TEMUAN LAPANGAN DAN ANALIS

“iya juga ya, biasanya selama ini kita cuma sering denger nama bapak. Jadinya hampir lupa dengan keluarga dari Ibu”. Tak heran bila di beberapa daerah seperti di Sulawesi, nama ayah dilekatkan di belakang nama anaknya. Di tempat lain, kita juga tentu sering mendengar nama suami dilekatkan di belakang kata istri, sehingga kadang-kadang orang- orang lebih mengenalnya dengan sebutan Ibu Handoko, misalnya, yang notabene adalah nama suaminya. Dalam konteks inilah, peserta mulai dibiasakan untuk mengingat kembali nama-nama keluarga yang berasal dari Ibu agar terjadi keseimbangan bahwa ada dua keluarga yang berhubungan dalam hidupnya. 2. Diorama Dalam tekhnisnya, Para ibu-ibu diminta memerankan perbedaan antara pembagian upah antara laki-laki dan perempuan. melalui peran-peran seperti ini, mereka bisa belajar dan memahami bahwa ternyata di dalam pembagian upah pun perempuan dan laki-laki masih dipisahkan. 3. Menggambar Dalam metode ini, ibu-ibu diminta perkenalan dengan menggambar tentang diri mereka masing-masing. Jadi mereka dibagikan kertas lalu diminta mengambar tentang kelemahan dan kekurangannya masing-masing. 4. Analisis Film Di metode ini, mereka dipertontonkan tentang film Beban Ganda yang dihadapi oleh perempuan. Setelah menonton, mereka kemudian berdiskusi. Dari situ, mereka bisa menyaksikan bahwa semua itu adalah hal yang mereka hadapi sehari-hari. 5. Analisis lagu Ternyata lagu menjadi sarana yang cukup baik dalam proses penyadaran. Di SPC, ibu-ibu membuat lagu-lagu yang mengambarkan kehidupan perempuan. Dari situ, terlihatlah bagaimana masyarakat mempersepsi perempuan. 6. Metode Tutorial untuk Keaksaraan Fungsional Metode ini digunakan khusus untuk peserta yang masih belajar membaca, menulis dan berhitung. Tekhnik yang digunakan adalah dengan mengajarkan suku kata misalnya A,B,C untuk membantu mereka mengenal huruf-huruf dasar. Untuk lebih memudahkan ibu-ibu, Huruf-huruf yang diperkenalkan adalah terutama huruf ynag bunyi A, I, U, E,O. Dan, yang lebih memudahkan lagi, kata per kata yang diberikan adalah kata-kata yang biasa mereka alami sehari-hari. Misalnya, “saya memasak di dapur”. Pendidikan seperti di sekolah pada umumnya yang berorientasi subjek guru- objek murid jelas tidak akan mampu membuat perempuan untuk mau bersuara terlebih di depan umum. Jangankan menceritakan pengalaman-pengalaman hidupnya, bahkan ruang untuk mendukung keterbukaan perempuan pun tidak tersedia. Karena paradigmanya adalah, pelajaran hanya berasal dari guru. Mereka lah yang paling tau segala hal. Beberapa pendidikan yang diterapkan di SPC yaitu: 1. Pendidikan di dalam kelas 2. Pendampingan dalam proses ekonomi 3. Pendampingan dalam proses MUSREMBANG 4. Diskusi-diskusi di luar kelas informal 5. Dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan di beberapa jaringan LSM perempuan 6. Dilibatkan dalam penyusunan modul Pendidikan Adil Gender PAG yang merupakan deskripsi sekaligus kesimpulan dari proses penerapan PAG di SPC selama rentan waktu 2003-2006. Sejak akhir tahun 2009 lebih tepatnya pada musim hujan tiba-awal bulan Juni 2010. proses belajar-mengajar di kelas vakum. Awalnya, hal ini disebabkan karena seringnya terjadi banjir sehingga mereka lebih berkonsentrasi pada penyelamatan diri dan keluarganya. Bahkan para pengurus dan beberapa anggota juga menjadi relawan dengan menyediakan dapur umum dan menjadi panitia pembagian sembako bagi penduduk maupun anggota yang terkena banjir dan membutuhkan pertolongan. Selain itu, otomatis tempat mereka belajar yakni di lorong-lorong rumah dan di pinggiran kali Ciliwung juga tidak