Persyaratan permohonan kepailitan. Tahap-tahap Proses Kepailitan

permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. 56 Pengadilan mempelajari permohonan tersebut dan paling lambat 2 x 24 jam atau 2 dua hari sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, harus telah menetapkan hari persidangan. 57 Sidang pemeriksaan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 dua puluh hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasar alasan yang cukup, pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan paling lama 25 dua puluh lima hari terhitung sejak tanggal permohonan didaftarkan. Pemeriksaan permohonan kepailitan dilakukan dalam sidang tertutup. Pada saat proses pemeriksaan berlangsung, atau selama putusan atas permohonan pailit, sebelum ditetapkan, maka setiap kreditur atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk : 58 a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan debitur, atau b. Menunjuk kurator sementara untuk : 1. Mengawasi pengelolaan usaha debitur 56 Ketentuan Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang 57 Ketentuan Pasal 6 ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang 58 Ketentuan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang 2. Mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengalihan atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan kurator. Permohonan pernyataan kepailitan dapat diajukan debitur, jika persyaratan kepailitan tersebut telah terpenuhi yaitu : 1. Debitur Tersebut Mempunyai Dua Atau Lebih Kreditur Menurut Pasal 1 ayat 1 UUK, salah satu syarat yang harus dipenuhi ialah debitur harus mempunyai dua atau lebih. Keharusan dua kreditur yang disyaratkan dalam Undang-Undang Kepailitan merupakan pelaksanaan dari Pasal 1132 KUH Perdata. Alasan mengapa seseorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit jika ia hanya mempunyai seorang kreditur adalah bahwa tidak ada keperluan untuk membagi asset debitur diantara para kreditur. Kreditur berhak dalam perkara ini atas semua asset debitur PT Jika debitur hanya memiliki satu kreditur, maka seluruh harta kekayaan yang dinyatakan pailit menjadi jaminan atas pelunasan utang debitur PT tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pari passu pro rata parte, dan terhadap debitur tidak dapat dituntut pailit karena hanya mempunyai satu kreditur. 59 Walaupun banyak tagihannya, bukan jalan proses kepailitan terhadap Debitor yang harus ditempuh, tetapi gugatan biasa, dengan atau tanpa sitaan serta eksekusi biasa yang spesifik terhadap Debitor. Jadi yang dititik beratkan dalam kepailitan 59 Jono, hukum kepailitan , Sinar Grafika Jakatra 2007 hal 5 bukan berapa banyak piutangtagihan yang dipunyai satu Kreditor terhadap satu Debitor, tetapi berapa banyak jumlah Kreditur dari Debitor yang bersangkutan. 60 Ketentuan mengenai adanya syarat dua kreditur atau lebih kreditur di dalam permohonan pernyataan pailit, maka terhadap definisi mengenai kreditur harus diketahui terlebih dahulu. Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang kepailitan tidak memberikan defenisi yang jelas mengenai kreditur. Didalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka telah didapat pengertian kreditur. Kreditur sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 2 ayat 1 UUKPK. 61 Berdasarkan Undang-Undang Kepailitan yang baru ini, maka kreditur separatis dan kreditur peferen dapat tampil sebagai kreditur konkuren tanpa harus melepaskan hak-hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya, tetapi bahwa benda yang menjadi agunan tidak cukup untuk melunasi utang debitur pailit. 2. Harus Ada Utang Syarat lain yang harus dipenuhi bagi seorang pemohon pernyataan pailit ialah harus adanya utang. Undang- Undang Kepailitan tidak menentukan apa yang dimaksud dengan utang. Dengan demikian, para pihak yang terkait dengan suatu permohonan pailit dapat berselisih mengenai ada atau tidak adanya utang. 60 Martiman Prodjohamidjojo, Proses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan. CV. Mandar Maju 1999 hal 23 61 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pada umumnya Undang-undang Kepailitan atau bankruptcy law yang berkaitan dengan utang debitur debt atau piutang atau tagihan kreditur claims. Seorang kreditur mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan yang berbeda- beda itu diperlukan pula secara berbeda-beda didalam proses kepailitan. Menurut pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU menentukan debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. 62 Menurut pasal 1233 dan 1234 KUH Perdata menayatakan bahwa utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia ataupun mata uang asing, baik secara langsung ataupun yang akan timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memeberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. 