Kasus Arumi Bachsin Ditinjau Dari Hukum Islam
berakhirnya. Ada yang berpendapat bahwa usia remaja itu antara 13-21 tahun, ada juga yang mengatakan antara 13-19 tahun. Telah diketahui bersama bahwa anak adalah asset terbesar
bagi orang tua, anak adalah amanah Allah SWT yang perlu di didik. Oleh karena itu agama harus ditanamkan pada diri mereka. Dalam mengajarkan agama pada remaja diperlukan
berbagai metode. Adapun metode yang digunakan untuk mengajarkan agama pada remaja telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW antara lain:
90
Metode Keteladanan Ketauladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dalam aspek moral spiritual anak
dalam remaja mengingat pendidik adalah figur terbaik dalam pandangan anak. Metode Demonstrasi. Metode demonstrasi adalah cara mengajar dengan menggunakan peragaan
atau memperlihatkan bagaimana berjalannya suatu proses tertentu kepada yang diajar. Metode ini dapat digunakan untuk mengajarkan agama pada remaja, misalnya
mendemonstrasikan langsung seperti: praktek shalat. Metode Pemberian Tugas. Termasuk metode pengajaran agama pada remaja yang cukup berhasil dalam membentuk aqidah anak
remaja dan mempersiapkannya baik secara moral, maupun emosional adalah pendidikan anak dengan petuah dan memberikan kepadanya nasehat-nasehat.
Islam telah memberikan petunjuk kepada orang tua untuk mendidik anak-anaknya sesuai dengan apa yang telah digariskan Islam. Dalam permasalahan yang terjadi antara
Arumi Bachsin dan orang tuanya, yang menurut pihak KPAI, disebabkan karena berbagai faktor yakni karena faktor perjodohan paksa dan kekerasan yang dilakukan orang tua Arumi
terhadap Arumi. Islam telah mempunyai landasan-landasan hukum yang bisa menjadi solusi dalam permasalahan tersebut.
90
http:www.masbied.com20110122metode-pengajaran-agama-pada-balita-anak-anak-dan-remaja. Artikel Diakses Pada Kamis 10 November 2011
Dalam permasalahan perjodohan. Perjodohan paksa merupakan bentuk kekerasan terhadap anak, karena efeknya dapat lebih parah dari kekerasan fisik. Walaupun terkadang,
perkawinan paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam rumah tangga, tetapi tidak sedikit yang berakibat kepada ketidak harmonisan bahkan sampai perceraian, itu semua akibat
ikatan perkawinan yang tidak dilandasi dengan cinta kasih dan sayang, namun berangkat dari keterpaksaan semata.
Sebenarnya sudah menjadi polemik klasik dalam khazanah Islam. Para ahli fiqh berbeda menyikapinya. Seperti, Imam Syafi’i, Maliki,dan Hambali,
91
mereka menetapkan hak ijbar berdasarkan hadits Nabi SAW:
: َﻢّﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا َﻞَﺻ ُﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ :َلﺎَﻗ ُﮫْﻨَﻋ ُﷲا َﻰِﺿَر َةا َﺮْﯾَﺮُھ ﻰِﺑَا ْﻦَﻋ ْﯿَﻛَو ِﷲا َلْﻮُﺳَر ﺎَﯾ :اْﻮُﻟ ﺎَﻗ ُن َذ ْﺎَﺘْﺴُﺗ ﻰّﺘَﺣ ُﺮْﻜِﺒْﻟا ُﺢَﻜْﻨُﺗ ﺎَﻟَو َﺮَﻣ ْﺎَﺘْﺴُﺗ ﻰّﺘَﺣ ُﻢّﯾﺎَﻟْا ُﺢَﻜْﻨُﺗ َﻻ
ﺎَﮭُﻧ ْذ ِأ ﻒ َلﺎَﻗ
ﻢﻠﺴﻣ و ىر ﺎﺤﺒﻟا هاور َﺖُﻜْﺴَﺗ ْنَا :
Artinya: “Dari Abu Huraerah RA. Berkata Rasulullah SAW: Janda, tidak boleh dinikahi sampai diminta persetujuannya. Anak perawan tidak boleh dinikahi sampai
diminta izinnya. Mereka bertanya; “bagaimana izinnya? Jawab rasul; anak gadis itu diam” HR. Bukhari-Muslim.
