PERBEDAAN EFIKASI DIRI GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PENDIDIKAN INKLUSI DITINJAU DARI LAMA MENGAJAR DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DI KECAMATAN GRABAG

(1)

PERBEDAAN EFIKASI DIRI GURU PENDIDIKAN ANAK

USIA DINI DALAM PENDIDIKAN INKLUSI DITINJAU DARI

LAMA MENGAJAR DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

DI KECAMATAN GRABAG

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Semarang

Oleh

Ririn Masynu’atul Khairiyah NIM 1601409050

JURUSAN PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014


(2)

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi berjudul “Perbedaan Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dengan Pendidikan Inklusi Ditinjai Dari Lama Mengajar Dan Latar Belakang Pendidikan Di Kecamatan Grabag“ benar-benar hasil tulisan karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah

Semarang,

Ririn Masynu’atul Khairiyah NIM. 1601409050


(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia ujian skripsi pada:

Hari :

Tanggal :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ali Formen, S.Pd, M.Ed Wulan Adiarti, M. Pd

NIP. 197705292003121001 NIP.198106132005012001

Mengetahui,

Ketua Jurusan PG PAUD FIP Unnes

Edi Waluyo, M.Pd NIP. 19790425 200501 1 001


(4)

iv

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan PG PAUD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universits Negeri Semarang, pada :

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Haryono, M.Psi Diana, S. Pd, M. Pd

NIP 196202221986011001 NIP 19791220 200604 2 001

Penguji I

Diana, S. Pd, M. Pd NIP 19791220 200604 2 001

Penguji II Penguji III

Ali Formen, S. Pd, M. Ed Wulan Adiarti, M. Pd


(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO

Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa.(5cm)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

 Bapak Muhamad Nur Khotim dan Ibu Siti Nurjanah atas do’a, kasih sayang dan dukunngannya.

 Pak War dan adikku Muhamad Reza Ul’ahkam dan seluruh keluarga yang selalu mendukungku.

 Kepada sahabat-sahabatku Ithuk, Santi, Wulan dan Mamah yang selalu memberi dukungan dan semua teman-teman PG PAUD 2009 rombel 2 atas kebersamaanya.


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah dan karuniaNYA sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Perbedaan Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dengan Pendidikan Inklusi Ditinjai Dari Lama Mengajar Dan Latar Belakang Pendidikan Di Kecamatan Grabag“. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:.

1.

Drs. Hardjono, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menempuh pembelajaran di Fakultas Ilmu Pendidikan.

2. Edi Waluyo, S. Pd. M. Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Negeri Semarang.

3. Ali Formen, S. Pd., M. Ed., Dosen pembimbing skripsi I yang membimbing, memberikan arahan, perhatian dan masukan yang sangat berarti selama penyusunan skripsi.

4. Wulan Adiarti, M.Pd., Dosen pembimbing skripsi II yang telah membimbing, memberikan arahan, perhatian dan masukan yang sangat berarti selama penyusunan skripsi.


(7)

vii

5. Bapak ibu dosen jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bekal ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menuntut ilmu di bangku kuliah.

6. Dinas UPTD Kecmatan Grabag yang telah memberikan ijin penelitian.

7. Guru pendidikan anak usia dini di kecamatan grabag kabupaten magelang yang telah membantu dan mempermudah dalam melakukan penelitian. 8. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis selama masa kuliah dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga semoga skripsi ini bermanfaat bagi semuanya.

Semarang, 2014


(8)

viii Abstrak

Masynu’atul Kairiyah, Ririn. 2013. Perbedaan Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Inklusi Ditinjau Dari Latar Belakang Pendidikan Dan Lama Mengajar Di Kecamatan Grabag. Skripsi. Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Univesitas Negeri Semarang. Pembimbing: 1. Ali Formen, S. Pd, M.Ed, 2.Wulan Adiarti, M.Pd Kata kunci: Efikasi Diri Guru, Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi merupakan suatu layanan pendidikan yang dicanangkan pemerintah agar anak berkebutuhan khusus dapat masuk dalam pendidikan reguler. Hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan. Karena itu efikasi guru pendidikan anak usia dini untuk melakukan program pendidikan inklusi perlu dikaji secara mendalam. Untuk mengetahui level efikasi diri guru dalam pendidikan inklusi penelitian ini mengkaji dua permasalahan: (1) adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari latar belakang pendidikan?; (2) adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari lama mengajar?

Penellitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan desain penelitian statistik deskriptif ANOVA (one way analysis of variance). Penelitian ini melibatkan 58 orang guru di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Sampel ini dipilih dengan cara teknik simple random sampling dari 133 guru Di Kecamatan Grabag Kabupaten Megelang.

Dari studi yang dilakukan mayoritas guru berada di level sedang dan diperoleh temuan sebagai berikut: (1) terdapat perbedaan yang signifikan efikasi diri guru ditinjau dari latar belakang pendidikan dengan F hitung (10.752) dan signifikan pada p<0.05; (2) efikasi guru ditinjau dari lama mengajar tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan dengan F hitung (3.254) dan p>0.05. Artinya tingkat pendidikan memberikan kontribusi terhadap tingkat efikasi pendidik, guru memperoleh informasi tentang pendidikan inklusi yang membuat mereka lebih percaya diri (efikasi tinggi). Sementara lama mengajar tidak selalu memperolah informasi tentang pendidikan inklusi.

Berdasarkan temuan tersebut peneliti menyarankan agar dalam upaya pengembangan pendidikan inklusi, guru pendidikan anak usia dini untuk lebih meningkatkan akses informasi melalui pendidikan dan berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pendidikan inklusi. Di sisi lain pemerintah daerah khususnya, harus lebih meningkatkan kompetensi guru pendidikan anak usia dini dibidang pendidikan inklusi melalui sosialisasi dan pelatihan terhadap guru pendidikan anak usia dini.


(9)

ix Abstract

Masynu’atul Kairiyah, Ririn. 2013. Difference of self efficacy teacher early chldhood in inclusive education by graduate degree and teaching experience in Grabag. Final Project. Early Childhood Education Departement. Faculty of Education. Semarang State University. Supervisor I: Ali Formen, S. Pd., M. Ed., Supervisor II: Wulan Ardiarti M.Pd.

Key Word: teacher self efficacy, inclusive education

Inclusive education as a service who was made goverment so that student with disabilities acceptable included reguler education. It is not easy to can be done. Therefore teacher efficacy early childhood education to do inclusive program must investigated exhaustively. To know about levels teachers efficacy in inclusive education this study to examine two problems: (1) is there differences teacher efficacy by graduate degree? (2) is there differences teacher efficacy in inclusive education by teaching experinces?

This study used kuantitave, with statistik descriptive and ANOVA (one way analysis of variance). This study involve 58 teachers in kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. This sample selected by simple random sampling technique from 133 teachers in Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang.

Majority teachers there is medium level from study to do and obtained the following findings: (1) there differences self efficacy teacher by graduate degree with F (10.725); (2) no differences self efficacy by teaching experiences with F (3.254) and p>0.05. that mean graduate degree give contribution toward level teachers efficacy, so teachers obtained information about inclusive education who make them more confidence (high efficacy). While teaching experiance not always obtained information about inclusive education.

The result from this study sugestion reasecher so that for development inclusive education early childhood teacher for more increase information acces through education and training variety link o inclusive education. In the other side local goverment must more increase teacher competences inclusive education through socialization and training toward early childhood teacher.


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN BIMBINGAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 manfaat teoritis ... 9

1.4.2 manfaat praktis ... 10

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Efikasi Diri Guru ... 11

2.1.1 pengertian Efikasi Diri Guru ... 11


(11)

xi

2.1.3 Dimensi Efikasi Diri ... 17

2.1.4 Proses Efikasi Diri ... 19

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Efikasi Guru ... 21

2.2 Pendidikan Inklusi ... 23

2.2.1 Pengertian Pendidikan Inklusi ... 23

2.2.2 Tujuan Pendidikan Inklusi ... 27

2.2.3 Manfaat Pendidkan inklusi ... 29

2.2.3.1 manfaat bagi siswa ... 29

2.2.3.2 Bagi Pendidik ... 31

2.2.4. Landasan Hukum Pendidikan Inklusi ... 32

2.2.5. Peserta Didik dalam Pendidikan Inklusi ... 34

2.2.6. Kompetensi Guru Dalam Pendidikan Inklusi ... 38

2.3 Penelitian Sebelumnya ... 44

2.4 Kerangka Berpikir ... 45

2.5 Hipotesis ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian ... 48

3.2 Definisi Operasional ... 48

3.3 populasi dan sampel ... 49

3.3.1 Populasi ... 49

3.3.2 Sampel ... 49


(12)

xii

3.5 Uji Validitas dan Reabilitas ... 52

3.5.1 uji validitas ... 52

3.5.2 Uji Reabilitas ... 54

3.6 Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 57

4.1.1 Gambaran Umum Hasil Penelitian ... 57

4.1.2 Identitas Responden ... 57

4.1.2.1 Jenis Kelamin Responden ... ... 55

4.1.2.2 Latar Belakang Pendidikan ... ... 58

4.1.2.3 Lama Mengajar ... ... 59

4.1.3 Deskripsi Hasil Penelitian ... ... 60

4.1.3.1 Kategori Skor Variabel Efikasi Guru dalam Pendidikan Inklusi .. ... 61

4.1.4 Analisis Data ... 62

4.1.4.1 Uji Asumsi ... ... 62

4.1.4.2 Uji Hipotesis ... 62

4.2 PEMBAHASAN ... ... 70

4.2.1 Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Inklusi ... 70

4.2.1.1 Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dengan Pendidikan Inklusi Ditinjau dari Latar Belakang Pendidikan ... ... 73

