan kepada:

1. Bapak Dr. H. Abd. Wahid hasyim, M.Ag. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Ahmad Syaikhudin, M.Ag selaku Ketua Jurusan Tarjamah yang telah meminjamkan beberapa bukunya untuk menyelesaikan penulisan skripsi 3. Bapak Syarif Hidayatullah, M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Tarjamah yang

telah ikut andil dalam memberikan motivasi dan dorongannya dalam mempercepat proses kelulusan kuliah.

4. Seluruh jajaran Dosen Tarjamah: Bapak Irfan Abu Bakar, M.A, Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bapak Drs. Ahmad Syatibi, M.Ag, Bapak Ali Hasan al-Bahr, LC, MA, Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA, dan lain sebagainya yang tidak bisa Penulis sebutkan namanya satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat dan ta’dzhim penulis kepada para dosen. Semoga selama Penulis belajar di Jurusan Tarjamah ilmu yang Penulis dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat di kemudian hari.


(8)

viii

6. Kedua orangtua tercinta, Bapak Muh. Aminullah dan Ibu Tuti Haryani yang tiada henti-hentinya mendoakan, mencurahkan kasih sayang, cinta dan dorongannya baik moril maupun materil, sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan baik dan maksimal.

7. Adik-adikku M. Ilham budi Utomo, M. Ali Nurdin, Soimatul Hidayah yang telah memberikan semangat dan bantuan-bantuannya.

8. Guruku, Ust. Nasaruddin yang selalu mengajari Penulis akan ilmu Bahasa Arab terutama masalah Nahwu dan shorof. Somoga ilmu yang sudah Penulis dapati agar bermanfaat dan mengetahui lebih dalam lagi mengenai bahasa Arab.

9. Guruku, Ust. Safrudin yang telah rela memberikan ilmu fiqhnya kepada Penulis dalam mengkaji Kitab Fath al-Mu’în serta ilmu nahwu.

10.Pimpinan Pondok Pesantren Salaf Daar al-Musthafa termasuk guruku KH. Ubaidillah Hamdan, yang turut aktif memberikan ilmu-ilmunya kepada Penulis.

11. Sahabat-sahabatku seperjuangan di Jurusan Tarjamah: Hilman, rahmat “mamat” (teman yang selalu menemani bermain-main di kampus), rezha, Sukron “Buluk”, Tohadi, Eka, Ibnu, Aisyah, Rahmawati, Nur Ahdiyani, Nur Hani “nenek”, Farida (teman yang selalu menemani dalam mencari referensi buku terkait pembuatan skripsi), Ismi, Syifa, Sa’adah, Ibnudin, Rido Dinata “Kondor” (teman yang selalu membuat canda dan tawa di kelas) dan seluruhnya yang Penulis tidak bisa sebutkan namanya satu-persatu, namun tidak mengurangi rasa persahabatan kita yang telah memberikan canda, tawanya, serta pinjaman referensinya yang begitu berharga Penulis ucapkan ribuan terima kasih.

12.Sahabat-sahabatku sepermainan di rumah: kiki “Balank”, hendra, rudi, bima, dian “pace” yang telah menghibur dan memberikan doanya dan canda tawanya di saat Penulis sedang kerepotan dalam proses penyusunan skripsi.


(9)

ix

karena berkat dorongan, motivasi, doanya skripsi ini bisa tercapai.

Tak ada untaian kata yang keluar, yang pantas Penulis ungkapkan kecuali ucapan terima kasih, semoga bantuan dan motivasinya dari seluruh pihak bernilai ibadah dan amal shalih di pandangan Allah SWT. Semoga Allah membalasnya dengan yang lebih baik dan semoga skripsi ini dapat beermanfaat bagi kita semua. Saran dan kritik konstruktif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.

Jakarta, M. Khoas Rudin Sodik


(10)

x

LEMBARPERNYATAAN ... iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... xii

Bab I: Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Tinjauan Pustaka ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 7

F. Sistematika Penulisan ... 8

Bab II: KERANGKA TEORI ... 10

A. Teori Tentang Penerjemahan ... 10

1. Pengertian Penerjemahan ... 10

2. Proses Penerjemahan ... 12

3. Metode Penerjemahan ... 14

B. Kalimat ... 20

1. Definisi Kalimat ... 20


(11)

xi

Bab III: INFORMASI UMUM BUKU FATH AL-MU’IN DAN

TERJEMAHANNYA ... 49

1. Buku Fath al-Mu’în …………... 49

a. Biografi Pengarang ... 49

b. Siatematika Kitab Fath al-Mu’în ... 50

2. Buku Terjemahan Fath al-Mu’în ... 53

a. Biografi Penerjemah ... 53

b. Isi Buku Terjemahan ... 55

Bab IV: PEMBAHASAN ... 57

1. Yang Jelas Kesatuan Gagasannya ………... 57

2. Subjek Ganda ... 62

3. Penggunaan Bentuk Panjang yang Salah ... 64

4. Melakukan Penonjolon kata Di Depan Kalimat …………... 71

5. Variasi Panjang Pendeknya Kalimat ... 75

6. Variasi Pembentukkan me- dan di- ... 79

7. Variasi dengan Posisi dalam Kalimat ... 82

Bab V: Penutup ... 84

A. Kesimpulan ... 84

B. Saran atau Rekomendasi ... 85


(12)

xii

latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam buku “Pedoman Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Pedoman Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Dibaca

ا a Tidak dilambangkan

ب b Be

ت t Te

ث ts te dan es

ج j Je

ح h h dan garis bawah

خ kh ka dan ha

د d de

ذ dz de dan zet

ر r er

ز z zet

س s es

ش sya es dan ye

ص s es dan garis di bawah

ض d de dan garis di bawah

ط t te dan garis di bawah

ظ z zet dan garis di bawah

ع ‘ koma terbalik di atas hadap

kanan

غ gh ge dan ha


(13)

xiii

ك

ل l el

م m em

ن n en

و w we

ھ h ha

ء ´ apostrof

ي y ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti voka bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

― A Fathah

̲ i Kasrah

̲ u Dammah

b. Vokal Rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و ̲ au a dan u

c. Vokal Panjang


(14)

xiv

ﻮ û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambagkan dengan huruf, yaitu لا, dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun huruf qomariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-diwân

bukan ad-diwân. 4. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda ---ﱢ dalam alihakasara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak perlu jika huruf yang menerima tanda syaddah

itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةروﺮﻀﻟا tidak ditulis aḏ-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.

5. Ta’ Marbûṯah

Jika huruf Ta’ Marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta’ Marbûṯah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta’ Marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh no.3)

6. Huruf Kapital

Menikuti EYD bahasa Indonesia, untuk paper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya). Seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf “al” a tidak boleh kepital.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kitab Fath al-Mu’în merupakan salah satu karya monumental ulama muta’akhirin dari kalangan Syafi’iyah yang menjadi standar kitab bagi pesantren di Indonesia. Bahkan di beberapa pesantren, kitab tersebut sebagai tolok ukur santri dalam penguasaan kitab Salaf. Sebuah Kitab kecil yang banyak sekali memiliki keunggulan dibanding kitab-kitab lain dan diajarkan hampir di semua pesantren yang berhaluan Ahli Sunnah Syafi’iyah di Dunia ini.

Kitab Fath al-Mu’în ini juga adalah Kitab Syarah Qurrah al-'Ain Fi Muhimmah al-Din, sebuah Syarah yang menjelaskan ma'na murod, kitab Qurrah al-'Ain sendiri merupakan karya Zain al-Din ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry. Kitab Fath al-Mu’în ini, seperti kitab-kitab fiqh yang lain membahas semua permasalahan

fiqhiyah, mulai dari Ubudiyah, Mu’amalah, Munakahah dan Jinayah dengan diklasifikasikan sesuai dengan bab-babnya.

Dalam pembahasan Shalat, kitab ini mudah untuk ditelaah, karena di dalamnya membahas kaifiyah atau tata cara Shalat. Kitab Fath al-Mu’în ini lebih runtut dibanding dengan kitab lain, karena dalam penyebutan, tidak diklasifikasikan sesuai dengan Fardlu dan Sunahnya, melainkan di sebutkan sesuai dengan kaifiyah itu. Metode seperti ini juga diterapkan dalam pembahasan haji dan umroh.


(16)

Kitab kuning mempunyai ciri khusus dalam penulisannya, di antaranya penulisan kitab kuning tidak mengenal tanda baca, pemberhentian, kesan bahasanya yang berat, klasik dan tanpa harakat. Ciri lain adalah terdiri dari dua bagian matn.

Matan yaitu teks asal atau inti dan syarh, yaitu komentar atau penjelas matn, matn

selalu diletakkan di bagian pinggir sebelah kanan dan kiri. Syarh diletakkan di bagian tengah setiap halaman kitab klasik.

Penerjemahan yang dilakukan para santri dan kyai di pesantren pada umumnya menggunakan kata demi kata, mengakibatkan tidak menghasilkan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Penerjemahan yang dilakukan bukanlah mengalihkan ide atau pesan bahasa sasaran, tetapi mengalihkan kata-perkata mengikuti bahasa sumber dan tidak memperlihatkan struktur bahasa sasarannya, sehingga ide atau pesan yang dimaksud oleh penulis atau pengarang tersebut masih kurang diperhatikan. Contoh sederhana adalah cara peletakkan fi’il dan fa’il. Dalam keterangannya fi’il itu dalam bahasa Indonesia bermakna kata kerja (predikat) sedangkan fa’il berarti subjek.

Kalimat efektif dalam konteks bahasaa diartikan sebagai kalimat yang memenuhi kriteria jelas, sesuai dengan kaidah, ringkas dan enak dibaca. 1 Dalam bahasa Indonesia, misalnya: jika bus ini mengambil penumpang di luar agen supaya melaporkan kepada kami. Kalimat tersebut kurang jelas maksudnya karena ada bagian yang dihilangkan atau tidak sejajar. Siapakah yang diminta “supaya melaporkan kepada kami?.” Ternyata imbauan ini untuk penumpang yang membeli

1


(17)

tiket di agen. Jika demikian kalimat tersebut harus diubah menjadi jika bus ini

mengambil penumpang di luar agen anda diharapkan melaporkannya kepada kami.