Kelompok ini memandang yang harus diminta izin adalah janda, bukan gadis. Karena hadits ini membedakan antara janda dan gadis. Berdasarkan sebuah hadits riwayat
Muslim bahwa janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya ahaqqu binafsiha min waliyyiha. Dengan demikian, ia harus diminta persetujuan. Imam Syafi’i
menilai meminta persetujuan seorang gadis bukan perintah wajib amru ikhtiyarin la
91
Syafi’I, Maliki, dan Hambali berpendapat: jika wanita yang telah baligh dan berakal sehat itu masih gadis, maka hak mengawinkan dirinya ada pada wali, akan tetapi jika ia janda, maka hak itu ada pada keduanya;
wali tidak boleh mengawinkan wanita janda itu tanpa persetujuannya. Sebaliknya wanita itu pun tidak boleh mengawinkan dirinya tanpa restu wali. Namun, pengucapan akad adalah hak wali. Akad yang diucapkan oleh wanita
tersebut tidak berlaku sama sekali, walaupun akad itu sendiri memerlukan persetujuannya. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Lentera,2007hlm. 345. Lihat Juga, Zurinal, Aminuddin, Fiqih Ibadah,
Jakarta, CV.Sejahtera, 2008hlm.231. Lihat Juga Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bary Syarh Shahih Al-Bukhari, Beirut, Daarl Fikr, t,t, Juz 9, hlm.191
fardalin. Karena dalam hadits ini janda dan gadis dibedakan. Sehingga pernikahan gadis yang dipaksakan tanpa izinnya sah-sah saja. Sebab jika sang ayah tidak dapat menikahkan
tanpa izin si gadis, maka seakan-akan gadis tidak ada bedanya dengan janda. Padahal jelas sekali hadits ini membedakan janda dan gadis. Janda harus menegaskan secara jelas dalam
memberikan izin. Sementara seorang gadis cukup dengan diam saja. Oleh karena itu janda, janda tidak sama dengan gadis.
Seorang ayah dipersonifikasikan sebagai sosok yang begitu peduli pada kebahagiaan anak gadisnya. Karena sang gadis belum berpengalaman hidup berumah
tangga, disamping biasanya ia pun malu untuk mencari pasangan sendiri, para ulama mencoba memberi sarana bagi ayah untuk membantu buah hatinya itu. Oleh karenanya
kalangan Syafi’iyah membuat rambu-rambu berlapis bagi kebolehan hak ijbar. Antara lain, pertama, tidak ada kebencian yang nyata antara anak dan ayah. Ijbar harus dilakukan dengan
dasar pemberian wawasan, pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, dan alternatif yang lebih baik bagi anak. kedua, ayah harus menikahkan gadis dengan lelaki yang serasi kufu’.
Ketiga, calon suami harus mampuh memberi mas kawin sepantasnya mahar mitsl. Keempat,harus tidak ada kebencian dzahir batin antara calon isteri dengan calon suami.
Kelima, si gadis tidak dikhawatirkan dengan orang yang akan membuatnya sengsara setelah berumah tangga.
Di sisi lain kalangan Hanafiyah lebih memilih tidak mengakui hak ijbar. Mereka menggunakan pijakan argumentasi hadits yang juga digunakan kelompok pembela ijbar.
Menurut mereka lafadz tusta’dzanu mengandung arti bahwa izin merupakan keharusan dari
anak perawan yang hendak dinikahkan. Oleh sebab itu, pernikahan yang dilakukan tanpa kerelaan si gadis, menurut pandangan Mazhab Hanafi hukumnya tidak sah.
92
Dalam pandangan Imam Syafi’i sesungguhnya hak ijbar memang berada pada kekuasaan orang tua. Akan tetapi Imam Syafi’i mempunyai rambu-rambu yang berlapis bagi
kebolehan hak ijbar tersebut. Tidak boleh orang tua menggunakan hak ijbar tersebut karena suatu keinginan orang tua semata tanpa mempertimbangkan perasaan si anak. Diantaranya,
tidak ada kebencian antara anak dan orang tua, dan tidak ada kebencian dzahir dan bathin antara calon suami dan calon isteri.
Dalam pandangan Islam, suami yang terpuji ialah suami yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan yang utama, sifat kejantanan yang sempurna, ia memandang kehidupan dengan
benar, melangkah pada jalan yang lurus, ia bukan hanya saja memiliki kekayaan, atau orang yang memilki kedudukan tinggi, dengan tanpa memberi pertolongan dengan memberikan
anugerah dan unsur yang baik. Dari pandangan para ulama fiqh yang telah diuraikan di atas, bahwa terdapat
perbedaan pandangan antara Syafi’I, Maliki, Hambali dan Hanafi dalam menetukan kewenangan hak ijbar. Pandangan Hanafiyah lebih tidak mengakui hak ijbar. Karena
berlandaskan pada izin seorang gadis tetap harus menjadi kewajiban mutlak. dan kalau memang konsisten dengan ketentuan fiqh, bisa dipastikan hampir tidak ada pemaksaan bagi
anak perempuan untuk menikah.
