86
BAB VI PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini peneliti menemukan beberapa keterbatasan penelitian. Adapun keterbatasan penelitian tersebut berupa:
1. Hasil penelitian ini dapat menjadi bias karena variabel perilaku caring perawat maupun kepuasan pasien dinilai berdasarkan persepsi dari responden,
sehingga hasilnya sangat subjektif. Namun peneliti telah berupaya agar data penelitian terjamin validitasnya dengan cara mendampingi responden dengan
menerapkan metode wawancara dalam menjawab kuesioner. Ketika responden kurang mengerti atau jika ada pertanyaan, maka peneliti dapat
menjelaskan maksud dari isi kuesioner tersebut. 2. Hasil penelitian ini dapat tidak sesuai dengan harapan peneliti karena
responden penelitian adalah pasien yang sedang sakit. Kondisi pasien yang tidak sehat atau merasa terganggu berisiko terdapatnya jawaban yang tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Jika hal ini terjadi, maka hasil penelitian tidak akan menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Untuk itu
sebelum peneliti menetapkan pasien sebagai responden, maka peneliti terlebih dahulu menanyakan apakah pasien bersedia untuk menjadi responden
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat didalam kuesioner . 3. Ketika menjawab pertanyaan, beberapa responden didampingi pula oleh
keluarganya, sehingga peneliti khawatir jawaban responden tidak seutuhnya berasal dari penilaian responden tersebut.
87
6.2. Gambaran Kepuasan Pasien di Ruang Perawatan Teratai Rumah Sakit
Umum Pusat Fatmawati tahun 2016.
Menurut Soejadi 1996, pasien atau klien merupakan individu terpenting di rumah sakit sebagai konsumen sekaligus sasaran produk rumah sakit. Pasien akan
senantiasa mengevaluasi produk maupun jasa yang telah diterimanya dari rumah sakit. Dari hasil evaluasi ini akan menghasilkan perasaan puas ataupun tidak puas.
Rowland 1992 dalam Zaidin 2001 mengatakan bahwa kepuasan pasien merupakan aspek yang paling menonjol dalam tingkat operasional pelayanan rumah
sakit. Menurut Supranto 2001, bila pelanggan tidak puas maka dia akan menghentikan hubungannya dengan pihak penyedia.
Kepuasan adalah perasaan senang atau tidak senang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi terhadap kinerja atau hasil suatu produk atau jasa
dengan harapan-harapan Kotler, 1997. Hal ini juga disepakati oleh Sumarwan 2003 yang menyatakan bahwa kepuasan adalah tingkat keadaan yang dirasakan
oleh seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan atau outcome produk yang dirasakan dengan harapan yang diinginkan.
Hasil penelitian mengenai kepuasan pasien di ruang perawatan Teratai RSUP Fatmawati di dapatkan dari 81 responden, 51 diantaranya merasa puas 63,
sedangkan 30 responden lainnya merasa tidak puas 37. Jika dibandingkan dengan standar kepuasan rawat inap yang telah ditetapkan oleh rumah sakit, maka kepuasan
pasien masih berada di bawah standar. Rumah sakit membuat target pencapaian kepuasan pasien yaitu 85. Jika dibandingkan dengan indikator standar pelayanan
minimal, maka kepuasan pasien di RSUP Fatmawati masih tergolong rendah, karena dalam SPM, Pemerintah menargetkan kepuasan pelayanan rawat inap adalah 90.
88
Rendahnya kepuasan pasien ini terjadi karena terdapat kesenjangan antara lima kenyataan dengan harapan terhadap lima dimensi kepuasan pasien. Sebanyak
15 dari 81 pasien 18,5 tidak puas terhadap dimensi responsiveness kecepatan
pelayanan, 34 dari 81 pasien 42 tidak puas terhadap dimensi reliability kerhandalan pelayanan, 23 dari 81 pasien 28,4 tidak puas terhadap dimensi
emphaty perhatian pelayanan 18 dari 81 pasien 22,2 tidak puas terhadap assurance jaminan pelayanan, dan 16 dari 22 pasien 27,2 tidak puas terhadap
tangibles tampilan pelayanan. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Manurung 2010, ketidakpuasan
pasien terjadi akibat adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan yang dinilai berdasarkan dimensi tangible, responsiveness, assurance, emphaty dan
reliability. 1.