memungkinkan untuk digunakan. Selain itu, penulis melihat bahwa ada masalah yang lain yang membuat peserta SPC belum memulai kembali pendidikan in class, sebagian yang lain khususnya beberapa pengurus merasa sedikit bingung bagaimana memulainya kembali. Meski sebagian yang lain beralasan bahwa kesibukannya semakin bertambah, tapi alasan itu tidak cukup mendukung karena selama ini mereka juga melakukan pendidikan in class dan tetap bekerja seperti biasa. Berdasarkan hasil wawancara dari subjek penelitian yang penulis pilih, 12 orang peserta SPC mengatakan ingin sekolah kembali seperti dulu . Mereka masih terlihat semangat untuk terus belajar dan membangun relasi di SPC. . Setelah sempat vakum beberapa bulan, Pada Hari Jumat 0406, akhirnya semua pengurus dan 11 orang anggota akhirnya sepakat berkumpul di samping kali Ciliwung untuk membicarakan tentang bagaimana kelanjutan pendidikan in class ini. Meski dalam suasana gerimis, mereka terlihat tetap semangat untuk berunding, bahkan beberapa diantaranya membawa anaknya yang masih kecil. Supaya lebih demokratis, pengurus membagikan kertas metaplen dan spidol untuk menuliskan materi-materi apa yang mereka inginkan untuk dipelajari kembali. Selain peserta, pengurus juga ikut menuliskan pendapatnya. 65 Setelah itu, ibu Ana membacakan hasilnya. Dan, kebanyakan ibu-ibu memilih untuk mengulang kembali materi kespro, jender, pengajian tajwid dan materi tambahan adalah keterampilan seperti, daur ulang sampah lalu dibikin tas. Karena ibu-ibu merasa bahwa selain mendapatkan ilmu pengetahuan baru. kita juga dapat menghasilkan nilai ekonomi. Ada juga satu orang ibu yang mengusulkan didakannya pendidikan untuk anak-anak putus sekolah. Alasannya karena di sekitar SPC ini juga banyak anak-anak kecil yang putus sekolah. Usulan terakhir ini dapat 65 Hasil observasi pada Jumat, 04 Juni 2010, di Pinggir kali Ciliwung. dikatakan sebagai indikator semakin disadarinya bahwa pendidikan adalah hal yang harus dipelajari. Setelah materi dan waktunya sudah disepakati, yang menjadi perdebatan cukup panjang adalah masalah fasilitator. Sejak tahun 2007-an, KAPAL sudah memutuskan untuk men-training pengurus SPC agar mereka yang jadi fasilitator dalam pertemuan in class. Tapi, setelah vakum, beberapa pengrus merasa bingung untuk mulai dari mana. Salah satu pengurus Ibu Retno merasa masih belum percaya diri jika harus menjadi fasilitator, Padahal dia sudah beberapa kali jadi fasilitatsor. Menurutnya, para peserta kurang memperhatikan dan kurang semangat jika pengurus yang menjadi fasilitator. Ia juga masih merasa malu. Padahal Ibu Retno adalah salah satu pengurus yang punya potensi. Selain itu, pengurus yang lain Ibu Ana dan Ibu Mistinah masih terlihat kurang percaya diri untuk tampil di depan. Padahal mereka juga sudah banyak tahu tentang materi-materi yang telah diajarkan di SPC. Hanya ibu Musriyah ketua SPC yang terlihat begitu percaya diri. 66 Nah, artinya, dari pengurus sendiri masih perlu dibangun rasa kepercayaan diri atau penguatan kapasitas. Selain itu, mereka juga perlu memperkuat materi tentang strategi-strategi bagaimana membuat pendengar menjadi antusias dengan apa yang kita bicarakan. 