Kasus Arumi Bachsin Ditinjau Dari Hukum Islam

berakhirnya. Ada yang berpendapat bahwa usia remaja itu antara 13-21 tahun, ada juga yang mengatakan antara 13-19 tahun. Telah diketahui bersama bahwa anak adalah asset terbesar bagi orang tua, anak adalah amanah Allah SWT yang perlu di didik. Oleh karena itu agama harus ditanamkan pada diri mereka. Dalam mengajarkan agama pada remaja diperlukan berbagai metode. Adapun metode yang digunakan untuk mengajarkan agama pada remaja telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW antara lain: 90 Metode Keteladanan Ketauladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dalam aspek moral spiritual anak dalam remaja mengingat pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak. Metode Demonstrasi. Metode demonstrasi adalah cara mengajar dengan menggunakan peragaan atau memperlihatkan bagaimana berjalannya suatu proses tertentu kepada yang diajar. Metode ini dapat digunakan untuk mengajarkan agama pada remaja, misalnya mendemonstrasikan langsung seperti: praktek shalat. Metode Pemberian Tugas. Termasuk metode pengajaran agama pada remaja yang cukup berhasil dalam membentuk aqidah anak remaja dan mempersiapkannya baik secara moral, maupun emosional adalah pendidikan anak dengan petuah dan memberikan kepadanya nasehat-nasehat. Islam telah memberikan petunjuk kepada orang tua untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang telah digariskan Islam. Dalam permasalahan yang terjadi antara Arumi Bachsin dan orang tuanya, yang menurut pihak KPAI, disebabkan karena berbagai faktor yakni karena faktor perjodohan paksa dan kekerasan yang dilakukan orang tua Arumi terhadap Arumi. Islam telah mempunyai landasan-landasan hukum yang bisa menjadi solusi dalam permasalahan tersebut. 90 http:www.masbied.com20110122metode-pengajaran-agama-pada-balita-anak-anak-dan-remaja. Artikel Diakses Pada Kamis 10 November 2011 Dalam permasalahan perjodohan. Perjodohan paksa merupakan bentuk kekerasan terhadap anak, karena efeknya dapat lebih parah dari kekerasan fisik. Walaupun terkadang, perkawinan paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam rumah tangga, tetapi tidak sedikit yang berakibat kepada ketidak harmonisan bahkan sampai perceraian, itu semua akibat ikatan perkawinan yang tidak dilandasi dengan cinta kasih dan sayang, namun berangkat dari keterpaksaan semata. Sebenarnya sudah menjadi polemik klasik dalam khazanah Islam. Para ahli fiqh berbeda menyikapinya. Seperti, Imam Syafi’i, Maliki,dan Hambali, 91 mereka menetapkan hak ijbar berdasarkan hadits Nabi SAW: : َﻢّﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا َﻞَﺻ ُﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ :َلﺎَﻗ ُﮫْﻨَﻋ ُﷲا َﻰِﺿَر َةا َﺮْﯾَﺮُھ ﻰِﺑَا ْﻦَﻋ ْﯿَﻛَو ِﷲا َلْﻮُﺳَر ﺎَﯾ :اْﻮُﻟ ﺎَﻗ ُن َذ ْﺎَﺘْﺴُﺗ ﻰّﺘَﺣ ُﺮْﻜِﺒْﻟا ُﺢَﻜْﻨُﺗ ﺎَﻟَو َﺮَﻣ ْﺎَﺘْﺴُﺗ ﻰّﺘَﺣ ُﻢّﯾﺎَﻟْا ُﺢَﻜْﻨُﺗ َﻻ ﺎَﮭُﻧ ْذ ِأ ﻒ َلﺎَﻗ ﻢﻠﺴﻣ و ىر ﺎﺤﺒﻟا هاور َﺖُﻜْﺴَﺗ ْنَا : Artinya: “Dari Abu Huraerah RA. Berkata Rasulullah SAW: Janda, tidak boleh dinikahi sampai diminta persetujuannya. Anak perawan tidak boleh dinikahi sampai diminta izinnya. Mereka bertanya; “bagaimana izinnya? Jawab rasul; anak gadis itu diam” HR. Bukhari-Muslim. Kelompok ini memandang yang harus diminta izin adalah janda, bukan gadis. Karena hadits ini membedakan antara janda dan gadis. Berdasarkan sebuah hadits riwayat Muslim bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya ahaqqu binafsiha min waliyyiha. Dengan demikian, ia harus diminta persetujuan. Imam Syafi’i menilai meminta persetujuan seorang gadis bukan perintah wajib amru ikhtiyarin la 91 Syafi’I, Maliki, dan Hambali berpendapat: jika wanita yang telah baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya; wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan oleh wanita tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuannya. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Lentera,2007hlm. 345. Lihat Juga, Zurinal, Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta, CV.Sejahtera, 2008hlm.231. Lihat Juga Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bary Syarh Shahih Al-Bukhari, Beirut, Daarl Fikr, t,t, Juz 9, hlm.191 fardalin. Karena dalam hadits ini janda dan gadis dibedakan. Sehingga pernikahan gadis yang dipaksakan tanpa izinnya sah-sah saja. Sebab jika sang ayah tidak dapat menikahkan tanpa izin si gadis, maka seakan-akan gadis tidak ada bedanya dengan janda. Padahal jelas sekali hadits ini membedakan janda dan gadis. Janda harus menegaskan secara jelas dalam memberikan izin. Sementara seorang gadis cukup dengan diam saja. Oleh karena itu janda, janda tidak sama dengan gadis. Seorang ayah dipersonifikasikan sebagai sosok yang begitu peduli pada kebahagiaan anak gadisnya. Karena sang gadis belum berpengalaman hidup berumah tangga, disamping biasanya ia pun malu untuk mencari pasangan sendiri, para ulama mencoba memberi sarana bagi ayah untuk membantu buah hatinya itu. Oleh karenanya kalangan Syafi’iyah membuat rambu-rambu berlapis bagi kebolehan hak ijbar. Antara lain, pertama, tidak ada kebencian yang nyata antara anak dan ayah. Ijbar harus dilakukan dengan dasar pemberian wawasan, pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, dan alternatif yang lebih baik bagi anak. kedua, ayah harus menikahkan gadis dengan lelaki yang serasi kufu’. Ketiga, calon suami harus mampuh memberi mas kawin sepantasnya mahar mitsl. Keempat,harus tidak ada kebencian dzahir batin antara calon isteri dengan calon suami. Kelima, si gadis tidak dikhawatirkan dengan orang yang akan membuatnya sengsara setelah berumah tangga. Di sisi lain kalangan Hanafiyah lebih memilih tidak mengakui hak ijbar. Mereka menggunakan pijakan argumentasi hadits yang juga digunakan kelompok pembela ijbar. Menurut mereka lafadz tusta’dzanu mengandung arti bahwa izin merupakan keharusan dari anak perawan yang hendak dinikahkan. Oleh sebab itu, pernikahan yang dilakukan tanpa kerelaan si gadis, menurut pandangan Mazhab Hanafi hukumnya tidak sah. 92 Dalam pandangan Imam Syafi’i sesungguhnya hak ijbar memang berada pada kekuasaan orang tua. Akan tetapi Imam Syafi’i mempunyai rambu-rambu yang berlapis bagi kebolehan hak ijbar tersebut. Tidak boleh orang tua menggunakan hak ijbar tersebut karena suatu keinginan orang tua semata tanpa mempertimbangkan perasaan si anak. Diantaranya, tidak ada kebencian antara anak dan orang tua, dan tidak ada kebencian dzahir dan bathin antara calon suami dan calon isteri. Dalam pandangan Islam, suami yang terpuji ialah suami yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang utama, sifat kejantanan yang sempurna, ia memandang kehidupan dengan benar, melangkah pada jalan yang lurus, ia bukan hanya saja memiliki kekayaan, atau orang yang memilki kedudukan tinggi, dengan tanpa memberi pertolongan dengan memberikan anugerah dan unsur yang baik. Dari pandangan para ulama fiqh yang telah diuraikan di atas, bahwa terdapat perbedaan pandangan antara Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi dalam menetukan kewenangan hak ijbar. Pandangan Hanafiyah lebih tidak mengakui hak ijbar. Karena berlandaskan pada izin seorang gadis tetap harus menjadi kewajiban mutlak. dan kalau memang konsisten dengan ketentuan fiqh, bisa dipastikan hampir tidak ada pemaksaan bagi anak perempuan untuk menikah. 