mencoba melakukan aktivitas pengalih perhatian dari rasa sakit. Para subjek juga mencoba tetap memfungsikan barang atau benda yang dimilikinya dengan
melakukan modifikasi.
2. Aspek Psikis
Center for Mental Health Services, Crisis Counseling Asssitance and Training Workshop Manual,Emmisburg, MD 1994 menjelaskan bahwa
bencana akan membawa dampak psikologis berupa munculnya gejala pada periode 1 bulan setelah terjadinya bencana atau disebut juga Acute Stress
Disorder ASD. Gejala - gejala reaksi emosional yang muncul seperti merasa shock, takut, marah, benci, berduka, merasa bersalah, malu, tidak
berdaya, mengalami depresi. Sedangkan secara kognitif reaksi orang yang mengalami ASD akan kebingungan orientasi, ragu-ragu, sulit membuat
keputusan, khawatir, tidak dapat memusatkan perhatian, sulit berkonsentrasi, lupa, mimpi buruk, flashback, memiliki pandangan negatif tentang diri dan
dunia. Subjek I, II dan IV juga mengungkapkan bahwa dirinya mengalami semacam “trauma” atau lebih tepatnya disebut sebagai acute stress disorder
ASD. Mereka mengungkapkan bahwa mereka akan berdebar-debar dan takut jika ada hal-hal yang mengingkatkan subjek pada kemiripan peristiwa gempa
misalnya suara gemuruh yang terasa walaupun belum tentu suara gempa. Subjek yang mudah cemas, takut, mudah marah, sensitif dan sedih merupakan
indikasi bahwa subjek masih mengalami trauma. Hal ini masih didukung oleh hasil grafis bahwa subjek masih memiliki trauma dan diperkuat bahwa subjek
masih labil dengan kondisi yang dialaminya sehingga cenderung merasa tidak aman, mudah cemas, mudah marah, tidak stabil dan impulsif.
Para subjek subjek I, II, dan IV merasa sedih, tersiksa dan tertekan dengan perubahan fisik yang dialami. Hasil tes grafis juga menunjukkan bahwa
para subjek cenderung mengalami mudah frustasi, depresi dan mudah konflik. Berdasarkan observasi, perilaku subjek tampak tidak ada beban namun akan
tampak tegang jika diajak untuk berpikir mengenai kondisinya akibat gempa. Secara psikologis kemungkinan besar individu penderita paraplegia akan
mengalami perasaan sedih, bingung, takut, cemas, tertekan stress bahkan depresi Fallon, 1985.
Seluruh subjek juga cenderung merasa risih atau malu dengan penampilan yang sekarang. Selain menggunakan kursi roda, subjek juga
menggunakan kateter subjek II dan pempers subjek I, II, III dan IV. Hal ini untuk mengantisipasi hilangnya kontrol terhadap BAB dan BAK.
Keterbatasan fisik yang dialami menyebabkan penderita paraplegia kemungkinan besar tidak dapat kembali ke pekerjaan semula dan terbatasnya
bidang kerja yang dapat dilakukan Center Crisis Fakultas Psikologi UGM, 2006. Hal tersebut juga dialami para subjek sehingga timbul rasa cemas. Rasa
cemas karena masa depan lebih diungkapkan oleh subjek I, II, III dan IV PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
khususnya dalam hal kesempatan untuk bersaing dalam mencari pekerjaan dan kemampuan untuk bekerja, mencari nafkah dan membiayai keluarga yang
dahulu menjadi tugasnya. Hasil tes grafis semua subjek juga menunjukkan bahwa mereka memiliki kecemasan. Hal ini bisa saja terjadi karena mitos yang
terdapat di dalam masyarakat yang mungkin dahulu juga dipahami oleh subjek sebelum menjadi cacat mengenai penyandang cacat yang tidak mungkin
bekerja. Mitos tersebut antara lain disebutkan oleh Papu 2002 bahwa para pekerja penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
menyesuaikan diri dengan pekerjaan. Mempekerjakan penyandang cacat berarti juga harus menyediakan fasilitas khusus agar dapat membuat mereka
mampu bekerja optimal, pekerja penyandang cacat sulit disupervisi dan sebagainya.
Lingkungan fisik rumah dan sekitarnya tampak belum mendukung secara optimal bagi pengguna kursi roda seperti para subjek. Lingkungan yang
tidak dapat dilewati kursi roda misalnya tangga berundak. Subjek I, II, dan IV mengeluhkan lingkungan fisik yang tidak mendukung mobilitas dengan kursi
roda, baik di rumah atau sekitar rumah, sehingga menghambat subjek untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Hal ini menyebabkan para
subjek membutuhkan bantuan orang lain untuk melewati rintangan atau halangan yang ada. Semua subjek pun juga mengungkapkan bahwa perlunya
kemandirian bagi mereka supaya tidak terlalu tergantung orang lain. Beberapa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hal yang perlu dilatih kembali menurut Fallon 2004 meliputi duduk tegak, keseimbangan, berpakaian, berdiri, berjalan, transfer dan banyak hal
lain, sehingga penderita mampu mandiri. Penderita paraplegia juga akan mengalami gangguan fungsi seksual.
Fallon 1985 menjelaskan bahwa seorang laki-laki penderita paraplegia awalnya akan dipenuhi pikiran akan ketidakmampuan dalam melakukan
hubungan seks, sehingga akan menimbulkan perasaan takut dan cemas terhadap kemampuan untuk berhubungan seks tersebut. Subjek laki-laki subjek II
menilai bahwa hubungan seksual merupakan hal terpenting sebagai suami-istri sehingga menyebabkan timbulnya kecemasan dan depresi karena tidak
mampu lagi ereksi sehingga merasa tidak mampu memberi kepuasan secara seksual terhadap istri. Sedangkan subjek perempuan subjek IV memandang
dari segi keintiman, dimana subjek merasa kemesraan sebagai suami istri menjadi berkurang karena tidak lagi tidur seranjang. Subjek subjek II dan IV
memiliki perasaan rendah diri karena menganggap diri kurang mampu untuk melayani pasangannya, termasuk dalam hubungan seksual.
Dapat disimpulkan bahwa secara psikis para subjek masih mengalami trauma terhadap gempa atau memiliki gejala ASD. Subjek memiliki perasaan
sedih, tersiksa dan malu dengan kondisi kelumpuhan yang dialaminya dan penampilan sekarang. Subjek juga memiliki kecemasan terhadap masa depan
mereka berhubungan dengan ketidakmampuan dalam mencari nafkah atau PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bekerja kembali. Para subjek mengungkapkan pentingnya kemandirian supaya tidak tergantung orang lain. Gangguan fungsi seksual menimbulkan kecemasan
rendah diri dan putus asa terutama pada subjek laki-laki, sedangkan pada subjek perempuan merasa keintiman atau kemesraan dengan pasangan menjadi
berkurang.
3. Aspek Sosial