Teks Dongeng Bercerita dengan Urutan yang Baik, Suara, Lafal,

6 supaya kita tidak membuang-buang darah orang yang tak berdosa, kini ambil saksi seorang lagi yang akan kutunjuk sendiri. Sekiranya aku bersalah, aku bersedia meninggalkan dunia yang fana ini.” Ular agak berkecil hati, tetapi diterima juga usulan itu. Seekor kancil yang sedang mencari makan sampai di tempat perbantahan itu lalu berseru: “Hai, mengapa kalian berbantah?” Ketika pedagang melihat kancil, ia berkata kepada ular: “Inilah saksi yang penghabisan. Kita dengarkan apa yang dikatakannya” Pedagang mulai menjelaskan hal itu, tetapi belum habis ia bercerita, kancil menyela: “Saudagar, tahukah engkau bahwa balasan kebaikan tak lain adalah kejahatan. Sudah kautolong ular itu dari bahaya maut, sudah sepantasnyalah ia berbuat jahat kepadamu.” “Hai, Kancil, dengarlah dulu,“ jawab peda- gang itu, lalu dibentangkannya perihal itu sejelas-jelasnya. “Saudagar, kelihatannya engkau seorang yang cerdik. Bagaimana pula engkau dapat menceritakan hal yang bukan-bukan.” Ular itu menyela: “Benar semua yang dikatakannya itu. Itulah pundi-pundi yang menyelamatkan aku dari bahaya api besar itu.” Kancil meneruskan perkataannya: “Siapa pula yang percaya binatang sebesar ini dapat masuk ke dalam pundi-pundi sekecil itu. Seekor tikus pun rasanya takkan dapat masuk ke dalamnya.” “Sangat mudah untuk memahaminya,” jawab ular itu. ”Sekiranya engkau tidak percaya, saya akan masuk ke dalam kantong itu.” “Baiklah Seru kancil. Kalau dengan mata kepalaku sendiri haruslah dapat kuputuskan perkara ini.” Untuk menegaskan apa yang dikatakan oleh ular, pedagang itu membuka pundi-pundi dan ular menjalar ke dalamnya karena ia percaya akan janji kancil. Ketika kancil melihat ular itu telah berada dalam kantong kulit itu, ia berbisik kepada pedagang. “Kawan, telah tertangkap musuhmu. Pergunakanlah kesempatan ini dan jangan engkau lepaskan dia.” Mendengar nasihat kancil, diikatnya erat- erat lubang kantong itu, dihempaskannya sekeras-kerasnya kantong itu di atas batu sehingga matilah ular yang tidak tahu berterima kasih itu. Terhindarlah manusia itu dari bahaya bisanya dan terlepas dari keganasan ular. Hukum alam tetap berlaku, “Budi baik harus dibalas dengan kebaikan juga”. Djarid, Dongeng-dongeng Rimba Raya dengan perubahan MEMBACA

1.3 Mengomentari Buku Cerita yang Dibaca

Kalian pasti pernah mendengar ungkapan “Buku adalah gudang ilmu”, “Buku adalah jendela dunia”. Membaca buku ibarat menjelajah dunia. Oleh sebab itu, cintailah buku dan gemarlah membaca Bacalah buku apa saja, termasuk buku cerita anak.

