Power House PLTSa Bantargebang

reduksi tersebut bersifat tradeable. Namun, mengingat skema karbon Protokol Kyoto 2006-2012 yang tak berjalan dengan efektif, proyek PLTSa masih belum mendapatkan pihak investor yang berminat membeli CER. Meskipun begitu, proyek tetap dapat berjalan dengan mendapatkan penerimaan berupa penjualan listrik ke PLN Jamali serta tipping fee dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kajian mendalam mengenai evaluasi ekonomi proyek tersebut akan menjadi pembahasan selanjutnya.

VIII. ANALISIS EKONOMI PROYEK PLTSa BANTARGEBANG

8.1 Evaluasi Aspek Kelayakan Usaha PLTSa Bantargebang 8.1.1 Aspek Teknis Pemilihan Lokasi Lokasi power house PLTSa terletak di dalam lingkup TPST Bantargebang, berjarak 35 meter dari jembatan timbang, serta 20 meter berseberangan dengan lokasi zona II. Penentuan lokasi tersebut dengan mempertimbangkan letak yang strategis untuk menjangkau zona I dan II, agar lebih mudah menyalurkan gas dari zona ke Integrated Waste Treatment Plant. Saat ini, sampah di zona IV dan V masih tidak memungkinkan untuk dimanfaatkan sebagai listrik karena terletak sangat jauh serta berkapasitas sedikit. Lokasi yang jauh tentu saja akan berdampak pada biaya operasional disebabkan kebutuhan pipa penyalur gas yang lebih panjang. Secara lebih jelas, denah lokasi power house PLTSa dapat dilihat pada Lampiran 1. Produk Listrik dan CO 2 PLTSa Bantargebang menghasilkan produk listrik sebanyak 182 MWhari dari 700 ton sampahhari pada tahun 2013. Hasil proyeksi juga menunjukkan bahwa kapasitas produksi dapat terus bertambah hingga tahun 2017, yaitu ketika mencapai 308 MWhari dari 1.000 ton sampahhari. Kapasitas produksi tetap bertahan pada angka tersebut dikarenakan telah sesuai dengan perjanjian proyek Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Produk listrik yang telah dihasilkan akan terpakai untuk kebutuhan di power house sebanyak 10 dari output. Sisanya sebanyak 90 kemudian disalurkan ke jaringan PLN Jawa-Bali dengan transmisi yang telah dibangun di PLTSa. Adapun produk berupa karbon seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, baru mulai menyerap emisi karbon pada tahun 2009. Proyek PLTSa telah memiliki Certified of Emission Reduction CER dan terdaftar sebagai proyek berbasis Clean Development Mechanism di United Nations Framework Convention on Climate Change UNFCCC sejak Juni 2012. Harga Produk Saat tahun ke-1, produk listrik dibeli oleh PLN dengan harga Rp 800kwh. Harga tersebut mengalami kenaikan mulai tahun ke-3 hingga tahun ke-4, yaitu Rp 850kwh. Pada tahun ke-4 hingga tahun ke-15, harga diasumsikan sama yaitu Rp 1.000kwh sesuai peraturan yang dikeluarkan Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konvensi Energi EBTKE pada Juni 2014. Penjualan karbon umumnya mengikuti skema CER proyek dengan fee level seharga Rp 1.594.354.761 untuk mereduksi CO 2 sebanyak 677.129 tontahun dalam periode 7 tahun. Namun, masih belum ada kreditor yang melakukan kontrak dengan proyek untuk membeli CER tersebut. Oleh karena itu, manfaat ekonomi reduksi emisi karbon diasumsikan seharga dengan biaya sosial karbon atau Social Cost of Carbon SSC seperti yang telah dibahas pada Tabel 11 sebelumnya. Kurs terhadap Rupiah diasumsikan konstan Rp 12.000USD. Skema penjualan ini diasumsikan sama dengan skema kontrak yang dilakukan oleh TPA Sumur Batu Bekasi dimana Bank Dunia bertindak sebagai kreditor. Bank Dunia menjadi pihak yang akan membeli setiap ton karbon dari reduksi emisi produksi listrik tersebut.

8.1.2 Aspek Institusional

TPST Bantargebang dikelola oleh PT NOEI joint operation dengan PT GTJ. PT NOEI berperan sebagai pelaksana dalam produksi listrik di PLTSa, sedangkan PT GTJ berfungsi secara langsung sebagai pelaku operasional Unit Daur Ulang Plastik dan Unit Pengolahan Kompos. Skema ini berbasis build operate transfer BOT. Pengelolaan ini dimulai pada tahun 2008 hingga berakhir pada tahun 2023. Setelah tahun 2023, TPST Bantargebang akan dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta. Skema tersebut telah sesuai dengan Peraturan Presiden PP No. 67 tahun 2005 tentang Pengadaan Badan Usaha dalam Penyediaan Inftastruktur Kerja sama Pemerintah – Swasta KPS. Secara hukum, sistem manajemen proyek telah sesuai dan layak.

8.1.3 Aspek Sosial

Pengelolaan sampah secara terpadu di TPST Bantargebang kini menghasilkan berbagai manfaat positif. Adanya perlakuan soil cover dan waste re-profilling awalnya hanya ditujukan untuk menahan kelembaban sampah agar tak terkena sinar matahari. Perlakuan tersebut memudahkan penyerapan gas metana untuk diolah menjadi listrik. Di sisi lain, hal tersebut mencegah polusi bau yang timbul. Kini, jika berdekatan dengan zona sampah tidak lagi terasa bau yang mengganggu. Gunung sampah pada setiap zona pun menjadi terlihat lebih teratur. Dampak positif lain yang dirasakan melalui proyek PLTSa ini yaitu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 51 orang mulai dari posisi General Manager hingga Office Boy. 8.2 Identifikasi Manfaat Proyek PLTSa 8.2.1 Manfaat Langsung Proyek PLTSa Bantargebang mendapatkan manfaat langsung dari produksi listrik. Penerimaan dari produksi listrik baru didapatkan mulai tahun 2009, ketika proyek telah mampu menghasilkan listrik sebesar 98 MWhari. Penerimaan yang didapatkan pada tahun ke-1 tersebut yaitu sebesar Rp 25.754.400.000. Setiap output produk akan dikurangi sebesar 10 sebagai penggunaan beban listrik untuk aktivitas produksi. Jumlah output yang telah dikurangi tersebut kemudian dijual ke PLN Jawa – Bali sesuai harga yang berlaku. Setiap 1 ton sampah diasumsikan dapat menghasilkan 280 kwh listrik dengan kandungan metana sebanyak 55 Evans dan Barker, 2009. Persamaan 4.1 digunakan untuk mengestimasi manfaat ekonomi produk listrik PLTSa. Kapasitas produksi terus bertambah setiap tahun hingga tahun ke-9, yaitu ketika mampu menggunakan input sampah sebanyak 1.000 tonhari sebagai persyaratan dalam kontrak proyek dengan Dinas Kebersihan DKI Jakarta. Adapun proyeksi manfaat ekonomi produksi listrik tersebut seperti yang tercantum pada Tabel 13.