4.2.1.2 Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dengan Pendidikan Inklusi Ditinju Dari Lama Mengajar ... ... 77


(13)

xiii

KETERBATASAN PENELITIAN ... ... 83

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 84

5.2 Saran ... 85

Daftar Pustaka ... 86

Lampiran 1 (Surat Ijin Penelitian) ... 90

Lampiran 2 (Daftar Lembaga) ... 91

Lampiran 3 (Kisi-Kisi Instrumen) ... 92

Lampiran 4 (Tabulasi Data Hasi Uji Coba Instrumen) ... 93

Lampiran 5 (Uji Validitas Dan Reabilitas) ... 94

Lampiran 6 (Blue Print Efikasi Diri Guru) ... 95

Lampiran 7 (Instrumen Penelitian) ... 96

Lampiran 8 (Data Responden) ... 97

Lampiran 9 (Tabulasi Data Hasil Penelitian) ... 98

Lampiran 10 (hasil uji normaitas dan homogenitas) ... 99


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Skor Jawaban Kuisioner ... 51

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen ... 51

Tabel 3.2 item valid dan gugur ... 53

Tabel 3.3 Hasil Uji Reabilitas Item Pada Uji Coba Instrumen ... 55

Tabel 4.1 Jenis Kelamin ... 58

Tabel 4.3 Latar Belakang Pendidikan Responden ... 59

Tabel 4.4 Lama Mengajar ... 60

Tabel 4.5 Kategori Skor Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini ... 61

Tabel 4.6 Deskripsi Statistik Hasil Uji Normalitas ... 63

Tabel 4.7 Deskripsi Statistik Uji Homogenitas ... 63

Tabel 4.8 Deskripsi Hasil Analisis Varian Latar Belakang Guru Pendidikan Anak Usia Dini ... 64

Tabel 4.9 Hasil Post Hoc Test latar belakang pendidikan ... 65

Tabel4.10 Tabel Deskripsi Hasil Analisis Varian Lama Mengajar Guru Pendidikan Anak Usia Dini ... 67


(15)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pendidikan inklusi merupakan amanah pemerintah yang sudah tercantum dalam perundang-undangan sebagai wujud kepedulian pemerintah dalam dunia pendidikan. Upaya untuk menjangkau layanan pendidikan pada generasi sekarang dan yang akan datang, mereka berkebutuhan khusus, serta secara geografis, sosial, ekonomi, dan budaya terperangkap dan sulit mendapat akses pendidikan. Mereka semua mempunyai hak-hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Komitmen pemerintah untuk untuk memberikan layanan pendidikan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa inilah diperlukan layanan pendidikan yang menyeluruh bagi segenap warga Indonesia. Begtu pula bunyi Pasal 31 (1) yang berbunyi bahwa setiap warga berhak mendapat pendidikan. Termasuk untuk anak berkebutuhan khusus dan yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Hal ini sejalan dengan seruan

international education for all ( EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai

kesepakatan global yaitu World Education Forum di Dakar, Sinegal Tahun 2000 bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. Indonesia termasuk dalam kesepkatan ini (Mudjito,dkk, 2012).

Suparno (2010:11) mengungkapkan sesuai dengan perundangan yang ada pendidikan inklusif hanya berlaku bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Melalui


(16)

2

pendidikan inklusi diharapkan hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan seperti anak-anak normal seusianya bisa terpenuhi. Meskipun demikian pelaksanaan pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hannya pemerintah akan tetapi orang tua, guru dan masyarakat. Di sisi lain melalui pendidikan inklusi diharapkan terjalin interaksi yang positif dan mengenalkan kepada anak-anak normal bahwa mereka yang berkebutuhan khusus mempunyai hak yang sama seperti mereka.

Deklarasi Bandung yang dilaksanakan pada 8 – 14 Agustus 2004 menjadi awal pelaksanaan pendidikan inklusi. Meskipun program ini sudah dicanangkan sejak lama, namun keberadaan dan informasi sekolah inklusi masih terbatas. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 4 (1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan berkebutuhan khusus.

Suara karya online Kamis 29 Maret 2012 menjelaskan bahwa program inklusi khususnnya di Jawa Tengah sudah mulai dibuka sejak tahun 2003. Pada awalnya sekolah itu baru digarap di 12 sekolah saja, sambil melihat seperti apa respon masyarakat yang memiliki anak berkelainan. Begitu muncul respon sangat positif dari masyarakat, Dinas P dan K Jateng melalui Kasubdin PLB langsung mengembangkannya ke berbagai daerah. Hingga kini jumlah Sekolah Inklusi di


(17)

Jateng sudah mencapai 117 unit. Dari jumlah tersebut, untuk tingkat SMP/MTs terdapat 10 unit, SMA/MA 1 unit, sedang selebihnya Sekolah Inklusi untuk tingkat SD.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa pendidikan inklusi sampai dengan tahun 2012 baru mencakup pendidikan dasar sampai dengan menengah atas. Padahal dalam upaya peningkatan mutu kualitas sumber daya manusia seharusnya dimulai sejak dini. Hal ini menjadi penting karena anak usia dini merupakan masa keemasaan, anak dapat menyerap 80% informasi yang diterimanya. Fawzia dalam Suparno (2007:12) mengungkapkan bahwa pengaruh yang paling mengena dan dapat meninggalkan kesan yang lama harus dilakukan pada saat yang tepat yaitu pada masa kritis, keterlambatan atau pengabaian pemberian rangsangan pada saat yang tepat akan memberi dampak negatif pada perkembangan anak. Di sisi lain anak berkebutuhan khusus yang di lembaga pendidikan anak usia dini juga membutuhkan pelayanan khusus. Ini menjadi suatu alasan yang kuat mengapa pendidikan inklusi sangat penting jika diterapkan dalam pendidikan anak usia dini, dan berdampak positif bagi anak yang berkebutuhan khusus. Dampak positif dari pendidikan inklusi sejak dini yaitu pertumbuhan dan perkembangan anak akan lebih optimal jika sejak dini berada di lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, selain itu juga dapat mengajarkan dan membiasakan bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Dampak tersebut tidak hanya bagi anak berkebutuhan khusus saja tetapi juga bagi anak-anak pada umumnya, mereka akan belajar menyayangi, menghargai dan menghormati temannya yang berbeda. Sehingga anak-anak tersebut akan terbiasa dengan segala perbedaan.


(18)

4

Das Asim dalalm Journal Of International Development And

Coorporation Volume 18 Nomor 3 Tahun 2012 dalam penelitianya yang berjudul

In-sevice Teachers’ Perception Toward Inclusion of Student With Disabilities in Mainstream Primary Classroom: Case Of Some Selected Primary School in

Shourtern Bangladesh, menyatakan bahwa guru adalah kunci sukses dari program

inklusi, jadi kompetensi pendidik menjadi hal utama yang dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Seperti yang tercantum dalam pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusi tahun 2007 bahwa untuk mendirikan atau melaksanakan pendidikan inklusi guru harus menguasai beberapa kompetensi, baik itu guru umum ataupun guru pendidik khusus sehingga program pendidikan inklusi akan berjalan dengan baik. Di samping kompetensi guru yang tidak kalah penting adalah self efficacy guru. Self efficacy guru menurut Guskey & passaro dalam Hartman (Summer 2010 AER Journal: Teacher Self Eficacy and Deaf-Blindness) yaitu teachers’ beliefs or conviction that they can influence how well a student

learns, even those who may be difficult or unmotivated. Pengertian tersebut dapat

diartikan bahwa guru yang mempunyai keyakinan dan pendirian mereka dapat mempengaruhi siswa dalam belajar bahkan siswa yang mengalami kesulitan maupun yang tanpa motivasi. (diakses pada 13 Maret 2013 tersedia dalam www.aerbvi.org/modules.php?name=avantGo&file=print&sid=1963)

Guru mempunyai peranan penting dalam pembangunan pendidikan terutama guru pendidikan anak usia dini, diharapkan tidak sekedar mempunyai kompetensi saja tetapi efikasi yang tinggi pula. Harapan dari kompetensi dan efikasi guru dapat menjadikan proses dan sistem pendidikan dapat berjalan


(19)

dengan baik, terlebih pendidikan bagi anak- anak yang berkebutuhan khusus usia dini yang membutuhkan sistem dan perencanaan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya. Harapan tersebut yang menjadi dasar pentingnya efikasi guru pendidikan usia dini dalam dunia pendidikan, terlebih dalam pendidikan inklusi.