92
Hanafi mengatakan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal sehat boleh memilih sendiri suaminya dan boleh pula melakukan akad nikah sendiri, baik dia perawan maupun janda. Tidak ada seorang pun yang
mempunyai wewenang atas dirinya atau menentang pilihannya, dengan syarat, orang yang dipilihnya itu se-kufu sepadan dengannya dan maharnya tidak kurang dari dengan mahar mitsil. Tetapi bila dia memilih seorang laki-laki
yang tidak se-kufu dengannya, maka walinya boleh menentangnya, dan meminta kepada qadhi untuk membatalkan akad nikahnya. Kalau wanita tersebut kawin dengan laki-laki lain dengan mahar kurang dari mahar mitsil, qadhi
boleh diminta membatalkan akadnya bila mahar mitsil tersebut tidak dipenuhi oleh suaminya. Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Lentera, 2007 hlm.345. lihat Juga Zurinal Z, Aminuddin, Fiqih Ibadah,
Jakarta, Cv. Sejahtera, 2008 hlm.231.
Dalam hal ini Islam telah memberikan solusi bagi orang tua yang hendak menjodohkan paksa anak gadisnya. Islam mempunyai aturan-aturan yang jelas dalam
melakukan perjodohan paksa. Bahwa kerelaan si anak tetap menjadi prioritas utama dalam melakukan perjodohan tersebut. Semoga pandangan para ulama fiqh di atas, menjadi pijakan
untuk para orang tua dalam mengambil sikap untuk menentukan kehidupan anaknya di masa yang akan datang.
Dalam permasalahan lain antara Arumi Bachsin dengan orang tuanya, yang menurut sumber KPAI terdapat unsur-unsur kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap
Arumi. Meskipun dalam perkembangan kasus ini tidak terbukti telah terjadi kekerasan terhadap Arumi. Untuk memberikan penjelasan terhadap kekerasan pada anak, maka Islam
telah memberikan solusi terhadap orang tua agar tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Setiap orang di dunia ini, tidak menginginkan menjadi korban kekerasan dalam
bentuk apapun dan karena alasan apapun. Tetapi realitas sosial yang penuh dengan ragam kepentingan terkadang, dengan kesadaran atau tanpa kesadaran, memaksa orang untuk
berbuat timpang dan menindas orang lain. Kekerasan-kekerasan pun terjadi dan masih akan terus terjadi selama konflik kepentingan itu masih ada dalam kehidupan ini. Semangat untuk
mencari dan mewujudkan keadilan,menjadi penting untuk terus digulirkan dalam rangka menghapuskan ketimpangan kehidupan, menghentikan kekerasan dan memberikan
perlindungan kepada korban.
93
Islam adalah agama yang menentang praktik kekerasan. Kekerasan dalam bentuk apapun dan terhadap siapa pun, terlebih kepada anak dalam ranah interaksi sosial
masyarakat, institusi pendidkan, maupun dalam ruang lingkup keluarga sehari-hari.
93
http:kamiliamilestones.blogspot.com201001pandangan-islam-terhadap-kekerasan.html
.
Artikel diakses Pada Kamis 27 Oktober 2011
Perlakuan kasar dan semena-mena merupakan perbuatan fasid dalam Islam. Apalagi tindakan fasid perusakan tersebut dilakukan terhadap anak yang notabene adalah generasi
penerus bangsa. Tindakan perusakan tersebut bisa berupa pembunuhan, penganiayaan dan perbuatan keji lainnya yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT.
94
Islam sangat menentang kekerasan dalam bentuk apapun termasuk dalam kehidupan rumah tangga. Kekerasan terhadap anak dibagi dalam 4 bagian utama, yaitu
kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan karena diabaikan dan kekerasan emosi. Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cidera yang
terlihat pada bagian anggota tubuh pada anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap badan anak. kekerasan seksual adalah apabila anak
diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan
mengekploitasi seks dimana seorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain. Kekerasan karena diabaikan menurut Akta Perlindungan Anak sebagai kegagalan ibu bapak
untuk memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian, kediaman, perawatan, bimbingan atau penjagaan anak dari gangguan penjahat atau bahaya moral dan
tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga mereka terpaksa menjaga diri mereka sendiri dan mengemis. Kekerasan emosi adalah sekiranya terdapat gangguan yang keterlaluan yang
terlihat pada fungsi mental atau tingkah laku termasuk keresahan, murung, menyendiri, tingkah laku agresif atau mal development.
