Kontruksi Sosial Media Massa

Berger mengatakan bahwa manusia menciptakan kenyataan realitas sosial melalui proses eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi. Dalam hal ini Berger menyebutnya moment. Manusia diciptakan untuk hidup dalam lingkungan yang begitu luas dengan berbagai macam aktivitas. Sehingga manusia diharuskan untuk berinteraksi dengan manusia lainnya, yaitu dengan berbagi sharing mengenai apa yang menjadi keyakinannya dalam aktivitasnya secara terus menerus. Proses inilah yang disebut eksternalisasi. 2 Sejak lahir, individu akan mengalami pengembangan kepribadian dan memperoleh budaya melalui hubungannya dengan dunia sekitar. Kebudayaan merupakan hasil bentukan manusia yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman manusia tersebut. Selanjutnya, individu akan membentuk budayanya sendiri dalam hubungannya dengan kebudayaan yang ada sebelumnya berdasarkan pengetahuannya. Kebudayaan kemungkinan akan selalu berubah, karena kebudayaan merupakan hasil bentukan manusia dan dihasilkan kembali oleh manusia. Melalui proses ini manusia menciptakan alat-alat, bahasa, menganut nilai-nilai, dan membentuk lembaga-lembaga. 3 Proses eksternalisasi ini melihat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Maka, dari zaman dahulu hingga sekarang manusia akan selalu berbagi sharing mengenai keyakinan atau kebudayaan yang dianutnya kepada orang lain secara terus menerus. Lalu, kebudayaan ini diterima dan 2 Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik, Vol. 21, No. 3-221-230, 9 May 2011 pukul 22.27, h. 9. 3 Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, h. 9. dianut pula oleh orang tersebut, dan dibagikan kembali kepada yang lainnya, dan seterusnya. Sebagai contoh, menggunakan kerudung merupakan kewajiban seorang muslimah dalam Islam, dan budaya ini telah dibagikan sejak lama oleh tokoh-tokoh Islam. Dahulu budaya berkerudung identik dengan kuno, motif dan gaya berkerudung cenderung monoton. Tetapi saat ini dapat kita lihat, kerudung sudah merebak luas dipasaran dengan warna serta motif yang bervariasi, dan gaya berkerudung yang lebih fleksibel dan fashionable. Maka, proses eksternalisasi ini telah menghasilkan sebuah realitas atau budaya berkerudung bagi perempuan muslimah. Namun, gaya berkerudung yang cenderung kaku, berubah menjadi lebih fleksibel dan fashionable. Hal ini terjadi karena kebudayaan merupakan hasil manusia, dan dihasilkan kembali oleh manusia yang memiliki cara pandang berbeda secara terus menerus, dari generasi ke generasi berikutnya. Sehingga kebudayaan dapat berubah dari bentuk awal tercipta. Kedua, objektivasi yaitu hasil dari berbagi sharing secara terus menerus yang telah dilalui pada tahap eksternalisasi. Proses eksternalisasi akan menghasilkan masyarakat dengan kebudayaan yang bersifat realitas objektif. Pada proses ini, manusia dihadapkan oleh berbagai macam kebudayaan, termasuk kebudayaannya sendiri. Semua aktivitas manusia yang terjadi dalam eksternalisasi dapat mengalami proses pembiasaan, yaitu melalui tindakan yang terus-menerus diulangi dari generasi ke generasi, yang kemudian menjadi kelembagaan atau kesepahaman manusia dalam jumlah yang besar. Kelembagaan ini yang akan menciptakan pola-pola perilaku yang mengendalikan perilaku manusia. Pembiasaan ini dapat mengalami pembaharuan budaya apabila adanya timbal-balik dari proses pembiasaan tersebut. 4 Masyarakat dengan kebudayaannya merupakan produk manusia dari proses eksternalisasi, yaitu proses berbagi yang dilakukan secara terus menerus. Produk ini akan berkembang dengan adanya proses pembiasaan dan membentuk suatu kelembagaan yang ikut dalam menciptakan suatu realitas objektif. Sebagai contoh: gerakan feminisme di Indonesia berawal dari pencurahan dan ekspresi diri dari tokoh perempuan Indonesia, yaitu Kartini. Kartini berbagi apa yang telah diperoleh dari pengalaman hidupnya yang ditulis melalui buku yang berjudul habis gelap, terbitlah terang. Jadi Kartini menggunakan media buku sebagai proses eksternalisasinya. Selanjutnya, dengan gebrakan Kartini ini, semakin banyak perempuan-perempuan yang berani menunjukkan potensinya. Hingga akhirnya gerakan feminisme menjadi suatu kelembagaan di Indonesia, gerakan ini telah menjadi realitas objektif yang terus berinovasi dalam memahami perempuan. Ketiga, Internalisasi, proses ini merupakan penyerapan kembali suatu reliatas objektif atau kebudayaan ke dalam kesadaran individu. Penyerapan ini akan membuat individu terpengaruhi. Namun hal ini tergantung dari individu menyerap realitas tersebut secara sempurna atau 4 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat, h. 197. tidak. Karena setiap individu memiliki budaya atau keyakinan tersendiri yang ia terima dari lahir hingga dewasa. 