Responsiveness daya tanggap Responsiveness daya tanggap yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam
membantu pelanggan dan memberikan pelayanan serta penanganan keluhan dengan cepat tanggap.
Menurut Parasuraman, dkk 1985 bahwa responsiveness daya tanggap merupakan dimensi mutu pelayanan tentang kemauan untuk membantu
pelanggan pasien dan menyediakan jasa pelayanan yang cepat dan tepat. Menurut Haffizurrachman 2004, di rumah sakit keadaan darurat dapat terjadi
kapan saja terhadap pasien, untuk itu petugas harus melakukan segala sesuatu dengan cepat dan tepat. Pada penelitian yang dilakukan Rahmulyono 2008 menyatakan
bahwa dimensi ketanggapan perawat memberikan pengaruh positif terhadap kepuasan pasien. Apabila perawat tidak tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan
tersebut maka pasien merasa terabaikan dan tidak puas dengan pelayanan
89
keperawatan yang diterimanya. Menurut Tjiptono 2011, respon perawat yang tanggap terhadap setiap keluhan dan keinginan pasien dengan cepat dan sesuai
standar pelayanan yang ditetapkan, akan meningkatkan rasa puas kepada pasien yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat loyalitas pasien.
Pernyataan dalam kuesioner yang paling banyak menyatakan ketidak `puasan responden adalah pada petugas tanggap melayani pasien, yaitu sebanyak 28 atau
20 orang. Hal ini sesuai dengan Sarafino 1998 mengungkapkan bahwa pasien sering kali mendapatkan pengalaman negatif baik berupa perilaku perawat yang
tergesa-gesa, tidak sensitif, kurang tanggap atau tidak mampu menjelaskan masalah- masalah medis.
Berdasarkan wawancara
peneliti dengan
beberapa pasien
mengenai responsiveness ini, didapat bahwa pelayanan serta penanganan keluhan belum cepat
dan tanggap. Beberapa pasien mengaku telah menyuruh keluarganya ke nurse station untuk memanggil suster atau perawat, namun beberapa kali harus menunggu
lama dan harus memanggil untuk kedua bahkan ketiga kalinya untuk menyelesaikan permasalahan seperti cairan infus kosong, jarum infus lepas ataupun masalah-
masalah pasien lainnya. Berdasarkan diskusi dengan koordinator keperawatan ruang anggrek, jumlah
tempat tidur tiap ruang adalah 60 unit. Selama dua tahun terakhir, menurutnya tempat tidur diruang teratai sangat jarang kosong, jika ada yang kososng pasti
langsung diisi oleh pasien baru. Bahkan ada yang mengantri demi mendapatkan tempat tidur di ruang perawatan ini. Dengan demikian, jumlah tempat tidur yang ada
sama dengan jumlah pasien.
90
Peraturan Menkes RI No. 262MenkesPerVII1979 mengenai perhitungan kebutuhan tenaga berdasarkan perbandingan antara jumlah tempat tidur dengan jenis
kategori tenaga tertentu, disebutkan bahwa perbandingan antara jumlah tempat tidur dengan jumlah perawat untuk rumah sakit tipe A seperti RSUP Fatmawati adalah 4-
7 tempat tidur : 1 perawat. Jumlah perawat yang shift untuk pagi dan siang adalah 7 perawat. Jumlah
tempat tidur yang tersedia sebanyak 60 unit. Dengan demikian perkiraannya adalah satu perawat akan bertugas untuk 8-10 orang yang artinya melebihi standar yang
telah ditentukan. Sedangkan shift malam perawat yang berjaga lebih sedikit, yaitu hanya 5 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah tempat tidur, maka satu
perawatnya akan bertugas untuk 12 orang. Hal ini dapat meningkatkan beban kerja perawat. Hasil penelitian Minarsih 2011 menyebutkan bahwa jumlah tenaga yang
kurang menyebabkan beban kerja perawat pelaksana di rumah sakit meningkat. Handoko 2006 menyebutkan bahwa pekerjaan perawat tidak hanya merawat
pasien, namun juga administrasi yang mengerjakan pencatatan dan pelaporan pasien. Berdasarkan Penelitian Julianti 2009 tentang hubungan beban kerja perawat
pelaksana dengan penerapan perilaku caring perawat, menyebutkan perawat dengan perilaku caring tinggi rata rata beban kerjanya lebih sedikit dan perawat dengan
perilaku caring rendah rata-rata beban kerjanya lebih tinggi. Sedarmayanti 2009 menyebutkan bahwa akibat tingginya beban kerja perawat
diantaranya adalah lambatnya respon pelayanan dan terkadang timbulnya emosi perawat. Timbulnya emosi dari perawat akan mempengaruhi dimensi lain seperti
empati.