Jelaslah hubungan antara penerjemahan dengan kalimat efektif sesuai dengan apa yang telah dipaparkan di atas yaitu setiap gagasan, pikiran, atau konsep yang dimiliki seseorang pada praktiknya akan dituangkan ke dalam bentuk kalimat. Kalimat yang benar (dan juga baik) haruslah memenuhi persyaratan gramatikal. Artinya, kalimat itu harus disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku, seperti unsur-unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap kalimat (subjek dan predikat); memperhatikan ejaan yang disempurnakan, serta cara memilih kata (diksi), struktur dan logikanya yang terdapat dalam kalimat. Kalimat yang memenuhi kaidah tersebut jelas akan mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar. Seperti contoh dibawah ini:

Contoh lain seperti:

ﺔﻠﺠﻤﻟا

ﻞﻤﺤﺗ

نﺎﻤﺜﻋ

diterjemahkan menjadi: “usman membawa makalah”. Contoh kalimat tersebut tidak diterjemahkan sesuai susunan struktur kalimat bahasa Arab, yaitu menjadi membawa majalah usman. Terjemahan itu bukan merupakan kalimat efektif. Karena, dalam bahasa Indonesia tidak menggunakan kalimat sempurna dengan diawali dengan PSOK (predikat Subyek Obyek Keterangan). Pada umumnya kalimat disusun berdasarkan SPOK (Subyek Predikat Obyek Keterangan), dan susunan seperti itu merupakan susunan kalimat efektif.


(18)

ﺎﳘ

ﺔﻐﻟ

ﻡﻼﻋﻻﺍ

ﺎﻋﺮﺷﻭ

ﺎﻣ

ﻑﺮﻋ

ﻦﻣ

ﻅﺎﻔﻟﻻﺍ

ﺓﺭﻮﻬﺸﳌﺍ

ﺎﻤﻬﻴﻓ

Terjemahannya:

Adzan dan iqamah menurut arti bahasanya adalah “memberitahukan”, dan menurut ma’na syara; adalah bacaan berupa kalimat-kalimat seperti yang telah termasyhur diketahui dalam adzan dan iqamah.2

Jika kita cermati secara seksama, terjemahan di atas bukan merupakan kalimat efektif karena si penerjemah menerjemahkan teks tersebut menggunakan metode secara harfiah atau terjemahan kata demi kata. Kata arti sebaiknya dihilangkan saja. Untuk kata “dan” sebaiknya diganti “sedangkan”, Karena jika kata “dan” tetap digunakan, maka kalimat tersebut tidak nyaman dibaca. Pada kata

ةرﻮﮭﺸﻤﻟا

tetap diterjemahkan apa adanya yaitu “termasyhur” yang merupakan hasil penyerapan bahasa yang tidak tepat untuk diletakkan, sehingga diksi yang tepat untuk menerjemahkan kata tersebut yaitu “dikenal”.

Oleh karena itu, menurut Penulis agar terjemahan teks di atas menjadi kalimat yang efektif yaitu dengan membuang kata “arti” serta mengganti kata “dan” dengan

sedangkan. Sehingga terjemahannya menjadi,

2


(19)

secara bahasa, adzan dan iqamah berarti pemberitahuan. Sedangkan menurut syara’ (agama), adzan dan iqamah adalah ungkapan-ungkapan tertentu yang telah dikenal sebagai keduanya.”

Karena memandang bahwa kitab ini sangat penting bagi masyarakat luas, maka Penulis ingin meneliti sejauh mana efektivitas terjemahan dalam menerjemahkan kitab Fath al-Mu’în ini.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Melihat latar belakang di atas, penulis tertarik untuk membahas terjemahan yang digunakan oleh Drs. H. Aliy As’ad dalam terjemahan buku Fath al-Mu’în. Buku ini menjadi rujukan untuk belajar-mengajar di pondok-pondok pesantren baik salafi maupun modern dan di tengah masyarakat yang kurang memahami bahasa Arab.

Akan tetapi, mengingat buku terjemahan tersebut begitu kompleks, maka Penulis perlu memabatasi permasalahan hanya pada kajian: “Kalimat Efektif dalam

Buku Terjemahan Fath al-Mu’în Bab “Shalat” dan “Adzan”.

Agar penulisan skripsi ini lebih terarah, maka Penulis membatasi masalah yang akan diteliti yaitu hanya jilid 1 bab shalat dan adzan. Dalam bab shalat ini Penulis lebih mengerucut pada pembahasan pengertian shalat dan syarat-syarat shalat dan adzan. Maka dalam hal ini Penulis merumuskan masalah sebagai berikut:


(20)

1. Apakah kalimat yang terdapat dalam terjemahan Kitab Fath al-Mu’în bab adzan dan shalat ini merupakan terjemahan kalimat yang efektif sesuai dengan ciri-ciri:

a) Kesatuan (unity)

b) Kehematan (economy)

c) Penekanan (emphasis)

d) Kevariasian (variety)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarakan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk ciri-ciri kalimat efektif.

a) Kesatuan (unity)

b) Kehematan (economy)

c) Penekanan (emphasis)

d) Kevariasian (variety)

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk menunjang kontribusi ilmiah dalam penerjemahan yang baik sesuai dengan kaidah dan tata bahasa yang baik dan


(21)

benar serta dalam menyusun sebuah kalimat yang baik sehingga dapat dipahami oleh para pembaca.

D. Tinjauan Pustaka

Sudah banyak yang membahas tentang kalimat efektif dalam terjemahan kitab-kitab klasik, contohnya: kitab Fath al-Qorib dan Uqudulujain. Namun dalam kitab Fath al-Mu’în ini peneliti terdahulu mengkaji tentang diksi yang diteliti oleh Siti Mawadah dalam skripsinya yang berjudul Diksi dalam Terjemahan Kitab Fath

al-Mu’în Bab Puasa Karya Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd Azîz al-Malîbary. Ada pula

yang mengkaji tentang kata dalam sekripsinya Nubzatus Saniyah yang berjudul Pola Terjemahan Kalimah Mabni Majhul dalam Kitab Fath al-Mu’în (Analisis Semantik Gramatkal Pada Bab Nikah). Sementara itu, untuk mengkaji tentang kalimat efektif itu belum terdapat dalam penelitian. Maka dari itu, Penulis di sini menjelaskan lebih dalam lagi tentang terjemahan kitab Fath al-Mu’în, selain unsur diksi dan kalimah (kata) dalam terjemahan yang Penulis analisis, akan tetapi unsur kalimat dalam terjemahan pun Penulis analisis pula, supaya penerjemah itu dapat merangkaian kalimat yang efektif agar dapat dipahami oleh para pembaca dengan menggunakan tata bahasa yang baik dan benar yang terkandung dalam EYD.

E. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini bersifat kajian pustaka (library Research), kemudian metode yang digunakan penulis menggunakan deskriptif analisis, yaitu dengan cara membuat deskripsi atau gambaran mengenai kalimat efektif dalam terjemahan yaitu


(22)

tata bahasa yang baik dan benar, sehingga memberikan penjelasan terhadap permasalahan-permasalahan yang diteliti.

Dalam penelitian ini penulis mengawalinya dengan studi kepustakaan. Penulis mengumpulkan data-data dari beberapa buku yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini dan untuk dapat dijadikan kerangka teoritis.

Setelah data-data tersebut terkumpul, maka Penulis melakukan analisa mendalam terhadap data-data yang ada pada bab adzan dan shalat sesuai dengan kalimat efektif yang berkaitan dengan keadaan bahasa sekarang yaitu EYD.

Adapun secara keseluruhan, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang akan penulis paparkan ini merupakan strukturalisasi penulisan agar dapat dipahami dengan baik. Penulisan sekripsi ini disajikan dalam lima bab, yaitu:

Bab pertama adalah pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah yang berisikan tentang alasan penulis mengambil judul sekripsi “Kalimat Efektif terhadap Terjemahan Kitab Fath al-Mu’în Bab Adzan dan Shalat)”, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.


(23)

Bab kedua adalah kajian landasan teori yang berisikan tentang pengertian terjemahan, macam-macam teknik terjemahan, kalimat efektif beserta cirri-ciri kalimat efektif. Dalam bab ini merupakan pengetahuan awal sebelum menganalisis suatu kalimat yang efektif yang terdapat dalam bab IV

Bab tiga, adalah biografi berisikan tentang riwayat hidup penulis, dan identifikasi gambaran umum tentang kitab Fath al-Mu’în beserta biografi pengarang kitab Fath al-Mu’în.

Bab empat merupakan analisis kalimat yang efektif. Dalam bab ini akan dianalisis kesatuan, kehematan, penekanan, dan kevariasian dalam terjemahan kitab Fath al-Mu’în.

Bab lima merupakan penutup yang mencakup; kesimpulan dan rekomendasi. Kesimpulan ini berisikan semua kesimpulan dari seluruh analisis.


(24)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Teori Tentang Penerjemahan

1. Pengertian Penerjemahan

Secara bahasa terjemah (translation) berasal dari kata bahasa Arab

ﻢﺟﺮﺘﯾ

-

ﻢﺟﺮﺗ

artinya menerangkan atau memindahkan perkataan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya. Pelakunya disebut penerjemah (

ﻢﺟﺮﺘ

).

Secara istilah terjemah semua kegiatan manusia berkaitan dengan memindahkan informasi atau pesan yang disampaikan secara lisan (verbal dan non verbal) dari informasi asal ke dalam informasi sasaran. Artinya penerjemahan yag dilakukan bukan hanya memindahkan bahasa sumber ke bahasa sasaran, melainkan juga kegiatan yang berkaitan dengan non bahasa, sepanjang memindahkan informasi sumber ke informasi sasaran adalah merupakan kegiatan penerjemahan, seperti orang terkini yang memasang instrument berdasarkan petunjuk skema pemasangannya juga merupakan kegiatan penerjemahan.3

Newmark memberikan definisi tentang penerjemaan sebagai ”rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” ‘mengalihkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pengarang’.