Hartmann dalam Summer 2010 AER Journal: Teacher Self Eficacy and

Deaf-Blindness mengemukakan bahwa guru dengan efikasi yang tinggi berbeda

dengan guru dengan efikasi yang rendah. Guru dengan efikasi yang tinggi mempunyai dampak positif dalam pembelajaran siswa, mempunyai perencnaan yang strategis serta mempunyai tanggung jawab yang besar. Sehingga dalam proses pelaksanaan program guru mempunyai keyakinan yang positif dalam dirinya bahwa guru mampu menjalankan dan mengani anak-anak dengan berkebutuhan khusus tanpa ada rasa beban di dalam dirinya. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa sangat penting guru mempunyai efikasi yang tinggi. Efikasi sebagai sisi lain yang harus dimiliki guru di samping kompetensi. Efikasi dan kompetensi yang tinggi akan menjadi senjata dalam pembangunan pendidikan indonesia.

Hasil penelitian tersebut sejalan dengan Gibson Dan Dembo dalam Bandura (1997: 241) bahwa menyelenggarakan sebuah study observasi mikroanalitik tentang aktifitas guru mengatur kelas berdasarkan tinggi rendahnya efikasi mereka. Hasil dari studi tersebut adalah bahwa guru dengan efikasi tinggi lebih mampu menyediakan waktu lebih untuk aktifitas akademik, memberikan bimbingan kepada siswa yang mengalami kesulitan untuk sukses dan


(20)

6

memanfaatkan prestasi akademik mereka. Berbanding terbalik dengan guru yang efikasi rendah bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk liburan, siap menyerah jika siswa tidak berhassil dengan cepat dan mencela kegagalan mereka (siswa).

Pentingnya efikasi jika dilihat dari hasil uraian di atas menjadi begitu penting terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Efikasi guru yang tinggi akan menjadi awal yang baik dalam peningkatan kompetensi guru dalam rangka perwujudan pendidikan inklusi di Indonesia. Pelaksanaan pendidikan inklusi tidaklah mudah disamping terbatasnya sumber daya yang relevan dan tidak mudahnya mengubah sekolah reguler menjadi sekolah inklusif. Untuk itu disamping kerja keras guru juga harus mempunyai motivasi dan keyakinan yang tinggi.

Pendidikan inklusi sebagai upaya untuk mensetarakan anak-anak berkebutuhan khusus dalam dunia pendidikan, karena fakta menunjukan bahwa jumlah anak berkebutuhan khusus berdasarkan data dari Dirjen Pendidikan Luar Biasa Kementerian Pendidikan Nasional (Maret 2010) dalam Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nomor 10 Tahun 2011, jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia sebanyak 324.000 orang. Dari jumlah tersebut, baru 75.000 anak yang bersekolah, sedangkan sisanya belum terpenuhi hak pendidikannya. Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia tiap tahun cenderung meningkat. Berdasrkan hasil survei yang dilakukan pusat data dan informasi departemen sosial tahun 2007 jumlah penyandang cacat mencapai 3,11% dari jumlah populasi penduduk Indonesia. Jumlah anak penyandang cacat


(21)

usia 0-17 berdasarkan data penyandang masalah kesejahteraan(PMKS) departemen sosial republik indonesia tahun 2008 mencapai 56.711.

Seiring meningkatnya jumlah anak berkebutuhan khusus pendidikan inklusi menjadi titik terang dalam upaya pemerataan pendidikan yang tidak memandang apakah mereka berkebutuhan atau tidak. Pendidikan inklusi sebagai solusi idola bagi orang tua yang mempunyai anak-anak berkebutuhan khusus, sehingga para orang tua tidak harus memasukan anak-anaknya di sekolah luar biasa.

Keberadaan pendidikan inklusi menandai bahwa pendidikan di Indonesia berkembang dengan baik, meskipun masih sangat terbatas, bukan menjadi sebuah alasan bahwa guru tidak mengetahui tentang pendidikan inklusi. Sebagai bagian dari provinsi Jawa Tengah, Grabag yang terletak di wilayah timur Kabupaten Magelang mengalami perkembangan pendidikan yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat munculnnya sekolah-sekolah baru terutama di bidang pendidikan anak usia dini. Berdasarkan data dari UPTD Kecamatan Grabag jumlah lembaga sampai dengan 2010 sebanyak 44 dan meningkat di tahun 2012 menjadi 50 lembaga pendidikan anak usia dini. Dengan kata lain banyak pendidik pendidikan anak usia dini yang berkompetensi di bidang tersebut. Bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan bahwa efikasi guru di Kecamatan Grabag dalam bidang pendidikan inklusi yang berorientasi pada anak berkebutuhan khusus belum dapat diketahui, inilah yang menjadikan alasan Grabag sebagai tempat penelitian. Hal ini dikarenakan dengan keyakinan yang tinggi para guru, guru akan mempunyai


(22)

8

rasa percaya diri yang tinggi pula dalam menerima dan mengajar anak berkebutuhan khusus.

Alasan penting dalam latar belakang penelitian ini adalah latar belakang pendidikan, dan lama mengajar para guru. Efikasi guru terbukti berkorelasi dengan faktor-faktor pengalaman instruksional yaitu pengalaman mengajar atau lama mengajar. Seperti yang di ungkapkan Erawati Dalam Jurnal Inferensial Volume 6 Nomor 2 Desember 2012 yang berjudul Profil dan Faktor Yang Mempengaruhi Efikasi Guru Madrasah Ibtida’iyah Peserta Dual Modem System bahwa sikap keterbukaan dan pengalaman menguasai inovasi pembelajaran dan teknologi. Guru yang lebih lama mengajar, lebih terbuka dengan perkembangan inovasi pembelajaran dan teknologi dijumpai lebih efikasius.

Alasan lain yang melatar belakangi penelitian ini adalah tidak semua lembaga memiliki atau pernah menerima anak berkebutuhan khusus. Hal ini tidak menjadi suatu alasan bahwa guru tidak mempunyai keyakinan dan motivasi dalam melaksanakan pendidikan inklusi. Keyakinan, rasa percaya diri serta motivasi yang tinggi dari para guru pendidikan anak usia dini penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus di lembaga pendidikan menjadi awal yang baik dalam dunia pendidikan di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang.

Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan menyusun dalam sebuah skripsi yang berjudul “Perbedaan Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usis Dini Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau Dari Latar Belakang Pendidikan Dan Lama Di Kecamatan Grabag”


(23)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang timbul agar masalah menjadi jelas, maka rumusan masalahnya adalah

1. Adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari latar belakang pendidikan?

2. Adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak uisa dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari lama mengajar?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Dari rumusan masalah di atas tujuan yanng ingin dicapai yaitu

1. Untuk mengetahui perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari latar belakang pendidikan.

2. Untuk mengetahui perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari lama mengajar.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan kepada pendidik PAUD

b. Mengembangkan potensi untuk penelitian karya ilmiah, khususnya bagi pribadi peneliti maupun kalangan akademisi, dalam memberikan informasi kepada dunia pendidikan.


(24)

10

2. Manfaat Praktis a. Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi sekolah tentang program pelaksanaan pendidikan inklusi.

b. Guru

Dapat memberikan informasi bagi guru untuk mengetahui pentingnnya mempunyai self efficacy dalam dunia pendidikan anak usia dini.

c. Orang tua

Untuk memberikan informasi bagi orang tua tentang pendidikan inklusi sebagai pemenuhan hak asasi manusia dalam memperoleh pendidikan.


(25)

(26)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Efikasi Diri Guru

2.1.1 Pengertian Efikasi Diri Guru

Konsep self efficacy guru didasarkan pada Bandura (1997) teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa orang-orang melatih kontrol atas apa yang mereka lakukan dan perilaku mereka dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu paling bergantung seperti faktor personal internal dan faktor eksternal lingkungan.

Efikasi diri didasarkan pada kerangka teori sosial kogntif Bandura (1997: 3) bahwa Perceived self efficacy refers to Beliefs in ones’s capabilies to organize

and execute the courses of action required to produce given attainments.

Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk membuat pencapaian yang diberikan.

Bandura mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Bandura beranggapan bahwa keyakinan atas efikasi seseorang adalah landasan dari agen manusia. Manusia yang yakin bahwa mereka dapat melakukan sesuatu yang mempunyai potensi untuk dapat mengubah kejadiannya di lingkunganya, akan lebih mungkin untuk bertindak dan lebih mungkin untuk menjdi sukses dari pada yang mempunyai efikasi rendah (Feist, 2010: 212)


(27)

Menurut Alwisol (2009: 287) efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai, sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan penilaian diri terhadap keyakinan dan kemampuan dalam melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah lingkungan sekitarnya.

Efikasi diri bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita. Bandura dalam Feist (2010: 212) membedakan antara ekspektasi mengenai efikasi dan ekspektasi mengenai hasil. Efikasi merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku, sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut.

Efikasi diri berlaku juga pada guru yang mengacu pada keyakinan-keyakinan pribadi tentang kapabilitas-kapabilitas si pengajar untuk untuk membantu siswa belajar. Efikasi diri pengajar akan mempengaruhi aktivitas-aktifitas, usaha dan keuletan guru dalam mendidikk siswa (Schunk,2012: 212). Schunk (2012: 213) efikasi diri guru merupakan sebuah prediktor yang signifikan untuk memprediksi prestasi siswa.

