predikat, disebabkan karena di awali dengan kata adapun. Pada kata adapun ini seharusnya tidak perlu dicantumkan karena akan menyebabkan hilangnya unsur
subjek pada awal kalimat. Subjek mubtada di sini terletak pada frasa
ا ﺐﺟاو لّو ,
sedangkan yang menempati sebagai predikat khabar yaitu
َﺗْﻌ ِﻠْﯿ
ِﻤ ِﮫ
.
Pada subjek tersebut seharusnya di awal kalimat kemudian disusul dengan predikat. Kemudian kata termasuk, tersebut, juga seharusnya dihilangkan saja, karena tidak
mempunyai pengaruh apa terhadap konteks terjemahan, namun yang ada hanya pemborosan kata.
Penulis merubah terjemahan tersebut menjadi: Kewajiban awal dalam urusan memerintahkan shalat di sini, sebagaimana para
ulama katakan kepada bapak kemudian kepada orang-orang yang telah disebutkan seperti di atas yaitu kewajiban untuk mengajarkan anak yang mumayiz bahwa: Nabi
Muhammad itu diutus di Makkah, lahir di sana, wafat serta dikebumikan di Madinah.
B. Subjek Ganda
ﻫ ﻤﺎ
ﹸﻟﻐ ﹰﺔ
: ﹶﺍﹾﻟﺎ
ﻋ ﹶﻼ
ﻡ ﻭ
ﺷ ﺮ
ﻋﺎ ﻣﺎ
ﻋ ﹺﺮﹶﻓ
ﺎ ﻣ
ﻦ ﹾﻟﺍﹶﺎ
ﹾﻟﹶﻔ ﻅﺎ
ﹾﻟﺍ ﻤ
ﺸ ﻬ
ﻮﺭ ﺓ
ﻓﻴ ﹺﻬ
ﻤﺎ .
Terjemahannya: Adzan dan Iqamah menurut arti bahasanya adalah “memberitahukan”; dan menurut
ma’na syara’ adalah bacaan berupa kalimat-kalimat seperti yang telah termasyhur diketahui dalam adzan dan iqamah.
46
46
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal 217, baris 1
Analisis: Jika kita cermati secara seksama, terjemahan di atas bukan merupakan kalimat
efektif karena si penerjemah menerjemahkan teks tersebut menggunakan metode harfiah atau terjemahan kata demi kata. Kata arti sebaiknya dihilangkan saja.
Kemudian dalam kata bahasanya kata –nya di sini merupakan subjek ganda subjek kedua yang merujuk pada kata Adzan dan Iqamah. Untuk itu, kata –nya dihilangkan
saja karena tidak bermanfaat apabila diletakkan. Setelah itu pada kata dan terjemahan di atas sebaiknya diganti dengan sedangkan, karena jika kata “dan” tetap digunakan,
maka kalimat tersebut tidak nyaman dibaca. Kata
ةرﻮﮭﺸﻤﻟا
tetap diterjemahkan apa adanya yaitu “termasyhur” yang merupakan hasil penyerapan bahasa yang tidak tepat
untuk diletakkan, sehingga diksi yang tepat untuk menerjemahkan kata tersebut yaitu “dikenal”.
Oleh karena itu, menurut Penulis agar terjemahan teks di atas menjadi kalimat yang efektif yaitu dengan membuang kata “arti” serta mengganti kata “dan” dengan
sedangkan. Sehingga terjemahannya menjadi, “Adzan dan iqamah menurut bahasa, berarti pemberitahuan. Sedangkan menurut
syara’ agama, adzan dan iqamah adalah ungkapan-ungkapan tertentu yang telah dikenal dalam keduanya.”