91
2. Empathy Parasuraman, dkk 1985 menyebutkan bahwa Empaty empati merupakan
dimensi mutu pelayanan yang meliputi pemahaman pemberian perhatian secara individual kepada pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik,
dan memahami kebutuhan pelanggan. Philip Kolter 1994 dalam Supranto 2001
menyebutkan bahwa empati emphaty merupakan syarat untuk peduli, memberi perhatian pribadi bagi pelanggan yang mendatanngkan hubungan baik antar pasien
dan perawat. Pasien yang merasa tidak puas dengan dimensi empathy yaitu 20 responden
23. Berdasarkan jawaban responden, ketidakpuasan pasien terhadap dimensi empati adalah karena pasien banyak yang merasa petugas jarang memperhatikan
pesien dengan sungguh-sungguh dan jarang pula memberikan motivasi untuk sembuh serta terkadang beberapa petugas bersikap kurang ramah terhadap pasien.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Damayanti 2000, yang menyebutkan bahwa empati dipengaruhi oleh sikap petugas yang ramah dan mengerti terhadap
kebutuhan pasien, serta senantiasa menyemangati pasien untuk segera sembuh dari sakitnya. Hal ini menandakan bahwa empati sangat bergantung pada komunikasi
antara perawat dan pasien Handoko, 2003. Pelayanan profesional yang diberikan oleh perawat dalam sebuah rumah sakit
membuat perawat sering berinteraksi dengan pasien. Oleh karena itu, seharusnya perawat dapat menjalin komunikasi yang baik dengan pasiennya dan tidak hanya
sekedar melakukan tugas rutin, seperti memberi obat atau memandikan pasiennya Nurachmati 2004. Gunarsa 2008 menyebutkan bahwa keberhasilan perawat
92
dalam membentuk hubungan dan situasi perawatan yang baik antara lain ditentukan oleh kemampuannya berhubungan dengan orang lain, berkomunikasi dan bekerja
sama. Nursalam 2002 menyatakan bahwa dari sejarah diketahui perawat sangat
kurang diberi pemahaman terkait dengan pasien sebagai manusia. Perawat lebih banyak dididik untuk sekedar melaksanakan tugas dari dokter dan kurang
melakukan komunikasi dengan pasien. Komunikasi yang kurang baik antara perawat dengan pasien akan menghasilkan kesalahpahaman antara kedua belah pihak,
sehingga berakibat memburuknya hubungan mereka dan menjadi sumber ketidakpuasan pelayanan rumah sakit. Supranto 2005 menyebutkan bahwa adanya
ketidakpuasan pasien tentang sikap dan perilaku perawat merupakan indikasi kurangnya kemampuan empati perawat. Adanya keluhan walaupun dalam jumlah
yang kecil dapat memperburuk citra rumah sakit dan akan menimbulkan kerugian Sumarwan 2003
. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Proborani 2010 menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan koping terhadap stres dengan kemampuan empati perawat di Rumah Sakit Telogorejo. Hubungan tersebut
ditunjukkan dengan angka koefisien korelasi r xy sebesar 0,731 p 0,05 yang artinya semakin tinggi kemampuan koping terhadap stres maka semakin tinggi pula
kemampuan empati perawat, dan sebaliknya semakin rendah kemampuan koping terhadap stres maka semakin rendah pula kemampuan empati perawat. Berdasarkan
hasil penelitian ini, kemampuan empati perawat di Rumah Sakit Telogorejo dipengaruhi oleh kemampuan koping terhadap stresnya. Eisenberg dan Damon
1998 dalam Munir 2006 menyebutkan salah satu faktor yang mempengaruhi
93
kemampuan empati adalah temperamen dan kepribadian, termasuk di dalamnya adalah pengaturan emosi yang merupakan bagian dari kemampuan koping terhadap
stres. Menurut Damon 1998 Munir 2006, terjadinya stres adalah akibat dari adanya
stresor atau pemicu stres. Banyaknya pekerjaan serta tuntuan bagi seorang perawat dapat menjadi salah satu pemicu perawat untuk stres. Hal ini kembali lagi ke beban
kerja perawat di RSUP Fatmawati. Berdasarkan wawancara dengan bagian kepegawaian, diketahui bahwa perhitungan jumlah tenaga keperawatan memang
belum sesuai dengan standar. Namun hal itu terjadi karena beberapa kendala seperti pembatasan jumlah tenaga dan keterbatasan kemampuan rumah sakit dalam hal
anggaran. Namun menurut koordinator bagian kepegawaian ini, hal ini dapat diatasi karena RSUP Fatmawati juga mewadahi para peserta didik dari berbagai institusi
untuk bekerjasama dalam merawat pasien. Hal ini membantu rumah sakit dalam menangani keterbatasan jumlah perawat.