66 ibid Sementara itu, proses pendidikan yang lain tetap berjalan. Seperti diskusi- diskusi di beberapa pertemuan nasional dan LSM-LSM. Selain itu training-training tetap dilakukan khususnya untuk pengurus SPC setiap hari Rabu. Sejak bulan Januari hingga Maret, mereka membuat pemetaan di dampingi oleh fasilitator dari KAPAL Perempuan. Mereka menggunakan metode pemetaan partisipatif, wawancara, dan pengamatan langsung. Pihak-pihak yang ikut berdiskusi adalah peserta SPC, perwakilan dari warga di tiga RT dan fasilitator. Jadi mereka dibagi kelompok, ada yang bertugas mendata tentang perempuan buta aksara, perempuan yang mengalami KDRT, masalah KB dan sebagainya. Hasil dari pemetan itu kemudian menjadi usulan yang akan diikutkan pada musyawarah rencana pembangunan kelurahan MUSREMBANGKEL yang dilaksanakan pada bulan April. Dari empat usulan 67 itu, hanya satu yang direspon oleh pihak Kelurahan, yaitu tentang program buta aksara untuk perempuan. Tiga usulan lainnya tidak digoal-kan karena menurut pihak kelurahan program-program itu sudah ada di program ibu-ibu PKK. Kegiatan lainnya adalah, demontrasi merespon isu-isu perempuan khususnya pada hari-hari peringatan perempuan masih tetap mereka lakukan misalnya pada hari buruh 1 Mei dan baru-baru ini adalah ikut mendukung disahkannya RUU PRT di senayan. 68 Dengan ikut berdemontrasi, semakin membangun sense mereka bahwa persoalan-persoalan perempuan perlu diperjuangkan secara kolektif. Mereka rela 67 keempat usulan itu dapat dilihat di lampiran 68 Daftar lengkap kegiatan demo dapat dilihat di lampiran. berada di bawah terik matahari dan meninggalkan sejenak pekerjaannya demi memperjuangkan keadilan bagi perempuan. Pendidikan terakhir yang dikhususkan untuk pengurus adalah training selama empat kali pertemuan, satu kali setiap minggunya dengan bahasan untuk pelatihan berbicara di depan umum. Training ini dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas khususnya para pengurus SPC karena mereka diberikan tugas yang lebih dibanding anggota lainnya. Dari pertemuan itu, terlihat bahwa dari ke enam pengurus empat orang diantaranya masih terlihat kurang percaya diri berbicara di depan umum. Tapi, yang patut diapresiasi dari mereka adalah semangat mereka untuk belajar begitu tinggi. Mereka bahkan meminta untuk dikritik. Suasananya juga sangat bersahabat , penuh canda. Sesekali mereka saling ”meledek” jika ada yang salah-salah kata, tapi itu juga diselingi dengan tawa lepas. Di hari terakhir training, mereka dibagi dua kelompok, dibagikan tema dengan kemudian diminta presentasi dengan memposisikan diri seolah-olah ada di depan umum. Dari cara mereka presentasi, terlihat bahwa mereka sudah cukup baik menjelaskan tema-tema yang diberikan kepadanya. Mimik dan gesture yang mereka perlihatkan pun cukup baik. Cuma memang masih terlihat sedikit grogi. Tapi itu adalah hal biasa dihadapi bahkan oleh seorang public figure yang terkenal sekalipun. Model Pemberdayaan yang digunakan Di SPC Dari proses pendidikan yang digambarkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa model pemberdayaan yang digunakan di SPC adalah model pengembangan masyarakat lokal yang dikembangkan oleh Rothman dan Tropman 1987. Beberapa indikator itu dapat dilihat dari pendekatakan-pendekatan yang diterapkan di SPC. Kategori tujuan tindakan terhadap peserta ibu-ibu SPC dilakukan dengan tujuan memandirikan, mengembangkan kapasitas dan mengintegrasikan mereka dalam sebuah komunitas. Orientasinya adalah proses karena betul-betul dimulai dari awal, dari mereka tidak tahu dan tidak sadar sama sekali dengan keadaannya yang selama ini berada dalam posisi yang disudutkan, dinomorduakan, didiskriminasi dan seterusnya, sampai kemudian mereka mulai sadar dan bergerak untuk memperjuangkan hak-haknya. Menyadarkan seseorang tentang suatu keadaan tentu bukanlah hal yang mudah. Butuh proses yang panjang, dan proses inilah yang dilalui oleh ibu-ibu di SPC sejak tahun 2003 hingga sekarang 2010. Pendidikan ini dimulai dengan mendekonstruksi pemahaman peserta SPC sebelumnya tentang kondisi di lingkungan sekitarnya. Sebagaimana Paulo Freire menegaskan bahwa pendidkkan harus juga didasarkan pada sebab-musabab, fakta-fakta ekonomi, sosial politik, ideology, dan sejarah yang menerangkan besar kecil dan tinggi rendahnya halangan atau larangan tubuh sadar kita, dimana kita menemukan diri kita berada. 