C. Penggunaan Bentuk Panjang Yang Salah
1
ﹶﻗ ﹶﻝﺎ
ﺷﻴ ﺨ
ﻨﺎ :
ﻭ ﻫ
ﻮ ﹶﻇ
ﻫﺎ ﺮ
ﺇﹾﻥ ﹶﻟﻢ
ﻳ ﺨ
ﺶ ﻧ
ﺸ ﻮﺯ
ﺍ ﻭ
َﺃ ﹾﻃﹶﻠ
ﻖ ﺰﻟﺍ
ﺭ ﹶﻛ
ﺸ ﻲ
ﻨﻟﺍ ﺪ
ﺏ
Terjemahannya: Syaikhuna berkata: hal itu sudah jelas, jika tidak khawatir akan terjadi nusyuz. Dalam
pada masalah pendidikan isteri seperti ini, Az-zarkasyi mengemukakan hukumnya sebagai sunah.
47
Analisis: Untuk terjemahan di atas yang menjadi kendala terjemahan itu tidak enak
dibaca dan tidak pas apabila diletakkan, yaitu terdapat adanya kata dalam. Selain itu, pada kata pendidikan tidak tepat apabila dicantumkan, seharusnya diganti dengan
kata mendidik, sebab dalam maksud terjemahan di atas itu terkait masalah melakukan pekerjaan yaitu mendidik seorang istri bukan mengenai pendidikan yang berarti
menyatakan hal. Kemudian kata sebagai itu seharusnya dihilangkan saja, karena sebagai meskipun dihilangkan itu tidak merubah konteks yang ada.
Kata syaikhuna masih tetap diterjemahkan sama syaikhuna, yang masih condong melihat teks sumber, padahal kata syaikhuna di sini diarti
kan guru kami
yang merujuk pada guru si penulis kitab Fath al-Mu’în ini
. Maka, kata
syaikhuna di sini diganti dengan guru kami.
47
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal 15, baris 3
Jadi menurut Penulis terjemahan di atas yaitu Guru kami berkata: hal itu sudah jelas, jika tidak khawatir akan terjadi nusyuz. Pada
masalah mendidik istri seperti ini, Az-zarkasyi mengemukakan hukumnya sunah. 2
ﻭﹾﺍ ﹶﳌﹾﻔ
ﺮﻭ ﺿ
ﺕﺎ ﹾﻟﺍﻌ
ﻴﹺﻨﻴ ﹸﺔ
ﺧ ﻤ
ﺲ ﻓ
ﻰ ﹸﻛ
ﱢﻞ ﻳﻮ
ﹴﻡ ﻭ
ﹶﻟﻴﹶﻠ ﺔ
ﻣﻌ ﹸﻠﻮ
ﻣﹲﺔ ﻣ
ﻦ ﺪﻟﺍ
ﻳﹺﻦ ﹺﺑ
ﻀﻟﺎ ﺮ
ﻭﺭ ﺓ
ﹶﻓﻴ ﹾﻜ
ﹸﻔﺮ ﺟ
ﺣﺎ ﺪ
ﻫﺎ .
Terjemahannya: Shalat-shalat fardhu ‘ain itu lima kali selama satu hari satu malam, yang diketahui
dengan pasti dari penjelasan agama. Karena itu, orang yang menentangnya di hukum kafir.
48
Analisis: Dalam terjemahan di atas, memang pesannya sudah dapat dipahami oleh pembaca.