63 Tujuan dari pada Undang-Undang Kepailitan adalah untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil, terbuka dan efektif. 64 62 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang. 63 Pasal 1233 dan Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Per data 64 Widjanarko, Dampak Implementasi Undang-Undang Kepailitan Terhadap Sektor Perbankan, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hal. 73. Undang-Undang Kepailitan telah mengatur tata cara pengurusan tagihan, tetapi dalam praktek banyak ditemui berbagai kesulitan. 65 Syarat lain untuk mengajukan perkara kepailitan adalah adanya utang yang jatuh tempo yang dapat ditagih yang jatuh tempo yang belum dibayar lunas serta memiliki kekurangan-kekurangan dua kreditur. Adanya suatu utang akan dibuktikan oleh kreditur bahwa debitur mempunyai utang yang dapat ditagih karena sudah jatuh tempo ataupun karena dimungkinkan oleh perjanjiannya untuk dapat ditagih. Menyadari telah timbulnya kesimpang siuran mengenai pengertian utang karena tidak diberikannya defenisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan ”utang”. Menurut Perpu No 1 Tahun 1998, UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang UUK-PKPU telah memberikan defenisi atau pengertian mengenai utang sesuai dengan Pasal 1 angka 6. Dalam pasal 1 angka 6 UUK dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur. 66 Pengertian mengenai utang di dalam hukum kepailitan Indonesia mengikuti setiap perubahan aturan kepailitan yang ada. Didalam Faillissement sverordening tidak diatur tentang pengertian utang. Tetapi penjelasan pasal 1 ayat 1 UUK hanya 65 Parwoto Wignjo Sumarto, Hukum Kepailitan Selayang Pandang, PT. Tatanusa, Jakarta, 2003, hal. 168 66 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. menyebutkan bahwa utang yang tidak dibayar oleh debitur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, adalah utang pokok atau bunganya. Berdasarkan pengertian utang, permohonan pernyataan kepailitan dikabulkan apabila debitur mempunyai dua kreditur dan tidak membayar membayar lunas sedikitnya satu utang yang teah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas permintaan satu atau lebih krediturnya. 67 Di samping prinsip utang menganut konsep utang dalam arti luas, utang yang dijadikan dasar mengajukan kepailitan harus memenuhi unsur sebagai berikut: 1. Utang tersebut telah jatuh tempo 2. Utang tersebut dapat ditagih 3. Utang tersebut tidak dibayar Dengan jangka waktu yang sudah diperjanjikan atau terdapat hal-hal lain di mana utang tersebut dapat ditagih sekalipun belum jatuh tempo. Utang yang belum jatuh tempo dapat dtagih dengan menggunakan acceleration clause atau accelaration provision”. Suatu utang dapat ditagih jika utang tersebut bukan utang yang timbul dari perikatan alami. Perikatan yang pemenuhannya tidak dapat dituntut di muka pengadilan dan yang lazimnya disebut perikatan alami natuurlijke verbintenis tidak dapat digunakan sebagai alasan untuk mengajukan permohonan pailit. 67 Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang Sedangkan maksud dari ditegaskannya bahwa utang dalam kepailitan merupakan utang yang tidak dibayar lunas adalah untuk memastikan bahwa utang yang telah dibayar akan tetapi belum melunasi kewajiban maka utang tersebut bisa dijadikan dasar untuk mengajukan kepailitan. Penegasan ini karena sering terjadi akal-akalan dari debitur yakni debitur tetap melakukan pembayaran akan tetapi besarnya angsuran pembayaran tersebut masih jauh dari yang seharusnya. Hal ini berangkat dari pengalaman pelaksanaan peraturan kepailitan lama yakni dalam faillessement verordening fv, dimana dalam fv mensyaratkan bahwa debitur telah berhenti membayar utang dan jika debitur masih membayar utang walaupun hanya sebagian dan masih jauh kata lunas, maka hal itu tidak dapat dikatakan debitur telah berhenti membayar. Dalam acara proses kepailitan prinsip utang tersebut sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Walaupun telah ada kepastian penafsiran utang dalam revisi Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dimana utang didefenisikan dalam arti luas yang berarti telah pararel dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep utang ini menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam UU Kepailitan yang hanya bertujuan untuk mempermudah mempailitkan subjek hukum dimana syarat kepailitan hanyan memiliki dua variabel, yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kembali serta memiliki setidak-tidaknya dua kreditur. Sehingga kemudahan mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi dengan konsep utang dalam arti luas tersebut, dan kelemahan UU ini sering disalah gunakan, dimana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk melakukan distribusi asset debitur akan tetapi digunakan sebagai alat untuk menagih utang atau bahkan untuk mengancam subjek hukum kendatipun tidak berkaitan dengan utang. 