Bandura dalam Hartmann (Summer 2010 AER Journal: Teacher Self Efficacy an Deaf-Blindness), menyebutkan bahwa efikasi diri guru sebagai pertimbangan guru dari kemampuan mereka untuk menghasilkan keinginan hasil


(28)

14

dalam pembelajaran anak-anak. diakses pada tanggal 13 Maret 2013 dalam www.aerbvi.org/modules.php?name=avantGo&file=print&sid=1963

Bandura dalam Oneyda (2006: 99) mengungkapkan bahwa:

“Teacher efficacy is the teacher’s belief in his or her capability to

organize and execute courses of action to succesfully accompllish specific instructional task or, more simply, his or her capacity to affect student performance.”

Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa efikasi guru merupakan keyakinan guru dalam kemampuanya untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan untuk berhasil menyelesaikan tugas instruksional tertentu atau kapasitasnya untuk mempengaruhi prestasi siswa.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi guru adalah keyakinan guru terhadap kemampuannya dalam mengajar, untuk mengatur dan mempengaruhi para siswa saat proses pembelajaran, sehingga guru mampu memprediksi perkembangan prestasi belajar siswa.

Bandura dalam Feist (2010: 213) efikasi yang tinggi dan rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif dan tidak responsif untuk menghasilkan empat variabel prediktif. Ketika efikasi diri tinggi dan lingkungan responsif, hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. Saat efikasi rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif, manusia mungkin akan merasa depresi karena mengobservasi bahwa orang lain dapat berhasil melakukan tugas yang terlalu sulit untuknya. Seseorang dengan efikasi tinggi menemukan situasi lingkungan yang tidak responsif, biasannya akan meningkatkan usahanya untuk mengubah lingkungan. Sedangkan untuk efikasi yang rendah jika menemukan


(29)

situasi lingkungan yang tidak responsif , orang-orang akan merasa apatis, segan dan tidak berdaya (feist, 2010:213)

Gibson dan Dembo dalam Bandura (1997: 241) menjelaskan bahwa mengukur keyakinan guru dalam efikasi mereka untuk memotivasi dan mendidik kesulitan siswa dalam belajar dan untuk menetralkan permusuhan yang dapat mempengaruhi perkembangan akademik siswa. Efikasi diri mempengarui pengaturan aktivitas dalam kelas. Guru dengan dengan self efikasi yang tinggi dapat menyediakan waktu yang lebih dalam aktivitas akademik, memberikan bimbinga bagi murid yang mengalami kesulitan dan memuji akademik mereka. Berbanding terbalik dengan guru yang memilliki self efficacy rendah. Guru dengan self efficacy rendah akan membutuhkan waktu yang lama dalam aktivitas non akademik, selain itu juga menyerah terhadap siswa dan mencela kegagalan mereka.

Sejalan dengan yang diungkapkan Melby (1995) dalam santrock (2008: 524) self efficacy guru sangat berpengaruh besar terhadap kualitas pembelajran siswa. Guru dengan self efficacy rendah seringkali kebingungan menghadapi problem kelas. Guru dengan self efficacy rendah tidak punya rasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk mengelola kelas menjadi stress dan marah pada perilaku murid yang tidak tepat, pesimis terhadap kemampuan murid untuk berkembang, memandang pekerjaan mereka sebagai rutinitas belaka, sering menggunakan hukuman dan dan larangan, dan mengatakan bahwa mereka punya pilihan lain, mereka tidak akan memilih profesi guru atau pengajar.


(30)

16

2.1.2 Sumber Efikasi Diri

Alwisol (2009: 288) Perubahan tingkah laku, dalam sistem Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi diri). Sumber efikasi merupakan faktor self efikasi yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya self

efikasi. Sumber dari self efikasi antara lain: a. Pengalaman Performance

Prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagi sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yanng bagus meningkatkan ekspektasi efkasi, sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaianya (Alwisol, 2009:288)

Sedangkan Bandura (1997:79) tidak menyebutkan performance

accomplishment dalam sumber efikasi melainkan enactive mastery experience.

Enactive mastery experience merupakan sumber yang paling mempengaruhi

karena memberikan bukti paling asli dari seseorang apakah bisa mengerahkan apaun yang membawanya pada kesuksesan. Kesuksesan membangun sebuah keyakinan yang kuat dalam personal efikasi. Kekuatan dari enactive untuk menciptakan dan memperkuat keyakinan efikasi.

b. Pengalaman Vikarius

Diperoleh melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain. Sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampunya kira-kira sama ternyata gagal. Mengamati perilaku dan


(31)

pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu.melalaui model ini efiasi diri individu dpat meningkat, terutama jika merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama.

c. Persuasi sosial

Efikasi diri juga dapat diperoleh , diperkuat atau dilemahkan oleh melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.

Seseorang mendapat sugesti untuk percaya bahwa ia dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Persuasi verbal ini dapat menngarah individu untuk berusaha lebih giggih untuk untuk mencapai tujuan dari kesuksessan.

d. Keadaan emosi

Keaaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan kan mempenngaruhi efikasi dibidang itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun bisa terjadi, peningkaktan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri

Gejolak emosi, kegelisahan yang mendalam, dan keadan fisiologis yang lemah yang dialami individu akan dirasakan sebagaisuatu isyarat akan terjadi suatu peristiwa yang tidak diinginkan. Kecemasan dana stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagi suatu kegagalan.


(32)

18

Pada umumnya, seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan semantik.

Efikasi diri itu dapat diperolah, diubah, dapat ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi embat sumber efikasi yang merupakan pngaruh dari self efficacay yaitu menguasai suatu kompetensi

(performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience),

persuasi sosial (social persuation), pembangkitan emosi (emotionall physiological states).

2.1.3 Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997:42) menyatakan ada tiga dimensi penting dalam efikasi yaitu dimensi tingkatan (level),dimensi keadaan umum( generality), dimensi ketahanan( strenght).

1. Dimensi tingkatan (level). Kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas

setiap individu berbeda. Individu dengan efikasi tinggi akan mempunyai keyakinan yang tinggi tentang kemampuan dalam melakukan suatu tugas yaitu keyakinan suatu usaha yang digeluti akan sukses. Sebaliknya individu yang mempunyai efikasi rendah akan memiliki efikasi yang rendah pula tentang setiap usaha yang dilakukan. efikasi diri dapat ditujukkan dengan tingkatan yang dibebankan pada individu, terhadap tantangan dengan tingkatan yang berbeda dalam rangka menuju keberhasilan. Individu akan mencoba tingkah laku yang dirasa mampu dilakukan dan akan menghindari tinghkah laku yang dirasa diluar batas kemampuan yang dirasakannya. Kemampuan dapat dilihat


(33)

dalam bentuk tingkat kecerdasan usaha, ketepatan, produktivitas, dan cara mengatasi tantangan. Hasil dari perbandingan antara perbandingan antara tantangan yang timbul ketika individu mencapai performansi dengan kemampuan yang dimiliki individu akan bermacam-macam tergantung aktivitas yang dilakukan.

2. Generality (keluasaan). Berkaitan dengan cakupan luas bidang tingkah laku

dimana individu merasa yakin terhadap kemampuanya. Individu mampu menilai keyakinan dirinya dalam menyelasaikan tugas. Mampu tidaknya individu mengerjakan bidang-bidang dan konteks tertentu terungkap gambaran secara umum tentang efikasi diri individu yang berkaitan generalisasi bisa bervariasi dalam beberapa bentuk dimensi berbeda, termasuk tingkat kesamaan aktifitas dan modalitas dimana kemampuan diekspresikan dalam bentuk tingkah laku, kognitif dan afeksi.

3. Strenght (ketahanan).berkaitan dengan kekukatan. Individu pada keyakinan

individu atas kemampuanya. Individu memmpunyai keyakinan yang kuat dan ketekunan dalam usaha yang akan dicapai meskipun terdapat kesulitan dan rintangan. melalui efikasi, kekuatan usaha yang lebih besar mampu didapatkan. Semakin kuat perasaaan efikasi diri dan semakin besar ketekunan, maka semakin tinggi kemungkinan kegiatan yang dipilih dan dilak ukan berhasil.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa dimensi efikasi yang merupakan pengukuran efikasi ada tiga yaitu dimensi tingkatan (level), dimensi keadaan umum( generality), dimensi ketahanan( strenght).


(34)

20

2.1.4 Proses Efikasi Diri

Efikasi diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi fungsi pada aktifitas individu. Bandura (1997: 116) menjelaskan tentang pengaruh dan fungsi efikasi diri tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proses Kognitif

Bandura mengatakan bahwa pengaruh dari efikasi diri pada proses kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat efikasi diri, semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan akan memperkuat komitmen individu terhadap tujuan tersebut. Individu dengan efikasi diri yang kuat akan mempunyai cita-cita yang tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, individu dengan efikasi yang kuat akan memudahkan individu dalam menyiapkan langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi kegagalan.

2. Proses Motivasi

Efikasi diri memainkan peranan penting dalam pengaturan motivasi diri. Sebagian besar motivasi manusia dibangkitkan secara kognitif. Individu memotivasi dirinya sendiri dan menuntun tindakan-tindakannya dengan menggunakan pemikiran-pemikiran tentang masa depan. Sehingga individu tersebut akan membentuk kepercayaan mengenai apa yang dapat dilakukan. Individu juga akan mengantisipasi hasil-hasil dari tindakan-tindakan yang prospektif serta dapat menciptakan tujuan bagi dirinya sendiri dan merencanakan


(35)

bagian dari tindakan-tindakannya untuk merealisasikan masa depan yang berharga.