Namun, ada beberapa kasus yang menurut Penulis itu harus dirubah. Pertama, pada frasa fardhu ‘ain. Dalam frasa ini si penerjemah masih menggunakan translit, yaitu
hanya memindahkan kata Bsu ke dalam Bsu. Mungkin ada sebagian pembaca yang belum mengetahui apa yang dimaksud dengan fardhu ‘ain. Maka dari itu, Penulis
untuk menerjemahkan frasa fardhu ‘ain itu menjadi yang wajib supaya sebagian orang lebih memahami secara singkat. Kedua, Penulis melihat terjemahan di atas
dalam mempergunakan frasa itu berlebihan, yaitu pada frasa satu hari dan satu malam. Untuk merubah frasa tersebut supaya lebih singkat dan lebih hemat Penulis
ganti dengan kata sehari dan semalam. Ketiga, pada kata selama Penulis merubahnya
48
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal 9, baris 2
dengan kata dalam sebab pada kata selama ini mengandung unsur jangka waktu dalam melakukan shalat bukan mengandung unsur lamanya hari. Jadi kata selama itu
diganti dengan kata dalam. Jadi, menurut Penulis terjemahannya adalah:
Shalat-shalat yang diwajibkan itu ada lima dalam sehari semalam, yang diketahui dengan pasti dari penjelasan agama. Karena itu, orang yang menentangnya di
hukumi kafir. 3
ﹶﺍ ﱠﻄﻟ
ﻬ ﺭﺎ
ﹸﺓ ﹸﻟ ﻐﹰﺔ
ﹶﺍﻨﻟ ﹶﻈ
ﹶﻓﺎ ﹸﺔ
ﻭ ﹾﻟﺍ
ﺨ ﹸﻠﻮ
ﺹ ﻣ
ﻦ ﺪﻟﺍ
ﻧ ﹺﺲ
. ﻭ
ﺷ ﺮ
ﻋﺎ ﺭﹾﻓ
ﻊ ﹾﻟﺍ
ﻤﻨ ﹺﻊ
ﹾﻟﺍ ﻤﺘ
ﺮﺗ ﹺﺐ
ﻋﹶﻠ ﻰ
ﹾﻟﺍ ﺤ
ﺪ ﺙ
ﹶﺍﹺﻭ ﻨﻟﺍ
ﺠ ﹺﺲ
Terjemahannya: thaharah menurut arti bahasa : suci dan lepas dari kotoran. Dan menurut istilah syara’ ialah : menghilangkan halangan yang itu berupa hadats atau
najis.
49
Analisis: Dari terjemahan di atas terdapat kata yang panjang yang seharusnya kata tersebut
tidak perlu dicantumkan. Kata panjang tersebut pada kata yang itu. Kata yang itu membuat pemabaca teks terjemahannya agak membingungkan. Kemudian pada kata
dan yang bergaris bawah itu tidak sesuai dan kurang enak dibaca dengan memilih diksi. Kata yang sesuai dengan diksi tersebut yaitu kata sedangkan sebab kata
49
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal 17, baris 4
sedangkan itu merupakan konjungsi yang masih ada keterkaitan dengan pengertian sebelumnya. Jadi kata dan di atas harus diganti dengan kata sedangkan supaya ketika
pembaca membaca teks terjemahannya akan terasa nikmat. Pada tanda titik dua : pun penempatannya masih kurang sesuai menurut kaidah EYD. Seharusnya pada
tanda baca di atas tidak usah memakai spasi. Pada klausa menurut arti bahasa itu pun berlebihan menggunakan kata, cukup dengan menurut bahasa pembaca pun mengerti
akan terjemehan tersebut. Jadi terjemahan di atas yang sesuai yaitu:
Thaharah menurut bahasa: suci dan lepas dari kotoran. Sedangkan menurut istilah syara’ ialah : menghilangkan halangan berupa hadats atau najis.
4
ﻭ ﹶﻏﻴ
ﺮ ﻣﺘ
ﻐﻴ ﹺﺮ
ﺗﻐﻴ ﺮﺍ
ﹶﻛﺜ ﻴﺮ
ﺍ ﹺﺑ
ﺤ ﻴ
ﹸﺚ ﻳﻤ
ﻨﻊ ِﺇ
ﹶﻼﹾﻃ ﻕ
ﺳﺍ ﹺﻢ
ﹾﻟﺍ ﻤ
ِﺀﺎ ﻋﹶﻠ
ﻴﻪ ِﺑﺄ
ﹾﻥ ﺗﻐﻴ
ﺮ ﹶﺍﺣ
ﺪ ﺻ
ﹶﻔﺗﺎ ﻪ
ﻣ ﻦ
ﻃ ﻌﹴﻢ
ﹶﺍﻭ
ﹶﻟﻮ ﻥ
ﹶﺍﻭ ﹺﺭﻳ
ﹴﺢ ﻭﹶﻟ
ﻮ ﺗﹾﻘ
ﺪﻳ ﹺﺮﻳ
ﺎ ﹶﺍ ﻭ
ﹶﻛ ﹶﻥﺎ
ﺘﻟﺍ ﻐﻴ
ﺮ ﹺﺑﻤ
ﺎ ﻋﹶﻠ
ﻰ ﻋ
ﻀ ﹺﻮ
ﹾﻟﺍ ﻤﺘ
ﹶﻄ ﻬﹺﺮ
ﻓ ﻰ
ﹾﻟﺍﹶﺎ ﺻ
ﺢ .