3.Utang Yang Jatuh Tempo Dan Dapat Ditagih Suatu utang telah jatuh tempo dan harus dibayar jika utang tersebut telah jatuh tempo atau sudah waktunya untuk dibayar. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan suatu utang harus dibayar. Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitur yang mempunyai kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada kreditur sesuai dengan peraturan pemerintah. Didalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 37 Tahun 2004 menyebutkan syarat untuk dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan yaitu : 68 1. Terdapatnya minimal 2 dua kreditur 2. Debitur tidak mampu membayar utang 3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih 68 Ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang Syarat yang ada pada poin ketiga , menunjukan bahwa adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih menunjukan bahwa kreditur sudah mempunyai hak untuk menuntut deditur untuk memenuhi prestasinya. Suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh waktu atau utang yang expired, yaitu utang dengan sendirinya menjadi utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Penagihan disini diartikan suatu pemberitahuan oleh pihak Kreditor bahwa pihak Kreditor ingin supaya Debitor melaksanakan janjinya, yaitu dengan segera atau pada suatu waktu yang disebut dalam pemberitahuan itu. Menurut Jono, ” hak ini menunjukan adanya utang yang harus lahir dari perikatan sempurna yaitu adanya schuld dan haftung 69 . Ketentuan adanya syarat utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih suatu utang dikatakan sebagai utang yang telah jatuh tempo yaitu utang yang dengan sendirinya menjadi utang yang telah dapat ditagih. Sedangkan utang yang telah dapat ditagih belum tentu merupakan utang yang telah jatuh waktu. 70 Pengertian jatuh tempo mempunyai pengertian batas waktu pembayaran atau penerimaan sesuatu dengan yang ditetapkan sudah lewat waktu atau kadaluarsa. Pengaturan suau utang jatuh tempo dan dapat ditagih dan juga wanprestasi dari salah satu pihak dapat mempercepat jatuh tempo utang yang diatur didalam perjanjian. Ketika terjadi jatuh tempo utang telah diatur pembayarannya , maka 69 Jono op cit hal 31 70 M. Hadi Subhan hukum kepailitan, prisip norma dan praktek di pengadilan. Suabaya 2007 pembayaran utang dapat dipercepat dan menjadi jatuh tempo dan dapat ditagih seketika itu juga sesuai dengan syarat dan ketentuan perjanjian. 71 Dalam praktek pengadilan niaga muncul beberapa kriteria debitur tidak membayar utangnya antara lain : 72 a. Ketika debitur tidak membayar utangnya karena berhenti membayar utangnya. b. Debitur tidak membayar utangnya ketika debitur tidak membayar seketika dan sekaligus lunas kepada para krediturnya. c. Debitur membayar utang ketika debitur berhenti melakukan pembayaran tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana telah diperjanjikan. d. Debitur tidak melakukan pembayaran atas utangnya meskipun terhadap perjanjian awal yang telah dilakukan amandemen. Menurut ketentuan Pasal 138 UU Kepailitan, kreditur yang piutangnya dijaminkan dengan hak tanggungan, gadai ataupun hak agunan atas kebendaan lainnya dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutangnya tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan barang agunan, dapat meminta hak-hak yang dimiliki kreditur konkuren atas bagian piutangnya tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas barang yang menjadi agunan piutangnya. 73 71 Default adalah kelalaian untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam kontrak. Lihat HRA. Rivai Wirasasmita hlm 117 72 Sutan Remy Sjahdeini Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan PT. Pustaka Utama Grafiti 2002, hlm 71 73 Ketentuan Pasal 138 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Utang 2.Tata Cara Pengajuan Permohonan Pailit Proses permohonan dan putusan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 11 UUK-PKPU. Permohonan pernyataan pailit kepada ketua Pengadilan Niaga dan Panitera wajib mendaftarkan permohonan tersebut. Menurut Pasal 6 ayat 3 UUK mewajibkan panitera untuk menolak pendafataran permohonan pernyataan pailit bagi instansi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat 3, ayat 4, dan ayat 5 74 . 