melancarkan sistem sirkulasi atau peredaran darah, serta pembentukan darah akibat adanya pendarahan, seperti mimisan. Persentase penggunaan obat yang
mempengaruhi darah pada penelitian ini adalah sebesar 0,5 yang terdiri atas golongan antikoagulan.
5. Obat Analgetik dan Antipiretik
Obat analgetik yang diberikan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik ini berfungsi untuk menghilangkan rasa nyeri atau sakit tanpa
menghilangkan kesadaran pasien, sedangkan obat antipiretik diberikan untuk menurunkan demam pada pasien yang mana merupakan gejala klinis yang sangat
sering dialami oleh pasien demam tifoid. Jenis analgesik yang digunakan ada dua yaitu analgesik opioid dan analgesik non-opioid. Pada hasil penelitian ini jenis
analgesik yang digunakan hanyalah analgesik jenis non-opioid Tjay, 2007. Jenis analgesik opioid tidak digunakan karena dikhawatirkan dapat menimbulkan
ketergantungan bila digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama. Persentase penggunaan obat analgetik pada penelitian ini adalah sebesar 17,4 yang terdiri
atas analgetik golongan non-opioid.
6. Obat Antiradang Anti Inflamasi dan Antialergi
Obat antiradang atau anti inflamasi yang digunakan pada terapi untuk pasien demam tifoid kelompok pediatrik adalah obat-obatan golongan
kortikosteroid, seperti cortidex
®
, colergis
®
bethametasone dan deksklorfeniramin maleat, kalmetason, dan deksametason, serta golongan non-steroid NSAID,
seperti relafen
®
ibuprofen. Penggunaan obat anti inflamasi ini bertujuan untuk mengurangi radang atau inflamasi yang terjadi pada pasien demam tifoid, dan
obat golongan kortikosteroid juga memiliki fungsi sebagai imunosupresan serta antialergi contoh: colergis
®
, yang diindikasikan untuk alergi yang membutuhkan terapi kortikosteroid Tjay, 2007. Persentase penggunaan obat antiradang pada
penelitian ini adalah sebesar 16,8, yang terbagi atas 15,4 anti inflamasi golongan kortikosteroid dan 1,4 anti inflamasi golongan non-steroid.
7. Obat Saluran Pernafasan
Obat untuk saluran pernafasan yang digunakan pada penelitian ini adalah golongan obat antihistamin, antitusif, ekspektoran, nasal dekongestan dan
mukolitik. Obat-obatan untuk saluran pernafasan tersebut digunakan untuk menangani batuk, pilek, dan sesak nafas karena adanya mukus pada saluran
pernafasan. Batuk, pilek dan sesak nafas yang seringkali dialami oleh pasien demam tifoid menyebabkan ketidaknyamanan serta rasa sakit ditenggorokan
diakibatkan karena batuk yang terus menerus. Persentase penggunaan obat untuk saluran pernafasan pada penelitian ini adalah sebesar 13,0, yang terdiri atas
2,4 golongan antihistamin, 0,5 golongan antitusif, 7,2 ekspektoran, 1,9 golongan nasal dekongestan, dan 1,0 golongan mukolitik.
8. Infus
Pemberian infus pada pasien, khususnya pasien rawat inap, bertujuan untuk menjaga kesetimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh pasien. Persentasi
penggunaan infus pada penelitian ini adalah sebesar 15,5 yang terdiri atas infus RL 12,6 dan infus DS 5 2,9.
C. Evaluasi Drug Related Problems DRPs
Proses penatalaksanaan terapi pada pasien di rumah sakit harus dilakukan secara rasional dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian benefit and
risk dari efek yang ditimbulkan dari proses pengobatan yang diberikan. Pada
penelitian ini, identifikasi Drug Related Problems DRPs dilakukan dengan mengevaluasi permasalahan yang timbul berkaitan dengan penggunaan antibiotika
pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Adapun kategori DRPs yang dievaluasi
yaitu butuh tambahan obat, tidak butuh obat, salah pemberian obat, dosis obat yang tidak terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi, dan munculnya efek yang tidak
diinginkan atau efek samping obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi permasalahan terkait
penggunaan antibiotika sebagai terapi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik. Pemberian obat-obatan, khususnya antibiotika, untuk pasien
kelompok pediatrik haruslah benar-benar diperhatikan, sebab organ – organ yang
digunakan untuk melakukan metabolisme obat seperti hati dan ginjal belum sempurna perkembangannya pada anak-anak. Apabila terdapat kesalahan dalam
pemberian antibiotika pada anak-anak, bisa jadi antibiotika tersebut akan menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana
berbahaya bagi keselamatan anak tersebut Roespandi dan Nurhamzah, 2007.