69 Sebagai konsekuensinya, pendidikan ini terus berlanjut karena prinsipnya adalah proses pendidikan tidak akan pernah berakhir. Berikut pengakuan beberapa anggota SPC : 69 Faulo Freire, Pedagogi Pengharapan . “Tujuan awalnya terus terang nggak tau. Tapi setelah berjalan, baru kelihatan tujuannya supaya perempuan tidak terpinggirkan. Banyak perempuan yang sudah mulai berubah supaya tidak tertindas lagi, dan setara dengan laki-laki. Jadi betul-betul diproses karena kita dari tidak tahu menjadi tahu sekarang.” 70 “…yah..supaya kita bisa memperjuangkan hak-hak perempuan. Kita sama saja dengan laki-laki. Kita juga semakin mandiri sekarang.” 71 “Untuk memajukan kaum perempuan agar tambah wawasannya. Selain itu, silaturahmi juga. Jadi kita nggak berada di bawah banget gitu…, paling tidak taulah…, dengan berkelompok kita bisa saling kerjasama, saling menghargai, dan menghormati. Untuk memulai itu, dibutuhkan langkah-langkah untuk membentuk manusia melalui pendididikan. Salah satunya, dengan metode learning to know. langkah ini akan membantu peserta didik memiliki kemampuan kritis dan sistematis guna memahami realitas diri, sesama, dan dunia. 72 Selain bentuk pendidikan, dibutuhkan juga kerja-kerja kolektif yang diintegrasikan dalam sebuah komunitas untuk memudahkan langkah awal pendidikan tersebut. Asumsi yang melandasi tentang struktur komunitas dan kondisi permasalahan yang dihadapi selama ini adalah bahwa, ibu-ibu peserta SPC berada dalam kesenjangan relasi yang timpang dengan masyarakat di sekitarnya. Karenanya, semua itu harus dipecahkan secara kolektif dengan membentuk sebuah komunitas. Kelebihan dibentuknya sebuah komunitas adalah mereka bisa mendiskusikan secara bersama-sama permasalahan-permasalahan yang hadapi di rumah tangganya, lalu merumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan sebagai solusinya. 70 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 71 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 72 Bambang Sugiharto, dkk, Humanisme dan Humaniora . Pengalaman-pengalaman diperlakukan secara tidak adil itu diceritakan oleh ibu-ibu SPC seperti di bawah ini: “Sebelumnya iya. Saya tidak lulus SD sekolah dasar karena waktu mau ujian tiba-tiba sakit. Saya merasa karena saya tidak lulus SD, saya jadi tidak ada pengalaman. Hanya ikut arisan dan pengajian. Pernah waktu itu, di tempat arisan, kalau kita ngomong tidak didengarkan sama yang lain. Bahkan ada ibu-ibu yang bilangin saya “orang nggak lulus SD aja pengen pintar”. Kata-kata itu saya garis bawahi, saya catat baik-baik. Dalam hati bilang, saya akan buktikan kalau saya juga bisa. Sejak ada SPC, kita semua belajar keras, mengorbankan materi dan pekerjaan. Tapi ada hasilnya. Di sini, kita bisa diskusi, ilmunya kita terapkan di komunitas. Nah, ini sudah merupakan kebanggaan, bahkan sudah lebih dari seorang mahasiswa. Saya sudah bisa bicara di depan umum. Saya sudah percaya diri.” 73 “Sebelumnya, saya nggak berani mengeluarkan pendapat, saya minder. Tapi sekarang udah agak enakan dengan kelompok karena kita bisa berbagi pengalaman. Kalau sendiri nggak enak, enakan kelompok.” 74 “…iya sih, dulu sempat merasa minder dengan masyarakat. Dulu, juga rada malu, tapi sekarang udah nggak.” 75 Dalam proses pendidikan in class, sekolah perempuan Ciliwung menerapkan metode learning to live together. 