1.3.1 Membaca Buku Cerita Anak

Buku cerita anak adalah bacaan sastra yang diperuntukkan bagi anak. Tokoh, alur, tema, latar, dan amanat disesuaikan dengan perkembangan mental dan emosi anak. Berikut ini disajikan kutipan cerita anak. Pada pelajaran ini kalian akan membaca, mengomentari, dan menceritakan kembali cerita anak. Perhatikan kutipan berikut Pahlawan Kecil Iwan, Herman, Nuri, dan Totok asyik bere- nang di bendungan air dekat palang kereta api. Mereka bersembur-semburan dan menyelam- nyelam sampai merah matanya. Ketika lonceng berdentang, tanda sebentar lagi kereta api akan lewat. Bunyinya itu hanya didengar sepintas lalu oleh keempat anak itu. Tidak biasanya sikap Pak Sarpan, penjaga palang jalan itu. Jika lonceng itu berbunyi, orang yang sudah tua itu Carilah teks dongeng dan pelajari dengan sungguh-sungguh lalu medongenglah di depan kelas dengan suara, lafal, intonasi, gerak, dan mimik yang tepat 7 akan segera keluar dari gardunya untuk meng- hentikan arus kendaaan umum yang melintasi jalan rel. Hal itu sudah dikerjakannya bertahun- tahun. Setiap hari, dengan jarak waktu dan urutan yang tetap, sepuluh sampai dua belas kali ia bolak-balik mengatur lalu lintas. Tetapi pada hari itu, setelah beberapa lama lonceng itu berbunyi Pak Sarpan tidak muncul- muncul juga. Padahal, kereta api yang hendak lewat sudah kedengaran derunya dari kejauhan. Anak-anak yang tengah bermain tiba-tiba tertegun melihat kejanggalan itu. “Kenapa Pak Sarpan belum juga menutup palang kereta api?” tanya Iwan. “Barangkali dia tertidur,” jawab Herman. “Tidak mungkin,” sahut Nuri, “Pak Sarpan tidak pernah ketiduran pada saat menjalankan tugasnya.” “Padahal, kereta api sudah dekat,” kata Totok. Kereta api yang makin lama makin men- dekat itu adalah kereta api ekspres. Lalu lintas di jalan raya yang memotong rel kereta itu ramai sekali waktu itu. “Kalau begitu, kita harus berusaha mence- gah terjadinya malapetaka,“ kata Herman. Terburu-buru, ia pun keluar dari dalam air sambil menyambar celana dan bajunya. Dikenakannya pakaiannya lalu berlari cepat-cepat ke arah palang kereta api. Teman-temannya segera me- nyusulnya dan dengan lambaian tangan mereka mengisyaratkan niatnya hendak menutup jalan bagi kendaraan yang akan lewat. Tanpa meng- hiraukan bunyi klakson yang bersahut-sahutan keempat anak itu menutup palang jalan. Tindakan anak-anak itu menyebabkan kemarahan pengemudi kendaraan yang merasa dipermainkan. Beberapa pengemudi truk bahkan menyumpahi anak-anak itu. Ada juga penumpang yang turun karena ingin tahu lebih banyak. Sebelum keributan itu reda, terdengar suara gemuruh dan kereta api ekspres lewat dengan cepatnya. Barulah orang-orang sadar bahwa mereka nyaris mati tergilas. Berapa banyak korban yang mungkin jatuh andaikata anak-anak itu tidak cepat-cepat menutup palang kereta api itu. Setelah jalan dibuka kembali, anak-anak itu bergegas lari ke gardu Pak Sarpan karena ingin tahu apa yang terjadi dengan penjaga palang yang sudah berumur itu. Alangkah kagetnya mereka ketika mendapati Pak Sarpan terkapar lemas di lantai. Ia kedengaran merintih kesa- kitan. “Cepat panggil dokter,” kata Iwan kepada temannya. “Jangan, jangan. Tidak usah memanggil dokter,” bantah Pak Sarpan. “Aku hanya masuk angin. Panggil saja Pak Bayan supaya ia meng- gantikan aku di sini.” “Masakan hanya masuk angin. Badan Pak Sarpan kelihatan begitu lemas. Tadi hampir saja terjadi kecelakaan karena palang jalan yang tidak tertutup. Untung, kami tidak terlambat.” “Jadi, kalian yang menutup palang itu?” “Ya, dan Pak Sarpan sekarang harus cepat mendapat pertolongan dokter,” kata Totok. “Memang aku tahu bahwa kereta api akan lewat, tetapi ketika lonceng berbunyi dan aku hendak menutup jalan, aku tidak kuat bangun,” katanya dengan tersendat-sendat. “Aku, ... aku ... tak mampu membayar ongkos dokter. Makanya biar, tak usah aja.” “Coba, saya panggil paman saya saja. Dia mantri juru rawat di rumah sakit,” kata Herman. Ia lalu keluar mencari sepeda pada tetangganya untuk menjemput pamannya itu. Tidak berapa lama, Herman pun datang membonceng sepeda beserta Pak Darman, pamannya, sambil mengempit tas alat keseha- tannya. Pak Darman langsung memeriksa Pak Sarpan dengan saksama. Dahinya berkerut- kerut melihat si sakit itu. Anak-anak dengan hati cemas menantikan hasil pemeriksaannya. Dalam batin mereka berdoa agar Pak Sarpan dapat tertolong. “Untung saja kalian cepat-cepat memanggil aku. Kalau tidak, bagaimana jadinya. Pak Sarpan sakit parah. Rupa-rupanya sudah lama ditahannya saja sampai pada puncak penderita- annya,” kata Pak Darman setelah memeriksa Pak Sarpan. Kemudian anak-anak itu pun menerima pesan dari Pak Darman tentang apa yang harus Alangkah kagetnya mereka ketika mendapati Pak Sarpan terkapar lemas di lantai