3

Akmaliyah, Wawasan dan Teknik Terampil Menerjemahkan, (Bandung: N & Z Press, 2007), h.1


(25)

Brislin mengatakan bahwa penerjemahan adalah sebuah bentuk umum yang mengacu pada pemindahan pemikiran dan ide dari satu bahasa (sumber) ke bahasa yang lain (sasaran), baik bahasa itu dalam bentuk tertulis ataupun dalam bentuk lisan, baik itu telah disusun secara ortografi ataupun belum standar, ataupun baik satu atau dua bahasa itu berdasarkan tanda, seperti bahasa isyarat untuk orang yang tuli.4

Eguene A. Nida dan Charles R. memberikan definisi penerjemahan yaitu kegiatan yang menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya.5 Secara sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.

Penerjemahan mengimplikasikan adanya dua bahasa, yakni bahasa sumber (BSu) yang sering diistilahkan source language (SL) dan bahasa sasaran (BSa) atau target language (TL). Bahasa sumber adalah bahasa teks yang diterjemahkan dan bahasa sasaran adalah bahasa teks hasil terjemahan.6

Seorang penerjemah adalah seorang penulis. Tentu saja, ia bukan pengarang (author) bukunya sendiri. Gagasan-gagasan yang ada di dalam terjemahan tetap merupakan gagasan pengarang. Meskipun begitu, ia menuliskan

4

Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hal 9

5

A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal 11 6


(26)

gagasan-gagasan pengarang itu, dan ia ingin menyampaikan gagasan-gagasan pengarang secara efektif. Oleh karena itu, penerjemah harus mempu menyusun kalimat-kalimat yang efektif dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) yang dipakainya.7

2. Proses Penerjemahan

Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri, dan bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain.

Penerjemahan merupakan proses yang dilakukan secara bertahap. Larson mengemukakan tahap-tahap penerjemahan sebagai berikut: (1) mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks budaya dari teks bahasa sumber; (2) menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya; dan (3) mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur yang sesuai dengan bahasa sasaran dan konteks budaya.8

Dalam proses penerjemahan, penerjemah melakukan rangkaian tindakan dalam mencurahkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan kebiasaannya untuk mengalihkan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran melalui

7

A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h 11 8

Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h 19


(27)

beberapa tahapan dengan menggunakan prosedur penerjemahan, metode penerjemahan, teknik penerjemahan, dan sebagainya.

Untuk menghasilkan pesan teks bahasa sasaran (Bsa) yang sesuai dengana pesan yang terdapat pada teks bahasa sumber (Bsu), seorang penerjemah harus memperhatikan proses penerjemahan yang melalui setidaknya 11 proses, mulai dari struktur luar Bsu hingga menjadi struktur luar Bsa, dapat dijelaskan sebagai berikut dengan cara berurutan.9

Struktur luar Tsu (1) → pemahaman leksikal Tsu (2) → pemahaman morfolgis Tsu (3) → pemahaman sintaksis Tsu (4) → pemahaman semantis Tsu (5) → pragmatis Tsu (6) → struktur batin Tsu dan Tsa (7) → pemadanan leksikal Tsa (8) → pemadanan morfologis Tsa (9) → pemadanan sintaksis Tsa (10) → pemadanan semantis (11) → pemadanan pragmatis Tsa (12) → struktur luar Tsa (13).

1) Struktur luas Bsu berarti masih berupa teks sumber (Tsu), belum mengalami proses apapun;

2) Pemahaman leksikal Tsu mengharuskan penerjemah memiliki kepekaan leksikal, sehingga dia bisa memahami makna kosakata yang terlihat pada Tsu; 3) Pemahaman morfologis Tsu mengharuskan penerjemaha memahami bentuk mprfologis kosakata Tsu, sehingga dia mengerti perubahan bentuk kosakata pada Tsu yang berimbas pada perubahan makna;

4) Pemahaman sintaksis TSu mengharuskan penerjemah memahami pola kalimat dalam Tsu, yang pada gilirannya mengontraskannya dengan Tsa.

9


(28)

5) Pemahaman semantik Tsu mengharuskan penerjemah memahami pemaknaan yang berlaku pada Tsu;

6) Pemahaman pragmatis Tsu mengharuskan penerjemah memahami pemahaman yang dikaitkan dengan konteks yang berlaku pada Tsu;

7) Pada struktur batin Tsu dan Tsa terjadi transformasi pada diri penerjemah untuk kemudian menyelaraskan pemahaman Tsu ke dalam pemadanan Tsa; 8) Pemadanan leksikal Tsa mengharuskan penerjemah memilih padanan yang

tepat untuk tiap kata yang ditemuinya pada Tsu;

9) Pemadanan morfologis Tsa mengharuskan penerjemah memiliki pengetahuan soal padanan yang tepat pada suatu kata setelah mengalami perubahan bentuk; 10)Pemadanan sintaksis Tsa mengharuskan penerjemah memiliki kepakaan makna pada tiap pola kalimat dalam Tsa, sehingga dapat memilih pada yang akurat pada tiap kata yang ada di hadapannya;

11)Pemadanan semantis Tsa berhubungan dengan pemadanan sintaksis Tsa; 12)Pemadanan pragmatis Tsa merupakan hasil dari pemahaman kontekstual Tsu,

sehingga penerjemah dapat menerjemahkan dengan tepat kalimat dalm konteks tertentu, yang tentu saja akan berbeda maknanya, meskipun bentuknya sama;

13)Ramuan dari pemahaman yang kemudian menghasilkan pemadanan itulah yang bisa melahirkan struktur luar Tsa yang layak dikonsumsi.

3. Metode Penerjemahan

Menurut Machali metode penerjemahan adalah cara melakukan penerjemahan dan rencana dalam pelaksanaan penerjemahan. Metode


(29)

penerjemahan dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai perspektif kebahasaan.10

Moeliono menggolongkan terjemahan dalam tiga kelompok besar, yaitu (1) terjemahan harfiah, ialah terjemahan yang dilakukan kata demi kata dengan tujuan tidak menyimpang sedikit pun dari bentuk lahiriah bahasa sumber, (2) terjemahan bahasa atau saduran, yaitu terjemahan yang bentuk bahasanya tidak terkait pada naskah sumbernya, tetapi tujuannya adalah mengungkapkan sari idea tau maksud yang terkandung dalam naskah asli, dan (3) terjemahan idiomatik, yaitu terjemahan yang mengarah pada kesepadanan atau ekuivalensi antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.

Banyak metode penerjemahan yang dikembangkan oleh para ahli. Namun, diantara metode yang ada, metode yang ditawarkan Newmark (1998) dinilai sebagai paling lengkap dan memadai. Menurut Newmark, metode ini terbagi menjadi 8 (delapan) yaitu sebagai berikut:

1. Penerjemahan Kata demi Kata

Metode ini Penerjemahan dilakukan antarbaris terjemahan untuk tiap kata berada di bawah setiap Bsu. Urutan kata dalam bahasa sumber tetap dipertahankan, kata-kata diterjemahkan satu demi satu dengan makna yang paling umum tanpa mempertimbangkan konteks pemaikaiannya. Kata yang berkonteks budaya diterjemahkan secara harfiah.11

10

Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris Ke Dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 83

11


(30)

Contoh:

ﺐﺘﻛ

ﺔﺛﻼﺛ

ﻱﺪﻨﻋﻭ

Terjemahannya: Dan di sisiku tiga buku-buku.12 2. Penerjemahan Harfiah

Dalam metode penerjemahan ini, melingkupi terjemahan-terjemahan yang sangat setia terhadap TSu. Kesetiaan biasanya digambarkan oleh ketaatan penerjemah dterhadap aspek tata bahasa TSu, seperti urutan-urutan bahasa, bentuk frase bentuk kalimat dan sebagainya. Akibatnya serring muncul dari terjemahan ini adalah hasil terjemahannya menjadi saklek dan kaku karena penerjemah memaksakan aturan-aturan tata bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Padahal, keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Hasilnya dapat dibayangkan, yakni bahasa Indonesia yang bergramatika bahasa Arab, sehingga sangat aneh untuk dibaca penutur Bsa. Dalam hal ini Seorang penerjemah mencarikan padanan kontruksi gramatikal teks sumber (Tsu) yang terdekat dalam teks sumber (Tsu). Penerjemahan kata-kata Tsu masih dilakukan terpisah dari konteks. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal (pengalihan)

Contoh:

ﺀﺎﺟ

ﻞﺟﺭ

ﻦﻣ

ﻝﺎﺟﺭ

ﱪﻟﺍ

ﻥﺎﺴﺣﻻﺍﻭ

ﱃﺍ

ﺞﻧﺪﻨﺑ

ﺓﺪﻋﺎﺴﳌ

ﺎﻳﺎﺤﺿ

ﻝﺍﺰﻟﺰﻟﺍ

12


(31)

Datang seorang laki-laki baik ke Bandung untuk membantu korban-korban goncangan.13

3. Penerjemahan Setia

Penerjemahan setia mencoba menghasilkan kembali makna kontekstual walaupun masih terikat oleh struktur gramatikal bahasa sumber. Kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan tetapi menyimpang dari struktur gramatikal bahasa sasaran. Penerjemahan jenis ini berpegang teguh pada tujuan dan maksud bahasa sumber, sehingga terlihat sebagai terjemahan yang kaku. Terjemahan ini bermanfaat sebagai proses awal tahap pengalihan. Contoh:

ﺩﺎﻣﺮﻟﺍ

ﲑﺜﻛ

ﻮﻫ

Terjemahannya: Dia (lk) dermawan banyak abunya. 4. Penerjemahan Semantis

Penerjemahan semantis dibandingkan dengan metode penerjemahan setia, Penerjemahan semantis lebih luwes, sedangkan penerjemahan setia lebih kaku dan tidak berkompromi dengan kaidah Tsa. Berbeda dengan penerjemahan setia, Penerjemahan semantis lebih mempertimbangkan unsur estetika (antara lain kehidupan bunyi) teks BSu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran. Selain itu, kata yang hanya sedikit mengandung muatan budaya dapat diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah yang fungsional. Perbedaan penerjemahan setia dengan penerjemahan semantis

13


(32)

adalah bahwa penerjemahan sematis lebih fleksibel. Empati (pengidemtiifikasian diri) penerjemahan terhadap teks bahasa sumber dalam penerjemahan semantis dibolehkan.14

Contoh:

ﻦﻣﻭ

ﻝﺪﺒﺘﻳ

ﺮﻔﻜﻟﺍ

ﻥﺎﳝﻻﺎﺑ

ﺪﻘﻓ

ﻞﺿ

ﺀﺍﻮﺳ

ﻞﻴﺒﺴﻟﺍ

)

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

:

۱۰۸

(

Terjemahannya: Barangsiapa mengambil kekufuran sebagai pengganti keimanan, ia tersesat dari jalan yang benar.