76 Peserta SPC diajak menceritakan dan mendiskusikan permasalahan-permasalahan yang terjadi di keluarganya, lalu ditanggapi oleh peserta SPC lainnya. Dari hasil sharing itu, terungkaplah bahwa masih ada beberapa masalah yang sama dihadapi oleh peserta SPC lainnya, misalnya, KDRT dan beban ganda. Dengan begitu, sense dari mereka lebih cepat terbangun karena mencoba memposisikan diri sebagai orang yang mengalami kasus yang sama. 73 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 74 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 75 Anerah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 76 Lihat Bambang Sugiharto, dkk, Humanisme dan Humaniora. Strategi perubahan dasarnya adalah tentu saja dengan melibatkan seluruh Anggota SPC dalam menyelesaikan permasalahannya sendiri. Peserta didik memang harus diajarkan untuk mampu menerapkan apa yang diketahui dan dipahami ke dalam praksis untuk menyelesaikan permasalahannya sehari-hari. Dengan begitu, pendidikan juga telah menjadi problem solving. 77 Jadi, pendekatan partisipastif sangat dijunjung dalam proses pendidikan ini. Lihat saja misalnya, dalam penyusunan materi yang perumusannya berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh mereka sendiri. Dengan begitu, terjadi juga proses pemberdayaan bagi peserta didik SPC. Substansi dari pemberdayaan sebagaimana yang dikatakan Hulme dan Turner bahwa pemberdayaan sifatnya individual sekaligus kolektif. Pemberdayaan juga merupakan proses perubahan pribadi karena masing-masing individu mengambil tindakan atas nama diri mereka sendiri. 78 Di dalam proses diskusi, baik in class maupun out class, mereka sendiri yang pada akhirnya memecahkan dan memutuskan langkah apa yang sebaiknya dilakukan dalam menghadapi masalah tertentu. Para peserta SPC memang dilatih untuk membuka diri dan menceritakan semua permasalahan-permasalahan di keluarganya. Dengan begitu, bagi yang punya masalah, akan merasa lebih ringan dan tidak putus asa karena adanya dukungan dari peserta lainnya. Tak jarang, beberapa ibu-ibu mengalami pengalaman yang sama, seperti yang diceritakan oleh mereka di bawah ini: 77 ibid 78 Roesmidi Riza Risyanti, Pemberdayaan Masyarakat . “Iya Mbak, sebenarnya malu ya untuk cerita tentang keluarga kita. Tapi, lama-lama saya cerita juga dan ternyata ibu-ibu yang lain mau mendengar dan ngasih usulan-usulan apa yang harus dilakukan. Saya kan punya masalah di keluarga dan sekarang lagi diurus. Nah, pihak KAPAL Perempuan dan ibu-ibu SPC itu ikut ngebantuin. Jadi senenglah bergabung di sekolah ini.” 79 “…iya biasanya kalau ada peserta SPC yang sedang masalah keluarganya itu diceritakan waktu ngumpul. Terus, ditanggapin sama ibu-ibu lain. Terus, kita diskusikan bagaimana penyelesaiannya”. 80 “Iya semua harus terlibat dalam pelajaran. Misalnya, kalau ada yang ngobrol, maka kita fasilitasi harus cari cara yang lain. Kalau ada masalah biasanya diceritakan di forum, Lalu didiskusikan bersama.” 81 “Semua dapat bagian diskusi. Termasuk masalah pribadi dibicarakan curhat, yang ada di hati dikeluarin jadi lebih plong. Jadi kita kan sama-sama saudara. Ibaratnya bisa saling mendukung. Kalau sakit misalnya, kita kolektif ngejengukin.” 