Sejarah Tradisi Haul Agama

34 perjuangannya dan banyak mengintuisi dalam perjalanan kekyaiannya.Kyai Abdul Hadi adala satu-satunya Kyai yang mematangkan jiwa, semangat, dan penguasaan ilmunya, sehingga menjadikan KH. Abdul Fattah menjadi tokoh Kyai yang terkenal sangat memegang prinsip kitab-kitab kuning baca: ilmu agama dan prinsipnya itu tidak bisa ditawar-tawar lagi atau dengan kata lain beliau adalah tokoh Kyai Konservatif yang kuat. Sebagaimana yang dikatakan oleh KH.Abdul Majid putra ke-2 KH. Abdul Fattah: “bapak KH. Abdul Fattah itu persis sekali dengan Kyai Abdul Hadi, bisa diakatakan photocopy- nya Kyai Abdul Hadi” Wawancara pribadi pada tanggal 10 Agustus 2013. Dibawah asuhan Kyai Haji Abdul Hadi beliau menghabiskan waktunya kurang lebih selama 13 tahun yaitu, mulai tahun 1927 sampai dengan tahun 1939. Tahun 1940 beliau KH.Abdul Fattah atas izin Kyai Haji Abdul Hadi meneruskan pendidikan pesantrennya ke pesantren Kasingan Rembang Jawa Tengah di bawah asuhan KH.Ahmad Kholil selama satu tahun, istilahnya hanya tabarrukan mengharapkan berkah saja.Selanjutnya pada tahun 1941 beliau tabarrukan ke berbagai pondok pesantren, diantaranya pondok pesantren Tebuireng Jomba ng di bawah asuhan KH.Hasyim Asy’ari pendiri organisasi NU, kemudian kepada KH. Khozin Siwalan Panji Sidoarjo. Selama Tabarrukan ini beliau tidak pernah terlepas dari ijin Kyai Haji Abdul Hadi Langitan Milad dan Pesantren Ihya’uddin, 1985:3. KH.Abdul Fattah menyelesaikan karir belajarnya tepat pada awal tahun 1942.Setelah pamitan dan mohon izin kepada Kyai Haji Abdul Hadi Langitan dan selanjutnya beliau pulang ke kampung halamannya.Bersamaan dengan itu beliau 35 “di titipi” Kyai Haji Abdul Hadi beberapa santri untuk di asuh di kampung halamannya Desa Siman.Sesampainya di rumah beliau KH.Abdul Fattah atas perintah orangtunya beliau menikah dengan seorang wanita tetapi hanya kurang lebih satu bulan jodohnya hanya sampai di situ. Kemudian pada tahun itu juga yaitu pada tanggal 7 Maret 1942 beliau menikah dengan seorang gadis bernama Marwiyah binti H. Abdullah dari Desa Cangaan Kecamatan Kanor Bojonegoro, dan dari pernikahannya yang terakhir ini beliau di-karuniai tujuh orang putra dan satu orang putri. Bersama dengan ibu Nyai Marwiyah dan didukung pula oleh para tokoh masyarakat Desa Siman beliau mendirikan pondok pesantren Ihya’uddin pada tanggal 26 Agustus 1942. Pada masa-masa awal saat didirikannya pesantren yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial ekonomi dan politik yang sangat mencemaskan, mayoritas masyarakat Desa Siman hidup di bawah garis kemiskinan yang amat dalam. Tidaklah mengherankan kalau taraf pemikiran dan kepandaian masyarakat seirama dengan dengan kondisi ekonominya. Mayoritas masyarakat Siman buta huruf latin dan hanya beberapa orang saja yang dapat membaca dan menulis huruf Arab Milad dan pesantren Ihya’uddin, 1985:2. Sebagaimana diketahui pada tahun 1942 adalah tahun masuknya penjajah Jepang di Indonesia. Pada waktu itu termasuk juga masyarakat Siman sempat merasakan injakan kaki penjajah, sehingga kehidupan masyarakat pada semua segi terkoyak-koyak dalam penindasan dan kesengsaraan lahir batin. Didorong oleh faktor-faktor tersebut di atas pemuda Nawawi terpanggil sanubarinya sebagai insan yang merasa bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsanya yang