92 Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, orang yang dipilihnya itu se-kufu sepadan dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil. Tetapi bila dia memilih seorang laki-laki yang tidak se-kufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar mitsil, qadhi boleh diminta membatalkan akadnya bila mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Lentera, 2007 hlm.345. lihat Juga Zurinal Z, Aminuddin, Fiqih Ibadah, Jakarta, Cv. Sejahtera, 2008 hlm.231. Dalam hal ini Islam telah memberikan solusi bagi orang tua yang hendak menjodohkan paksa anak gadisnya. Islam mempunyai aturan-aturan yang jelas dalam melakukan perjodohan paksa. Bahwa kerelaan si anak tetap menjadi prioritas utama dalam melakukan perjodohan tersebut. Semoga pandangan para ulama fiqh di atas, menjadi pijakan untuk para orang tua dalam mengambil sikap untuk menentukan kehidupan anaknya di masa yang akan datang. Dalam permasalahan lain antara Arumi Bachsin dengan orang tuanya, yang menurut sumber KPAI terdapat unsur-unsur kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap Arumi. Meskipun dalam perkembangan kasus ini tidak terbukti telah terjadi kekerasan terhadap Arumi. Untuk memberikan penjelasan terhadap kekerasan pada anak, maka Islam telah memberikan solusi terhadap orang tua agar tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Setiap orang di dunia ini, tidak menginginkan menjadi korban kekerasan dalam bentuk apapun dan karena alasan apapun. Tetapi realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan terkadang, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk berbuat timpang dan menindas orang lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih akan terus terjadi selama konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Semangat untuk mencari dan mewujudkan keadilan,menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka menghapuskan ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan perlindungan kepada korban. 93 Islam adalah agama yang menentang praktik kekerasan. Kekerasan dalam bentuk apapun dan terhadap siapa pun, terlebih kepada anak dalam ranah interaksi sosial masyarakat, institusi pendidkan, maupun dalam ruang lingkup keluarga sehari-hari. 93 http:kamiliamilestones.blogspot.com201001pandangan-islam-terhadap-kekerasan.html . Artikel diakses Pada Kamis 27 Oktober 2011 Perlakuan kasar dan semena-mena merupakan perbuatan fasid dalam Islam. Apalagi tindakan fasid perusakan tersebut dilakukan terhadap anak yang notabene adalah generasi penerus bangsa. Tindakan perusakan tersebut bisa berupa pembunuhan, penganiayaan dan perbuatan keji lainnya yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT. 94 Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cidera yang terlihat pada bagian anggota tubuh pada anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak. kekerasan seksual adalah apabila anak diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengekploitasi seks dimana seorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain. Kekerasan karena diabaikan menurut Akta Perlindungan Anak sebagai kegagalan ibu bapak untuk memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian, kediaman, perawatan, bimbingan atau penjagaan anak dari gangguan penjahat atau bahaya moral dan tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga mereka terpaksa menjaga diri mereka sendiri dan mengemis. Kekerasan emosi adalah sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan yang terlihat pada fungsi mental atau tingkah laku termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah laku agresif atau mal development. 95 Dalam Islam kekerasan tidak dibenarkan sejauh tidak sesuai dengan ketentuan atau melebihi batas. Kekerasan hanya digunakan sebagai langkah terakhir, dan digunakan 94 Al-Qasas, 28:77. Lihat Juga Al-An’am 6:151 95 LKTI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hanya dengan tujuan mendidik dan kasih sayang, yang di maksud mendidik disini seperti, mendidik anak untuk belajar mengerjakan sholat bukan dengan tujuan menghukum tanpa landasan yang jelas. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda: ُﺮُﻣ َﻢّﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻰَﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ :َلﺎَﻗ ِهّﺪَﺟ ْﻦَﻋ ِﮫٍﯿِﺑَا ْﻦَﻋ ٍﺐْﯿَﻌُﺷ ِﻦْﺑ وُﺮْﻤَﻋ ْﻦَﻋ او َﺑ اﻮّﻗِﺮَﻓَو ٍﺮْﺸَﻋ ُءﺎَﻨْﺑَا ْﻢُھَو ﺎَﮭْﯿَﻠَﻋ ْﻢُھ ﻮُﺑِﺮْﺿ اَو ﻰَﻨْﯿِﻨِﺳ ٍﻊْﺒَﺳ ُءﺎَﻨْﺑَا ْﻢُھَو ِةﺎَﻠّﺼﻟاﺎِﺑ ْﻢُﻛَدَﻻْوَا ﻰِﻓ ْﻢُﮭَﻨْﯿ ﻢﻜﺤﻟاو داود ﻮﺑا هاور ِﻊِﺟ ﺎَﻀَﻤْﻟا Artinya: “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka, bila tidak mau shalat saat mereka berusia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka saat mereka berusia sepuluh.” HR Abu Daud dan Hakim 96 Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang tua diwajibkan memerintahkan shalat tatkala anak berusia tujuh tahun, dan memukulnya jika sampai usia sepuluh tahun. Sehingga pengenalan shalat serta sejumlah kewajiban-kewajiban lain agama sudah harus dimulai pada anak sejak berusia dini, pada usia 7 tujuh tahun dan ketika pada usia 10 sepuluh tahun sang anak masih belum mau melaksanakan kewajiban tersebut, atau melanggar maka orang tua diperbolehkan-bahkan- menjadi keharusan- untuk memukul sang anak sebagai hukuman. Hadis ini sangat menarik jika direnungkan hikmahnya, karena menunjukan keluhuran agama Islam. Pertama, batas kebolehan melakukan kekerasan terhadap anak adalah jika anak sudah berusia 10 sepuluh tahun. Jadi jika belum 10 tahun untuk alasan apapun, kekerasan terhadap anak tidak dibolehkan sama sekali. Kedua, hanya dimungkinkan jika alasannya adalah karena menyangkut hal yag prinsip,yakni “meninggalkan shalat” yang notabene adalah tiang agama dan bukti loyalitas keagamaan. 96 Ali Yusuf As-Subky, Membangun Surga Dalam Keluarga, Jakarta, Senayan Abadi Publishing, 2005 Cet Ke-1 hlm.286 Meski si anak sudah 10 tahun dan pelanggarannya bukan menyangkut masalah prinsip keagamaan baca: shalat, tindak kekerasan tetap tidak ditoleransi. Ketiga, kekerasan hanya dimungkinkan hanya pada bagian tubuh anak yang tidak vital misalnya:bokong. Jadi, kalau sampai memukul pada bagian yang vital, misalnya kepala, perut, telinga, hidung, dan sejenisnya jelas sekali terlarang dalam Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 110 97 dijelaskan, bahwa wali berkewajiban memberikan bimbingan agama untuk masa depan orang yang berada dibawah perwaliannya. Dalam penjelasan ini, Islam membuktikan bahwa sedari kecil anak harus di biasakan untuk diperintahkan mengerjakan shalat lima waktu. Agar setelah si anak tumbuh menjadi seorang anak yang dewasa, ia sudah terbiasa untuk menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang Tuhan-Nya. Orang tua seharusnya menghindari segala macam bentuk kekerasan dalam mendidik anak. Islam telah memberikan solusi terbaik bagi orang tua dalam mendidik anak- anaknya. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar sedari usia dini anak-anak diajak untuk mengenal Tuhan-Nya. Dengan cara orang tua memerintahakan anaknya untuk mengerjakan shalat pada usia dini. Orang tua seharusnya tidak mengabaikan aspek psikologis dalam mengasuh anak. Anak memerlukan perhatian dan kasih sayang. Meskipun belum bisa berpikir logis, anak tetap memerlukan kasih sayang dan cinta orang tua. Pemberian materi yang banyak tanpa dibarengi dengan perhatian dan rasa cinta dari orang tua akan membuat anak merasa tidak ada ikatan emosi antara dirinya dan orang tua. Akibatnya anak tidak peka terhadap apa yang dirasakan oleh orang tuanya. 97 Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 110