82 Tekhnik yang dilakukan untuk mewujudkan perubahan cara berfikir dan bersikap bagi ibu-ibu adalah dengan memperbanyak diskusi antar anggota SPC yang didampingi fasilitator. Mereka juga membangun jaringan dengan sekolah perempuan yang lain, yakni sekolah perempuan yang ada di Klender yang merupakan binaan KAPAL Perempuan juga. Selain itu, mereka juga membangun jaringan dengan LSM-LSM Perempuan yang lain, seperti Kalyanamitra, AMAN Indonesia, dan Migran Care. Berikut petikan wawancara terkait hal ini: “Kita banyak kerjasama dengan LSM-LSM perempuan. Migran Care misalnya, biasanya mereka ngajak kita ikut demo atau diskusi. Waktu itu 79 Anerah Anggota SPC, Wawancara Pribadi, Senin, 3 Mei 2010 , pukul 14.10-14.30 di Warung jati. 80 Nurjannah, Wawancara Pribadi, Di Warung Jati. 81 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 82 Anerah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. diskusi di kementerian, kalau nggak salah di kementerian transmigrasi. Kita diskusi tentang bagaimana nasib perempuan jika menjadi TKW, apa saja hak- haknya, dan semuanya.” 83 “…iya misalnya AMAN Indonesia. Kita sering diudang diskusi ke kantor AMAN. Kadang-kadang juga gabungan dengan jaringan yang lain. AMAN pernah datang dan sharing tentang sekolah perempuan yang mereka dirikan juga.” 84 “Kalyanamitra pernah sekali menjadi fasilitator di Sekolah Perempuan itu. Saya lihat bagus ya ibu-ibu di sana. Kesadaran kritisnya sudah mulai terbangun khususnya bagi pengurus” 85 KAPAL Perempuan sebagai pihak yang menginiasi SPC ini senantiasa memposisikan diri sebagai fasilitator. Mereka mentransfer apa yang mereka ketahui lalu didiskusikan. Fasilitator juga menciptakan suasana yang nyaman, agar mereka saling menghargai, menghormati, menyanyangi dan merasa satu keluarga. Hal itu sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan semangat kebersamaan, senasib dan sepenanggungan, sebagai sesama perempuan yang berada dalam kungkungan budaya patriarki. Artinya, selain pengetahuan intelektualitas, nilai-nilai etis juga ikut dibangun dalam proses pendidikan itu. Hal itu memang harus dilakukan seperti yang ditegaskan oleh Direktur KAPAL Perempuan di bawah ini: “Pendekatannya yang digunakan adalah partisipatif dan dialogis. Kita sebagai fasilitator juga harus mau melakukan atau memperaktekkan apa-apa 83 ibid. 84 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 85 Listyawati Koordinator Program Kalyanamitra, Wawancara Pribadi, di kantor Kalyanamitra, Kalibata, 2010. yang dilakukan oleh peserta SPC. Kita juga harus siap menceritakan, kejadian-kejadian yang ada di dalam keluarga kita.” 86 Peserta SPC juga mengakui hal itu. Berikut penuturannya: “Kita belajar bersama, jadi sama saja. Orang KAPAL juga bilang “saya belajar dari ibu-ibu dan ibu-ibu juga belajar dari kami. Jadi sama-sama belajar.” 87 “…Iya sih, dia fasilitator KAPAL memposisikan diri sama saja. Kalau ngajar, nggak ngebeda-bedain, terlihat bersahabat dan berkeluarga.” 88 “KAPAL selalu mendukung, mengayomi, merendah. Mereka sama seperti sahabat, keluarga. Mereka membaur sama kita.” 89 Dalam proses pembelajaran, tentu dibutuhkan sebuah media untuk memudahkan langkah-langkah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, media perubahan yang digunakan adalah dengan menggunakan kreatifitas dan membuat “manipulasi” dengan membentuk kelompok-kelompok kecil yang berorientasi pada tugas. Dengan begitu, diantara anggota kelompok itu akhirnya terbangun kerjasama. Setiap anggota SPC percaya bahwa mereka mempunyai kepentingan yang sama, dan mereka mampu menyelesaikan masalahnya itu dengan cara berkelompok atau diselesaikan bersama-sama. Dalam pendidikan in class misalnya, mereka dididik untuk mau jujur dan terbuka dengan pengalaman hidupnya selama ini, sekalipun hal itu adalah sesuatu yang dianggap aib bagi sebagian besar masyarakat. Setiap kasus yang disharing-kan oleh ibu A misalnya, akan ditanggapi oleh ibu-ibu yang lain, lalu 86 Yanti Muctar Direktur KAPAL Perempuan, Wawancara Pribadi, 15 Juni 2010 di kantor KAPAL Perempuan, Kalibata Utara. 