2. Aspek Employee Engagement
Schaufeli 2004 mendefinisikan tiga aspek employee engagement sebagai berikut:
a. Vigor semangat Vigor merupakan tingginya energi yang diberikan saat bekerja,
ketahanan dalam menghadapi pekerjaan, kemauan untuk mencurahkan usaha dalam pekerjaan, serta ketekunan saat menghadapi kesulitan
dalam bekerja. b. Dedication dedikasi
Dedication merupakan rasa bermakna dan antusiasme terhadap pekerjaan, serta inspirasi, kebanggaan, dan tantangan yang didapat dari
pekerjaan. c. Absorption penghayatan
Absorption merupakan konsentrasi dan atensi penuh yang diberikan seseorang dalam pekerjaannya.
3. Anteseden Employee Engagement
Kahn dalam Kumar, 2011 mengungkapkan bahwa anteseden dari employee engagement ialah:
a. Job characteristics Kebermaknaan psikologis dapat dicapai dari karakteristik tugas yang
memberikan pekerjaan
yang menantang
dan bervariasi,
memungkinkan penggunaan keterampilan yang berbeda, kebijaksanaan
pribadi, dan kesempatan untuk membuat kontribusi penting. b. Perceived organisasional support
Hubungan resiprokal antaranggota berkembang dari waktu ke waktu melalui rasa percaya, setia, dan komitmen mutual sepanjang anggota
patuh pada beberapa aturan yang ada. POS menciptakan kewajiban pada bagian dari karyawan untuk peduli kesejahteraan organisasi dan
membantu organisasi mencapai tujuannya. c. Perceived supervisor support
PSS juga merupakan prediktor penting dari engagement karyawan. Bahkan, kurangnya dukungan dari supervisor telah ditemukan menjadi
faktor yang sangat penting terkait dengan burnout Maslach et al dalam Kumar, 2011. Temuan ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Graen, Liden, dan Hoel dalam Landy, 2010 yang mengatakan bahwa kurangnya perhatian dan komunikasi dari atasan ke
bawahan dapat menciptakan hubungan yang renggang di antara keduanya dan dapat memunculkan kecenderungan bagi bawahan untuk
memandang hubungan atasan dan bawahan tidak lebih dari hubungan kontraktual, dimana karyawan bekerja ‘delapan jam untuk upah
delapan jam’ dalam pekerjaan, serta tingginya turnover. Karyawan tersebut akan memiliki kualitas hubungan yang rendah dengan
atasannya, sehingga cenderung menjadi karyawan yang not-engaged. Sedangkan karyawan yang memiliki kualitas hubungan yang tinggi
dengan atasannya, akan cenderung menjadi karyawan yang engaged.
Oleh karena itu, peneliti memilih variabel LMX terkait hubungannya dengan employee engagement karena teori LMX mengungkap
pertukaran yang dilakukan pemimpin dan bawahannya dalam hubungan atasan-bawahan yang dikembangkan satu sama lain yang
membuat karyawan dapat memiliki kualitas hubungan yang tinggi maupun rendah dengan atasan.
d. Reward and recognition Pengakuan
dan penghargaan
yang tepat
penting untuk
mengembangkan engagement karyawan, sedangkan kurangnya penghargaan dan pengakuan dapat menyebabkan burnout pada
karyawan. e. Distributive and procedural justice
Keadilan distributif berkaitan dengan persepsi seseorang tentang kewajaran hasil keputusan, sedangkan keadilan prosedural mengacu
pada keadilan yang dirasakan dari sarana dan proses yang digunakan untuk menentukan jumlah dan distribusi sumber daya. Persepsi akan
keadilan terkait dengan hasil organisasi seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, perilaku anggota organisasi, withdrawal, dan
kinerja Colquitt et al. dalam Kumar, 2011.
4. Tipe Engagement pada Karyawan