5 Sebagai contoh dari proses internalisasi ini dapat kita lihat pertarungan pandangan tentang Islam di Barat. Berbagai media massa di Barat menyudutkan Islam dan men-judge Islam sebagai teroris. Sehingga pemeluk agama Islam di seluruh dunia akan dihadapkan oleh realitas objektif yang terjadi di media massa Barat. Hadirnya berita tersebut, para pemeluk agama Islam akan menyerap isi dari berita tersebut dan membandingkan Islam yang dia anutnya dengan Islam yang persepsikan media massa Barat. Pemeluk agama Islam di seluruh dunia akan mencerna berita tersebut dengan latar belakang pengetahuannya mengenai Islam, dan menghasilkan pemahaman sendiri menurut keyakinannya. Teori konstruksi sosial atas realitas dari Berger dan Luckmann hadir pada sekitar tahun 1960-an, dimana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang marak diperbincangkan. Sehingga Berger dan Luckmann tidak mencantumkan media massa sebagai fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas. Namun, seiring waktu teori ini mengalami revisi yang melihat media massa juga merupakan fenomena konstruksi sosial. Bahkan menurut Burhan Bungin, konstruksi sosial akan berlangsung sangat cepat dan sebarannya merata dengan adanya media massa. Begitu pun khalayak dapat menilai sebuah realitas 5 Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, h. 14. yang terkonstruksi dalam media massa tanpa menyelidiki keadaan yang sebenarnya. 6 Seperti kita lihat saat ini, begitu canggihnya kehebatan media massa, yang membuat kita dihadapkan oleh berbagai budaya dari belahan dunia dengan sangat cepat sebaran dan pengaruhnya. Dahulu di Indonesia terdapat budaya, dimana laki-laki dan perempuan yang masih lajang dianggap kurang pantas jika saling berinteraksi. Namun, media massa telah membawa budaya dari Barat dan merubah budaya yang ada sebelumnya. Kini laki-laki dan perempuan yang masih lajang dianggap sah-sah saja jika saling berinteraksi, bahkan lebih dari itu. Budaya ini begitu cepat mempengaruhi masyarakat Timur, karena konstruksi sosial dilakukan melalui media massa, dengan tayangan sinetron remaja ber- genre percintaan di televisi, rubrik curhat di majalah remaja, dan sebagainya. Seperti yang dikatakan sebelumnya, bahwa setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, yaitu berdasarkan pengalaman, keyakinan, pendidikan, dan lingkungan sosial yang dimiliki masing-masing individu. 7 Dalam konstruksi sosial di media massa, hal ini dapat dilihat pada cara seorang wartawan mengkonstruksi peristiwa dalam pemberitaannya. Berita atau artikel adalah produk interaksi antara wartawan dengan realitas sosial. Realitas yang ditampilkan itu tidak selamanya benar, karena media massa memiliki hubungan dua 6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2008, h. 203. 7 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKiS, 2007, h. 15. arah, di satu pihak, media massa merupakan cermin keadaan sekitarnya, di lain pihak ia juga membentuk realitas sosial itu sendiri dengan memilih hal-hal apa saja yang ingin ditampilkan, juga cara menyajikan hal-hal tersebut. Dalam konstruksi sosial media massa ada beberapa tahapan- tahapan yang terjadi, yaitu melalui tahap menyiapkan materi kontruksi, tahap sebaran konstruksi, tahap pembentukan konstruksi, dan tahap konfirmasi. Pertama, tahap menyiapkan materi konstruksi adalah tugas redaksi media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda- beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Ada tiga hal penting dalam tahapan menyiapkan materi konstruksi, yaitu: 1 keberpihakan media massa kepada kapitalisme, saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis, 2 keberpihakan semu kepada masyarakat, bentuknya adalah empati, simpati dan partisipasi kepada masyarakat yang akhirnya menjual berita, 3 keberpihakan kepada kepentingan umum yang sesungguhnya merupakan visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah terlihat. 8 Kedua, tahap sebaran konstruksi, prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media, apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting juga bagi khalayak pembaca. Sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah, dimana media menyodorkan berbagai informasi-informasi sementara khalayak 8 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat, h. 203. media tidak diberikan pilihan, dan sebaran wilayah berdasarkan segmentasi. 9 Ketiga, tahap pembentukan konstruksi realitas, pembentukan konstruksi berlangsung melalui: 1 konstruksi realitas pembenaran, bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat yang cenderung membenarkan apa saja yang tersaji di media massa sebagai sebuah realitas kebenaran, 2 kesediaan dikonstruksi oleh media massa, ketika individu memilih menjadi pembaca berarti ia rela pikirannya dikonstruksi oleh media massa, 3 sebagai pilihan konsumtif, dimana individu secara terbiasa telah bergantung kepada media massa. 10 Terakhir, tahap konfirmasi, konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun khalayak konsumen memberikan alasan dan tanggungjawab mengapa mereka bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial, khususnya media massa. Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini yaitu: 1 kehidupan modern, yaitu dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri, 2 media massa walaupun memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas media berdasarkan subjek media, namun kehadiran media massa dapat memberikan pengetahuan luas yang sewaktu-waktu dapat diakses kembali. 11 9 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat, h. 203. 10 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat, h. 203. 11 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi Komunikasi di Masyarakat.