D. Relevansi Hukum Islam Terhadap Undang-undang Perlindungan Anak

Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang disahkan oleh Pemerintah pada Tanggal 22 Oktober 2002 silam, hingga kini masih banyak menuai pro dan kontra khususnya dikalangan ummat Islam. Undang-undang Perlindungan Anak adalah Implementasi dari keikutsertaan Indonesia dalam menandatangani Ratifikasi Konvensi Hak Anak KHA yang digelar Dewan Umum Perserikatan Bangsa Bangsa PBB Pada Tanggal 20 November 1989. hingga kini masih banyak menuai pro dan kontra khususnya dikalangan umat Islam. Banyak yang beranggapan bahwa beberapa Pasal dalam Undang-undang tersebut tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum Islam. 98 Dijumpai pasal-pasal dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 yang belum menemukan titik temu dengan hukum Islam diantaranya: 1. Pasal 1 Undang-undang Perlindungan anak disebutkan: “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan” Pasal ini erat kaitannya dengan pasal UUPA lainnya. Misalnya dengan pasal 26 ayat 1c yang berbunyi: “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”. Artinya, orang tua berhak melarang anak yang belum berusia 18 delapan belas tahun untuk menikah. Jadi penetapan anak sebagai anak yang berumur 18 tahun sangat terkait dengan larangan usia perkawinan dini. Dengan alasan menjaga kesehatan reproduksi remaja dan pernikahan dini dapat membahayakan fisik dan kejiwaan anak-anak. Sebuah asumsi yang masih layak diperdebatkan. 98 http:qathrunnadacom.multiply.comjournalitem9 . Artikel DiaksesPada hari Rabu, 2 November 2011. Padahal, pelarangan menikah pada usia anak seperti didefinisikan UUPA, sejatinya justru mengebiri hak anak itu sendiri. Sebab, itu berarti tertutup peluang bagi mereka yang berusia kurang dari 18 tahun untuk menikah, walau anak sudah matang dan siap secara ekonomi, biologis dan pola pikir. Dalam hal ini telah terjadi pelanggaran atas hak seksual anak. Dalam agama Islam definisi anak sangat jelas batasannya. Yakni manusia yang belum mencapai akil baligh dewasa. Laki-laki disebut dewasa ditandai dengan mimpi basah, sedangkan perempuan dengan menstruasi. Jika tanda-tanda puber tersebut sudah tampak, berapapun usianya maka ia tidak bisa lagi dikategorikan “anak- anak” yang bebas dari pembebanan kewajiban. Justru sejak itulah anak-anak memulai kehidupannya sebagai pribadi yang memilkul tanggung jawab. Termasuk ketika ia telah matang dan memilih untuk menyalurkan kebutuhan bilogisnya dengan pernikahan, maka tidak boleh dilarang. 2. Pasal 3 dan 4 UU N0 23 tahun 2002 mengatur tentang hak-hak memerlukan penjelasan lanjut mengenai batasan definisi kekerasan. Dikhawatirkan orangtua anak yang melakukan upaya edukasi melalui suatu tindakan fisik mencubit, menjewer, memukul ringan ke tubuh sang anak dan anggapan ancaman psikologi akan terjerat hukum. Padahal kita memahami bahwa seorang anak sebelum baligh umumnya tak bisa membedakan suatu kebaikan dan keburukan. Misalnya, dalam ajaran Islam seorang anak pada usia 10 tahun tak mau melakukan shalat lima waktu, maka orangtuanya diperbolehkan memukul untuk mendidik dan mendisiplinkan diri. Titik Temu Islam dengan Regulasi Perlindungan Anak

Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

3 72 99

Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak) Menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

2 78 131

Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam

1 39 137

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perceraian Orang Tua di Pengadilan Agama Padang Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

0 0 6

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tua Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindunga.

0 0 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENGONSUMSI ROKOK DIHUBUNGKAN DENGAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 2

KEWAJIBAN NEGARA TERHADAP ANAK-ANAK JALANAN YANG MASIH MEMILIKI ORANG TUA YANG TINGGAL DI RUMAH SINGGAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG.

0 0 1

Pencabutan Kuasa Asuh Orang Tua Terhadap Anak Sah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

0 1 15

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 2 122

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12