5. Penerjemahan Adaptasi

Adaptasi merupakan cara penerjemahan nas yang paling bebas dibanding cara penerjemahan lainnya. Metode ini banyak digunakan dalam menerjemahkan naskah drama dan puisi dengan tetap mempertahankan tema, karakter, dan alur cerita. Pernejemah pun mengubah kultur Bsu ke dalam Bsa.15

Contoh:

ﺖﺷﺎﻋ

ﺪﻴﻌﺑ

ﺚﻴﺣ

ﻮﻄ

ﻡﺪﻗ

ﺪﻨﻋ

ﻊﻴﺑﺎﻨﻴﻟﺍ

ﻰﻠﻋﺎﺑ

ﺭﺎﻬﻨﻟﺍ

Terjemahannya: Dia hidup jauh dari jangkauan, di atas gemericik air sungai yang terdengar jernih.16

14

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, h. 52 15

Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Teori dan Praktek), h 72 16


(33)

6. Penerjemahan Bebas

Penerjemah memproduksi masalah yang dikemukakan oleh bahasa sumber tanpa menggunakan cara tertentu. Isi bahasa sumber ditampilkan dalam bentuk bahasa si penerima yang benar-benar berbeda. Metode ini bersifat parafrasik, yaitu mengungkapkan amanat yang terkandung di dalaظm bahasa sumber dengan ungkapan penerjemah sendiri di dalam bahasa penerima sehingga terjemahan menjadi lebih panjang dari pada aslinya.17 Contoh:

ﻥﺍ

ﻝﺎﳌﺍ

ﻞﺻ

ﻢﻴﻈﻋ

ﻦﻣ

ﻞﺻ

ﺩﺎﺴﻔﻟﺍ

ﺓﺎﻴﳊ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﲔﻌﲨ

Terjemahannya: Harta sumber malapetaka.18 7. Penerjemahan Idiomatik

Metode ini bertujuan untuk mereproduksi pesan dalam teks Bsu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian banyak terjadi diatorsi nuansa makna.19

Contoh:

ﺎﻣﻭ

ﺓﺬﻠﻟﺍ

ﺇﻻ

ﺪﻌﺑ

ﺐﻌﺘﻟﺍ

Terjemahannya: berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian.20

17

Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Teori dan Praktek), (Bandung: Humaniora, 2005), h 72

18

Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h. 4 19

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, h. 54 20


(34)

8. Penerjemahan komunikatif

Metode ini mengupayakan reproduksi makna kontekstual yang demikian rupa, sehingga baik aspek kebahasaan maupun aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Oleh karena itu, versi Tsa-nya pun langsung berterima. Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, yaitu khalayak pembaca dan tujuan terjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi Tsu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi Tsa sesuai dengan prinsip-prinsip di atas.21

Contoh:

ﺭﻮﻄﺘﻧ

ﻦﻣ

ﺔﻔﻄﻧ

ﻦﻣ

ﺔﻘﻠﻋ

ﻦﻣ

ﺔﻐﻀﻣ

Terjemahannya: kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging.22

B. Kalimat

1. Definisi Kalimat

Kalimat mengandung satu kesatuan pikiran yang lengkap. Kalau diucapkan, kalimat selalu diawali dan diakhiri dengan kesenyapan. Di situ situasi atau lagu kalimat menentukan arah atau maksud kalimat. Bila ditulis kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik, tanda tanya, atau tanda seru. Kadang-kadang kalimat disertai tanda petik atau tanda elipsis.23 Kalimat, lebih-lebih dalam bahasa

21

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, h 55 22

Moch. Syarif Hidayatullah, Diktat Teori dan Permasalahan Penerjemahan, h 5 23

Sudarrno, A. Rahman Eman, Kemampuan Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: PT. Hikmat Syahid Indah, 1986), h 52, cet 1


(35)

tertulis, mengandung bagian yang tidak boleh ditinggalkan. Kalau ditinggalkan, pendengar atau pembaca menjadi kurang paham akan maksud kalimat tersebut.

Contoh kalimat:

(1) Hamid sudah mengenal orang itu.

Kalimat di atas sudah lengkap dan merupakan satu kesatuan pikiran. Orang tidak akan bertanya-tanya lagi karena sudah memahami pesan yang dikandungnya. Sebaliknya, meskipun deretan kata itu lebih panjang, belum tentu ia merupakan kalimat. Untuhnya kalimat bukan ditentukan oleh banyaknya kata yang dikandungnya, melainkan oleh lengkapnya bagian-bagian. Sebagai contoh kalimat di atas itu kita tambah dengan satu kata lagi sehingga menjadi:

(2) Bahwa Hamid sudah mengenal orang itu.

Deretan kata nomor (2) itu bukanlah kalimat. Adanya kata bahwa di situ justru mengubah kalimat yang sudah sempurna menjadi sekedar bagian kalimat yang lebih luas, misalnya:

(3) Bahwa Hamid sudah mengenal orang itu saya sudah tahu.

Bagian kalimat yang tidak boleh ditinggalkan itu ialah subjek dan predikat

atau pokok dan sebutan. Subjek adalah bagian yang diberitakan atau yang diterangkan (D) dan predikat ialah bagian yang memberitakan atau yang menerangkan (M).

Subjek dan predikat itu masing-masing hanya berupa satu kata, misalnya:

Hamid lulus. Dalam kalimat ini Hamid merupakan bagian yang diberitakan. Sedangkan lulus merupakan bagian yang menjadi memberitakan. Jadi, Hamid adalah


(36)

subjek dan lulus adalah predikat. Mungkin juga subjek dan predikat itu masing-masing terdiri dari beberapa kata, misalnya: Hamid, anak rajin, itu sudah lulus dengan baik. Dapat juga kata yang menduduki tempat subjek dan predikat itu jumlahnya lebih banyak lagi sehingga kalimatnya menjadi amat panjang, misalnya:

Hamid, anak yang rajin, cerdas dan baik budi itu, sudah lulus ujian SMA dengan nilai yang sangat baik.

Dari contoh-contoh di atas dapat kita ketahui bahwa kalimat, baik yang pendek merupakan bagian yang harus ada dalam kalimat.

2. Pembagian Kalimat

Kalimat dapat dibagi menurut (a) bentuk, dan (b) maknanya (nilai komunikatifnya). Menurut bentuknya kalimat dibagi menjadi: kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Berdasarkan predikatnya, kalimat tunggal dapat dibagi lagi menjadi kalimat yang berpredikat (1) nomina atau frasa nominal, (2) adjektiva atau frasa ajektival, (3) verba atau frasa verbal, dan (4) kata-kata lain seperti sepuluh,

hujan, dan sebagainya. Kalimat menjemuk juga dapat dibagi lagi menjadi kelompok yang lebih kecil, yakni kalimat majemuk setara dan kalimat bertingkat.24

Dari segi maknanya (nilai komunikatifnya) kalimat terbagi menjadi kalimat (1) berita, (2) perintah, (3) Tanya, (4) seru, (5) amfatik.

24

Anton M. Muliona, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h 267


(37)

a) Kalimat Menurut Bentuk

1) Kalimat Tunggal

Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Hal itu berarti bahwa konstituen untuk tiap unsur kalimat seperti subjek dan predikat hanyalah satu atau merupakan satu kesatuan. Di samping itu, tidak mustahil ada pula unsur bukan-inti serperti keterangan tempat, waktu, dan alat. Dengan demikian, maka kalimat tunggal tidak selalu dalam wujud yang pendek.25 Contoh:

 Dia akan pergi.

 Kami mahasiswa Atma Jaya

Berdasarkan predikatnya kalimat tunggal dibagi menjadi:

a. Kalimat Berpredikat Nomina

Dalam bahasa Indonesia ada macam kalimat yang predikatnya terdiri atas nomina. Dengan demikian, maka dua nomina yang dijejerkan dapat membentuk kalimat asalkan syarat untuk subjek dan predikatnya terpenuhi. Syarat untuk kedua unsur tersebut penting karena jika tidak terpenuhi, maka jejeran nomina tadi tidak akan membentuk kalimat. Perhatikan contoh berikut:

1. Buku cetakan Bandung itu 2. Buku itu cetakan Bandung.

Urutan kata seperti terlihat pada nomor (1) membentuk satu frasa dan bukan kalimat karena tidak terdapat pemisahan yang wajar antara bagiannya dapat ditafsirkan sebagai dua frasa nominal. Sebaliknya, pada (2) membentuk kalimat karena penanda batas frasa itu memisahkan kalimat menjadi dua frasa nominal.

25


(38)

b. Kalimat Berpredikat Adjektiva

Predikat dalam bahasa Indonesia dapat berupa adjektiva atau frase adjektiva, seperti contoh berikut:

1. Adiknya sakit. 2. Perkataan itu benar.

Pada contoh di atas, subjek kalimat itu masing-masing adalah adiknya,

perkataan orang itu, dan alasan para pengunjuk rasa, sedangkan predikatnya adalah sakit, benar.