Efikasi ini mendukung motivasi dalam berbagai cara untuk menentukan tujuan-tujuan yang diciptakan individu bagi dirinya sendiri dengan seberapa besar ketahanan individu terhadap kegagalan. Ketika menghadapi kesulitan dan kegagalan, individu yang mempunyai keraguan terhadap kemampuan dirinya akan lebih cepat menyerah dan mengurangi usaha-usaha yang dilakukannya. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya akan melakukan usaha yang lebih besar.

Ketekunan yang kuat akan mendukung pencapaian performansi yang maksimal individu dalam menyelesaikan suatu tugas. Efikasi juga akan berpengaruh terhadap aktifitas yang di pilih individu, keras atau tidaknya dan tekun atau tidaknya individu dalam usaha mengatasi masalah yang sedang di hadapi bergantung dengan keyakinan dan kemantapan hati seseorang dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Proses Afeksi

Individu yang yakin pada dirinya sendiri bahwa dirinya mampu mengontrol situasi yang mengancam tidak akan sampai membangkitkan pola-pola pikiran yang menganggu, sedangkan individu yang tidak dapat mengatur situasi yang mengancam akan cenderung mengalami kecemasan yang tinggi. Individu yang memikirkan ketidakmampuan coping dalam dirinya dan memandang banyak aspek dari lingkungan sekeliling sebagai situasi ancaman yang penuh bahaya akhirnya akan membuat individu membesar-besarkan ancaman yang mungkin


(36)

22

terjadi dan kekhawatiran terhadap hal-hal yang sangat jarang terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut individu menekan dirinya sendiri dan meremehkan kemampuan dirinya sendiri.

4. Proses Selektif

Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan di ambil oleh individu. Individu menghindari aktivitas dan situasi yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam dirinya namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk di atasi. Perlakuan yang individu buat ini akan memperkuat kemampuan, minat-minat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan dan akhirnya akan mempengaruhi arah perkembangan personal. Hal ini karena pengaruh sosial berperan dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan kompetensi, nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam waktu yang lama setelah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah memberikan pengaruh awal.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat pokok proses penting dalam efikasi diri yang mengatur fungsi manusia yaitu proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi dan proses selektif. Proses efikasi ini yang dapat memberikan efek bagaimana seseorang merasakan, memotivasi dan bertindak. 2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Efikasi Guru

Erawati dalam jurnal inferensial nomor 6 volume 2 tahun 2012 yang berjudul profil dan faktor yang mempengaruhi efikasi guru madrassah ibtida’iyah peserta Dual Modem System menjelaskan bahwa berdasarkan teori efikasi dari


(37)

Bandura (1997: 779-115) dan teman-teman yang relevan dengan faktor yang mempengaruhi efikasi guru, maka diperoleh tiga kelomok faktor yang memengaruhi efikasi guru yaitu

a. Faktor demografi

Menurut bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi diri guru, yaitu usia, pendidikan tertinggi dan lama pengalaman mengajar.

Kondisi-kondisi yang menguntungkan dalam faktor demografi, memiliki pengalaman instruksional yang beragam, dan kualitas afektif yang positif akan meningkatkan efikasi guru. Sebaliknya, guru yang skornya lebih rendah dalam aspek status sosial ekonomi, usia, pengalaman, religiusitas, etnisitas, persepsi terhadap kompetensi, persepsi terhadap kesejahteraan, persepsi terhadap sertifikasi guru, dan indeks prestasinya, maka cenderung kurang efikasinya dalam menjalankan tugas.

b. Pengalaman instruksional

instriksional bersifat pengajaran, jadi pengalaman instruksional merupakan pengalaman mengajar. Bandura (1977) dalam Santrock (2008: 524) menyebutkan pengalaman instruksianal mencakup kemampuan dalam mengelola kelas menjadi tempat yang menyenangkan untuk brelajardan bisa mengajak orang tua ikut dalam proses pembelajaran.

c. Personal

tingkah laku dalam situsi personal tergantung pada lingkungan dan kognitif. Bandura dalam Santrock (2008: 285) faktor person mencakup ekspektassi, keyakinan, setrategi, pemikiran, dan kecerdasan.

Kesimpulan yang dapat diambil peneliti dari uraian di atas bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya efikasi guru antara lain faktor pengalaman


(38)

24

instrusional, personal dan faktor demografi yang terdiri dari usia, pengalaman mengajar, pendidikan tertinggi.

2.2 Pendidikan Inklusi

2.2.1 Pengertian Pendidikan Inklusi

Inklusi dari kata bahasa inggris inclusion merupakan istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak berkelainan dalam program sekolah. Bagi sebagian pendidik istilah ini dillihat sebagai deskripsi yanng lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komperhensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Inklusi juga dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memilliki hambatan adalah, keterlibatan yang dari tiap anak dalam kehidupan sekolah menyeluruh (Smith, 2012:45).

Inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan mengurangi keterpisahanya dari budaya kurikulum dan komunitas sekolah setempat (Sue Stubbs, 2002:39). UNESCO, dalam kajianya terhadap aktivitasnya selama lima tahun setelah konferensi Salamnca menggambarkan inklusi sebagai gerakan, dan mengkaitkanya langsung dengan peningkatan mutu sekolah (sue stubbs, 2002: 40).

Sue Stubbs (2002: 37) pendidikan inklusi dalam arti sempit atau didasarkan pada asumsi “ anak sebagai masalah”. Cartwright dalam Elisa (2013: 3) pendidikan inklusi merupakan praktek yang bertujuan untuk pemenuhan hak azasi manusia atas pendidikan, tanpa adanya diskriminasi, dengan memberi kesempatan pendidikan yang berkualitas kepada semua anak tanpa perkecualian,


(39)

sehingga semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi pribadinya dalam lingkungan yang sama.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan yang menyeluruh dalam arti bahwa pendidikan sebagai pemenuhan hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Tanda dari pendidikan inklusi adalah kesediaan guru untuk menerima siswa yang berkebutuhan khusus. Inklusi menunjukkan pada semua siswa dihargai, diterima, dan menghormati tanpa memperhatikan etnik dan latar belakang budaya, kemampuan, jenis kelamin, umur, agama, kepercayaan dan perilaku (Das Asim, 2012:149). Indeks for inclusion dalam sue tubbs (2002: 38) inklusi atau pendidikan inklusi bukan nama lain untuk pendidikan khusus.

Pendidikan inklusi menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang kebijakan penanganan anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebuutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang sistematik.

Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak berkebutuhan khusus dilayani disekolah terdekat di kelas biasa bersama teman teman seusianya. Untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan bagi setiap anak (Pratiningsih, 2010: 34).


(40)

26

Sunanto (2004) dalam Hargio (2012:12) pendidikan inklusi merujuk pada kebutuhan belajar bagi semua peserta didik dengan suatu fokus spesifik bagi mereka yanng rentan terhadap marjinalisasi atau pemisahan. Melalui pendidikan inklusi berati sekolah harus menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas dan mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual,bahasa, dan kondisi lainya (Hargio, 2012:18)

Pengertian-pengertian di atas jika disimpulkan pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang melayani semua anak baik itu anak berkebutuhan khusus maupun anak-anak normal tanpa memandang etnik, suku, ras, agama dan latar belakang untuk membangun pendidikan yang berkualitas.

Sistem pendidikan harus memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang beragam sehingga mendorong sikap silih asah, silih asih dan silih asuh denagn semangat toleransi seperti halnya dalam kehidupan sehari-hari. Berkembangnya pendidikan inklusi merupakan implementasi atau gambaran dari masyarakat inklusi. Masyarakat inklusi adalah semua anak dan orang dewasa sebagi orang dewasa sebagai anggota kelompok yang sama dengan interaksi satu sama lain, membantu satu sama lain, saling tenggang rasa, menerima kenyataan bahwa sebagian anak atau orang dewasa mempunyai tingkat kebutuhan yang berbeda dari mayoritas, kemudian masyarakat yang cenderung bekerja sama dari pada bersaing. Skjorten (2003) dalam Hargio (2012:18) masyarakat inklusi di artikan sebagi semua anak atau orang dewasa mempunyai rasa memilliki dan bermitra. Setiap orang akan memandang sesuatu sabagai hal yang alami.


(41)

Buletin education for all tahun 2000, UNESCO menjelaskan dalam Abraham (2004: 25) bahwa

“ inclusive education is not concerned with removing all barriers

to learning, and with the participation of all learners vulnerabel to exclusion and marginalization. It is strategic approach designed to facilitate learning succss for all children it address the common goals of decreasing and overcoming all exclusion from human right to education, at least at the elementary level, and enhancing access, participation and

learning success in quality basic education for all

Penjelasan tersebut tidak terkait dengan menghapus semua hambatan untuk belajar dan dengan partisipasi semua peserta didik yang rentan akan pemisahan dan marginalisasi. Itu adalah pendekatan strategis yang dirancang untuk memfasilitasi keberhasilan pembelajaran bagi semua anak untuk mnyampaikan tujuan-tujuan umum dari penurunn dan mengatasi semua pengecualian dari hak manusia untuk pendidikan setidaknya pada tingkat dasar, dan akses pertisipasi serta menungkakan akses pembelajaran pedidikan dasar yang berkulitas bagi semua.

