Otoritas orang tua terhadap anak perspektif hukum Islam dan undang-undang nomor 23 tahun 2002 (kasus Arumi Bachsin)

(1)

OTORITAS ORANG TUA TERHADAP ANAK

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

(Kasus Arumi Bachsin)

Skripsi

Di Ajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Memperoleh Persyaratan Gelar

Sarjana Hukum Islam (S.Hi)

Oleh: Muchibi 107043202534

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011


(2)

(3)

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 22 Desember 2011


(5)

KATA PENGANTAR

ﻢﯿﺣﺮﻟا ﻦﻤﺣﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah merajai diriku dan telah kucurkan segenap keridhaan, rahmat, bimbingan, pertolongan serta pemeliharaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Otoritas Orang Tua Terhadap Anak Perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 (Kasus Arumi Bachsin) dengan baik.

Shalawat serta salam rindu teruntuk Baginda Nabi Muhammad Mustafa al-Amin yang terberkati, salam dari ummatmu sepanjang masa dan aku rindu untuk bertatap muka denganmu.

Banyak campur tangan dan kontribusi dari berbagai pihak dalam penyelesaian skripsi ini, hanya Allah SWT yang dapat membalas budi baik yang telah diberikan. Izinkanlah pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag Ketua Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta dan Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si. Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, semoga senantiasa tetap bisa menjadi suri tauladan bagi kami.

3. Fahmi Muhammad Ahmadi M.Si. pembimbing penulis yang dengan keikhlsannya meluangkan waktunya dan menuntun penulis dari awal hingga selesai skripsi ini.


(6)

4. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie MA. Dosen Pembimbing Akademik Konsentrasi Perbandingan Hukum Angkatan 2007

5. Para Dosen serta jajaran staf karyawan di Fakultas Syari’ah dan Hukum, yang ikhlas mentransfer segenap ilmunya kepada penulis. Semoga menjadi ilmu yang manfaat dan barakah di dunia dan di akhirat.

6. Segenap staf perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas fasilitas peminjaman buku yang membantu dalam penulisan skripsi ini.

7. Ayahanda H. Abdurrahman dan Ibunda tercinta Hj. Munyani terimakasih atas segala daya upaya, kucuran keringat, sujud panjang, lantunan doa-doa, lunglai serta letihmu yang terus harap akan keselamatan juga keberhasilan hidup penulis. Sungguh kalian benar-benar tidak tergantikan. Semoga semua amal kebaikan dihitung jariyah.

Rabbi Irhamhuma kama Rabbayani Saghira, Amin.

8. Kaka ku Tercinta Gonimah Amd, Keb dan Adik-adiku Tersayang Afifah, Abd Mukhit, Aan Husni Mubarak dan Muhammad Muhriji, yang telah memberikan keceriaan dan kehangatan dalam keluarga.

9. Minola Sebayang SH dan Partner yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-data untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

10.Sander Diki Zulkarnaen M.Psi staf Koordinator Pengaduan KPAI, yang telah memberikan data-data untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

11.Rudy Bachsin dan Maria Lilian Pesch yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-data untuk kesempurnaan penelitian skripsi ini.


(7)

12.Segenap Keluarga PH Ceria Angkatan 2007 Muhammad Novel, Abdul Muktadir, Risnu Arisandi, Ahmad Faqih Syarafadin, Fikri Ramadhan dan semua teman-teman kelas Perbandingan Hukum Angkatan 2007. Semua terlalu manis untuk dilupakan. Kita telah rangkum sketsa ini bersama.

13.Teman-teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) kelompok 80. Desa Cijeruk Kec. Cijeruk Kab. Bogor-Jawa Barat yang telah mengajariku arti kehidupan dalam kebersamaan.

Hanya kepada Allah SWT penulis bersimpuh dan berdoa semoga iradahNya senantiasa membawa mereka atas kebahagiaan yang hakiki, amin.

Penulis menyadari bahwa skripsi sederhana ini jauh dari kesempurnaan, karena kami hanya seorang dhaif dan tak mungkin seperti ini bila tidak Engkau kehendaki. Kritik konstruktif yang akan membuat skripsi ini menjadi lebih baik.

La Ilaha Illa Anta, Allahumma Anta as-Salam wa Minka as-Salam fa Hayyina Robbana bi as-Salam wa Adkhilna Jannata Dar as-Salam.

Jakarta, 2 Muharam 1433 H 28 November 2011


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam tatanan kemasyarakatan. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan wanita.1 Keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak untuk memperoleh pembinaan mental dan pembentukan kepribadian2 yang kemudian disempurnakan oleh pendidikan sekolah maupun lingkungan sekitar (sosial) dimana anak tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu, orang tua wajib mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang didasari oleh keimanan, agar mereka tumbuh menjadi manusia yang membangun, bukan merusak. dan kekhawatiran tentang munculnya sikap durhaka sang anak hanya dapat diantisipasi dengan pendidikan yang didasari oleh keimanan.3

Disinilah urgensitas keluarga terlihat, fungsi dan peran keluarga memiliki andil yang cukup signifikan terhadap perkembangan dan masa depan sang anak. Lebih dari itu keluarga sebagai unsur terkecil dalam element masyarakat pun turut berperan menentukan masa depan dan perjalanan suatu bangsa. Jika seluruh orang tua yang ada pada seluruh masyarakat-bangsa benar-benar menjalankan perannya dengan turut aktif mengawal serta bertanggungjawab atas perkembangan moral maupun intelektual anak, maka apa yang

1

Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, Cet.ke-2 (Jakarta :PT.Rieneka Cipta 1999) h.239

2

Dalam bahasa Inggris disebut Personality, yang berasal dari bahasa Latin:Persona, yang berarti kedok atau topeng. Secara terminologis kepribadian adalah suatu totalitas psikhophisis yang kompleks dari individu, sehingga Nampak didalamnya tingkah laku yang unik. Biasanya kepribadian dibicarakan dalam pengertian apa yang membuat seseorang berbeda dari yang lain, apa yang membuatnya unik dibanding yang lain. Aspek kepribadian seperti ini disebut “kekhasan individu” (individual differences). Dalam Agus Sujanto dkk,, Psikologi Kepribadian, Cet Ke-1 (Jakarta, Aksara Baru) h.20. Lihat juga George Boeree, Personality Theoris, Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog Dunia. Cet-Ke IV (Yogyakarta, Prismasople, 2006) h.13

3


(9)

dicita-citakan oleh suatu bangsa tidaklah menjadi suatu hal yang mustahil untuk dicapai karena didalamnya terdapat generasi-generasi yang bertanggungjawab terhadap agama, nusa dan bangsanya.

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa yaitu, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur secara merata berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Karena itu anak membutuhkan pembinaan dan perlindungan dalam rangka pertumbuhan dan perkembangannya baik secara fisik, mental maupun sosialnya. Anak Indonesia merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai hak dan kewajiban ikut serta membangun Negara dan bangsa Indonesia.4

Dalam menangani permasalahan seputar dunia anak di Indonesia ada Lembaga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)5 yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keppres No.77 Tahun 2003 dan pasal 74 dalam rangka untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. KPAI memiliki tugas pokok dan fungsi melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi dan pengawasan terhadap penyelenggara perlindungan anak. Selain itu KPAI memberikan laporan saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak.6

4

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta, Akedemika Pressindo, 1989), cet ke2. h.123

5

Untuk selanjutnya penulis akan menggunakan singkatan KPAI

6

http://www.kpai.go.id/tentang-kpai-mainmenu-26/12-tentang-kpai.html. Artikel diAkses Pada Senin 23 Mei 2011


(10)

Belakangan ini muncul berita di media massa yang menyebutkan tentang kasus artis Arumi Bachsin yang kabur dari rumah akibat perselisihan dengan orang tuanya. Munculnya permasalahan orang tua dengan anak sebenarnya cenderung disebabkan oleh sikap orang tua sebagai pihak yang seharusnya mampu memegang kendali terhadap anak-anaknya, mengingat orang tua adalah contoh terdekat bagi anak-anak dalam proses tumbuh kembang mereka.

Permasalahan Arumi yang kabur dari rumah akibat perselisihan dengan orang tuanya bisa menjadi contoh negatif bagi anak-anak yang sedang mengalami atau akan mengalami permasalahan dengan orang tuanya, karena anak-anak akan berfikir secara sederhana apabila ada permasalahan dengan orang tuanya, langkah yang akan diambil adalah kabur dari rumah. Profesi Arumi yang seorang artis mengakibatkan permasalahannya sering kali ditayangkan oleh berbagai media televisi yang dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap anak-anak.