Kalimat yang berpredikatnya adjektiva sering juga dinamakan kalimat statif. kalimat statif kadang-kadang memanfaatkan verba adalah untuk memisahkan subjek dari predikatnya. Hal itu dilakukan bila subjek, predikat, atau kedua-duanya panjang. Perhatikan contoh berikut!

 Pernyataan ketua gabungan koperasi itu adalah tidak benar.

Kadang-kadang, predikat dalam kalimat statif diikuti oleh kata atau frase lain. Contoh:

 Adik saya sakit perut.

 Warna bajunya biru laut.

Pada contoh tersebut, dapat kita lihat sesudah predikat sakit, dan biru terdapat kata atau frase tambahan, yakni perut, dan laut. Kata atau frase yang berdiri sesudah predikat pada kalimat statif dinamakan pelengkap. Jadi, kata seperti laut


(39)

contoh tersebut, pelengkap dapat berupa kata atau frase, dan kategorinya pun dapat berupa frase nominal, verbal, dan preposisional.

c. Kalimat Berpredikat Verba

Berdasarkan penggolongan verba itu, kalimat yang berpredikat verba bukan pasif dapat dibagi menjadi empat macam: (1) kalimat taktransitif, (2) kalimat ekatransitif, (3) kalimat dwitransitif. Di samping itu terdapat kalimat dengan verba pasif. Verba ada mempunyai ciri khusus, yaitu terdapat menghasilkan kalimat yang urutan fungsinya terbalik.

1) Kalimat Taktransitif

Yaitu kalimat yang tak berobjek dan tak berpelengkap yang hanya memiliki dua unsur fungsi inti, yakni subjek dan predikat.seperti halnya dengan kalimat tunggal lain, kalimat tunggal yang tak berobjek dan tak berpelengkap juga dapat diiringi oleh unsur bukan inti seperti keterangan tempat, waktu, cara, dan alat. Berikut adalah contoh kalimat verba yang tak berobjek dan tak berpelengkap dengan unsur diletakkan dalam tanda kurung.

 Bu Camat sedang berbelanja.

 Pak Halim belum datang.

 Mereka mendarat (di tanah yang datar).

 Dia berjalan (dengan tongkat).

 Kami (biasanya) berenang (hari minggu pagi).


(40)

Dari contoh di atas tampak pula bahwa verba yang berfungsi sebagai predikat dalam tipe kalimat ini ada yang berprefiks ber- dan ada pula yang berprefiks

meng-. Dari segi semantisnya, verba di atas ada yang bermakna dasar proses (seperti menguning) dan banyak pula yang bermakna dasar perbuatan (seperti

belanja, datang, dan mendarat). 2) Kalimat Ekatransitif

Yaitu kalimat yang berobjek dan tidak berpelengkap mempunyai tiga unsur yakni subjek, predikat, dan objek. Dari segi semantis, semua verba ekatransitif memiliki makna dasar perbuatan. Contoh:

 Pemerintah akan memasok semua kebutuhan lebaran.

 Presiden merestui pembentukkan Panitia Pelaksana.

Predikat verba pada kalimat di atas masing-masing adalah akan, memasok, dan merestui, di sebelah kiri tiap-tiap verba itu berdiri subjeknya, dan di sebelah kanan objeknya.

3) Kalimat Dwitransitif

Seperti kita ketahui, bahwa ada verba transitif dalam bahasa Indonesia yang secara semantis mengungkapkan hubungan tiga maujud. Dalam bentuk aktif, maujud itu masing-masing merupakan subjek, predikat, objek, dan pelengkap. Verba itu dinamakan verba dwitansitif.26 Contoh:

Bagus mencari pekerjaan.

Bagus sedang mencarikan pekerjaan.

26

Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 30


(41)

Dalam kalimat (a), kita ketahui bahwa yang memerlukan pekerjaan adalah

Bagus. Dengan ditambahkan sufiks –kan pada verba dalam kalimat (b), kita

rasakan adanya perbedaan makna, yaitu yang memerlukan perbuatan “mencari” memang Bagus, tetapi pekerjaan itu bukan untuk dia sendiri meskipun tidak disebut orangnya. Objek dalam kalimat aktif berdiri langsung di belakang verba, tanpa preposisi, dan dapat dijadikan subjek dalam kalimat pasif. Sebaliknya, pelengkap dalam kalimat dwitransitif itu berdiri di belakang objek jika objek itu ada.

4) Kalimat Pasif

Pengertian aktif dan pasif dalam kalimat menyangkut beberapa hal, yaitu (1) verba yang menjadi predikat, (2) subjek dan objek, serta (3) bentuk verba yang dipakai.27 Kalimat aktif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai pelaku/aktor, sedangkan kalimat pasif adalah kalimat yang subjeknya berperan sebagai penderita. Contoh kalimat aktif:

 Bapak mengangkat meja

 Ibu membuka pintu

Verba yang terdapat dalam kalimat yang di atas adalah verba transitif yang mempunyai tiga unsur di dalamnya, yakni subjek predikat dan objek.

Contoh kalimat pasif:

 Meja diangkat oleh bapak.

27


(42)

5) Verba Ada dan Urutan Fungsi yang Berbeda

Urutan fungsi dalam bahasa Indonesia boleh dikatakan mengikuti (a) subjek, (b) predikat, (c) objek (jika ada), dan (d) pelengkap (jika ada). Akan tetapi, ada satu pola kalimat dalam bahasa kita yang predikatnya mendahului subjek. Contoh:

 Ada tamu, pak.

 Ada kabar bahwa ia telah meninggal

Dari contoh di atas kita lihat bahwa verba ada terletak di muka nomina. Dengan kata lain, urutan fungsinya adalah (a) predikat dahulu, baru (b) subjek mengikutinya. Tentu saja dua unsur inti itu dapat pula diikuti oleh unsur lain seperti terlihat pada dua contoh terakhir di atas.

d. Kalimat Yang Predikatnya Frasa Lain

Di samping macam-macam kalimat yang predikatnya dibentuk dengan frasa nominal, adjektival, dan verbal seperti telah digambarkan pada bagian-bagian sebelumnya, ada pula kalimat dalam bahasa Indonesia yang predikatnya menyimpang dari pola yang dibicarakan di atas. Contoh:

 Anaknya banyak.

 Mulainya pukul Sembilan.

Hujan lagi.

Panas, ya, di Jakarta.

Kalimat seperti contoh di atas mempunyai predikat yang beraneka ragam: ada yang berupa kata bilangan seperti banyak, sedikit, lima, dan lebih. Ada yang


(43)

berupa frasa nominal dengan makna waktu seperti pukul sembilan, tahun ini, dan

besok sore. Ciri khas tipe ini ialah bahwa kalimatnya bukan kalimat ekuatif seperti halnya kalimat lain yang berpredikat nominal. Ada yang berupa kata khusus yang mengacu ke cuaca seperti hujan dan panas. Walaupun itu termasuk kategori nomina dan adjektiva, kalimatnya mempunyai ciri khas, yaitu kenyataan bahwa denagn kata itu sebagai predikat, kalimat itu secara semantis lengkap; artinya tidak ada subjek.

2) Kalimat Majemuk

Kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas dua klausa atau lebih (Verhaar, 1996:275). Kridalaksana (1985:164), Tarigan (1986:14) mengatakan bahwa kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari beberapa klausa bebas.28

Kalimat majemuk dapat dibedakan atas tiga bagian besar, yaitu kalimat majemuk setara (KMS), (b) kalimat majemuk rapatan (KMR), (c) kalimat majemuk bertingkat (KMB).

a. Kalimat Majemuk Setara (KMS)

Adalah gabungan dari beberapa kalimat tunggal yang unsur-unsurnya tidak ada yang dihilangkan. Dapat juga dikatakan, bahwa antara unsur-unsur kalimat tunggal yang digabungkan kedudukannya setara. Secara garis besar, KMS bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. KMS Sejalan.

Adalah kalimat-kalimat yang digabungkan itu tidak berlawanan atau pengertiannya sejalan. Contoh:

28


(44)

 K1 : matahari terbit di ufuk timur.

 K2 : margasatwa mulai mencari mangsanya.

 K3 : Petani-petani berangkat ke ladang

KMS: Matahari terbit di ufuk timur, margasatwa mulai mencari mangsanya, dan petani-petani bernagkat ke ladang. KMS sejalan dapat dirinci lagi menjadi tiga bagian:

a. KMS Sejalan Biasa

Contoh: awan menghitam di langit, angin sama sekali tak terasa, dan burung-burung pulang ke sarangnya.

b. KMS Sejalan Mengatur

Contohnya: mula-mula pencuri itu ditangkap, setelah itu di tangannya

diikst, kemudian kepalanya digunduli, dan akhirnya rakyat

menyerahkannya kepada polisi. c. KMS Sejalan Menguatkan

Contohnya: makin kudekati rumah tua itu, makin berdebar hatiku. 2. KMS Berlawanan

KMS Berlawanan dapat dibagi menajdi tiga macam yaitu: a. KMS Berlawanan Biasa

Contohya: Pamannya pendiam sekali, tetapi bibirnya cerewat luar biasa.


(45)

Contohnya: kau mau menerima lamarannya atau kau akan mejadi perawan tua.

c. KMS Berlawanan Mewatasi

Contohnya: ciri khas manusia bukanlah kebijaksanaan, melainkan kemauan manusia untuk hidup.

3. KMS Penunjukkan

KMS Penunjukkan memiliki pengertian bermacam-macam, di antaranya: a. KMS Penunjukkan sebab-akibat

Contohnya: dia sedang sakit, karena itu dia tidak ikut bertanding. b. KMS Penunjukkan Perlawanan

Contohnya: dia sudah kerja keras, namun demikian dia tetap miskin. c. KMS Penunjukkan Waktu

Contohnya: petugas pemeriksa bangunan sudah tiba, semantara itu para pekerja tetap berada di posnya.

d. KMS Penunjukkan Tempat

Contohnya: sayuran banyak ditanam di kintamani, ke tempat itu banyak pupuk dikirim.

e. KMS Penunjukkan Syarat

Contohnya: istrinya akan segera melahirkan, kalaun begitu bidan harus segera dipanggil.