87 Musriah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 88 Nurjannah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. 89 Anerah, Wawancara Pribadi, di Warung Jati. kemudian bersama-sama memikirkan solusinya. Dengan begitu, diantara mereka tumbuh perasaan kekeluargaan. Selain media yang sifatnya internal, SPC juga membangun hubungan yang baik dengan masyarakat yang ada di sekitar SPC sendiri. Terlebih dengan tokoh masyarakat, seperti RT dan RW adalah klien dari SPC. Dalam beberapa acara, RTRW ikut berpartisipasi, bahkan bekerjasama dalam mendirikan posko banjir, misalnya. Begitu pun dengan fasilitator dari KAPAL Perempuan serta LSM yang berjejaring di dalamnya, sadar akan kemuliaan dan penghargaan terhadap sesama manusia, sehingga diantara mereka memposisikan diri setara dan tidak ada yang merasa lebih pintar. Namun, karena dalam hal ini, Ibu-ibu SPC adalah kelompok yang sedang disadarkan dari budaya patriarki selama ini, maka tentu saja penekanan utamanya adalah ibu-ibu SPC sendiri yang harus mengidentifikasi dan mencari solusi permasalahannya, serta belajar bersama mengembangkan dan memandirikan diri sendiri. Dengan berbagai metode dan model yang digunakan di SPC ini, dapat dikatakan bahwa, peserta SPC sudah mulai terbangun kesadaran kritisnya terhadap hak-haknya sebagai manusia yang sama dengan laki-laki di hadapan Tuhan. Akses mereka di lingkungan sekitar pun, sudah mulai terbuka lebar. Mereka juga telah mulai berpartisipasi dalam penyusunan kebijakan, misalnya, dalam forum Musrembangkel. Pemberdayaan politiknya mulai terasa. Mereka sudah mampu mempengaruhi kebijakan politik penguasa. Dengan begitu, paling tidak, mereka sudah mulai bisa mengontrol jalannya pemerintahan di tingkat RTRW. Akhirnya, dengan terbentuknya kesadaran kritis bagi peserta SPC, mereka pun mulai mempraksiskan itu ke dalam kehidupan sehari-hari. Mereka sudah mempunyai akses dan berpartisipasi langsung dalam pengambilan keputusan, paling tidak di sekitar tempat tinggal mereka. Mereka pun dapat mengontrol jalannya pemerintahan itu. Tentu saja, harapannya adalah ini menjadi awal terwujudnya kesejahteraan bagi mereka.

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang digunakan di Sekolah Perempuan Ciliwung dapat disimpulkan bahwa : 1. Bentuk-bentuk pendidikan yang diterapkan di SPC yakni : pendidikan in class, pendidikan out class, pendampingan ekonomi, pendampingan dalam pemetaan untuk Musrembangkel, membangun jaringan dengan LSM perempuan, pelibatan dalam pembuatan modul dan training khusus untuk pengurus. bentuk pendidikan alternatif yang diterapkan disini berbasis dari pengalaman perempuan, melalui metode, pendekatan, serta pelajaran yang digunakan berangkat dari kemampuan dan kondisi yang memudahkan perempuan untuk bisa belajar dan terbuka dengan segala permasalahan yang dihadapi di dalam keluarganya, dimana hal itu tidak akan didapatkan di dalam proses pendidikan umum konvensional. 2. Model pemberdayaan yang digunakan di SPC adalah pengembangan mayarakat lokal yang merujuk pada teori Tropman dan Rothman. Dari sebelas variable yang dijadikan acuan oleh mereka, semua diterapkan di SPC. Hal itu dapat dilihat dari metodologi metode dan pendekatan serta strategi yang digunakan dalam proses pendidikan SPC. Hasil akhir dari semua itu adalah anggota SPC dapat dikatakan telah berdaya karena telah mampu menerapkan semua yang didapatkannya di sekolah di keluarganya masing-masing. Sehingga mereka sudah mampu mengakses, berpartisipasi dan mengontrol kehidupannya sendiri dan keluarganya.