Kasus ini mendapat sorotan dari Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Linda Amalia Sari Gumelar. yang mengatakan kasus artis Arumi Bachsin yang kabur dari rumah bisa menjadi contoh buruk bagi anak-anak lain. Linda menjelaskan pemberitaan kasus Arumi yang kabur dari rumah kerap disiarkan di berbagai media massa khususnya televisi secara berulang-ulang. Ia khawatir anak-anak yang menyaksikan tayangan tersebut bisa terinspirasi dan berbuat hal serupa.

“. . .dikhawatirkan anak-anak yang terinspirasi bahwa jika mempunyai masalah dengan orang tua jalan keluarnya adalah kabur dari rumah,” katanya”7

7

Linda Amalia Sari Gumelar, Kasus Arumi Bachsin Bisa Jadi Contoh Buruk, Artikel diakses pada Senin, 23 Mei 2011 Dari http://www.antaranews.com/berita/249492/kasus-arumi-bisa-jadi-contoh-buruk


(11)

Permasalahan yang terjadi antara Arumi dengan orang tuanya ini, bisa saja terjadi terhadap anak-anak lain di Indonesia. Profesi Arumi yang sebagai artis, kerap kali pemberitaan masalah Arumi ditayangkan di televisi yang bisa berdampak negatif terhadap anak-anak lain di Indonesia. Permasalahan ini semakin menarik, karena dalam permaslahan keluarga ini ada pihak luar yakni lembaga KPAI sebagai Lembaga Negara yang yang bertugas melakukan perlindungan anak juga ikut terlibat dalam permasalahan ini.

Dari uraian di atas, penulis bermaksud melakukan penelitian yang berkaitan dengan otoritas orang tua terhadap anak, dalam hal ini penulis akan meneliti kasus Arumi Bachsin yang berselisih dengan orang tuanya. Untuk selanjutnya skripsi ini akan diberi judul

“Otoritas Orang Tua Terhadap Anak Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang No 23 Tahun 2002.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Permasalahan hak-hak Anak adalah masalah yang sangat perlu mendapatkan penanggulangan secara serius, karena mereka memiliki hak sebagai anak-anak dan orang tua memiliki peranan yang signifikan dalam perkembangan anak. Agar permasalahan ini tidak melebar, maka penulis akan membatasi penelitian ini hanya kepada permasalahan yang terjadi antara Arumi Bachsin dengan orang tuanya, dalam perspektif Undang-undang No. 23 Tahun 2002 dan Hukum Islam.


(12)

Berdasarkan uraian dari pembatasan masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah penulis akan membatasi penelitian ini pada persoalan otoritas orang tua terhadap anak menurut Hukum Islam dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002. Adapun perumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana konsepsi Hukum Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang hak-hak anak?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang otoritas orang tua terhadap anak?

3. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang kasus Arumi Bachsin?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui pengertian tentang hak-hak anak dalam hukum Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002.

b. Untuk mengetahui otoritas yang dilakukan orang tua terhadap anak dalam hukum Islam dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002.

c. Untuk mengetahui tentang kasus Arumi Bachsin dalam hukum Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

2. Manfaat Penelitian

a. Selain dimaksudkan untuk memperoleh wawasan yang lebih luas terhadap penulis dan pihak lain yang memanfaatkannya, juga diharapkan hasil penelitian ini dapat mendeskripsikan tentang masalah perlindungan hak-hak anak


(13)

b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya penulis tentang adanya Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sehingga diharapkan masyarakat khususnya orang tua agar melakukan perlindugan dan hak-hak terhadap anak.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam kajian terdahulu ini, penulis berusaha mendata dan membaca buku-buku dan skripsi yang telah membahas tentang hak-hak anak dalam kaitannya dengan kajian hukum. Setidaknya ada beberapa buku-buku dan skripsi yang penulis temukan yaitu antara lain:

1. Edi Suharto dalam bukunya yang berjudul “Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat” diterangkan mengenai perlakuan salah terhadap anak, permasalahan anak, model pertolongan, program konseling dan system abuse.8 Buku ini sangat menarik dan mudah dimengerti karena bahasa yang mudah dicerna serta pemaparannya jelas dan disertai dengan contoh-contoh yang relevan dengan konteks yang dibahas seperti model-model pelayanan sosial bagi anak yang bermasalah, tahap-tahap pelaksanaan yang profesional serta dalam pemaparannya mengupas habis fenomena hingga jelas. 2. Waluyadi dalam bukunya Hukum Perlindungan Anak. Buku ini berisi instrument

Nasional tentang perlindungan hukum terhadap remaja (anak), dan kebijakan legislatif terhadap perlindungan anak mencakup Undang-undang No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, KepPres RI No.36 Tahun 1990 Tentang pengesahan Convention Of The Rights (Konvensi Hak Anak), dan perangkat hukum lainnya.9

8

Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat, (Bandung, PT.Refika Aditama, 2005)

9


(14)

3. E.H. Tambunan dalam bukunya Remaja Sahabat Kita, buku ini berisi tentang peralihan masa kanak-kanak ke masa remaja, dan buku ini memberi informasi dan petunjuk sederhana. Saran-saran yang dapat menuntun para orang tua supaya bertindak lebih positif dan terarah menghadapi anak pada usia remaja.10

4. “Pelanggaran Hak Anak Jalanan Oleh Orang tua Dalam Perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak dan Hukum Islam” yang menjelaskan fenomena anak-anak jalanan yang dipekerjakan oleh orang tuanya karena faktor kemiskinan. Dari kasus tersebut jelas bertentangan dengan UUPA 23/2002 karena sebagai anak, mereka mempunyai hak dan perlindungan dari tindakan ekploitasi ekonomi sesuai dengan yang diamantkan UUPA 23/2002.11

5. “Hak Pendidikan Anak Cacat mental Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun2002 Tentang Perlindungan Anak” yang menjelaskan tentang salah satu hak anak yaitu, hak mendapat pendidikan yang dipermasalahkan adalah bagaimana hak pendidikan itu bisa terpenuhi dengan semestinya ketika dihadapi pada persoalan anak yang memiliki cacat mental.12

6. “Hak Anak Dalam Konvensi Tentang Hak-Hak Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam” yang menjelaskan tentang sikap politik hukum Indonesia sebagai Negara peserta Konvensi Hak Anak (KHA) dalam meratifikasi pasal-pasal tertentu yang dianggap tidak sesuai dengan karakteristik hukum nasional. Artinya secara umum Indonesia menerima KHA, namun menolak isi bagian tertentu yang dianggap tidak

10

E.H. Tambunan, Remaja Sahabat Kita, (Bandung, Remaja Sahabat Kita, 1981)

11

Amien Indah Fitria, “Pelanggaran Hak Anak Jalanan Oleh Orang Tua Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Anak” (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

12

Abdur Rahman, Hak Pendidikan Anak Cacat Mental Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Perlindungan Anak” (Jakarta, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008).


(15)

sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Negara, diantaranya pasal 21 tentang adopsi dalam KHA.13

7. “Perlindungan Hak-Hak Anak Dalam Perspektif Hadis dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002” yang menjelaskan tentang perlindungan dan hak-hak anak. Dalam skripsi ini hanya memkofuskan permasalahan hak-hak anak yakni, mengenai hak pendidikan, nafkah dan hak berlaku adil terhadap anak dalam pandangan hadis dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.14

Dari buku-buku dan skripsi yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa skripsi yang akan ditulis ini berbeda dengan skripsi diatas. Dalam penelitian ini penulis hanya akan memkofuskan permasalahan yang terjadi antara orang tua dan anak dalam kasus Arumi Bachsin dengan orang tuanya yang melibatkan lembaga KPAI sebagai lembaga Negara yang menangani permasalahan anak-anak di Indonesia. Oleh karena itu, penulis akan memberi judul skripsi ini dengan judul “Otoritas Orang Tua Terhadap Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002.”

E. Metode Penelitian

Dalam mengungkapkan segala permasalahan dan pembahasan yang berkaitan dengan materi penulisan, maka data-data atau informasi yang akurat sangat di butuhkan. Untuk itu perlu digunakan sarana penelitian beberapa kegiatan ilmiah yang mendasar kepada

13

Oyok Tolisalim, Hak Anak Dalam Konvensi Tentang Hak-hak Anak Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, (Jakarta, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2008)

14

Amelia, Perlindungan Hak-hak Anak Dalam Perspektif Hadis dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002, (Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.2008)


(16)

metode penelitian. Agar dapat mempelajari setiap gejala atau fakta yang menjadi permasalahan, dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif15 dengan menggunakan metode penelitian hukum empiris sosiologis.16 Serta metode perbandingan hukum17 dalam hal ini penulis akan mengkomparasikan antara hukum Islam dan hukum positif yang berlaku, bagaimana kedua-duanya menyikapi masalah yang sedang diteliti. 2. Sumber Data

Sumber data yang sebagai salah satu bagian penelitian yang merupakan salah satu bagian terpenting. Pencarian data yang dipergunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data primer, yaitu data yang diperoleh peneliti secara langsung dari sumbernya melalui wawancara,18 observasi yang kemudian diolah oleh peneliti. dan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan objek penelitian dan peraturan perundang-undangan.