(46)

b. Kalimat Majemuk Rapatan

Adalah kalimat majemuk yang terjadi dari penggabungan beberapa kalimat tunggal yang unsur-unsurnya sama dirapatkan atau dituliskan sekali saja.29 Kalimat majemuk rapatan terdiri dari atas empat macam, di antaranya:

1. KMR sama S, artinya subjek-subjek dirapatkan. Contoh:

Benteng itu ditembaki, dibom bertubi-tubi, dan diratakan dengan tanah. S P1 P2 P3

KMR sama S merupakan struktur yang baik sekali untuk menyusun gaya bahasa klimaks atau ahli klimaks.

Contoh gaya bahasa klimaks:

Pekik merdeka menggema, menggemuruh, mengguntur, dan menggledek memecahkan angkasa ibu pertiwi.

Contoh gaya bahasa anti klimaks:

Jangankan mencuri atau menyembunyikannya, melihatpun dia tidak 2. KMR sama P, artinya predikat-predikat dirapatkan.

Contoh:

Sawahnya, pekarangannya, dan rumahnya digadaikan. S1 S2 S3 P 3. KMR sama O, artinya objek-objek dirapatkan.

Objek dibedakan atas empat bagian, yaitu:

29

Ida Bagus Putrayasa, Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), h. 57


(47)

(a) Objek Penderita (Open)

Contoh: Ayah menulis dan ibu mengirimkan surat itu. S1 P1 S2 P2 Open

(b) Objek Pelaku (Opel)

Contoh: baju itu dijahit dan celana itu dicuci oleh ayah. S1 P1 S2 P2 Opel (c) Objek Berkepentingan (Okep)

Contoh: Ayahmu bekerja keras dan ibumu membanting tulang untukmu. S1 P1 S2 P2 Open Okep

(d) Objek Berkata Depan (Odep)

Contoh: Ayahnya ingat dan ibunya rindu akan anaknya. S1 P1 S2 P2 Odep

c. Kalimat Majemuk Bertingkat

Kalau sebuah unsur dari kalimat sumber (kalimat tunggal) dibentuk mejadi sebuah kalimat bentukkan ini digabungkan dengan sisa kalimat sumbernya, maka akan terbentuklah kalimat mejemuk bertingkat. Dengan ketentuan:

1. Sisa kalimat sumber disebut induk kalimat 2. Kalimat bentukkan disebut anak kalimat

3. Anak kalimat diberi nama sesuai dengan nama unsur kalimat sumber yang digantinya.

Contoh:

Kedatangannya disambut oleh rakyat kemarin.


(48)

- kedatangannya = subjek

- disambut = predikat

- oleh rakyat = objek pelaku - kemarin = keterangan waktu

Ternyata kalimat tunggal di atas terdiri atas empat unsur. Tiap-tiap unsur yang ada itu dapat diganti dengan sebuah kalimat. Perhatikan contoh berikut!

Ketika matahari mulai condong ke barat.

Kalau kalimat bentukkan di atas digabungkan dengan sisa kalimat sumbernya, maka akan terbentuklah kalimat gabungan yang bunyinya:

Kedatangannya disambut oleh rakyat ketika matahari mulai condong ke barat.

Analisis KMB di atas:

Induk Kalimat (IK) : Kedatangannya disambut oleh rakyat. Anak Kalimat (Aka) : Ketika matahari mulai condong ke barat.

b) Kalimat Menurut Maknanya

Jika kita tinjau dari segi maknanya (nilai komunikatifnya), maka kalimat terbentuk menjadi lima kelompok, yakni (1) kalimat berita, (2) kalimat perintah, (3) kalimat Tanya, (4) kalimat seru, (5) kalimat emfatik.

1. Kalimat Berita (deklaratif)

Yakni kalimat berita itu berisikan memberitakan sesuatu kepada pembaca atau pendengar. Contoh:

- Tadi pagi ada tabrakan mobil di dekat Monas. 2. Kalimat Perintah (imperatif)


(49)

Yaitu kalimat yang berisikan perintah, dan perlu diberi reaksi tanpa tindakan. Dalam bentuk tulis, kalimat perintah seringkali diakhiri dengan tanda seru (!) meskipun tanda titik biasa pula dipakai.

- Konsep perjanjian itu diketik serapi-rapinya, ya! - Perbaikilah sepeda minimu itu.

3. Kalimat Tanya

Adalah kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu jawaban. Contoh:

 Apa dia istri Pak Bambang? 4. Kalimat Seruan (interjektif)

Yaitu kalimat yang menyatakan ungkapan perasaan kagum. Contoh: Alangkah bebasnya pergaulan mereka

5. Kalimat Emfatik

Adalah kalimat yang memberikan penegasan khusus pada subjek. Penegasan itu dilakukan dengan (1) menambahkan partikel lah pada subjek, (2) menambahkan kata sambung yang dibelakang subjek.30 Contoh:

- Dia memulai pertengkaran itu.

Dialahyang memulai pertengkaran itu.

C. Kalimat Efektif

Kalimat efektif adalah kalimat yang secara cepat dapat mewakili ide pembicara/penulis dan sanggup menimbulkan ide yang sama tepatnya dengan pikiran pendengar/pembaca. Sebuah kalimat efektif, akan mampu mewakili ide yang ada dalam benak pembicara/penulis dan pendengar/pembaca, tanpa

30


(50)

menimbulkan salah paham.31 Dengan kata lain Kalimat efektif merupakan kalimat yang baik karena apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh pembicara (si penulis dalam bahasa tulis) dapat diterima dan dipahami oleh pendengar (pembaca dalam bahasa tulis) sama benar dengan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh si penutur atau si penulis.

Setiap gagasan, pikiran, atau konsep yang dimiliki seorang pada praktiknya akan dituangkan ke dalam bnetuk kalimat. Kalimat yang benar (dan juga baik) haruslah memenuhi persyaratan gramatikal. Artinya, kalimat itu harus disusun berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku, seperti unsur-unsur yang harus dimiliki oleh setiap kalimat (subjek dan predikat); memperhatikan ejaan yang disempurnakan; serta memilih kata (diksi) yang tepat dalam kalimat. Kalimat yang memenuhi kaidah-kaidah tersebut jelas akan mudah dipahami oleh pembaca atau pendengar. Kalimat yang demikian juga disebut kalimat efektif.

Kalimat efektif mampu membuat proses penyampaian dan penerimaan berlangsung dengan sempurna. Kalimat efektif mampu membuat isi atau maksud yang disampaikan pembicara tergambar lengkap dalam pikiran si penerima (pembaca/pendengar), persis apa yang disampaikannya. Hal tersebut terjadi jika kata-kata yang mendukung kalimat itu sanggup mengungkapkan kandungan gagasan. Dengan kata lain, hampir setiap kata secara tepat mewakili pikiran dan keinginan penulis. Hal ini berarti, bahwa kalimat efektif haruslah secara sadar disusun oleh penulis/penuturnya untuk mencapai informasi yang maksimal. Jadi,

31

Fitriyah Mahmudah, Ramlan Abdl Ghani, pembinaan Bahasa Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), Cet. 1, h. 106


(51)

kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan, pikiran, dan perasaan dengan tepat ditinjau dari segi diksi, struktur dan logikanya. Dengan kata lain, kalimat efektif selalu berterima secara tata bahasa dan makna.32 Sebuah kalimat dikatakan efektif apabila mencapai sasarannya dengan baik sebagai alat komunikasi.

Perhatikan contoh berikut ini!

Mereka mengambil botol bir dari dapur yang menurut pemeriksaan laboratorium berisi cairan racun.

Apakah yang berisi cairan racun itu? Jika jawabannya “dapur” kalimat ini sudah baik. Jika jawabannya “botol bir”, letak keterangannya perlu diubah menjadi:

Dari (dalam) dapur mereka mengambil botol air yang menurut pemeriksaan laboratorium berisi cairan racun.

D. Ciri-ciri Kalimat Efektif

Ada beberapa syarat kalimat efektif. Untuk itu, sabarti Akhdiah menyatakan bahwa secara umum kalimat harus disusun berdasarkan kaidah sebagai berikut: 1. Unsur-unsur yang ada dalam sebuah kalimat

2. Aturan ejaan yang berlaku 3. Cara-cara memilih kata (diksi)

Seperti dinyatakan di atas, sebuah kalimat minimal terdiri dari satu objek dan satu predikat. Inilah unsur yang terpenting dari sebuah kalimat. Di samping

32


(52)

itu, ada lagi unsur lain yang sesuai dengan kebutuhan dan tidak harus ada yaitu keterangan.

Dalam ragam resmi baik lisan maupun tulis, deretan kata yang memenuhi kriteria sebuah kalimat minimal harus memiliki unsur subjek dan predikat (S-P). Jika kurang dari itu, deretan kata tersebut bukanlah kalimat, namun hanya frase dan klausa.

Jika ditulis, syarat kalimat efektif yang terpenting adalah penggunaan Pedoman Ejaan yang Disempurnakan. Lebih jelasnya, pembaca bisa mempelajari pada pembahasan tentang ejaan.

Dalam kalimat efektif itu mempunyai empat sifat/ciri, yaitu: 1. kesatuan (unity)

2. kehematan (economy) 3. penekanan (emphasis) 4. kevariasian (variety)

1. Kesatuan (Unity)

Betapa pun bentuk sebuah kalimat, baik kalimat inti maupun kalimat luas, agar tetap berkedudukan sebagai kalimat efektif, haruslah mengungkapkan sebuah ide pokok atau satu kesatuan pikiran. Dalam laju kalimat tidak boleh diadakan perubahan dari satu kesatuan gagasan kepada kesatuan gagasan lain yang tidak ada hubungan, atau menggabungkan dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan sama sekali. Bila dua kesatuan yang tidak mempunyai hubungan disatukan, maka akan rusak kesatuan pikiran itu.