Point penting dalam pendidikan inklusi bahwa mengikutsertakan anak-anak dengan disabilitas. Akan tetapi Sevin (2007: 29) definisi sebuah inklusi jauh melebihi dari anak-anak dengan disabilitas dan melihat berbagai cara pandangan bahwa siswa berbeda antara satu sama lainya, seperti ras, kelas, gender, etnik, latar belakang keluarga, orientasi seksual, bahasa, kemampuan, ukuran, agama,dan seterusnya.

Pendidikan inklusi berarti bahwa pendidikan dipandang sebagai upaya memberdayakan individu yang memiliki keragaman. Anak tidak lagi berbeda-beda berdasarkan label atau arakteristik tertentu dan tidak ada diskriminasi antara anak yang satu dengan yang lain, dengan demikian berati semua anak berada


(42)

28

dalam satu sistem pendidikan yang sama. Oleh karena itu misi pendidikan sangat penting adalah meminimalkan hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar anak. Setiap anak dihargai eksisitensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap anak berkembang opitomal sejalan denga potensi masing-masing. Pendidikan inklusi terkadang terlihat seperti sebuah strategi politik yang didasarkan pada hak asasi manusia dan prinsip demokrasi, bahwa menghadapi semua kondisi dari diskriminasi, seperti bagian dari sebuah perhatian dari berkembangnnya masyarakat inklusif dan untuk memastikan bahwa beberapa siswa menerima tambahan sumber dan tidak di abaikan dan disisa-siakan (Abraham, 2004:25).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan umum yang mampu memberikan pelayanan terhadap setiap anak tanpa adanya diskriminasi dalam sistem pendidikan yang sistematis yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

2.2.2 Tujuan Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi yang merupakan program pendidikan dalam upaya pemerataan hak pendidikan bagi semua anak mempuyai tujuan untuk membantu mempercepat program program wajib belajar pendidikan dasar serta membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekankan angka tinggal kelas dan putus sekolah pada seluruh warga negara (pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusi, 2007)

Tujuan pendidikan inklusi menurut Balai Pengembangan Pendidikan Khusus dinas pendidian Jawa Tengah (balai pengembangan pendidikan khusus


(43)

jawa tengah, diakses pada 30 April 2013, tersedia dalam www.bpdiksus.org) yaitu:

1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak ( termasuk anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhanya).

2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.

3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.

4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif serta ramah terhadap pembelajaran.

5. Memenuhi amanat undang-undang dasar 1945 khususnya pasal 32 ayat (1) yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya’. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

Menurut Hargio (2012: 25) dalam pendidikan inklusi memiliki dua tujuan yaitu:


(44)

30

1. Menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas mencitakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

2. memberikan kesempatan agar memperoleh pendidikan yang sama dan dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi,bagi yang secara fisik memperoleh hambatan dan kesulitan baik yang permanen maupun sementara.

Dari uraian di atas tujuan dari pendidikan inklusi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan inklusi bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan serta memberikan pelayanan pendidikan kepada semua orang tanpa adanya diskriminasi.

2.2.3 Manfaat Pendidkan inklusi

Keberadaan pendidikan inklusi dalam dunia pendidikan bermanfaat untuk mempersiapkan kehidupan yang terjadi di masyarakat bila semua siswa berbeda latarbelakang, kemampuan belajar dan bersosialisasi di dalam kelas dan ditempat lain, sehingga semua mendapat kesempatan berbagai hal. Pendidikan inklusi juga memberikan manfaat bagi banyak pihak diantaranya:

2.2.3.1 bagi siswa

a. Siswa yang tidak berkelainan mendapat manfaat dari dari inklusi sebagai berikut (Smith, 2012:422):

1. Mengurangi ketakutan akan perbedaan manusia seiring denngan munculnya perasaan nyaman dan kesadaran


(45)

3. Meningkatkan aspek konsep diri 4. Perkembangan prinsip-prinsip pribadi

5. Persahabatan yang hangat dan penuh perhatian.

b. Siswa yang berkelainan juga mendapat manfaat dari pendidikan inklusi (Smith, 2012:424) antara lain:

1. Lingkungan inklusif lebih merangsang, memiliki keragaman (variatif), dan respon dibanding lingkungan terpisah.

2. Lingkungan inklusif lebih memungkinkan perkembangan kurikulum dari pada kurikulum baru yang banyak kekurangan

3. Lingkungan inklusif dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi siswa berkebutuhan khusus untuk berinteraksi dengan siswa lain guna mendapatkan tingkat kemampuan sosial, bahasa, dan kognitif yang lebih tinggi untuk menyamakan kemampuan-kemampuan tersebut.

4. Lingkungan yang lebih inklusif dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi siswa-siswaberkebutuhan khusus untuk belajar kemampuan akademis yang sebenarnya lebih mudah di pelajari dari teman sebaya ketimbang dari guru.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidilan inklusi memberikan banyak manfaat bagi semua anak baik tanpa terkecuali. Anak-anak mempunyai banyak kesempatan untuk berinteraksi dan peduli terhadap lingkungan sekitar.


(46)

32

2.2.3.2 Bagi Pendidik

Beberapa manfaat pendidikan inklusi bagi pendidik dalam Smith (2012: 426) antara lain:

1. Pengajaran dan pembelajaran mencakup berbagai hambatan (Teahing and

learning about disabilities). Guru mendapatkan pelajaran dan pengalaman

dari kelas inklusi, sehingga bisa menangani anak-anak dengan berbagai hambatan.

2. Kurikulum dan materi ajar (curriculum and material). Guru menjadi lebih kreatif dalam menyusun materi serta metode yang digunakan saat proses pembelajaran sebab anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kemampuan dan kelebihan yang berbeda-beda.

3. Sukses untuk semua (succes for all). Pendidikan inklusi dapat meningkatkan rasa percaya diri guru untuk berkomitmen dalam membantu anak-anak berkebutuhan khusus.

4. Kerja sama pemecahan masalah ( collaborative problem solving). Melalui pendidikan inklusi dapat meningkatkan kerjasama guru dan siswa dan belajar. 5. Harapan atas inklusi (expectation of inclusion). Guru dan murid mempunyai harapan siswa anak berkebutuhan khusus berperan serta dalam kelas umum, sehingga menumbuhkan rasa kekeluargaan yang membuat inklusi semakin besar dan percaya diri untuk mewujudkan suatu lingkungan inklusif.

6. Penilaian siswa dan IPK (student assesment and IEPS). Pendidikan inklusi menjadikan guru berperan aktif dalam proses penilaian. Keterlibatan guru mempermudah pemahaman terhadap siswa untuk membantu mencapai


(47)

tujuan-tujuan mereka, seerta meningkatkan rasa memiliki yang lebih besar terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus.

7. Fleksibilitas (Flexibillity). Guru menjadi lebih fleksibel dalam gaya mengajar, struktur, dan desai kelas serta dalam menciptakan aktivitas yang akan menciptakan aktivitas yang meningkatkan keberhasilan bagi seluruh siswa. 8. Biarkan berjalan (let it go). Melalui pendidikan inklusi guru menjadi lebih

cermat dalam memikirkan kepentingan dan harapan bagi siswa, serta membiarkan siswa mengerjakan sendiri.

9. Akuntabilitas (Accountability). Kelas inklusi dapat menumbuhkan etika dan tanggunng jawab pengajaran guru. Pengaruh memiliki anak-anak berkebutuhan khusus dapat memberi rangsangan peningkatan yang terceermin dalam praktik yang membawa keuntungan kepada semua siswa dan sekolah.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi memberikan banyak manfaat bagi siswa maupun guru. Bagi siswa dapat memberikan efek yang positif dalam proses pembelajran maupun sosial anak. sedangkan manfaat pendidikan inklusi bagi guru yaitu guru menjadi lebih kraetif dan bertanggung jawab.

2.2.4. Landasan Hukum Pendidikan Inklusi

Menurut Mulyono dalam Hargio (2012:19) landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusi di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang didirikan atas fondasi yang lebih mendasar lagi, yang disebut bhineka tunggal ika .


(48)

34

Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, peraturan pemerintah, praturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah, juga melibatkan kesepakatan internasiaonal. Hargio (2012: 20) landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi adalah deklarasi salamnca (UNESCO, 1994). Deklarasi ini sebenarrnya penegasan kembalil atas deklarasi PBB tentanng HAM tahun 1984 dan berbagi deklarasi lanjutan yang berujung pada peraturan standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagi bagian integral dan sistem pendidkan yang ada.

Landasan yuridis nasional pendidikan inklusi tercantum dalam

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5 yang berbunyi “setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”

2. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus 2004 .

3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan pendidikan inklusi memberikan jaminan secara hukum dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Landasan yanng menaungi pendidikan inklusi antara lain undang-undang nomor 4 tahun 2007, deklarsi bandunng serta peraturan menteri nomor 70 tahun 2009.


(49)

2.2.5. Peserta Didik dalam Pendidikan Inklusi

Berdasarkan pedoman penyelenggaraan pendidikakan inklusi tahun 2007 definisi dari pendidikan inklusi ada dua kategori sisiwa yaitu siswa yang berkebutuhan khusus dan siswa yang tidak berkebutuhan khusus. Peraturan mentri nomor 22 tahun 2006 yang berbunyi:

“Peserta didik pendidikan inklusi adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yanng berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai kejenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tuna netra, tuna rungu, tuna daksa ringan, dan tuna laras.”