3. Teknik Pengumpulan Data

15

Kualitatif adalah, penelitian yag mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Sinar Grafika, 2010) h.105

16

Penelitian hukum empiris sosiologis, asumsi dasarnya yang dibangun adalah bahwa kemungkinan besar terdapat perbedaan antara hukum positif tertulis dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Hukum yang hidup adalah hukum yang berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat merupakan fakta sosial. Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010) h. 47.

17

Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerapkan metode perbandingan, karena sejak semula seseorang ilmuwan harus dapat mengadakan identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan ditelitinya. Menetapkan satu atau beberapa masalah berarti telah menerapkan metode perbandingan, dimana hal itu didasarkan pada perbandingan, sehingga masalah yang dianggap paling penting yang akan diteliti. Lihat, Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2008) h.97. lihat juga, Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2008) h.132.

18

Wawancara dengan pihak KPAI sebagai lembaga Negara yang memberikan perlindungan terhadap Arumi Bachsin, dan wawancara dengan Minola Sebayang sebagai kuasa hukum dari orang tua Arumi.


(17)

Untuk memperoleh data yang lengkap dan objektif, maka dalam rangka penulisan skripsi ini, penulis melakukan beberapa pengumpulan data berupa hasil wawancara dengan staf KPAI Sander Diki Zulkarnaen. Bagian Koordinator pengaduan dan hasil wawancara dengan Minola Sebayang, sebagai kuasa hukum dari orang tua Arumi. Studi dokumenter, yakni pengumpulan data dengan menelaah beberapa literatur dan referensi seperti buku-buku ilmiah, artikel dan penulisan ilmiah pendukung lainnya.

4. Teknik Analisis Data

Proses data atau pengolahan data dimulai dengan menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari fakta-fakta pengamatan dilapangan, wawancara pemeriksaan keabsahan sebelum data disajikan. Penyajian data yang merupakan kesimpulan tersusun dan dokumen yang tersedia. Kemudian reduksi data dengan membuat abstraksi. Abstraksi atau penyederhanaan sebagai usaha membuat rangkuman inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada didalamnya. Tahap selanjutnya ialah pemeriksaan keabsahan sebelum data disajikan. Penyajian data yang merupakan kesimpulan tersusun yang akhirnya dapat ditarik kesimpulan dari pemahaman dan pengertiannya.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2007.


(18)

F. Sistematika Penulisan

Untuk sistematika penulisan, seluruh skripsi ini terdiri dari lima bab, adapun sistematikanya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Berisikan Latar Belakang Masalah, Pembatasan Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II HAK-HAK ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

Mendeskripsikan Tentang Pengertian Anak dan Hak-hak Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

BAB III PERLINDUNGAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

Mendeskripsikan Tentang Perlindungan Anak Menurut Hukum Islam dan Undang-Undang Perlindungan Anak.

BAB IV TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS ARUMI BACHSIN

Mendeskripsikan Tentang Kasus Arumi Bachsin, Kasus Arumi Ditinjau Dari Hukum Positif, Kasus Arumu Ditinjau Dari Hukum Islam dan Relevansi Hukum Islam Terhadap Undang-undang Perlindungan Anak


(19)

BAB V PENUTUP

Kesimpulan, Jawaban atas pertanyaan pada bab-bab sebelumnya mengenai apa dan bagaimana isi pokok bahasan tersebut dan selanjutnya memberikan saran-saran dari penulis dalam mambahas masalah yang terdapat dalam skripsi ini.


(20)

BAB II

HAK-HAK ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Hak-Hak Anak Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Anak Menurut Hukum Islam

Ash-shaghir menurut bahasa berarti anak kecil adalah lawan al-kabir (orang dewasa/yang besar). Asal katanya dari fi’il shaghura, shaghir (shifah musyabbahah) dan jamaknya adalah shighar. Sedang ashgharahu ghayruhu, shagharahu tashghiran, dan istashgharahu artinya menganggapnya kecil atau hina. Sementara kata ashaghura adalah bentuk mu’annats (feminim gender) dari ashghar (lebih kecil).19

Dengan demikian, ash-shighar (kecil) hanya merupakan kelemahan (bagi manusia), karena salah satu syarat bolehnya seorang di-taklif atau dibebani untuk mengamalkan syariat Islam adalah, bahwa sang mukallaf (yang dibebani) itu harus berakal dan dapat memahami taklif atau beban syariat, sebab taklif itu mengandung khithab (perintah), sedang mengkhitab atau memerintah orang yang tidak mempunyai akal dan tidak mempunyai kemampuan untuk memahami—seperti benda mati—adalah mustahil, maka as-shaghir (anak kecil), baik ia mumayyiz atau bukan, termasuk yang kehilangan syarat taklif dan tidak berhak mendapatkan khithab.

Dalam hukum Islam pengertian anak diasosiasikan sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang dhaif dan mempunyai kedudukan yang mulia yang keberadaannya melalui proses penciptaan yang berdimensi pada kewenangan kehendak Allah SWT. Secara rasional seorang anak terbentuk dari unsur gaib dari proses ratifikasi sains (ilmu

19


(21)

pengetahuan) dengan unsur-unsur ilmiah yang diambil dari nilai material dan keyakinan dalam hal ini Islam.20

Mengetahui ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan anak21 pada setiap fase sangatlah penting, sebab dalam setiap fase perkembangannya, si anak memiliki kecakapan khusus yang dengan sendirinya memerlukan perlakukan khusus pula dari para pendidik. Pertumbuhan fisik, kemampuan berkonsentrasi dan berpikirnya, perkembangan pengetahuan dan kemampuannya untuk membuat tradisi-tradisi tertentu serta adaptasinya dengan lingkungan sekitar (sosial) dimana anak tumbuh dan berkembang. Semuanya tumbuh secara bertahap, tidak spontan, menuju arah kedewasaan dan kematangan.22

2. Hak-hak Anak Dalam Islam

Setelah anak lahir, Islam telah membuat ketetapan bagi orang tua atau orang yang bertanggung jawab agar memberikan hak pendidikan secara layak dan berbuat baik kepada anak dengan menegakan hak-haknya baik yang berkaitan dengan etika dan sunnah dari petunjuk nabi tentang bayi karena hal itu akan memberi pengaruh positif dan penyebab yang mendatangkan kebaikan dan keberkahan bagi anak.23 Dalam meniti kehidupan di dunia ini, anak-anak muslim memiliki hak mutlak yang tidak dapat di ganggu gugat. dan kita sebagai orang tuanya, tidak boleh begitu saja mengabaikannya,

20

Maulan Hasan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta, Grasindo, 2000) h.6

21

Gasell dkk,, menyatakan tidak saja bahwa perkembangan anak terjadi secara bertahap, tetapi juga bahwa diantara beberapa tahapan ini ditandai oleh keseimbangan, “ketika anak merupakan pusat perhatian” yang karenanya mudah hidup bersama dan diatur, sementara tahapan lainnya ditandai oleh ketidakseimbangan, ”ketika tidak menjadi pusat perhatian” yang membuat anak itu sulit untuk hidup bersama dan diatur. Erikson juga mengajukan teori yang serupa dalam penelitiannya tentang anak bahwa perkembangan anak tumbuh melalui tahapan yang dapat diramalkan dan tahapan ini tidak terbatas pada masa kanak-kanak tapi berlanjut pada usia tua (18,25). Lihat dalam Elizabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta, PT. Gelora Aksara Pratama, 1978) h.5 lihat juga Mila Rahmawati, Perkembangan Anak, (Jakarta, PT. Gelora Aksara Pratama, 2007) h.65

22

Khairiyah Husain Thaha, Ibu Ideal Peranannya dalam mendidik dan membangun potensi anak, (Surabaya, Risalah Gusti, 2005) h.129

23

Al-maghribi, Al-Maghribi bin as-Said, Begini Seharusnya Mendidik Anak, (Jakarta, Darul haq, 2004) h.100


(22)

lantaran hak-hak anak tersebut termasuk kedalam salah satu kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan Islam, yakni memelihara anak sebagai amanah Allah SWT yang harus dilaksanakan dengan baik.