3. Reliability Berdasarkan dimensi Reliability yaitu kemampuan untuk memberikan dan
melaksanakan jasa atau pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat, tepat dan dapat diandalkan. Perusahaan harus mampu memberikan pelayanan secara tepat
semenjak pertama dan memenuhi janjinya Moenir, 2002. Hasil penelitian Rahmulyono 2008, salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan adalah
mutu informasi yang diterima seperti apa yang dikerjakan dan apa yang dapat diharap.
94
Hasil statistik menyebutkan kepuasan pasien dimensi realibility masih rendah, yaitu sebanyak 34 pasien tidak puas. Banyak pasien yang tidak puas dengan
petugas dan pelayanan yang tidak tepat waktu sesuai dengan yang di janjikan. Hal ini sesuai dengan hasil survei yang dilakukan oleh Astuti 2003 kepuasan pasien di
Rumah Sakit Orthopedi Prof. DR. R. Soeharso Surakarta yang menunjukkan bahwa pada dimensi reliability adalah dimensi paling rendah diantara yang lainnya, yaitu
hanya 43 pasien yang puas. Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Ryan 2009, bahwa sebanyak 48,6 responden menyatakan tidak puas dengan dimensi
realibility. Berdasarkan skor jawaban responden mengenai dimensi realibility ini, yang
termasuk kategori rendah adalah petugas dan pelayanan yang sering tidak tepat waktu sesuai dengan yang telah di janjikan. Auliya 2006 menyebutkan bahwa
jadwal yang tidak pasti membuat costomer atau klien merasa kecewa, kekecewaan ini akan meningkatkan ketidakpuasan pasien terhadap pelayanan. Priyono 2004
melihat adanya hubungan kepuasan dari sudut kesinambungan pelayanan dengan adanya petugas tertentu dan jarak waktu menemuinya.
Hasil penelitian Carey dan Posavar 1982 dalam Wijaya 2011 tentang kepuasan pasien terhadap perawat rumah sakit pendidikan Mid West
mengembangkan 4 kategori kepuasan yaitu dukungan dan kebaikan perawat, persepsi terhadap kemampuan perawat, respon yang cepat terhadap keluhan pasien
dan jawaban yang jelas bila pasien mengajukan pertanyaan Wijaya, 2011.
95
4. Assurance Berdasarkan dimensi Assurance kepastian jaminan,
Zaidin 2001
menyebutkan bahwa Assurance atau kepastian pelayanan, yaitu bentuk layanan langsung dalam membantu pasien, yang didukung dengan pengetahuan dan
keterampilan. Moenir 2002 menambahkan assurance berhubungan dengan pengetahuan, kesopanan dan kemampuan karyawan dalam menumbuhkan
kepercayaan dan keyakinan pelanggan. Hasil penelitian menunjukkan pasien yang merasa tidak puas dengan dimensi
assurance yaitu 15 responden 18,5. Ketidakpuasan ini karena masih ada pasien yang jarang dijelaskan rencana keperawatannya. Padahal menurut Priharjo 1995
bahwa keprofesionalan tenaga medis dalam memberikan pelayanan dilihat dari kapabilitas tenaga medis dalam melayani pasien, kemampuan menyampaikan
informasi dengan baik dan memiliki pengetahuan yang memadai demi terjaminnya mutu yang diberikan.