B. Peran Sosial Perempuan

Sejak lahir, setiap individu memiliki dan memainkan beberapa peran dalam kehidupannya. Henslin mengatakan bahwa peran role adalah perilaku, kewajiban, hak yang melekat pada suatu status. 12 Kita sebagai anggota masyarakat pasti memiliki status atau kedudukan sosial. Status atau kedudukan dalam kehidupan sosial kita contohnya sebagai guru, dokter, polisi, pelajar, ibu rumah tangga, ayah, anak, dan sebagainya. Apabila kita telah mengetahui status atau kedudukan sosial kita, maka kita harus menjalankan peran dari status sosial tersebut. Misalnya, status kita adalah seorang guru, peran dari seorang guru adalah berkewajiban mengajari siswa-siswanya untuk menjadi pandai. Berperilaku baik, sabar, dan bijaksana agar menjadi contoh untuk sekitarnya. Peran yang dimainkan setiap individu memiliki batasan-batasan tertentu yang telah diatur oleh masyarakat, bagaimana berperilaku yang tepat dan sesuai. 13 Dalam artian masyarakat membuat batasan-batasan terhadap suatu peran, dengan maksud agar tidak terjadi hal yang berdampak buruk bagi si pemeran dan masyarakat sekelilingnya. Jadi masyarakat merasa pandangannya dapat membuat kehidupan akan berjalan dengan baik dengan adanya batasan-batasan tersebut. Batasan terhadap suatu peran dirasakan oleh kaum laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini Saparinah Sadli menyebutnya peran gender. Menurutnya, seks berbeda dengan gender, seks merupakan pembagian jenis kelamin berdasarkan fakta biologisnya. Sedangkan gender 12 Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Jakarta: Erlangga, 2007, h. 95. 13 Henslin, Sosiologi dengan Pendekatan Membumi. h. 95. merupakan konsep sosial, yaitu pembagian seperti karakteristik psikologis yang dianggap khas untuk perempuan atau laki-laki. 14 Seks dapat dilihat melalui perbedaan secara biologis, laki-laki dan perempuan dapat dibedakan dari bentuk fisik, alat kelamin, dan alat reproduksi lainnya. Sedangkan gender, perempuan diharuskan bersifat lembut, keibuan, berpenampilan rapi, dan senang melayani kebutuhan orang lain. Laki-laki bersifat mandiri, berani, senang berpetualang, dan pekerja keras. Dari penjelasan kata peran dan gender di atas, maka dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah pola perilaku, kewajiban, dan hak dari perempuan dan laki-laki dalam mengisi status dan kedudukan sosialnya, yang disesuaikan dengan karakteristik psikologisnya. Jelas bahwa peran gender ini telah dibatasi oleh masyarakat, khususnya peran perempuan. Seperti yang dikatakan Saparinah Sadli: “R.A. Kartini berusaha keluar dari tradisi yang menempatkan posisi sosial kaum perempuan dalam klaim yang disebut kodrat. Sejak kecil, kaum perempuan khususnya di Jawa diajarkan menjadi perempuan. Mulai dari cara berjalan, cara berbicara, cara duduk, cara makan, sampai dengan jenis-jenis permainan yang diperbolehkan – jatah kaum perempuan adalah permainan yang mengandalkan kehalusan, kelembutan, dan lain- lain bentuk permaianan yang sudah dikodratkan kepada perempuan.” 15 Pernyataan tadi mengungkapkan bagaimana budaya bermain dalam penentuan peran sosial untuk perempuan yang dianggap sebagai kodrat. Bahkan dari sejak kecil perempuan telah dibatasi apa yang boleh dilakukan perempuan dan apa yang pantas untuk perempuan. Sebagai contoh, anak perempuan selalu didandani dan dibelikan mainan berupa 14 Saparinah Sadli, Berbeda tapi Setara, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, h. 23. 15 Saparinah Sadli, Berbeda tapi Setara, h. 40.