Islam telah memerintahkan kepada orang tua untuk memenuhi hak-hak anak. Karena anak merupakan anugerah dan amanat dari Allah SWT kepada orang tua. Hak-hak anak dalam Islam dimulai sejak anak dalam kandungan hingga mencapai kedewasaan secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu, Islam memerintahkan dan memperhatikan kepada setiap orang tua untuk bertanggung jawab pada keturunan dan mempersiapkan perlengkapan baginya. Masing-masing tumbuh bebas dari gangguan-gangguan, jauh dari kebinasaan-kebinasaan.24 Hak-hak tersebut antara lain:

1) Hak Penjagaan dan Pemeliharaan

Agama islam memerintahkan kepada para pemeluknya agar selalu berusaha menjaga kehidupan putera-puterinya. dan yang demikian ini, juga berlaku bagi orang-orang kafir. Sebagimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang melarang membunuh wanita dan anak-anak, sekalipun dalam keadaan perang, ketika beliau terlibat dalam suatu peperangan dengan orang-orang kafir.25

Nampak dengan jelas bahwa petunjuk Islam bagi ummatnya dalam hal menjaga dan memelihara anak-anak, serta selalu berusaha untuk bersikap lemah lembut kepada anak-anak, merupakan salah satu kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pemeluk agama Islam.

2) Hak Nasab (Keturunan)

24

Ali Yusuf As-Subki, Fiqih Keluarga Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika 2010) h.252

25


(23)

Ketururnan merupakan ikatan yang mulia dan hubungan yang agung serta besar derajatnya. Sehingga Allah SWT telah menjadikan hikmah kemuliaan nasab tersebut pada asal kejadian seorang anak. Bahwa, tiada daya dan kekuatan seorang anak diciptakan dengan tidak bisa apa-apa dan tidak mampuh untuk melakukan sesuatau. Sehingga dengan kebesaran Allah SWT dan rahmat-Nya Allah telah menaruhkan kepada semua orang tua akan kecintaannya kepada anak-anaknya.

Agama telah mengatur sebab yang jelas untuk adanya keturunan. Yaitu, hubungan laki-laki dengan perempuan dengan jalan yang halal seperti pernikahan. Keturunan bukan saja merupakan hak Allah SWT semata, melainkan berhubungan dengan hak ibu, hak ayah dan hak anak itu sendiri.26

Seorang anak wajib mengetahui tentang keturunannya. Karena asal-usul yang menyangkut keturunannya itu sangat penting, terutama bekalnya dalam menempuh kehidupan di masyarakat kelak. Dengan demikian ketetapan dan kejelasan nasab anak terhadap ayahnya merupakan hak anak yang perlu dipenuhi oleh para orang tua. Sedangkan kejelasan tentang nasab bagi seorang anak, dapat merupakan pemacu dan memotivasi anak dalam memenuhi hak dan kewajibannya, bahkan juga akan melahirkan ketenangan dan ketentraman jiwa bagi si anak sendiri.27

26

Mengenai kaitannya dengan hak Allah SWT. Karena dengan adanya nasab akan menimbulkan kemaslahatan bagi seluruh manusia. (Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk mendapatkan keturunan dengan perkawinan yang sah) Kaitannya dengan hak ibu, karena sudah jelas dalam hak ini menjaga anak dari kesia-siaan dan menghilangkan dugaan berjinah terhadap dirinya. Dalam hal ini seorang ibu bisa dibenarkan jika ada yang mengaku anaknya, selagi anak tersebut ada dalam kekuasaan ibu. Kaitannya dengan hak bapak, karena seorang bapak berkewajiban untuk untuk membiayai dan memberi nafkah kepada si anak. Kaitannya dengan hak anak, karena untuk membela si anak dari celaan karena dianggap anak jinah. Lihat, Badran Abulainin Badran, Hak-hak Anak Dalam Syariat Islam dan Undang-undang (Iskandariyah, 1981) h.3

27


(24)

3) Hak Menerima Nama Yang Baik

Islam menetapkan bahwa salah satu hak anak dari orang tuanya adalah memberinya dengan nama yang baik. Sebab dia akan dipanggil ditengah-tengah masyarakat dengan nama yang diberikan oleh orang tuanya. Islam memberi petunjuk hendaknya seorang anak diberi nama yang baik, agar nama yang baik tersebut dapat memotivasi untuk bertingkah laku sesuai dengan namanya dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, makna nama yang baik itu dapat berpengaruh dan memberi warna pada kehidupan anak tersebut.28

Bahkan begitu pentingnya akan arti sebuah nama, Islam mengajarkan agar anak yang dilahirkan dan meninggal diluar kandungan ibunya diharuskan diberi nama juga. Hal itu dimaksudkan agar pada Hari Kiamat kelak mereka akan dipanggil menurut namanya.29

4) Hak Menyusui

Islam telah mensyariatkan kepada seluruh ummatnya bahwa dalam hal seorang ibu menyusui anak-anaknya, lamanya minimal 2 tahun. yang ditujukan agar anaknya sehat, kuat dan bertenaga, yang diikuti dengan perkembangan tubuh dan jiwa yang normal dan sempurna, baik lahir maupun batin. Sebagaimana Firman Allah dalam surat Al-Baqarah 233:







28

“Ibid” h.56

29

Kelak pada Hari Kiamat, engkau akan dipanggil menurut namamu dan nama ayahmu. Maka baguskanlah namamu. (HR. Abu Dawud)


(25)

























Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,

yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.(Al-baqarah:233)

Dalam hal memberikan ASI kepada si anak semua ulama fiqh seperti imam Hanafi, Imam Maliki dan Hambali mengatakan wajib.30 Adapun yang menjadi perbedaan pendapat disini yaitu, dalam hal kewajibannya secara langsung atau tidak langsung memberikan ASI terhadap anak.

30

Menurut Imam Hanafi, seorang ibu tidak boleh dipaksa untuk menyusui anaknya kecuali dalam hal tertentu yaitu, 1) Tidak ada seorang pun yang menyusui kecuali ibunya. 2) Apabila bapaknya faqir miskin tidak mampuh untuk membayar orang untuk menyusui bayi tersebut. 3) Apabila tidak ada makanan yang dapat dimakan oleh bayi kecuali ASI ibunya. Maka dalam keadaan seperti ini ibu boleh dipaksa untuk menyusui secara langsung, dengan alasan untuk menjaga kelelahan bagi bayi.

Imam Maliki mengatakan, wajib seorang ibu untuk menyusui anaknya.

Imam Hambali mengatakan,kewajiban untuk menyusui si anak adalah tanggung jawab bagi bapaknya. Jadi, tidak boleh seorang ibu dipaksa untuk menyusuinya. Badrun Ainun Badrun, Hak-hak Anak Dalam Syariat Islam dan Perundang-undangan, (Iskandariyah, 1981) h.49


(26)

5) Hak Mendapatkan Asuhan

Pada setiap keluarga muslim, pemberian jaminan pada setiap anak dalam keluarga akan mendapatkan asuhan31 yang baik, adil merata dan bijaksana, merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Karena jika asuhan terhadap anak-anak tersebut sekali saja kita abaikan, maka niscaya mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan berkembang secara sempurna. Untuk itu setiap keluarga muslim terutama kedua orang tua harus mengasuh32 anak-anaknya dengan cara yang baik, melindungi, menjaga serta merawat mereka dengan penuh kasih sayang.33

6) Hak Menerima Harta Benda Warisan

Metode Islam dalam menjaga hak-hak anak atas harta bendanya, berpedoman kepada makna atau ta’rif dari hak-hak anak tersebut. Sehingga berbagai himbauan, petunjuk penjagaan atas mereka itu dilakukan dengan sebaik-baiknya.

Demi pemeliharaan hak-hak anak, maka semenjak tangisan pertama anak dilahirkan, telah ditetapkan baginya haknya, yakni hak waris atasnya.34

7) .Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pengajaran

Semua anak yang dilahirkan kedunia ini, selalu dalam keadaan suci, tidak bernoda dan tidak bercacat sedikit pun. Ditangan masyarakat lah perubahan anak akan terjadi.

31

Menurut Imam Hanafi, apabila pengasuh tersebut masih isteri dari bapak si anak, atau dalam masa iddah (talaq raj’i) tidak berhak menerima upah dari pengasuhan tersebut karena termasuk nafkah seorang isteri atu nafkah iddah.

Menurut Imam Syafi’I, Maliki dan Hambali berpendapat boleh menuntut upah atas pengasuhan tersebut. “Ibid” h. 61

32

Menurut Imam Syafi’I Syarat pengasuhan ada 7 (tujuh) macam yaitu 1) berakal, 2) merdeka, 3) beragama, 4) bisa menjaga diri, 5) bisa dipercaya, 6) tidak menikah dengan laki-laki lain, 7) mampuh melaksanakannya. Lihat Wahab Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’I, (Jakarta, Almahira, 2010) h.66

33

Abdur Razaq Husein, Hak-hak Anak Dalam Islam, h.59

34


(27)

yang tergantung sepenuhnya dari bentuk dan corak masyarakat dimana anak itu hidup. Jadi kesucian seorang anak, akan dipengaruhi oleh keadaan lingkungannya.35 Pendidikan anak yang benar dan lurus di masa sekarang, akan menghasilkan keadaan yang baik dan cerah dimasa yang akan datang. Sebaliknya kekeliruan pendidkan anak di masa kini, hanya akan menjanjikan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan kebobrokan, kerusakan moral serta kehancuran akhlak dimasa depan.