1.Menurut Pasal 2 UUK-PKPU permohonan pailit dapat diajukan oleh : Debitor adalah perusahaan bukan bank yang bukan perusahaan efek, yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah : a. Debitur b. Seorang atau lebih dari kreditur c. Kejaksaan 2. Dalam perusahaan bank, yang dapat mengajukan kepailitan adalah Bank Indonesia. 3. Dalam perusahaan efek, yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah BAPEPAM 4. Dalam PT yang dapat mengajukan permohonan kepailitan adalah Direksi PT, namun berdasarkan keputusan RUPS. Menurut pasal 5 UUK permohonan itu harus diajukan oleh seorang penasehat hukum yang memiliki izin praktek. 74 Pasal 2 ayat 2, 3, 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, sidang pemeriksaan atas permohonan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan pailit didaftarkan. Dalam hal permohonan pemohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh debitur sendiri yang berbentuk hukum, PT terdapat dalam ketentuan Pasal 104 ayat 1 UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Menurut ketentuan tersebut direksi tidak berwenang mengajukan permohonan pailit atas perseroan sendiri kepada pengadilan niaga sebelum mendapat persetujuan RUPS, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana diatur dalam UUK-PKPU. Dengan demikian pengadilan niaga wajib meminta kepada Advokat yang memiliki perseroan debitur agar menyampaikan putusan RUPS yang dimaksud. Pengadilan niaga wajib menolak permohonan pernyataan pailit oleh debitur yang berbentuk PT apabila pernyataan pailit tidak didasarkan keputusan RUPS. Menurut ketentuan Pasal 69 ayat 3 UUPT yang lama, debitur adalah suatu PT dan permohonan pernyataan pailit diajukan oleh direksi perusahaan debitur tersebut.Direksi perusahaann debitur tersebut dapat mengajukan permohonan pailit ke pengadilan niaga agar perusahaan tersebut dinyatakan pailit hanya berdasarkan keputusan RUPS. Didalam UUK-PKPU memang tidak mewajibkan bagi hakim untuk memanggil atau meminta persetujuan atau sekurang-kurangnya mendengar pendapat para Kreditor yang lain dalam hal permohonan kepailitan diajukan oleh seorang atau beberapa Kreditor. Namun demikian sebaliknya pula, UUK-PKPU tidak melarang apabila hakim memanggil para Kreditor yang lain untuk dimintai pendapat atau persetujuan mereka itu sehubungan dengan permohonan kepailitan. Demi memperoleh keputusan kepailitan yang fair, seyogianya hakim sebelum memutuskan permohonan pernyataan pailit , baik yang diajukan oleh Debitor PT, oleh seorang atau lebih Kreditor, atau oleh Kejaksaan demi kepentingan umum, terlebih dahulu memanggil dan meminta pendapat para Kreditor, terutama para Kreditor yang menguasai sebagian besar jumlah utang Debitor yang bersangkutan. Sikap hakim yang demikian ini sejalan dengan ketentuan Pasal 244 UUK-PKPU mengenai hak Debitor untuk memohon kepada Pengadilan Niaga agar PKPU dicabut dan memberikan keputusannya, hakim yang bersangkutan harus mendengar para Kreditor dan memanggil mereka. 75

3. Penetapan Putusan Pengadilan

Setiap permohonan kepailitan, baik yang diajukan oleh debitur sendiri maupun oleh pihak ketiga diluar debitur harus diajukan melalui pengacara yang memiliki ijin beacara dipengadilan. Menurut ketentuan pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa setiap permohonan pernyataan pailit yang diajukan kepada pengadilan melalui panitera, untuk selanjutnya diproses berdasarkan ketentuan yang berlaku. 76 75 E. Suherman, Faillissement Kepailitan, Binacipta, Bandung, 1988 , hal. 17. 76 Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Didalam UUK-PKPU menyatakan bahwa khusus untuk perkara-perkara yang berhubungan dengan masalah kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, pengadilan niaga memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama dengan hakim majelis. Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum ditetapkan, setiap yang kreditur atau kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan. Walaupun demikian, permohonan penyitaan tesebut akan dikabulkan oleh pengadilan jika penyitaan tersebut ternyata dikabulkan. Dalam undang-undang kepailitan juga mengenal hak banding yang diberikan sesuai dengan pasal 8 UUK-PKPU, sehingga hanya upaya hukum kasasi yang dapat diajukan oleh pihak yang keberatan atau tidak puas dengan putusan peradilan tingkat pertama Pengadilan Niaga. Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan oleh pengadilan, debitur yang dinyatakan pailit tidak lagi diperkenankan untuk melakukan pengurusan atas harta kekayaan yang dinyatakan pailit.

4. Pencocokan Piutang

Ketika PT yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit. Untuk mengurus harta pailit tersebut, menurut pasal 15 UUK-PKPU, pengadilan niaga mengangkat kurator disamping sekaligus mengangkat pula seorang hakim pengawas.