Pelayanan yang bermutu adalah hak pasien. Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 mengatakan bahwa setiap orang mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan. Juga memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Selain itu
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran juga bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi pasien. Perlindungan hak pasien juga
tercantum dalam pasal 32 undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Hal ini membuktikan betapa pemerintah Indonesia berusaha untuk terciptanya
keamanan bagi pasien.
96
Secara umum pasien di ruang perawatan Anggrek RSUP Fatmawati sudah puas terhadap dimensi assurance. Berdasarkan hasil penelitian Ryan 2009, bahwa
pengalaman pasien terhadap asuhan keperawatan, terutama keterampilan petugas dalam melayani pasien menyatakan puassangat puas sebanyak 77 responden
63,6. 5.
Tangible Dimensi Tangibles merupakan kualitas jasa yang ditentukan dengan melihat
penampilan fisik, peralatan, penampilan karyawan dan sarana komunikasi yang ada. Dimensi ini merupakan dimensi yang pertama kali disadari oleh pelanggan dan
menjadi hal paling penting, kekurangan atau keburukan dari dimensi ini akan cepat terlihat Moenir, 2002. Perawat dengan penampilan yang bersih, seragam yang
bersih, dengan penampilan yang segar dalam melakukan tugas-tugas perawatan diharapkan mampu mengubah suasana hati pasien Gunarsa, 1995.
Menurt Philip Kolter 1994 dalam Supranto 2015, menyatakan
tangible berkaitan dengan
penampilan fasilitas fisik, peralatan, personel, dan media komunikasi. Hasil penelitian menunjukkan didapat pasien yang merasa tidak puas dengan
dimensi tangible yaitu 22 responden 27, ketidakpuasan ini berdasarkan hasil skor minus pada pernyataan
RS memiliki ruang tunggu ruang perawatan yang cukup nyaman dan Ruangan di RS memiliki peralatan yang lengkap.
Berdasarkan wawancara dengan pasien, banyak pasien mengeluhkan kepanasan baik siang maupun malam sehingga menjadikan pasien tidak nyaman. Ada pula
kamar yang memiliki kipas angin di langit-langit kamar, namun posisinya berada dibawah lampu. Sehingga kipas yang bergerak menghalangi cahaya lampu dan
97
mengakibatkan efek bayangan yang bergerak didalam ruangan. Beberapa pasien merasa pusing karena bayangan kipas angin ini. Padahal menurut
Supranto 2015 desain dan tata letak ruangan berpengaruh terhadap kenyamanan pasien.
Kenyamanan pasien terhadap ruang perawatan mempengaruhi lama waktu kesembuhan pasien Randi, 2011.
Dari kelima dimensi kepuasan pasien ini, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kepuasan pasien terhadap layanan. Menurut Wijaya 2011, upaya
yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepuasan pasien yang cocok di institusi rumah sakit adalah Penerapan Quality Function Deployment QFD. QFD adalah
metode perencanaan dan pengembangan secara terstruktur yang memungkinkan tim pengembangan mendefinisikan secara jelas kebutuhan dan harapan pelanggan, dan
mengevaluasi kemampuan produk atau jasa secara sistematik untuk memenuhi kebutuhan dan harapan tersebut. Dengan QFD, operasional perusahaan didorong oleh
suara pelanggan dan bukan oleh perintah manajemen ataupun opinikeinginan dari para ahli. Penggunaan QFD berfokus pada penyebab-penyebab utama kepuasan serta
ketidakpuasan pelanggan, sehingga menjadikannya alat yang berguna untuk analisis kompetitif kualitas produk oleh manajemen Wijaya 2011.
Berdasarkan wawancara peneliti dengan kepala ruang teratai, di ketahui bahwa selama ini rumah sakit sudah melakukan banyak upaya untuk meningkatkan kualitas
pelayanan dan meningkatkan kepuasan konsumen, termasuk QFD. Usaha yang telah dilakukan diantaranya adalah renovasi ruangan perawatan, penyediaan kotak saran,
sms pengaduan, survei kepuasan tiap semester hingga pelatihan service exellence yang dilakukan tiap tahunnya untuk perawat baru. Menurutnya pencapaian kepuasan
pasien hampir pada angka 70 sudah merupakan prestasi besar mengingat fatmawati
98
adalah rumah sakit yang tidak pernah sepi pengunjung yang tentunya memiliki masalah-masalah yang sangat kompleks.
6.3. Hubungan Perilaku Caring Perawat dengan Kepuasan Pasien di Ruang