Peserta didik yang berkelainan antara lain: a. Tuna Netra

Tuna netra menurut Koestler dalam Smith (2012: 141) yaitu ketajaman penglihatan pusat 20/200 atau kurang pada bagian mata yang lebih baik dengankaca mata koreksi atau ketajaman penglihatan pusat lebih dari 20/200 jika terjadi penurunan ruang penglihatan dimana terjadi pengerutan suatu bidang penglihatan sampai tingkat tertentu sehingga diameter terlebar dari 20 derajat pada bagian mata yang lebih baik. Dari uraian tersebut, anak tuna netra adalah individu yang indera penglihatanya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang-orang awas.

b. Tuna Rungu

Sutjihati (2006:93) mendefinisikan tuna rungu Tuna rungu sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengaranya. Smith


(50)

36

(2012: 278) menjelakan bahwa ada dua faktor penyebab tuna rungu yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan atau pengalaman yang meliputi lahir prematur, campak, virus, ketidaksesuaian RH darah, dan radang telinga tengah.

c. Tuna Daksa dan Cerebal Palsy

Tuna daksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan dan kelainan atau kerusakan otak dan saraf tulang belakang (Hargio, 2012: 47).

Cerebal palsy merupakan gangguan pada sistem serebai yang disebabkan oleh

kelainan yang terletak pada sistem saraf pusat (Hargio, 2012:47). Hargio (2012: 48) juga menjelaskan bahwa faktor penyebab tuna daksa antara lain masa sebelum lahir, pada saat lahir dan setelah proses kelahiran.

d. Anak Berbakat Memiliki Kemampuan dan Kecerdasan Luar Biasa

Renzuli dalam Smith (2012: 308) keberbakatan adalah mencerminkan suatu interaksi diantara tiga kelompok dasar sifat-sifat manusia. Kelompok tersebut diatas rata-rata (namun tidak selalu tinggi )kemampuan umum dan/atau tertentu, tingkat komitmen tugas yang tinggi (motivasi), dan tingkat kreativitas yang tinggi. mereka yang memiliki kemampuan mengembangkan sifat-sifat gabungan tersebut dan menerapkanya terhadap bidang yang bernilai potensial dari prestasi manusia.

Anak berbakat mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang dipengaruhi oleh pengalaman lingkunngan, sehingga karakteristik anak berbakat dapat terlihat melalui tiga hal seperti yang diungkapkan Hargio (2012: 60) yaitu potensi, cara menghadapi masalah dan prestasi.


(51)

e. Tuna grahita/ Keterbelakangan Mental.

Gorrad dalam Smith (2012: 105) menggambarkan mengenai keterbalkangan mental yaitu suatu kondisi dimana seseorang memiliki otak yang lemah, sehingga perkembangan kecerdasanya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai pada tahap perkembangan yang optimal. Penyebab terbelakang mental yang telah teridentifikasi oleh American Sociation On Mental Retardation dalam Smith (2012: 110) yaitu faktor genetik, faktor selama masa kehamilan, trauma kelahiran, penyakit dan cedera selama masa anak-anak dan remaja

f. Anak Dengan Gangguan Belajar

Gangguan belajar meliputi ketidak mampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekuranngan perhatian, ingatan atau pertimbangan,dan mempengaruhi performa akademik (Hargio, 2012:77). Terdapat tiga macam gangguan belajar yaitu gangguan membaca, menuliskan ekspresi dan gangguan matematik.

g. Anak Tuna Laras

Anak tuna laras memiliki kecerdasan yang tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Prestasi yang rendah di sekolah disebabkan mereka kehilangan minat dan konsentrasi belajar karena masalah ganguan emosi yang mereka alami. Kegagalan dalam belajar seringkali dianggap intelegensi mereka rendah (Sutjihati, 2006:139). Istilah tuna laras atau gangguan emosi/perilaku merupakan ketidak mampuan yanng ditandai dengan respon perilaku dan emosional dalam


(52)

program-38

program pembelajaran sangat tidak sesuai dengan usia, budaya, atau norma-norma etnis yang berdampak buruk secara nyata pada pendidikanya (Smith, 2012: 146).

h. Tuna Wicara

Tuna wicara atau kelainan bicara merupakan suatu kesulitan dalam mengungkapkan pesan-pesan yang diucapkan (Smith, 2012: 203). Menurut definisi tersebut merupakan suatu kesullitan dalam menggunakan kata-kata atau pengetahuan kata yang buruk, sehingga akan menciptakan ketidaknyamanan dalam berkomunikasi.

i. Autisme

Autisme adalah suatu kelainan neurologis, yanng seringkali mengakibatkan ketidak mampuan interaksi komunikasi dan sosial (Smith, 2012: 150). Anak-anak autis sering kali menunjukkan sifat kelainan sejak bayi seperti tidak tanggap terhadap orang lain, gerak diulang-ulang, menghindari kontak mata, tetap dalam kebiasaan, aneh dan sikap-sikap yang ritualitas (Smith, 2012: 150)

j. ADHD

ADHD atau attention deficit hiperakctive disorder adalah gangguan yang muncul pada anak usia dini. ADHD tidak dianggap sebagai ketidakmampuan belajar tetapi mengganggu proses belajar. Anak-anak ADHD sering mengalami masalah dengan duduk diam tetap fokus, mengikuti instruksi, suka berorganisassi dan menyelesaikan pekerjaan rumah (Hargio, 2012:93). Hargio (2012: 97) juga menjelaskan ada empat karakteristik anak ADHD yaitu hiperaktif, menggeliat, pendiam/penghayal dan kurangnya perhatian.


(53)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adapun peserta didik dalam pendidikan inklusi terdiri dari anak yang berkebutuhan khusus dan anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus antara lain tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, cerebral palsy, anak berbakat, tuna grahita, anak dengan gangguan belajar, tuna laras, tuna wicara, autis dan ADHD.

2.2.6. Kompetensi Guru Dalam Pendidikan Inklusi

Guru dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidika formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Guru sebagai tenaga kependidikan diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Karena guru mempunyai peranan sangat penting dalam proses pendidikan. Seperti yang dikemukakan syaodih dalam Mulyasa (2009: 13) bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. lebih lanjut dikemukakanya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum maka guru pulalah yanng melakukan evaluasi. Menyadari hal tersebut betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas dan profesionalisme guru.

Berkaitan dengan pelaksanaan pendidikan inklusi kompetensi seorang guru merupakan kunci sukses dalam pelaksanaan pendidikan. Kompetensi guru dalam megajar akan menunjukan kemampuan yang sebenar-benarnya, maka guru dituntut mempunyai kemampuan lebih dalam melaksanankan proses


(54)

40

pembelajaran. Menurut Praptiningsih dalam jurnal pendidikan khusus volume 7 nomor 2 tahun 2010 yang berjudul Fenomena penyelenggaraan pendidikan inklusi kemampuan yang harus dimiliki guru adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus

2. Pemahaman akan pentingnya mendorong rasa penghargaan anak berkaitan dengan perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan berorientasi pada sumber belajar.

3. Pemahaman tentang konvensi hak anak dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak.

4. Pemahaman tentang pentingnyamenciptakan linngkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang beraitan dengan isi, hubungan sosial, pendekatan dan bahan pembelajaran.

5. Pemahaman arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kkreatif dan logis.

6. Pemahaman pentingnya evaluasi dan asessmen berkesinambungan oleh guru 7. Pemahaman konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan

pembelajaran yang berdeferensi.

8. Pemahaman terhadap hambatan belajar termasuk yanng disebab oleh kelainan fisik maupun mental.

9. Pemahaman konsep pendidikan berkuallitas dan kebutuhan implementasi pendekatan dan metode baru.

Kompetensi mengajar dapat dikatakan sebagai kemampuan dasar yang mengaplikasikan apa yang seharusnya dilaksanakan guru dalam melaksanakan


(55)

tugasnya. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Berdasarkan Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pedidikan Inklusi (2007: 12-6) terdapat dua kompetensi yaitu:

a. Kompetensi Guru Umum

Seorang guru senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus menerus, juga dituntut untuk mampu dan siap berperan secara profesional dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu mengembangkan empat aspek kompetensi bagi diri dan profesinya, yaitu: kompetensi pedagogik kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Keempat kompetensi dimaksud masing-masing dimaknai sebagai berikut:

a. Kompetensi Pedagogik

Memiliki kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengoptimalkan dan mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

b. Kompetensi Kepribadian

Memiliki sikap kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan badi peserta didik, dan berakhlak mulia, atau matang sehingga mampu berfungsi sebagai tokoh identitas bagi peserta didik, serta dapat menjadi panutan bagi peserta didik dan masyarakat.


(56)

42

c. Kompetensi Profesional

Memiliki kemampuan sebagai pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.

d. Kompetensi Sosial

Kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekitarnya, termasuk dengan para peserta didik, orangtua/wali peserta didik, teman sejawat, atasan, dengan pegawai sokolah, dan dengan masyarakat luas.

b. Kompetensi Guru Khusus

Kompetensi guru pendidikan khusus dilandasi oleh empat kompetensi utama yaitu pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Secara khusus kompetensi guru diorientasikan pada tiga kemampuan utama seperti yang tercantum dalam Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (2007: 15) yaitu

1. Kemampuan Umum (general ability):

Kemampuan umum adalah kemampuan yang di perlukan untuk mendidik peserta didik pada umumnya (anak normal), sedangkan kemampuan dasar adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik berkebutuhan khusus, kemudian kemampuan khusus adalah kemampuan yang diperlukan untuk mendidik peserta didik kebutuhan khusus jenis tertentu (spesialis).