Dari uraian di atas, kita bisa mengetahui dengan baik bahwa Islam telah menerapkan hak-hak untuk anak, ini termasuk yang dinasihatkan kepada orang tua untuk sungguh-sungguh menepatinya. Orang tua harus memberikan nasihat yang baik kepada anak-anaknya, setiap orang tua harus mendidik anak-anaknya dengan pendidikan Islam yang benar.

Anak yang dipenuhi dan dikabulkan hak-haknya akan memiliki sikap positif terhadap kehidupan. Ia akan belajar bahwa dalam hidup ini harus bersikap saling memberi dan menerima. Sekaligus melatih dirinya agar bisa tunduk kepada kebenaran. Keteladanan yang baik dan sikap adil terhadap anak yang bersedia menerima kebenaran akan membuat dirinya terbuka. Bahkan ia akan mampuh mengaktualisasikan jati dirinya dan berani menuntut hak-haknya. Jika tidak potensinya aka terberangus dan terpadamkan.36

35

Seperti pendapat Imam Al-Ghazali, anak adalah amanat bagi orang tuanya, hatinya bersih, suci dan polos, kosong dari segala ukiran dan gambaran. Hal ini sejalan dengan hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Muslim: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan yang suci bersih, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani ataupun Majusi.” Abdul Qadir Jaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya, PT.Bina Ilmu,1995) h.215

36

Muhammad Ibnu Abdul Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak, (Jakarta, Al-I’htisom Cahaya Umat, 2004) h.65


(28)

B. Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak 1. Pengertian Anak menurut Undang-Undang

Perkembangan setiap individu dimulai pada saat sebuah sel sperma ayah menembus dinding sel telur ibu. Pembuahan sel telur oleh sel sperma tersebut disebut mitosis. Periode pranatel merupakan periode pertama dalam rentang kehidupan manusia. Periode ini merupakan periode yang paling singkat dari seluruh periode perkembangan manusia, namun dalam banyak hal, merupakan periode terpenting dari semua periode perkembangan, karena memberi dasar dari perkembangan selanjutnya. Perkembangan periode pranatel ditandai dengan konsepsi (bertemunya ovum dengan sperma), dan diakhiri dengan kelahiran, dengan jangka waktu kurang lebih sembilan bulan sepuluh hari.37

Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan harta kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia38 yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak-hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa dimasa yang akan datang, generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

37

Sri Rumini, Siti Sundari, Perkembangan Anak dan Remaja, (Jakarta, RinekaCipta, 2004) h.1

38

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Lihat pasal 1 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999


(29)

tumbuh dan berkembang, berpartisipsasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.39

Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase prtumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:40

1) Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun yang disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak.

2) Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 (tujuh) sampai 14 (empat belas) tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan kedalam 2 periode yaitu:

a. Masa anak sekolah dasar mulai usia 7-12 tahun adalah periode intelektual. b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan sebutan

periode pueral.

3) Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase pubertas dan adolescent, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa.

39

Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada: 2008) h 1

40


(30)

Dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dijelaskan

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam pasal ini telah dijelaskan dengan jelas bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasai penerus cita-cita bangsa, memilih peran strategis dalam menjamin eksistensi bangsa dan Negara di masa mendatang. Agar mereka kelak mampuh memikul tanggung jawab itu, maka mereka perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, sosial, maupun spiritual. Mereka perlu mendapatkan hak-haknya, perlu dilindungi dan disejahterakan. Karenanya, segala bentuk tindak kekerasan pada anak perlu dicegah dan diatasi.

2. Hak-Hak Anak Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Masalah perlindungan hukum dan hak bagi anak-anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak-hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggung jawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Namun, usaha tersebut belum menunjukan hasil yang memadai sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat Indonesia. Keadaan ini disebabkan situasi dan kondisi serta keterbatasan yang ada pada pemerintah, dan masyarakat sendiri belum memungkinkan untuk mengembangkan secara nyata ketentuan perundang-undangan yang telah ada.41

Anak adalah amanah bagi orang tua untuk dididik dengan sebaik mungkin agar kelak mereka menjadi seseorang yang bermanfaat bagi agama, bangsa dan Negara. Setiap orang

41


(31)

tua pasti menginginkan anaknya menjadi anak yang baik juga bermanfaat dan itulah tugas dari orang tua untuk memenuhi hak-hak anaknya, membesarkan dan mendidik anak-anaknya sesuai dengan harapan mereka.

Hak-hak anak telah diakui dan dilindungi sejak masih dalam kandungan. Deklarasi tentang hak-hak anak42 yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 20 November 1959, antara lain menyatakan:43

1) Anak-anak berhak mendapatkan pendidikan wajib secara cuma-cuma sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka harus mendapatkan pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya. Untuk mengembangkan kemampuannya, pendapat pribadinya, dan perasaan tanggung jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna.

2) Anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk penyianyiaan kekejaman dan penindasan. Dalam bentuk apa pun, mereka tidak boleh menjadi bahan perdagangan.

3) Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi rasial, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Mereka harus dibesarkan dalam semangat yang penuh pengertian, toleransi dan

42

1) Setiap anak harus menikmati semua hak yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa terkecuali, tanpa perbedaan dan diskriminasi. 2) Setiap anak harus menikmati perlindungan khusus, harus diberikan kesempatan dan fasilitas oleh hukum atau peralatan lain, sehingga mampuh berkembang secara fisik, mental, moral, spiritual dan sosial dalam cara yang sehat dan normal. 3) Setiap anak sejak dilahirkan harus memiliki nama dan identitas kebangsaan. 4) Setiap anak harus menikmati manfaat dan jaminan sosial. 5) Setiap anak baik secara fisik, mental dan sosial mengalami kecacatan harus diberikan perlakuan khusus, pendidikan, pemeliharaan sesuai dengan kondisinya. 6) Setiap anak bagi perkembangan pribadinya secara penuh dan seimbang memerlukan kasih sayang dan pengertian. 7) Setiap anak harus menerima pendidikan secara cuma-cuma dan atas dasar wajib belajar. 8) Setiap anak dalam situasi apapun harus menerima perlindungan dan bantuan yang pertama. 9) Setiap anak harus dilindungi dari segala bentuk ketelantaran, tindakan kekerasan dan ekploitasi. 10) Setiap anak harus dilindungi dari setiap praktik diskriminasi berdasarkan rasial, agama dan bentuk-bentuk lainnya.

43


(32)

persahabatan antar bangsa, perdamaian serta persaudaraan semesta dan dengan penuh kesadaran tenaga dan bakatnya harus diabdikan sesama manusia.

Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, bahwasanya hak-hak anak telah diatur dengan tepat. Anak-anak berhak atas pendidikan, perlindungan dari kekejaman dan diskriminasi. Hal ini menjadi tugas kita bersama orang tua, masyarakat dan Negara untuk bertanggung jawab atas hak-hak anak. Indonesia sebagai Negara peserta berkewajiban untuk menjalankan deklarasi tersebut.

Dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Hak-hak anak diatur dalam Pasal 2-8. Anak-anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun setelah dilahirkan, anak berhak dalam perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan secara wajar, dan anak yang tidak mampuh berhak memperoleh bantuan, agar dalam lingkungan keluarga dapat tumbuh dan berkembang secara wajar serta bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, agama, pendirian politik dan kedudukan sosial.

Sejak ditetapkannya Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, perlindungan bagi anak Indonesia telah memiliki landasan hukum yang lebih kokoh. Hak anak relatif lebih lengkap, hak-hak anak dalam Undang-undang ini diatur dalam Pasal 4-18. Pertanggung jawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual


(33)

maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memilki jiwa nasionalisme yang dijiwai oleh ahlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.