Dokumen yang terkait

Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel MajalahGADIS Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel Majalah GADIS (Analisis Semiotik Sosial Artikel pada Rubrik ‘CINTA’ dalam Majalah GADIS Edisi 08 – 11, Bulan Maret – April 2012).

0 3 11

PENUTUP Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel Majalah GADIS (Analisis Semiotik Sosial Artikel pada Rubrik ‘CINTA’ dalam Majalah GADIS Edisi 08 – 11, Bulan Maret – April 2012).

0 4 26

PIRANTI KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL PADA WACANA RUBRIK “SELEBRITAS” DALAM MAJALAH FEMINA Piranti Kohesi Gramatikal Dan Leksikal Pada Wacana Rubrik “Selebritas” Dalam Majalah Femina Sebagai Bahan Ajar Menulis Teks Narasi.

0 2 15

PIRANTI KOHESI GRAMATIKAL DAN LEKSIKAL PADA WACANA RUBRIK “SELEBRITAS” DALAM MAJALAH FEMINA Piranti Kohesi Gramatikal Dan Leksikal Pada Wacana Rubrik “Selebritas” Dalam Majalah Femina Sebagai Bahan Ajar Menulis Teks Narasi.

0 1 15

REMAJA PEREMPUAN IDEALDALAM RUBRIK FASHION DI MAJALAH Remaja Perempuan Ideal dalam Rubrik Fashion di Majalah (Studi Persepsi Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta mengenai Remaja Perempuan Ideal di Rubrik Fashion Majalah Remaja.

0 1 17

REPRESENTASI PEREMPUAN YANG TERLIBAT KORUPSI DALAM RUBRIK LIPUTAN KHAS MENGAPA WANITA LEBIH DISOROT? DI MAJALAH FEMINA EDISI 07-13 APRIL 2012.

0 0 2

PEMAKNAAN ILUSTRASI KEPULAN ASAP ROKOK DI HALAMAN LIPUTAN KHAS MAJALAH FEMINA (Studi Semiotika Komunikasi Visual Dalam Ilustrasi Kepulan Asap Rokok Di Halaman Liputan Khas Majalah Femina Edisi 26 Maret-1 April 2011).

0 0 179

Konstruksi Citra Perempuan dalam Majalah Femina

1 4 19

Konstruksi Nilai-nilai Perempuan Indonesia dalam Majalah Femina

0 0 14

PEMAKNAAN ILUSTRASI KEPULAN ASAP ROKOK DI HALAMAN LIPUTAN KHAS MAJALAH FEMINA (Studi Semiotika Komunikasi Visual Dalam Ilustrasi Kepulan Asap Rokok Di Halaman Liputan Khas Majalah Femina Edisi 26 Maret-1 April 2011)

0 0 95