(53)

Kesatuan tersebut bisa dibentuk jika ada keselarasan antara subjek-predikat, predikat-objek, dan predikat-keterangan. Dalam penulisan tampak kalimat-kalimat yang panjang tidak mempunyai S dan P. Ada pula kalimat yang secara gramatikal mempunyai subjek yang diantarkan oleh partikel. Hal seperti ini hendaknya dihindarkan oleh pemakai kalimat agar kesatuan dan gagasan yang hendak disampaikan dapat ditangkap oleh pembaca atau pendengar.

Contoh:

a. Dosen sedang menyampaikan perkuliahan bahasa Arab b. Bagi dosen sedang menyampaikan perkuliahan bahasa Arab

Kalimat a sepadan dan jelas kesatuan gagasannya karena utuh dan lengkap. Namun, kalimat b tidak sepadan dam tidak jelas kesatuan gagasannya karena tidak lengkap karena kalimat ini tidak memiliki subjek (S). Jadi, kesatuan kalimat dianggap utuh jika unsurnya lengkap.

Kesatuan gagasan janganlah pula diartikan bahwa hanya terdapat suatu ide tunggal. Bisa terjadi bahwa kesatuan gagasan itu terbentuk dari dua gagasan pokok atau lebih. Secara praktis sebuah kesatuan gagasan diwakili oleh subjek, predikat ± obyek. Kesatuan yang diwakili oleh subyek, predikat, dan ± obyek itu dapat berbentuk kesatuan tunggal, kesatuan gabungan, kesatuan pilihan, dan kesatuan yang mengandung pertentangan. 33

Contoh-contoh berikut dapat menjelaskan kesatuan gagasan tersebut, baik kesatuan yang terpadu dan kesatuan yang tidak terpadu.

33


(54)

a. Yang jelas kesatuan gagasannya

Kita bisa merasakan dalam kehidupan sehari-hari, betapa emosi itu seringkali merupakan tenaga pendorong yang amat kuat dalam tindak kehidupan kita (Kesatuan Tunggal).

Semua desa itu mendapat penejelasan mengenai Rencana Pembangunan Lima Tahun (Kesatuan Tunggal).

Dia telah meninggalkan rumahnya jam enam pagi, dan telah bernagkat dengan pesawat satu jam yang lalu. (Kesatuan Gabungan).

Ayah bekerja diperusahaan pengangkutan itu, tetapi ia tidak senang dengan pekerjaan itu (Kesatuan yang mengandung pertentangan).

Kamu boleh menyusul saya ke tempat itu, atau tinggal saja di sini

(Kesatuan Pilihan).

b. Yang tidak jelas kesatuan gagasannya

Kesatuan gagasan biasanya menjadi kabur karena kedudukan subjek atau predikat tidak jelas, terutama karena salah menggunakan kata-kata depan. Kesalahan lain terjadi karena kalimatnya terlalu panjang sehingga penulis atau pembicara sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya yang mau dikatakan.

Contoh:

Menanggapi tulisan saudara pada harian Kompas hari kamis 27

maret 1975 pada halaman IV kolom redaksi Yth. Mengenai TVRI Palembang yang isinya mengungkapkan perasaan tidak puas, mual, dan jengkel terhadap acara-acara produksi TVRI Palembang, dengan


(55)

tulisannya antara lain dalam menampilkan acara TVRI Palembang tidak terlebih dahulu menganalisa acara-acara yang diproduksinya sendirinya itu, asal jadi saja.

2. Kehematan (economy)

Kehematan adalah penggunaan kata atau frase yang tidak perlu dan adanya hubungan jumlah kata yang digunakan dengan luasnya jangkauan makna yang diacu. Sebuah kalimat dikatakan hemat bukan karena jumlah katanya sedikit, sebaliknya dikatakan tidak hemat karena jumlah katanya terlalu banyak. Yang utama adalah seberapa banyakkah kata yang bermanfaat bagi pembaca dan pendengar. Oleh karena itu, kata-kata yang tidak perlu bisa dihilangkan.34 Untuk itu, hal-hal yang perlu dihindarkan dalam kalimat adalah sebagai berikut.35

a) Subjek ganda, misalnya:

 Karena mahasiswa itu malas mengikuti acara perkuliahan, mahasiswa itu ketinggalan pelajaran.

Seharusnya:

Karena malas mengikuti acara perkuliahan, mahasiswa itu ketinggalan pelajaran.

 Pemuda itu segera mengubah rencananya setelah dia bertemu dengan pemimpin perusahaan itu.

Seharusnya:

34

Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), h. 55 35


(56)

 Pemuda itu segera mengubah rencana setelah bertemu dengan pemimpin perusahaan itu.

b) Penjamakkan yang sudah jamak, misalnya:

 Banyak para jamaah yang menjadi korban ketika terjadinya musibah di Jamarat Mina.

Lebih hemat: banyak jamaah yang menjadi korban ketika terjadinya musibah di Jamarat Mina.

 Bapak-bapak, ibu-ibu, para hadirin sekalian yang kami hormati Lebih hemat: para hadirin yang kami muliakan

c) Penggunaan bentuk panjang yang salah, misalnya:

 Dosen itu memberikan teguran kepada mahasiswa yang sering tidak masuk kuliah

Lebih hemat:

 Dosen itu menegur mahasiswa yang sering tidak masuk kuliah d) Penggunaan saling+verba resiprokal, misalnya:

 Menjelang berpisah, kedua orang itu saling bersalaman dan saling bermaafan.

Lebih hemat:

 Menjelang berpisah, kedua orang itu saling menyalami dan saling memaafkan..


(57)

Kata kerja resiprokal ialah kata kerja yang dengan sendirinya sudah menunjukkan berbalas-balasan (dilakukan dua piha atau lebih), misalnya: berperang, berselisih, berhadapan, bertemu, dan sebagainya.

e) Pemakaian subordinatif pada hiponim kata, misalnya:

 Baju berwarna merah yang saya pakai kemarin adalah hadiah dari almarhum pamanku.

Lebih hemat:

 Baju merah yang saya pakai kemarin adalah hadiah dari almarhum pamanku.

f) Penggunaan sinonim dalam satu kalimat, misalnya:

 Jangankan manusia, kucing saja sangat sayang sekali kepada anaknya. Lebih hemat:

 Jangankan manusia, kucing saja sangat sayang kepada anaknya.

Penggunaan sinonim yang harus dihindarkan juga adalah kata hubung (konjungsi) yang digunakan dua macam dalam satu kalimat, misalnya:

... agar supaya…..

…. Adalah merupakan ……….. Jika…….., maka ……….. Meskipun……., tetapi …………. Walaupun ……… tetapi ……….... Agar/supaya ……….., maka ……….. Meskipun ………., namun ……….


(58)

3. Penekanan (Emphasis)

Yang dimaksud dengan penegasan atau penekanan adalah suatu perlakuan penonjolan pada ide pokok kalimat. Kalimat itu memberi penekanan atau penegasan pada penonjolan itu.36 Ada beberapa cara untuk membentuk penekanan dalam kalimat.

a. Meletakkan kata yang ditonjolkan itu di depan kalimat (di awal kalimat). Contoh:

Presiden mengharapkan agar rakyat membangun bangsa dan negara ini

dengan kemampuan yang ada.

Penekanannya ialah presiden mengharapkan. b. Membuat urutan kata yang bertahap.

Contoh:

Bukan seribu, sejuta, atau seratus, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar.

Seharusnya:

Bukan seratus, seribu, atau sejuta, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan kepada anak-anak terlantar.

c. Melakukan pengulangan kata (repetisi). Contoh:

Saya suka kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan mereka. d. Melakukakan pertentangan terhadap ide yang ditonjolkan.

36

Zaenal Arifin, S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, (Jakarta: Akademika Presindo, 2004) h. 92-93


(59)

Contoh:

Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan jujur. e. Mempergunakan partikel penekanan (penegasan)

Contoh:

Saudaralah yang bertanggung jawab.

4. Variasi (variety)

Variasi (variety) merupakan suatu upaya yang bertolak belakang dengan repetisi. Repetisi atau pengulangan sebuah kata untuk memperoleh efek penekanan, lebih banyak menekankan kesamaan bentuk. Pemakaian bentuk yang sama secara berlebihan akan menghambarkan selera pendengar atau pembaca. Sebab itu ada upaya lain yang bekerja berlawanan dengan repetisi yaitu variasi. Variasi tidak lain daripada menganeka-ragamkan bentuk-bentuk bahasa agar tetap terpelihara minat dan perhatian orang. 37

Variasi dalam kalimat dapat diperoleh dengan beberapa macam cara, yaitu: a. Variasi sinonim kata

Variasi berupa sinonim kata, atau penjelasan-penjelasan yang berbentuk kelompok kata pada hakekatnya tidak merubah isi dari amanat yang akan disampaikan. Contoh:

Dari renungan itulah penyair menemukan suatu makna, suatu realitas

yang baru, suatu kebenaran yang menjadi ide sentral yang menjiwai puisi.