(34)

BAB III

PERLINDUNGAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN ANAK

A. Perlindungan Anak Menurut Hukum Islam

Agama Islam memelihara keturunan, agar jangan sampai tersia-sia, jangan didustakan dan jangan dipalsukan. Islam menetapkan bahwa ketentuan keturunan itu menjadi hak anak. Anak akan dapat menangkis penghinaan, atau musibah terlantar, yang mungkin menimpa dirinya. Oleh karena itu, Islam memerintahkan orang tua untuk memelihara keturunannya44 agar jangan sampai tersia-sia atau dihubung-hubungkan dengan orang lain.45

Ketika seorang anak pertama kali lahir ke dunia dan melihat apa yang ada disekelilingnya, tergambar dalam benaknya sosok awal dari sebuah kehidupan. Bagaimana awalnya dia harus bisa melangkah dalam hidupnya di dunia ini. Jiwanya yang masih suci akan menerima bentuk apa saja yang datang mempengaruhinya. Maka sang anak akan dibentuk oleh setiap pengaruh yang datang dalam dirinya. Anak akan selalu menerima segala yang diukirnya, dan akan cenderung terhadap apa saja yang mempengaruhinya. Maka apabila ia dibiasakan dan diajarkan untuk melakukan kebaikan, niscaya akan seperti itulah anak terbentuk, sehingga kedua orang tuanya akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat, sang anak akan menjadi orang yang terdidik. Namun, apabila si anak dibiasakan

44

Anak di bawah umur, terutama anak kecil, di samping belum memiliki fisik yang kuat, juga belum memiliki daya nalar yang sempurna sehingga mereka sangat rentan dengan penindasan. Oleh karena itu, Islam memberikan perlindungan khusus kepada anak kecil, bukan saja sejak lahir, tetapi juga sejak mereka masih dalam kandungan, sampai usia dewasa. Maka sudah seyogianya para pengasuh, baik orang tuanya atau bukan, harus memahami ketentuan yang ada dalam ajaran Islam, sebab ketidaktahuan tentang ketentuan-ketentuan khusus bagi anak dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak-hak dan perlindungan anak. Lihat Huzaemah Tahido Yanggo, Fiqih Perempuan Kontemporer, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2010) h.145

45


(35)

untuk melakukan kejahatan dan di telantarkan bagaikan binatang liar, sengsara dan celakalah ia, dosanya akan ditanggung langsung oleh kedua orang tuanya sebagai penanggung jawab dari amanat Allah SWT.46

Al-Qur’an memerintahkan kepada para orang tua agar melindungi dan mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang didasari oleh keimanan dan menanamkan nilai takwa kedalam hati anak-anaknya. Para orang tua juga diperintahkan untuk menanamkan kedalam hati anak-anaknya bahwa keimanan dan takwa kepada Allah adalah dasar utama dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian kelak, kelak sang anak akan menjadi manusia yang istiqomah di jalan Tuhan-Nya dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat yang dibenci dan dimurkai-Nya.47

Pendidikan dan pengasuhan bagi seorang anak bukanlah tugas mudah yang di dalamnya orang tua dapat melakukannya dengan sedikit atau tanpa upaya keras. Kenyataannya, tugas ini membutuhkan penanganan dan tempramen yang lembut. Ada banyak poin yang perlu dipertimbangkan demi mencapai keberhasilan upaya ini. Pendidik mesti mengakrabkan dirinya dengan jiwa anak. Ia tak dapat melakukan tugasnya tanpa mengetahui aspek spiritual, psikologis, pendidikan, dan praktik dari pekerjaan tersebut. Dunia anak menjadi dunianya, imajinasi dan fantasi mereka akan menjadi unik baginya. Ini tak dapat disamakan dengan proses berpikir orang dewasa.

Anak-anak yang lahir kedalam dunia adalah generasi penerus. Mereka adalah tunas-tunas baru yang akan tumbuh dan berkembang. Islam telah memerintahkan kepada orang tua untuk mendidik anak-anaknya dengan ajaran Islam yang benar. Agar anak kelak menjadi anak yang bisa berbakti kepada orang tuanya dan menjadi anak yang selalu berada

46

Muhammad Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah, (Bandung, Al-Bayan: 2007) h.35

47


(36)

di jalan yang telah di gariskan Allah SWT. Orang tua harus memberi pengarahan, bimbingan, dan pendidikan kepada anak secara maksimum dan sempurna baik berbentuk perintah maupun larangan atau dalam bentuk motivasi maupun sanksi, atau bisa dalam bentuk ajakan dalam kebaikan maupun peringatan dari perbuatan tercela.48

Allah Berfirman dalam surat (At-Tahrim:6)























Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)

Pada ayat ini orang tua diperintahkan oleh Allah SWT. Untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam hal ini adalah anak. Sesungguhnya bagi anak-anak itu, ada hak-hak yang menjadi beban tanggung jawab atas orang tuanya, yaitu memenuhi kebutuhan hidupnya selama mereka masih membutuhkan bantuan (belum dewasa atau belum bisa berdiri sendiri). Juga dalam hal pendidikan mereka, bimbingan budi pekerti, pengarahannya kepada sifat-sifat yang baik dan kelakuan yag terpuji. Juga upaya menjaga dan menghindarkan mereka terjatuh ke dalam hal-hal yang buruk.

Permaslahan mengasuh anak dalam ajaran Islam meliputi dua hal pokok, yaitu perawatan anak dan pendidikannya. Namun kedua hal tersebut harus dibina diatas landasan-landasan yang kokoh. Bagaimana pandanga ajaran Islam terhadap anak itu, merupakan titik

48


(37)

awal dari keseluruhan dalam permaslahan mengasuh anak. Ajaran Islam meletakkan dua landasan utama bagi permasalahan anak. Pertama, tentang kedudukan dan hak-hak anak. Kedua, tentang penjagaan dan pemeliharaan atas kelangsungan hidup dan pertumbuhan terhadap anak. dan di atas kedua landasan utama tersebut, perawatan dan pendidikan anak dibina dan dikembangkan untuk mewujudkan konsepsi anak yang ideal yang disebut waladun sahalih, yang merupakan dambaan setiap orang tua.49

Sebagai pedoman, berbagai upaya agar anak-anak yang menjadi tanggung jawab orang tua menjadi baik dan berguna kelak dikemudian hari, perlu diperhatikan dengan seksama tentang pribadai anak dan perkembangan jasmani, rohani serta akal pikirannya, sebagai berikut:50

1. Berusaha mengenalkan mereka dengan Tuhan-Nya (Allah SWT).

2. Berusaha menumbuhkan daya nalar anak, terutama kemampuan bertindak untuk mendapatkan hal-hal yang mereka anggap masih baru.

3. Mengenalkan dan membekali anak-anak dengan kebudayaan dan pemikiran Islam, untuk membentuk dasar-dasar pemikiran dan keyakinan Islam pada akal, otak, jiwa dan pikiran mereka

4. Melatih dan mengajak anak meninjau kembali berbagai kemajuan yang telah dicapai Islam di masa lalu, untuk dapat menentukan sikap demi kemajuan di masa yang akan datang.

5. Membentuk dan mengusahakan mereka menjadi generasi yang sempurna lahir dan batin, yang bernaung dibawah panji-panji Islam.

49

Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung, Mizan, 1995) h.270

50


(38)

Dari uraian di atas, Islam telah memerintahkan para orang tua untuk memberikan penjelasan tentang jalan kehidupan yang benar kepada anak-anaknya, agar mereka tumbuh menjadi generasi yang tercerahkan, tidak hanya menjadi manusia yang baik untuk diri mereka sendiri, namun juga mampuh mengeluarkan orang lain dari gelapnya syirik dan kebodohan menuju kehidupan yang disinari oleh cahaya tauhid dan ilmu pengetahuan. Untuk mencetak generasi yang demikian, tidak ada cara lain kecuali menjadikan Al-Qur’an dan sunnah sebagai pedoman dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Sebab keduanya adalah petunjuk yang lurus.

Dalam Surat yang lain (QS.Al-Ma’un 107 ayat 1-3) telah dijelaskan kewajiban kita semua untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Maka bagi mereka yang memiliki kemampuan, atau harta kekayaan berkewajiban memberikan sesuatu yang terbaik untuk kesejahteraan anak. Ini adalah tugas para orang tua dan orang dewasa untuk melindungi anak-anak untuk menjadikan anak yang cerdas, sehat, dapat hidup, tumbuh berkembang secara optimal serta jauh dari segala kekerasan dan menciptakan anak yang shaleh dan bertakwa kepada Allah SWT.

Jika anak dididik dengan penuh cinta dan kasih sayang maka anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang penyayang, begitu juga sebaliknya jika anak jauh dari orang tua tidak mendapatkan kasih sayang, maka dapat menyebabkan anak akan mencari kasih sayang di luar rumah, dengan harapan mereka bisa mendapatkan orang yang bisa memberikan kasih sayang kepada mereka.51

51


(39)

B. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Oleh karena itu, Perlindungan anak52 merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan seluruh masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan, yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa dikemudian hari. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 53

Anak merupakan buah hati dari perkawinan antara ayah dan ibu, yaitu orang pertama yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan perlindungan terhadap hak-haknya baik dari segi rohani maupun jasmani. Karena keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang menyandang peran, cakupan subtansi dan ruang lingkup yang cukup jelas dengan adanya kesamaan dan kejelasan mengenai fungsi dan peran tersebut, akan dapat mempermudah dalam memberikan alternatif pemberdayaan keluarga dalam upaya mengoptimalkan pelaksanaan pengasuhan dan perlindungan dalam keluarga.

Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa:

52

Seperti pendapat Arif Gosita. Dosen Hukum Perlindungan Anak Universitas Indonesia, perlindungan anak merupakan upaya-upaya mendukung terlaksananya hak-hak dan kewajiban. Seorang anak yang memperoleh dan mempertahankan hak untuk tumbuh dan berkembang dalam hidup secara berimbang dan positif, berarti mendapat perlakuan secara adil dan terhindar dari ancaman yang merugikan. Usaha-usaha perlindungan anak dapat merupakan suatu tindakan hukum yang mempunyai akibat hukum, sehingga menghindarkan anak dari tindakan orang tua yang sewenang-wenang. Menurut Barda N. Arif. Dosen Universitas Diponogoro. Perlindungan anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. M.Faisal Salam, Hukum Acara Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta, Mandar Maju, 2005) h.3

53


(40)

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

Perlindungan anak dapat diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi, dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah (child abused) eksploitasi, dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, dan sosialnya. Maka diperlukan peran serta orang tua, masyarakat dan Negara untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Dalam usaha perlindungan terhadap dapat dilakukan perlindungan secara langsung54 dan perlindungan tidak langsung.55

Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu:56

1) Luas lingkup perlindungan:

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan, pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder yang berakibat pada prioritas pemenuhannya

2) Jaminan Pelaksanaan Perlindungan:

54

Perlindungan secara langsung merupakan usaha yang langsung berkaitan dengan kepentingan anak antara lain pencegahan dari segala sesuatu yang dapat merugikan atau mengorbankan kepentingan anak disertai pengawasan supaya anak berkembang dengan baik dan penjagaan terhadap gangguan dari dalam dirinya dan luar dirinya.

55

Perlindungan tidak langsung adalah: 1) mencegah orang lain merugikan kepentingan anak melalui peraturan perundang-undangan 2) meningkatkan pengertian tentang hak dan kewajiban anak 3) pembinaan mental, fisik, sosial para partisipan lain dalam rangka perlindungan anak 4) penindakan mereka yang menghalangi usaha perlindungan anak.

56


(41)

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan.

b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu pertauran tertulis baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah, yang perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggung jawabkan serta di sosialisasikan secara merata dalam masyarakat.

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan di negara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru (peniruan yang kritis).

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20-26 UU No.23 Tahun 2002 menentukan Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Jadi yang mengusahakan perlindungan anak adalah setiap anggota masyarakat sesuai dengan kemampuannya dengan berbagai macam usaha dalam situasi dan kondisi tertentu. Setiap warga negara ikut bertanggung jawab terhadap dilaksanakannya perlindungan anak demi kesejahteraan anak. Kebahagian anak merupakan kebahagian bersama, kebahagiaan yang dilindungi adalah kebahagiaan yang melindungi. Tidak ada keresahan pada anak, karena perlindungan anak dilaksanakan dengan baik, anak menjadai sejahtera. Kesejahteraan anak mempunyai pengaruh positif terhadap orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Koordinasi kerjasama kegiatan perlindungan anak perlu dilakukan dalam rangka mencegah ketidak seimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.


(42)

Dalam penjelasan Undang-undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, mengemukakan bahwa oleh karena anak, baik secara rohani, jasmani dan sosial belum memiliki kemampuan untuk berdiri sendiri, maka menjadi kewajiban orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah untuk menjamin, memelihara dan mengamankan kepentingan anak. Pemeliharaaan, jaminan dan pengamanan kepentingan itu selayaknya dilakukan oleh pihak yang mengasuhnya dibawah pengawasan dan bimbingan Negara dan pemerintah. Asuhan anak, pertama-tama dan utama menjadi kewajiban dan tanggung jawab orang tua dilingkungan keluarga, tetapi demi kelangsungan tata sosial maupun untuk kepentingan anak itu sendiri, maka perlu ada pihak-pihak lain yang melindunginya seperti peran masyarakat sekitar dan lembaga-lembaga sosial lainnya.

Jadi bisa dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap anak adalah segala kegiatan, usaha dan cara untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif, yang merupakan pula perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berkeluarga berdasarkan hukum demi perlakuan benar, adil, dan kesejahteraan anak. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan perlindungan terhadap anak, berakibat dapat menimbulkan berbagai


(43)

permasalahan sosial yang mengganggu penegakan hukum ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional.

Perlindungan terhadap anak bukan dalam keadaan yang sulit dan tertindas sehingga perlu dilindungi, akan tetapi juga memasuki wilayah kesejahteraan anak yang lebih luas baik secara sosial, ekonomi sosial dan budaya bahkan politik. Hak anak untuk terjamin kebebasannya menyatakan pendapat dan memperoleh informasi merupakan wujud dari perluasan hak-hak dan perlindungan anak yang lebih maju (progressive rights).57

57

Muhammad Joni, Zulchaiana, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi Hak-Hak Anak, (Bandung PT. Citra Aditya Bakti, : 1999) h.35


(44)

BAB IV

TINJAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP KASUS ARUMI BACHSIN

A. Kasus Arumi Bachsin

Kenyataan menunjukan bahwa banyak keluarga sejak zaman dahulu hingga kini, menghadapi maslah dengan anak pada masa remaja. Remaja yang baru meninggalkan masa kanak-kanak dan bertumbuh, serta berkembang tampak agresif, suka memberontak, dan seolah-olah ingin terus menentang. Hal semacam ini sering pula sampai menimbulkan tragedi. Orang tua pun bermusuhan dengan anak remaja mereka. Remaja tampak seolah-olah bertindak hendak menyaingi orang tua, dan orang tua pun menuduh anak remaja mereka keras kepala, suka membangkang. Demikianlah sampai terjadi tuduh menuduh dan saling mempersalahkan. dan jurang pemisah pun timbul, bahkan sering merupakan hal yang sangat menjengkelkan diantara angkatan tua dan angkatan muda. dan jurang pemisah itu akan semakin dalam kalau orang tua tidak mau bertindak sebagaimana layaknya.58

Bagaimanapun juga, anak tetap merupakan tumpuan harapan. Meskipun anak yang sedang memasuki masa remaja itu tampak lebih agresif, hal itu hanya merupakan tanda yang menunjukan bahwa si anak sedang hendak memasuki era baru dalam hidupnya. Hal ini juga memberikan amaran kepada orang tua supaya bersiap-siap menerima kedatangan mereka di dunia yang baru itu, dunia remaja yang lain coraknya dari dunia masa kanak-kanak.59

58

E.H. Tambunan, Remaja Sahabat Kita, (Bandung,Indonesia Publishing House, 1981) h.1

59


(45)

Dua isu utama pada remaja yang terkait dengan perkembangan adalah masalah individu dan seksualitas. Umumnya para remaja mulai “menarik diri” dari banyak nilai-nilai (values) yang selama ini didapatkannya. Pada tahun-tahun “rawan” ini para remaja malah mengambil nilai-nilai dari per groupnya (kelompok) dan budaya yang melingkar disekitar hidupnya. Ia mulai enggan untuk bergabung dengan acara-acara keluarga dan malah lebih sering bergabung dengan teman-temannya.60

Dalam kaitannya dengan Arumi dimana seorang gadis yang sudah mulai beranjak remaja dimana suasana peralihan dari anak keremaja inilah malah cendurung melawan setiap pendapat orang tuanya. Permasalahan yang terjadi antara Arumi dengan orang tuanya, yang penulis dapatkan dari berbagai sumber. Diantaranya, sumber media elektronik, media online, media cetak dan pihak-pihak yang terkait dalam permasalahan ini. Seperti Lembaga KPAI yang memberikan perlindungan terhadap Arumi dan kuasa hukum61 dari orang tua Arumi, Minola Sebayang dan Rekan. Permasalahan Arumi dengan orang tuanya disebabkan karena perjodohan paksa dan kekerasan.62 Dari kedua unsur inilah terjadi hubungan yang tidak harmonis antara Arumi dengan orang tuanya yang mengakibatkan Arumi kabur dari rumah untuk meminta perlindungan kepada KPAI sebagai lembaga Negara yang bertugas memberikan perlindungan terhadap anak.

Dalam permasalahan perjodohan paksa Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah sangat jelas disebutkan pada Pasal 26 Ayat 1:

“Orang tua berkewajiban mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak. orang tua berkewajiban untuk menumbuh kembangkan anak sesuai dengan kemampuannya dan

60

http://cemara.com, Artikel di-Akses pada Jumat 26 Agustus 2011

61

Kuasa hukum adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang No 18 tahun 2003. Lihat Afni Guza, Undang-undang Tentang Enam Hukum, (Jakarta, Asa Mandiri, 2009) h.360

62


(46)

orang tua bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.