B. Saran

Pendidikan alternatif yang diterapkan di sekolah perempuan Ciliwung sebaiknya lebih diintensifkan pada proses belajar di dalam kelas in class karena di sini banyak hal yang bisa dipelajari, yang jarang di dapatkan di luar kelas. Selain itu, intensitas pertemuan diantara anggota SPC diperlukan untuk terus mengasah rasa kebersamaan, kekeluargaan dan tolong-menolong sebagai modal untuk memperjuangkan nasib mereka khususnya, dan perempuan pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Arivia, Gadis. Feminisme sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006. Cyssco, Dhanny R. Kamus English-Indonesia, Indonesia-Inggris. Jakarta: Batavia Press, 2006. Freire, Paulo. Pedagogi Pengharapan Menghayati Kembali Pedagogi Kaum Tertindas. Jogjakarta : Kanisius, 2001. Miarso, Yusufhadi. Artikel Kuliah: Pendidikan Alternatif Sebuah Agenda Reformasi, Jurusan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 1999. Moleong, J. Lexy, M.A, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Muchtar, Yanti Pulu Lyli. Modul Pendidikan Adil Gender untuk perempuan marginal. Jakarta: KAPAL Perempuan, 2006. Muchtar, Yanti Missiyah. Modul Pelatihan untuk menumbuhkan dan meningkatkan sensitifitas keadilan gender. Jakarta: KAPAL Perempuan, 2005. Roesmidi Risyanti, Riza. Pemberdayaan Masyarakat. Bandung:Alqaprint Jatinangor, 2006. Rukminto, Isbandi Adi. Pemberdayaan, Pengembangan Mayarakat dan Intervensi Komunitas, Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 2003. Salam, Burhanuddin. Pengantar Pedagogik Dasar-Dasar Ilmu Mendidik. Jakarta : Rineka Cipta, 1997. Salam, Syamsir Aripin, Jaenal, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Sasmita, Iva. Pendidikan Alternatif Untuk Perempuan:Perlawanan terhadap Mainstream Pendidikan. Jurnal Perempuan, No. 44, 2005. Sugiharto, Bambang. dkk, Humanisme dan Humaniora relevansinya bagi pendidikan, Jogjakarta Bandung: Jalasutra, 2008 . Suharto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama, 2005. Uno, B, Hamzah. Profesi Kependidikan: Problema, Solusi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara, 2008. Usman, Husaini Setiady Purnomo. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2006 . Venny, Adriana. Pendidikan Alternatif: Jawaban atas Masalah Perempauan. Jurnal Perempuan, No.44, 2005. Tesis dan Skrispi: Misiyah. “Tinjauan Feminisme Poskolonial tentang Kesadaran Kritis dan Otonomi Perempuan Indonesia:studi kasus Pendidikan Feminis KAPAL Perempuan untuk Pemimpin Lokal di Manado, Sulawesi Utara.” Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program studi Sosiologi, Universitas Indonesia, 2005. Karisma, Nadya. “Implementasi Program Pemberdayaan Perempuan Melaui Gender Mainstreaming Stusi kasus Workshop Pemberdayaan Mubalight 1 oleh Pusat Studi Wanita PSW UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, UIN Jakarta, 2008. Koran dan Website Koran Republika Online. “6,5 juta Perempuan Indonesia Buta Aksara.” Kamis 25 Februari 2010. Artikel diakses pada 27 April 2010 dari www.republikaonline.com Detiknews.com. diakses pada 26 Februari 2009. Hassan, Ahmad Makki. “Konsep Pendidikan Alternatif. Artikel diakses pada 23 April, 2009 dari http:ahmadmakki.wordpress.com20090610konsep- pendidikan-alternatif http:ejournal.unud.ac.id