37


(60)

Pengertian makna, realitas yang baru, dan kebenaran merupakan hal yang sama diperoleh penyair dalam renungan itu. Demikian pula puspa dan wangi

sebenarnya menyatakan hal yang sama. b. Variasi panjang pendeknya kalimat

Variasi dalam panjang pendeknya struktur kalimat akan mencerminkan dengan jelas pikiran pengarang, serta pilihan yang tepat dari struktur panjangnya sebuah kalimat dapat memberi tekanan pada bagian-bagian yang diinginkan. Bila kita menghadapi kalimat atau rangkaian kalimat panjang yang identik strukturnya, maka itu merupakan pertanda bahwa kalimat tersebut kurang baik digarap, serta pkiran pengarang sendiri tidak jelas. Perhatikan variasi panjang pendek kalimat dalam contoh berikut:

Saudara J.U Nasution memberikan alasan untuk menolak sajak tersebut dengan mengutarakan bahwa puisi itu tidak mengikuti logika puisi, pada malam lebaran tidak ada bulan. Sebenarnya tak perlu kita bawa logika puisi untuk menolak puisi tersebut. Penciptaan puisi memang bukanlah hanya dapat melambangkan banyak hal. Tetapi pernyataan itu juga harus intensif, yang dengan sendirinya dapat menimbulkan kesan kepada pembaca, dan kesan itu timbul bukan karena peniliti pernahmengalami hal yang sama atau mengetahui jiwa penyair atau situasi penyair waktu menciptakan sajak itu. Dari segi syarat-syarat tema juga sudah terang sajak itu bukanlah suatu puisi yang baik. Dia juga harus memberi sesuatu kepada manusia dan yang diberikan itu haruslah sesuatu yang berharga.


(61)

Bila kita perinci fragmen di atas maka kalimat pertama mengandung 23 kata (nama orang dihitung 1 kata). Sedangkan kalimat-kalimat selanjutnya berturut-turut terdiri dari: 11 kata, 9 kata, 37 kata, 15 kata, dan 16 kata. Ternyata fragmen ini tidak membosankan, karena cukup mengandung variasi. c. Variasi penggunaan bentuk me- dan

di-Pemakaian bentuk gramatikal yang sama dalam beberapa kalimat berturut-turut juga dapat menimbulkan kelesuan. Sebab itu haruslah dicari variasi pemakaian bentuk gramatikal terutama dalam mempergunakan bentuk-bentuk kata kerja yang mengandung prefiks me- dan di-. Perhatikan kutipan berikut:

Seorang ahli Inggris yang duduk dalam Team Penelitian dan

Pembangunan Pelabuhan-pelabuhan di Indonesia pernah

mengemukakan bahwa di daerah-daerah yang luas tetapi tipis penduduknya serta kurang aktivitas ekonominya, seyogyanya pemerintah

tidak membangun pelabuhan samudra. Namun, pemerintah tidak

memutuskan demikian.

Memang, cukup mengendorkan semangat kalau kita melihat keadaan di Nusa Tenggara (tidak termasuk Bali dan Lombok) yang tetap ‘tidur nyeyak’ meskipun pemerintah sudah membangun banyak fasilitas pengangkutan laut serta udara.

Kutipan di atas akan dirasakan lain kalau dibuat variasi seperti di bawah ini:

Seorang ahli Inggris yang duduk dalam team penelitian dan


(62)

mengemukakan bahwa didaerah-daerah yang luas tetapi tipis penduduknya sert kurang aktivitas ekonominya, seyogyanya tidak

dibangun pelabuhan samudra. Namun pemerintah tidak memutuskan demikian. Memang cukup mengendorkan semangat kalau kita melihat keadaan di Nusa Tenggara (tidak termasuk Bali dan Lombok) yang tetap ‘tidur nyeyak’ meskipun fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dan udara sudah banyak dibangun.

d. Variasi dengan posisi dalam kalimat

Variasi dengan merubah posisi dalam kalimat sebenarnya mempunyai sangkut paut juga dengan penekanan dalam kalimat. Contoh berikut merupakan variasi kalimat dengan memberi tekanan.

Di bidang angkutan udara MNA mempergunakan pesawat Twin Otter Yang harganya tiga kali lebih mahal dari harga Dakota, karena beberapa

keunggulannya.

Variasi kalimat:

Pergunakan; MNA; pesawat Twin Otter; harganya tiga kali lebih mahal;


(63)

BAB III

INFORMASI UMUM BUKU

FATH AL-MU’ÎN

DAN

TERJEMAHANNYA

1. Buku Fath Al-Mu’în

a. Biografi Pengarang

Beliau adalah bernama Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry atau Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbâry. Ia merupakan ulama' yang di lahirkan di daerah Malabar, India Selatan. Tak diketahui secara persis, kapan Syaikh Zainuddin Al-Malibari lahir. Bahkan, wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Beliau diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H dan di makamkan di pinggiran kora Ponani, India. Tepatnya terletak di samping masjid Agung Ponani atau Funani.38

Beliau adalah cucu dari Syaikh Zain al-Din ibn Ali pengarang kitab Irsyadul Qasidin ringkasan kitab munhaj al-Abidin, sejak kecil, Syaih Zain al-Dîn al-Malibari telah terdidik oleh keluarga agamis, selain sekolah di al-Madrasy yang didirikan oleh kakek beliau, beliau juga berguru kepada beberapa Ulama' Arab, diantaranya Ibnu Hajar al Haitami dan Ibn al-Ziad. Syaikh Zain al-Din al-Malibari, selain dikenal sebagai ulama fikih yang mengikuti madzhab Syafi'i, beliau juga dikenal sebagai ahli tasawuf, sejarah dan sastra. Beliau mempunyai beberapa karya yaitu Fath al-Mu’în

syarah atas kitab karyanya sendiri Qurrat al-Ayun Fi Muhimmati al-Din, Hidayah

38

Saeful. Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry,


(1)

pembaca untuk mengungkapkan pesan dan menjadikan kurang efektifnya kalimat. Diantara kasus tersebut adalah:

1. Adanya ketidakutuhan dalam struktur sintaksis. 2. Adanya kalimat yang tidak logis.

3. Adanya ketidaktepatan diksi.

4. Adanya ketidakefesien penggunaan kata yaitu pemakaian kata kerja gabung, kata depan (atas, daripada, kepada).

B. Saran

Setelah menganalisis objek data, Penulis menyarankan ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan yaitu sebagai berikut:

1. Seorang penerjemah ketika menerjemahkan harus memahami isi alinea pada teks sumber, agar mampu memahami dan menyampaikan pikiran pokok dalam Bsa dengan tepat.

2. Seorang penerjemah juga harus memahami perlu tidaknya penyesuaian struktur untuk memudahkan mengatasi kalimat yang rumit dan mengefektifkan penerjemahan, pemahaman makna tanda baca agar maksud Bsu tersampaikan dalam Bsa dengan pemakaian tanda baca yang tepat, dan mengetahui saat tepat menghindari kata-kata mubadzir.


(2)

3. Seorang penerjemah tidak terlalu bebas dalam menerjemahkan sebuah karya tulis, sehingga terjemahan yang dihasilkan tidak menyimpang dari karya aslinya.

4. Seorang penerjemah harus pandai mencari padanan kata yang sesuai dengan naskah aslinya.

5. Seorang penerjemah harus jujur dalam menerjemahkan sebuah karya tulis, sehingga pesan-pesan yang disampaikan oleh Penulis tidak hilang oleh perubahan kalimat yang dilakukan oleh penerjemah.

Penulis sadar bahwa penelitian ini jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kiranya penelitian ini harus diteruskan serta dijabarkan kembali, khususnya pada tahap gramatikal yang terdapat dalam buku terjemahan Fath al-Mu’în.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, ibn ‘Aqil Bahaud Din. Terjemahan Alfiyah Syarah Ibn ‘Aqil. Bandung: Sinar Baru Algesindo.2009.

Akmaliyah. Wawasan dan Teknik Terampil Menerjemahkan (Edisi Revisi). Bandung: N & Press.2007.

Al-Malibâry, Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz. Fath Mu’în bi Syarhil Qurrat al-‘Ayun. Penerjemah Ali As’ad. Kudus: Menara Kudus. 1989. Jilid I.

Aqil, Siradj Aqil, Hidayatullah, Syarif, dkk. Pesantren Masa Depan (Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren). Bandung: Pustaka Hidayah. 1999.

Arifin, Zaenal. E. Tasai, Amran. S. cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Medyatama Sarana Perkasa. 1988.


(4)

Bagus, Putrayasa Ida. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur dan Logika). Bandung: Retrika Aditama. 2002.

---Analisis Kalimat (Fungsi, Kategori, dan Peran). Bandung: Retrika Aditama. 2007.

Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah (Wawasan dan Metode Penerjemah Teks Arab). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2004.

Chaer, Abdul. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2000.

Choliludin. The Technique of Making Idiomatic Translation. Bekasi: Kesaint Blanc. 2006.

Dian, Nafi. M, ‘Ala Abdul, Anisa Hindun, Aziz, Abdul. Praktis Pesantren. Yogyakarta: Instite for Training and Delopment (ITD). 2007.

Fitriyah, Muhammad ZA, Abdul, Ghani Ramlan. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2007.

Hendoro, Hoed Beni. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: Dunia Pustaka. 2006.

Hidayatulloh,Syarif Moch. Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia. Tangerang: Dikara. 2011.

http://saifanshori.blogspot.com


(5)

M. Muliono, Anton, Dardjowidjoyo, Soenjono. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998.

Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo. 2000.

Moentaha, Solihen. Bahasa dan Terjemahan (language and Translation The New Millenium Publication). Jakarta: Kesaint Blanc. 2006.

Munawwir, Warson Achmad. Kamus al-Munawwir. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997

Munip, Abdul. Strategi dan Kiat Menerjemahkan Teks Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Teras. 2009.

Ramlan, Arif, Muh. Penerjemahan Teks Inggris. Yogyakarta: Pyramid Publisher. 2006.

Rusnandar, dkk. Bahasa Indonesia untuk SMK. Bandung: Galaxi Puspa Mega. 2001.

Saeful. Syaikh Zain al-Dîn ibn ‘Abd al-‘Azîz al-Malîbâry. http://saifanshori.blogspot.com

Sahal, Mahfudh. Nuansa Fiqh Sosial. Yogyakarta: LkiS. 1994.

Sayogi, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008.


(6)

Sudarmo, A. Rahman Eman. Kemampuan Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Mutu Guru. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan kebudayaan. 1992.

Sudarna, Caca. Materi Bahasa Indonesia untuk Meningkatkan Mutu Guru. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1992.

Syihabudin. Penerjemah Arab-Indonesia (Teori dan Praktek). Bandung: Humaniora. 2005.