Pasal ini jelas mengamanatkan, orang tua wajib mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak, apalagi dalam konteks pernikahan yang dipaksakan. Semoga hal ini menjadi kesadaran bagi setiap orang tua untuk memberi kesempatan kepada sang anak dalam proses menggali pengalaman dan wawasan.

Dalam permasalahan kekerasan yang terjadi terhadap Arumi. Istilah kekerasan berarti segala bentuk kekerasan yang berdasarkan gender yang akibatnya berupa kerusakan atau penderitaan fisik, non fisik, seksual, psikologis pada perempuan termasuk tindakan pemukulan dan ancaman-ancaman, paksaan atau perampasan yang semena-mena atas kemerdekaan, baik yang terjadi di tempat umum atau di dalam lingkungan pribadi seseorang.63 Kata kekerasan memang mengingatkan kita pada sebuah situasi yang kasar, menyakitkan dan adanya ketidak harmonisan dalam hubungan antara seseorang dengan orang lain serta dapat menimbulkan efek yang negatif. Namun, kebanyakan orang hanya memahami kekerasan sebagai bentuk prilaku fisik yang kasar, keras, penuh dengan kekejaman yang dapat menimbulkan perilaku yang ofensif (menekan), padahal konsep kekerasan memiliki makna yang luas. Menurut Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. KDRT didefinisikan: Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

63

LBH AFIK, Landasan Aksiidan Deklarasi Beijing Mengutip dari Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, (Jakarta: Forum Komunikasi LSM Perempuan dan APIK), h.88


(47)

Dalam lingkup rumah tangga menurut Undang-undang tersebut adalah suami, isteri, anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri, anak dan orang yang bekerja membantu rumah tangga. Dengan lahirnya Undang-undang No.23 Tahun 2004 tersebut. Tindakan kekerasan dalam rumah tangga bisa terus ditekan. Dengan aturan Undang-undang ini pula kini perempuan bisa menempuh jalur hukum bila mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sehingga KDRT tidak lagi terjadi.

Dalam permasalahan kekerasan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak telah mengaturnya dalam Pasal 13 Angka 1:

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya.”

Pasal ini jelas mengamanatkan kepada para orang tua untuk melindungi anak dari tindak kekejaman, kekerasan dan penganiayaan. Dalam hal ini orang tua seharusnya tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Karena, kekerasan terhadap anak adalah suatau perbuatan yang tidak mendidik dan berakibat trauma terhadap anak. Meskipun dalam perkembangan kasus antara Arumi dan orang tuanya tidak ditemukan unsur kekerasan yang dilakukan oleh orang tua Arumi terhadap Arumi, dan itu dibuktikan oleh pihak Kepolisian dalam hal ini Polda Metro Jaya. Dengan dikeluarkannya Surat Penghentian Penyidikan Perkara pada 20 Mei 2011 karena tidak cukup bukti.64

Menurut pihak KPAI yang telah memberikan perlindungan terhadap Arumi Bachsin. Permasalahan yang terjadi antara Arumi dengan orang tuanya ini lebih kepada hak-hak Arumi, sebagai anak yang terkekang oleh orang tuanya. hak-hak itu diantaranya:

64

Kepolisian Polda Metro Jaya, Surat Penghentian Penyidikan Perkara, 20 Mei 2011. Lihat di lampiran skripsi.


(1)

mengerti hukum dan itulah yang membuat drama ini sangat panjang sekali terjadi, apalagi kemudian ketika lembaga-lembaga lain juga ikut terlibat. Seperti LPSK dan akhirnya terjadi perbedaan suatu pendapat tentang orang yang layak dilindungi oleh mereka dan tidak. Meskipun ketika terjadi pembuktian secara hukum di Kepolisian semua itu tidak ada.

Disini banyak tokoh-tokoh anak yang memberikan saran seolah terjadi kekerasan rumah tangga terhadap anak, Iini yang saya katakan “ hati-hati jadi jangan sampai ada pelaku sosial tentang anak itu hanya menitik beratkan kepada perlindungan anak dan hak anak tetapi tidak pernah bicara kewajiban anak kepada orang tua, jadi dengan kondisi yang seperti itu, ini akan menjadi rawan, apabila anak-anak bebeda pendapat dengan orang tuanya, dan jika anak tidak setuju dengan orang tuanya yang menjadi “eemmmhhh apa namanya itu, wali lah atau perlindungan anak orang tua yang masih dibawah umur, ini akan melakukan tindakan-tindakan pemberontakan, karena memang diberikan peluang oleh pelaku-pelaku sosial itu, bahwa mereka (anak-anak) harus didengar suaranya, dipenuhi kehendaknya, padahal sebenarnya dari kacamata saya dan ini merupakan opini saya bahwa Undang-undang itu bersifat umum, lebih kepada perlindungan anak-anak yang memang mereka bisa dikatakan kurang beruntung, lahir dikeluarga yang tidak harmonis atau anak-anak jalanan yang memang mudah sekali untuk di ekploitasi oleh siapa pun juga, tapi faktanya penanganan masalah anak yang demikian tidak pernah kita dengar beritanya atau mungkin kita yang kurang dengar.


(2)

b. Apa upaya hukum yang telah dilakukan pak Minola sebagai Kuasa Hukum dari orang tua Arumi?

Jawab: Kita betul-betul melaporkan adanya pelarian anak dibawah umur, melaporkan ketua KPAI dengan tuduhan fitnah dan pencemaran nama baik.

c. Bagaimana tanggapan KPAI?

Jawab: KPAI balik melaporkan kepada Pihak Kepolisian dengan laporan kekerasan dalam rumah tangga yang diterima Arumi.

Akan tetapi fakta yang terjadi adalah laporan kita masih berjalan dipihak kepolisian dan justru laporan Arumi yang di settings kekerasan dalam rumah tangga itu sudah di SP3 oleh Kepolisian. Jadi artinya apabila KPAI mengatakan ada kekerasan yang diterima Arumi. Dan kami mengatakan tidak ada kekerasan, yang benar siapa 20 Mei 2011 bahwa jelas bahwa yang benar adalah pihak kami. Tidak ada kekerasan dan ekploitasi terhadap Arumi. Jadi memang ini adalah suatu rekayasa. Itu lah upaya yang kami lakukan. Sehingga akhirnya bukti-bukti yang kami ajukan ke Kepolisian masih ditindak lanjuti. Dan KPAI dan LPSK sudah kehilangan hak untuk memberi perlindungan kepada orang yang perlu dilindungi salah satunya terkait masalah hukum, kalau hukum itu sendiri sudah dihentikan karena memang tidak ada perkara, jadi dia harus melepaskan kembali kepada orang tuanya dan itu yang terjadi.

7. Apakah ada upaya mediasi anda sebagai Kuasa Hukum orang tua Arumi dengan Lembaga KPAI untuk mempertemukan orang tua Arumi dengan Arumi?

Jawab: Mediasi apa?? masalahnya apa?? buat apa mediasi, karena menurut pihak kami sudah jelas. Buat apa mediasi orang masalahnya saja tidak ada.


(3)

kan sudah jelas bukan saya saja yang mengatakan tidak jelas, tapi polisi juga ketika memeriksa Arumi, memeriksa semua yang terlibat, mengatakan tidak ada bukti kekerasan dalam rumah tangga maupun ekploitasi.

Jadi kalau tidak ada kekerasan dalam rumah tangga dan ekploitasi. Apa yang mendasari pihak kami untuk mendorong adanya mediasi antara Arumi dan orang tuanya.


(4)

(5)

Arumi Bachsin


(6)

Ketua KPAI (Hadi Supeno)


Dokumen yang terkait

Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelaku Penelantaran Anak Dari Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

3 72 99

Analisis Hukum Terhadap Tabanni (Pengangkatan Anak) Menurut Fikih Islam dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

2 78 131

Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam

1 39 137

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Perceraian Orang Tua di Pengadilan Agama Padang Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

0 0 6

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tua Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindunga.

0 0 2

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MENGONSUMSI ROKOK DIHUBUNGKAN DENGAN TANGGUNG JAWAB ORANG TUA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.

0 0 2

KEWAJIBAN NEGARA TERHADAP ANAK-ANAK JALANAN YANG MASIH MEMILIKI ORANG TUA YANG TINGGAL DI RUMAH SINGGAH DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DAN UNDANG-UNDANG.

0 0 1

Pencabutan Kuasa Asuh Orang Tua Terhadap Anak Sah Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

0 1 15

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 2 122

ADVOKASI BP3AKB TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK JO UNDANG- UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK

0 0 12