Terjemahannya: Dan bukan pula air yang berubah banyak-banyak sekira dapat menghilangkan
“kemuthlaqan” air seperti halnya ia telah berubah salah satu sifatnya, baik rasa, warna maupun bau, walaupun secara taqdiriy. Ataupun berubahnya karena sesuatu yang ada
pada anggota badan orang yang bersuci, demikian menurut pendapat yang ashah.
50
Analisis:
50
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal 20, baris 2
Sudah jelas bahwa terjemahan di atas itu sangat membingungkan bagi para pembaca, karena terjemahan kata demi katanya sangat sulit untuk dipahami apa maksud pesan
yang ingin diungkapkan. Seperti pada klausa berubah banyak-banyak, orang yang bersuci. Pada klausa yang pertama berubah banyak-banyak, itu tidak sesuai.
Seharusnya klausa tersebut lebih efisien cukup diterjemahkan dengan banyak berubah. Pada kasus kedua, klausa orang yang bersuci juga tidak efisien dalam
penggunaan kata sehingga mengakibatkan pemborosan kata yang seharusnya terjemahannya itu enak dibaca menjadi tidak enak dibaca. Sehingga pada klausa
orang yang bersuci cukup diganti dengan orang yang suci. Yang terakhir Penulis hanya menambahkan pada kata sekira seharusnya ada penambahan kata –nya
sesudahnya dan sebelum kata tersebut dibubuhi dengan kata konjungsi yang supaya terjemahan di atas lebih enak dinikmati ketika dibaca.
Selain kasus di atas si penerjemah juga mengungkap dengan bahasa yang agak kaku dan ruwet, gaya bahasanya yang tidak sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia
yang berlaku. Menurut Penulis terjemahan yang sesuai yaitu:
Dan bukan pula air yang banyak berubah, yang sekiranya dapat menghilangkan “kemutlaqan” air seperti halnya ia telah berubah salah satu sifatnya, baik rasa,
warna maupun bau, walaupun secara taqdiriy, atau berubahnya karena sesuatu yang ada pada anggota badan orang yang suci, demikian menurut pendapat yang asah
yang kuat.
5
ﹶﻛ ﻤﺎ
ﹸﺫ ﻛ
ﺮ ﻣ
ﻦ ﺗﹾﻘ
ﺪﻳ ﹺﻢ
ﹶﻏ ﺴ
ﹺﻞ ﹾﻟﺍ
ﻮ ﺟ
ﻪ ﹶﻓﹾﻟﺎ
ﻴﺪ ﻳﹺﻦ
ﹶﻓ ﺮﻟﺎ
ْﺃ ﹺﺱ
ﹶﻓ ﺮﻟﺎ
ﺟ ﹶﻠﻴ
ﹺﻦ ﻟﺘﻠ
ﺒ ﹺﻉﺎ
. ﻭﹶﻟ
ﹺﻮ ﻧﺍﻐ
ﻤ ﺲ
ﻣ ﺤ
ﺪ ﹲﺙ
ﻭﹶﻟ ﻮ
ﻓ ﻲ
ﻣ ٍﺀﺎ
ﹶﻗﻠﻴ ﹴﻞ
ﹺﺑﹺﻨﻴ ﺔ
ﻣﻌ ﺘﺒ
ﺮﺓ ﻣﻤ
ﺎ ﻣﺮ
َﺃ ﺟ
ﺰﺃ ﻩ
ﻋ ﹺﻦ
ﹾﻟﺍ ﻮ
ﺿ ﻮِﺀ
ﻭﹶﻟ ﻮ
ﹶﻟﻢ ﻳﻤ
ﹸﻜ ﹾﺚ
ﻓ ﻰ
ﹾﻟﺍﺎ ﻧﻐ
ﻤ ﹺﺱﺎ
ﺯﻣ ﻨﺎ
ﻳﻤ ﻜ
ﻦ ﻓﻴ
ﻪ
ﺘﻟﺍ ﺮﺗ
ﻴ ﺐ
.