95
Dalam Islam kekerasan tidak dibenarkan sejauh tidak sesuai dengan ketentuan atau melebihi batas. Kekerasan hanya digunakan sebagai langkah terakhir, dan digunakan
94
Al-Qasas, 28:77. Lihat Juga Al-An’am 6:151
95
LKTI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
hanya dengan tujuan mendidik dan kasih sayang, yang di maksud mendidik disini seperti, mendidik anak untuk belajar mengerjakan sholat bukan dengan tujuan menghukum tanpa
landasan yang jelas. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda:
ُﺮُﻣ َﻢّﻠَﺳَو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻰَﻠَﺻ ِﷲا ُلْﻮُﺳَر َلﺎَﻗ :َلﺎَﻗ ِهّﺪَﺟ ْﻦَﻋ ِﮫٍﯿِﺑَا ْﻦَﻋ ٍﺐْﯿَﻌُﺷ ِﻦْﺑ وُﺮْﻤَﻋ ْﻦَﻋ او
َﺑ اﻮّﻗِﺮَﻓَو ٍﺮْﺸَﻋ ُءﺎَﻨْﺑَا ْﻢُھَو ﺎَﮭْﯿَﻠَﻋ ْﻢُھ ﻮُﺑِﺮْﺿ اَو ﻰَﻨْﯿِﻨِﺳ ٍﻊْﺒَﺳ ُءﺎَﻨْﺑَا ْﻢُھَو ِةﺎَﻠّﺼﻟاﺎِﺑ ْﻢُﻛَدَﻻْوَا ﻰِﻓ ْﻢُﮭَﻨْﯿ
ﻢﻜﺤﻟاو داود ﻮﺑا هاور ِﻊِﺟ ﺎَﻀَﻤْﻟا
Artinya: “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka, bila tidak mau shalat saat mereka berusia
sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka saat mereka berusia sepuluh.” HR Abu Daud dan Hakim
96
Hadis tersebut menjelaskan bahwa orang tua diwajibkan memerintahkan shalat tatkala anak berusia tujuh tahun, dan memukulnya jika sampai usia sepuluh tahun. Sehingga
pengenalan shalat serta sejumlah kewajiban-kewajiban lain agama sudah harus dimulai pada anak sejak berusia dini, pada usia 7 tujuh tahun dan ketika pada usia 10 sepuluh tahun
sang anak masih belum mau melaksanakan kewajiban tersebut, atau melanggar maka orang tua diperbolehkan-bahkan- menjadi keharusan- untuk memukul sang anak sebagai hukuman.
Hadis ini sangat menarik jika direnungkan hikmahnya, karena menunjukan keluhuran agama Islam. Pertama, batas kebolehan melakukan kekerasan terhadap anak
adalah jika anak sudah berusia 10 sepuluh tahun. Jadi jika belum 10 tahun untuk alasan apapun, kekerasan terhadap anak tidak dibolehkan sama sekali. Kedua, hanya dimungkinkan
jika alasannya adalah karena menyangkut hal yag prinsip,yakni “meninggalkan shalat” yang notabene adalah tiang agama dan bukti loyalitas keagamaan.
96
Ali Yusuf As-Subky, Membangun Surga Dalam Keluarga, Jakarta, Senayan Abadi Publishing, 2005 Cet Ke-1 hlm.286
Meski si anak sudah 10 tahun dan pelanggarannya bukan menyangkut masalah prinsip keagamaan baca: shalat, tindak kekerasan tetap tidak ditoleransi. Ketiga, kekerasan
hanya dimungkinkan hanya pada bagian tubuh anak yang tidak vital misalnya:bokong. Jadi, kalau sampai memukul pada bagian yang vital, misalnya kepala, perut, telinga, hidung,
dan sejenisnya jelas sekali terlarang dalam Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam KHI Pasal 110
97
dijelaskan, bahwa wali berkewajiban memberikan bimbingan agama untuk masa depan orang yang berada dibawah
perwaliannya. Dalam penjelasan ini, Islam membuktikan bahwa sedari kecil anak harus di biasakan untuk diperintahkan mengerjakan shalat lima waktu. Agar setelah si anak tumbuh
menjadi seorang anak yang dewasa, ia sudah terbiasa untuk menjalankan apa yang diperintahkan Tuhan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang Tuhan-Nya.
Orang tua seharusnya menghindari segala macam bentuk kekerasan dalam mendidik anak. Islam telah memberikan solusi terbaik bagi orang tua dalam mendidik anak-
anaknya. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar sedari usia dini anak-anak diajak untuk mengenal Tuhan-Nya. Dengan cara orang tua memerintahakan anaknya untuk
mengerjakan shalat pada usia dini. Orang tua seharusnya tidak mengabaikan aspek psikologis dalam mengasuh anak.
Anak memerlukan perhatian dan kasih sayang. Meskipun belum bisa berpikir logis, anak tetap memerlukan kasih sayang dan cinta orang tua. Pemberian materi yang banyak tanpa
dibarengi dengan perhatian dan rasa cinta dari orang tua akan membuat anak merasa tidak ada ikatan emosi antara dirinya dan orang tua. Akibatnya anak tidak peka terhadap apa yang
dirasakan oleh orang tuanya.
97
Lihat Kompilasi Hukum Islam Pasal 110