(57)

2. Kemampuan Dasar (basic ability)

Kemampuan dasar guru pendidikan khusus dalam Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (2007: 15) diharapkan guru dapat memiliki beberapa kemampuan diantaranya:

a. memahami dan mampu mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus. b. Memahami konsep dan mampu mengembangkan alat asesmen serta c. Melakukan asesmen anak berkebutuhan khusus.

d. Mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.

e. Mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi program bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus.

f. Mampu melaksanakan menajemen pendidikan khusus

g. Mampu mengembangkan kurikulum Pendidikan Khusus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus serta dinamika masyarakat.

h. Memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek medis dan implikasinya terhadap penyelenggaraan pendidikan khusus

i. Memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek psikologis dan implikasi nya terhadap penyelenggaraan pendidikan khusus

j. Mampu melakukan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan khusus.


(58)

44

l. Memiliki sikap professional di bidang pendidikan khusus

m. Mampu merancang dan melaksanakan program kampanye kepeduliasn PLB di masyarakat.

n. Mampu merancang program advokasi. 3. Kemampuan Khusus (specific ability)

Kemampuan khusus merupakan kemampuan keahlian yang dipilih sesuai dengan minat masing-masing tenaga kependidikan. Pada umumnya masing- masing guru memiliki satu kemampuan khusus (specific ability). Kemampuan khusus yang harus dimiliki guru berdasarkan Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (2007: 16) antara lain:

a. Mampu melakukan modifikasi perilaku.

b. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan penglihatan.

c. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan pendengaran/komunikasi.

d. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan intelektual.

e. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan anggota tubuh dan gerakan.

f. Menguasai konsep dan keterampilan pemnbelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan perilaku sosial.

g. Menguasai konsep dan keterampilan pemnbelajaran bagi anak yang mengalami kesulitan belajar.


(59)

Uraian di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya kompetensi guru dalam pendidikan inklusi. Beberapa kompeensi yang harus dimiliki guru dalam pendidikan inklusi antara lain kompetensi guru secara umum yang meliputi kompetensi pedagogik, sosial, pribadi seta kompetensi profesional dan kompetensi guru khusus yang meliputi kemampuan umum, kemampuan dasar dan kemampuan khusus.

2.3 Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian sebelumnya oleh Oneyda M. Paneque, dkk dalam judul “A study of teacher efficacy of special education teachers of engllish language

leaners with disabilities” menunjukkan bahwa Variabel guru yang merupakan

prediktor keberhasilan guru dan salah satu yang statistik signifikan berhubungan dengan efikasi guru adalah kemahiran dalam bahasa siswa sasaran.

Hasil penelitian lain dari Elizabeth S Hartmann, PhD yang berjudul

understanding teachers self efficacy to support children with deaf and blindness”

dari hasil penelitianya menyebutkan bahwa terdapat tiga tingkatan efikasi yaitu efikasi sangat rendah, efikasi cukup tinggi, efikasi sangat tinggi. Hasil tersebut mengungkapkakn bahwa dengan efikasi yang rendah guru tidak memiliki pelatihan formal dan pengalaman mengajar terhadap anak-anak yang mengalami kebutaan dan tuli. Sedangkan guru dengan efikasi tinggi dipengaruhi faktor keinginan yang kuat dan mempunyai pengetahuan yang luas.


(1)

LAMPIRAN 11


(2)

Hasil Uji

ANOVA

Latar Belakang Pendidikan

Hasil Uji

Homogenity Of Variance

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable:nilaiefikasi

F df1 df2 Sig.

.748 3 53 .529

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + latrpendidikan

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:nilaiefikasi

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 5625.355a 3 1875.118 10.752 .000

Intercept 415257.276 1 415257.276 2.381E3 .000

latrpendidikan 5625.355 3 1875.118 10.752 .000

Error 9242.645 53 174.390

Total 1116165.000 57

Corrected Total 14868.000 56


(3)

Hasil Post Hoc Test Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

Multiple Comparisons Dependent Variable:nilaiefikasi (I) latrpend idikan (J) latrpend idikan

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Tukey HSD smp sma -35.71* 9.817 .003 -61.75 -9.67

d2 -31.15* 9.794 .013 -57.13 -5.17

s1 -48.69* 9.904 .000 -74.96 -22.42

sma smp 35.71* 9.817 .003 9.67 61.75

d2 4.56 4.231 .704 -6.66 15.78

s1 -12.98* 4.481 .027 -24.86 -1.09

d2 smp 31.15* 9.794 .013 5.17 57.13

sma -4.56 4.231 .704 -15.78 6.66

s1 -17.54* 4.429 .001 -29.29 -5.79

s1 smp 48.69* 9.904 .000 22.42 74.96

sma 12.98* 4.481 .027 1.09 24.86

d2 17.54* 4.429 .001 5.79 29.29

Bonferroni smp sma -35.71* 9.817 .004 -62.62 -8.80

d2 -31.15* 9.794 .015 -57.99 -4.31

s1 -48.69* 9.904 .000 -75.83 -21.54

sma smp 35.71* 9.817 .004 8.80 62.62

d2 4.56 4.231 1.000 -7.04 16.16

s1 -12.98* 4.481 .033 -25.26 -.70

d2 smp 31.15* 9.794 .015 4.31 57.99

sma -4.56 4.231 1.000 -16.16 7.04

s1 -17.54* 4.429 .001 -29.68 -5.40

s1 smp 48.69* 9.904 .000 21.54 75.83

sma 12.98* 4.481 .033 .70 25.26

d2 17.54* 4.429 .001 5.40 29.68

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 174,390. *. The mean difference is significant at the ,05 level.


(4)

Hasil Uji

ANOVA

Lama Mengajar

Hasil Uji

Homogenity Of Variance

Levene's Test of Equality of Error Variancesa

Dependent Variable:efikasidiri

F df1 df2 Sig.

1.464 4 52 .227

Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups.

a. Design: Intercept + lamangajar

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:efikasidiri

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 2976.462a 4 744.116 3.254 .019

Intercept 559397.024 1 559397.024 2.446E3 .000

lamangajar 2976.462 4 744.116 3.254 .019

Error 11891.537 52 228.683

Total 1116165.000 57

Corrected Total 14868.000 56


(5)

Hasil Post Hoc Test Berdasarkan Lama Mengajar

Multiple Comparisons Dependent Variable:efikasidiri (I) lamanga jar (J) lamanga jar Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Tukey HSD 1-6 7-12 -4.30 4.681 .888 -17.53 8.92

13-18 -16.07 7.305 .196 -36.71 4.58

19-24 -21.20 9.157 .157 -47.08 4.68

25-30 -21.53 9.157 .145 -47.41 4.34

7-12 1-6 4.30 4.681 .888 -8.92 17.53

13-18 -11.76 7.748 .556 -33.66 10.13

19-24 -16.90 9.514 .398 -43.78 9.99

25-30 -17.23 9.514 .378 -44.11 9.66

13-18 1-6 16.07 7.305 .196 -4.58 36.71

7-12 11.76 7.748 .556 -10.13 33.66

19-24 -5.13 11.044 .990 -36.34 26.07

25-30 -5.47 11.044 .987 -36.67 25.74

19-24 1-6 21.20 9.157 .157 -4.68 47.08

7-12 16.90 9.514 .398 -9.99 43.78

13-18 5.13 11.044 .990 -26.07 36.34

25-30 -.33 12.347 1.000 -35.22 34.56

25-30 1-6 21.53 9.157 .145 -4.34 47.41

7-12 17.23 9.514 .378 -9.66 44.11

13-18 5.47 11.044 .987 -25.74 36.67

19-24 .33 12.347 1.000 -34.56 35.22

Bonferroni 1-6 7-12 -4.30 4.681 1.000 -18.03 9.42

13-18 -16.07 7.305 .323 -37.48 5.35

19-24 -21.20 9.157 .246 -48.05 5.65

25-30 -21.53 9.157 .225 -48.38 5.31

7-12 1-6 4.30 4.681 1.000 -9.42 18.03

13-18 -11.76 7.748 1.000 -34.48 10.95

19-24 -16.90 9.514 .816 -44.79 11.00

25-30 -17.23 9.514 .759 -45.12 10.66

13-18 1-6 16.07 7.305 .323 -5.35 37.48

7-12 11.76 7.748 1.000 -10.95 34.48

19-24 -5.13 11.044 1.000 -37.51 27.24

25-30 -5.47 11.044 1.000 -37.84 26.91

19-24 1-6 21.20 9.157 .246 -5.65 48.05

7-12 16.90 9.514 .816 -11.00 44.79


(6)

25-30 -.33 12.347 1.000 -36.53 35.87

25-30 1-6 21.53 9.157 .225 -5.31 48.38

7-12 17.23 9.514 .759 -10.66 45.12

13-18 5.47 11.044 1.000 -26.91 37.84

19-24 .33 12.347 1.000 -35.87 36.53

Based on observed means.