Terjemahannya: Berurutan seperti tersebut di atas. Terlebih dahulu membasuh muka, dua tangan,
kepala, baru dua kaki. Karena mengikuti urutan disebutnya dalam ayat. Apabila seorang berhadats kecil menyelam walaupun pada air sedikit, dengan niat yang benar
seperti di atas, cukuplah sebagai wudlunya; walaupun waktu menyelam itu belum cukup seandainya dipakai berwudlu secara tertib.
51
Analisis: Dalam terjemahan di atas terdapat bentuk panjang yang membuat para membuat para
pembaca bingung apa maksud isi terjemahan tersebut. Bentuk panjang itu terdapat pada kalimat walaupun pada air sedikit. Kalimat ini memang sungguh
membingungkan serta tidak enak dibaca. Dalam kasus di sini Penulis menggantinya dengan kalimat dengan air sedikit, yang dalam hal ini tidak merubah pesan yang
tertuju pada teks sumber tersebut. Selain itu, terjemahan di atas terdapat kata baru
ف
merupakan terjemahan ungkapan bahasa si penerjemah yang tidak mengacu pada tata bahasa indonesia. Seharusnya diksi yang tepat dalam menerjemahkan kata
51
‘Aly, As’ad, Tarjamah Fath al-Muîn 1, Kudus: Menara Kudus, 1980, hal 33, baris 5
ف
yaitu kemudian, karena merupakan sebuah konjungsi yang merujuk pada pengurutan. Kemudian dalam penempatan partikel –lah pada kata cukuplah itu tidak
sesuai, karena hanya memboroskan kata, partikel –lah seharusnya dihilangkan saja. Pada kata wudlunya pun terdapat imbuhan yang harus dibuang yaitu –nya, karena
hanya memborosan kata saja. Sehingga terjemahan di atas Penulis merubahnya menjadi:
Berurutan yang disebutkan di atas, yaitu dengan mendahulukan membasuh muka, dua tangan, kepala, kemudian dua kaki, karena mengikuti nabi. Apabila seorang
berhadats kecil menyelam dengan air sedikit, dengan niat yang benar seperti di atas cukup hanya wudu, walaupun waktu menyelam itu belum cukup jika dipakai wudu
secara tertib. Perlu dipahami, bahwa peran yang dimainkan oleh pembaca sangat jelas, yakni
memberikan aspirasi, penilaian, atau ‘mengadili’ buku terjemahan. Melalui logika hukum pasar, pembaca sebagai konsumen jelas merupakan hakim tertinggi.
52
Publik pembaca yang tidak kritis dengan buku terjemahan akan mudah tertipu oleh judul-
judul buku bombastis, penampilan cover yang atraktif, ataupun aspek-aspek lain yang tidak substansial. Publik pembaca yang demikian tidak dapat dikatakan sebagai
korban semata, sebab mereka sendiri ikut mendorong kepada situasi yang menjadikan dirinya dan orang lain menjadi korban.
52
Ibnu Burdah, Wawasan Penerjemah Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab, Yogyakarta: Tiara Wacana, hal. 61-62
Sebaliknya, apabila pembaca bersikap kritis dengan bertindak selektif dalam ‘mengkonsumsi’ buku, maka penerbit, editor, atau penerjemah akan bekerja ekstra
hati-hati dan seoptimal mungkin agar hasil penerbitan mereka terhindar dari kesalahan-kesalahan.
D. Melakukan Penonjolan Kata Di Depan Kalimat