b. Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut pemerintah dareah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : Pajak
Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Restoran.
C. Pajak Bumi dan Bangunan 1.
Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumitanah dan atau
bangunan. Keadaan subjek siapa yang membayar tidak ikut menentukan besar pajak.
2. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu jenis pajak objektif. Menurut Undang-undang PBB, Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan atau bangunan. Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan, antara lain:
a. Undang-undang No.12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan b. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang penetapan besarnya
Nilai Jual Kena Pajak untuk penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan c. Keputusan Pemerintah No. 16 Tahun 2000 tentang pembagian hasil
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara pemerintah pusat dan daerah
d. Keputusan Menteri Keuangan No. 523KMK.041998 tentang klasifikasi dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Bumi
dan Bangunan e. Keputusan Menteri Keuangan No. 201KMK.042000 tentang penetapan
besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak NJOPTKP f. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 16PJ.61998 tentang pengenaan
Pajak Bumi dan Bangunan
3. Sejarah Berlakunya Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan mulai berlaku sejak Januari 1986 berdasarkan Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 Tahun 1994. Jenis pajak ini bukanlah tergolong jenis pajak baru karena pada dasarnya terdapat jenis pajak
yang memiliki kesesuaian dengan Pajak Bumi dan Bangunan PBB yang telah lama dikenal dan dikenakan jauh sebelum diundangkannya Undang-undang No.
12 Tahun 1985. Secara umum latar belakang sejarah PBB tebagi menjadi tiga bagian yaitu
masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan, pajak atas tanah telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan
Hindu berkuasa di Nusantara dengan nama drwyahaji. Salah satu kerajaan besar di masa lalu Mataram, dalam sejarah disebutkan telah menerapkan tanah pertanian
sebagai objek pajak. Saat itu pajaknya dipungut berdasarkan luas tanah. Selain di Jawa, di kerajaan Aceh dikenal pula pungutan atas tanah ladang yang dikenal
dengan istilah wase tanah disamping pungutan-pungutan lainnya.
Pada masa penjajahan, dikenal adanya jenis pajak bumi yang disebut Land Rent
. Jenis pajak ini diperkenalkan oleh Sir Stanford Rafles, seorang Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816. Land
Rent dikenakan terhadap semua jenis tanah produktif dan wajib pajaknya adalah
desa kepala desa bukan perseorangan, karena pala kepala desa dianggap sebagai penyewa yang harus membayar sewa tanah. Besarnya tarif Land Rent bervariasi
antara 20 hingga 50 dari hasil produksi pertanian tergantung pada jenis produksinya. Pada masa penjajahan Belanda 1816 pemungutan Land Rent tetap
dipertahankan dengan mengganti namanya menjadi Landrente dan besarnya tarif juga diubah menjadi 20 dari produksi pertanian. Selanjutnya pada masa
pemerintahan Jepang di Indonesia 1942-1945, nama Land Rent atau Landrente diubah menjadi Land Tax. S. Munawir, 2000
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, nama Land Tax
atau pajak tanah disebut dengan Pajak Bumi dan pada tahun 1951 sampai dengan 1959 nama jawatan pengelola Pajak Bumi tersebut adalah Jawatan
Pendaftaran Tanah Milik Indonesia PTMI yang mempunyai tugas mendaftar dan mengeluarkan surat pendaftaran sementara bagi tanah-tanah milik yang terdaftar.
Dengan berlakunya Undang-undang No. 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat dipungut pajak yang
dikenal sebagai Iuran Pembangunan Daerah Ipeda. Selain Ipeda, pada masa itu dipungut pula 6 enam pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan
bangunan yang menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya dan menyebabkan adanya beban pajak berganda bagi masyarakat.
Dengan adanya reformasi perpajakan pada tahun 1983, antara lain dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui
pengundangan Undang-undang No. 12 Tahun 1985, maka 7 tujuh jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan disederhanakan menjadi PBB.
Dasar hukum pelaksanaan ketujuh jenis pajak tersebut yang dicabut dengan Undang-undang No. 12 Tahun 1985 meliputi:
a. Ordinasi Pajak Rumah Tangga 1908 b. Ordinasi Verponding Indonesia 1923
c. Ordinasi Verponding 1928 d. Ordinasi Pajak Kekayaan 1932
e. Ordinasi Pajak Jalan 1942 f. Undang-undang Darurat Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak
Daerah, Pasal 14 huruf j, k, dan l g. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi
Pemberlakuan Undang-undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan didasari pemikiran antara lain bahwa bumi dan bangunan
memberikan keuntungan dan atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat
darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada Negara melalui
pajak. Kesederhanaan pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan antara lain tercemin
dari pemberlakuan tarif tunggal 0,5 dan dasar pengenaan pajak yang hanya satu
jenis, yaitu Nilai Jual Objek Pajak NJOP. Pelaksanaan reformasi di bidang pajak atas tanah dan bangunan disamping berupaya menyederhanakan berbagai
pungutan pajak atas tanah dan bangunan yang juga memberikan tekanan terhadap upaya untuk meningkatkan penerimaan dan memperhatikan aspek keadilan serta
meminimalkan dampak terhadap distorsi kegiatan ekonomi dan sosial mengingat PBB merupakan jenis pajak yang dikenakan terhadap hampir seluruh lapisan
masyarakat. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu sumber utama
penerimaan daerah mengingat PBB adalah penerimaan pajak pusat yang hasil terbesar dari pajak ini dikembalikan kepada daerah. Dalam APBD, penerimaan
PBB tersebut dimasukan dalam kelompok penerimaan bagian Daerah dari bagi hasil pajak. Namun demikian, PBB termasuk jenis pajak yang sulit dalam
pengadministrasiannya dan mempunyai efisiensi pemungutan yang rendah karena jumlah objek pajak yang cukup banyak, mencapai kurang lebih 78 tujuh puluh
delapan juta objek pajak.
4. Objek PBB dan Pengecualian dari Objek PBB