Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

(1)

INTISARI

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Menurut survei pada tahun 2005, kejadian demam tifoid menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anak-anak. Pengobatan demam tifoid dilakukan menggunakan antibiotika, namun pengobatan menggunakan antibiotika yang tidak tepat berpotensi memicu timbulnya resistensi bakteri sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga pasien dapat terhindar dari Drug Related Problems (DRPs). Tujuan penelitian ini sendiri adalah untuk memberikan gambaran DRPs mengenai penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 yang kemudian dibandingkan dengan acuan atau pustaka yang sesuai.

Penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif evaluatif dengan data retrospektif pada tahun 2013. Data penelitian diambil dari catatan rekam medis pasien demam tifoid yang diperoleh di instalasi rekam medik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif evaluatif.

Terdapat 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemukan sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy), 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) dan 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high. Antibiotika yang paling banyak digunakan adalah antibiotika ceftriaxone sebesar 86,1%.

Kata kunci: antibiotika, demam tifoid, Drug Related Problems (DRPs)


(2)

ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease caused by the bacterium Salmonella thypi. According to a survey conducted in 2005, the incidence of typhoid fever were placed in second list out of 10 diseases and mostly affects children. Treatment of typhoid fever conducted using antibiotics, but treatment with antibiotics is also potentially lead to bacterial resistance if not used properly, so that the need for evaluation of therapy that may help patients to obtain optimal medical care and patients can be spared from the Drug Related Problems (DRPs). The purpose of this study itself is to provide an overview of DRPs on antibiotics usage in typhoid fever pediatric patients at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara in 2013 which was then compared with the appropriate reference or literatures.

This study is non-experimental descriptive retrospective evaluative data in 2013. The data were taken from medical records of typhoid fever pediatric patients records obtained in the hospital medical record installation at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara. Data were analyzed descriptively evaluative.

There were 32 patients who met the inclusion criteria and were found some 36 cases of DRPs related to the use of antibiotics, namely 3 cases of unecessary drug therapy, 29 cases of dosage too low and 4 cases of dosage too high. The most widely used antibiotic is ceftriaxone of 86.1%.

Keywords: antibiotics, typhoid fever, Drug Related Problems (DRPs)


(3)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Andrea Nita Karisa

NIM : 118114034

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2015


(4)

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Diajukan oleh: Andrea Nita Karisa

NIM : 118114034

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2015


(5)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Skripsi yang diajukan oleh: Andrea Nita Karisa

NIM: 118114034

Telah disetujui oleh:

Pembimbing Utama

(Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt.) Tanggal: 20 Februari 2015


(6)

Pengesahan Skripsi Berjudul

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs)

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PADA PASIEN DEMAM

TIFOID KELOMPOK PEDIATRIK DI RUMAH SAKIT

EMANUEL PURWAREJA KLAMPOK BANJARNEGARA

PADA TAHUN 2013

Oleh: Andrea Nita Karisa

NIM: 118114034

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma Pada tanggal: 01 April 2015

Mengetahui, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

Dekan

Aris Widayati, M.Si, Apt, Ph.D

Panitia Penguji Skripsi Tandatangan

1. Septimawanto Dwi Prasetyo, S.Farm., M.Si., Apt. ... 2. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK. ... 3. Dita Maria Virginia, S.Farm., M.Sc.,Apt. ...


(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

“Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya”

Matius 21 : 22

“Believe in yourself and all that you are. Know that there is something inside you that is greater than any obstacles”

Christian D. Larson

Karya kecilku ini kupersembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus yang selalu membimbing setiap langkahku dengan kasih-Nya yang sungguh mulia dan besar

Papa dan mamaku tersayang yang selalu mendampingi dan menyayangiku sepenuh hati

Kedua kakakku yang selalu ada untuk mengajariku berbagai hal berharga dalam hidup ini


(8)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul

“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara Pada Tahun 2013”, tidak memuat karya atau bagian karya orang

lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme dalam naskah ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 20 Februari 2015 Penulis

(Andrea Nita Karisa)


(9)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Andrea Nita Karisa

Nomor Mahasiswa : 118114034

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

“Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada

Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 20 Februari 2015 Yang menyatakan,

(Andrea Nita Karisa)


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013” sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana farmasi (S.Farm) program studi Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan semangat, motivasi, dorongan, kritik dan saran sampai terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia dan berkat-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

2. Bapak Dr. Samuel Zacharias selaku direktur utama RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian di RS. Emanuel tersebut.

3. Bapak Herry dan rekan-rekan di Instalasi Rekam Medis RS. Emanuel yang telah banyak membantu proses pengambilan data.

4. Bapak Septimawanto Dwi Prasetyo S.Farm., M.Si., Apt. selaku Dosen Pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan bimbingan, motivasi, kritik dan saran dengan penuh perhatian dan kesabaran dalam proses penyusunan skripsi ini.

5. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji atas saran, kritik, dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

6. Ibu Dita Maria Virginia, S.Farm., M.Sc., Apt selaku dosen penguji atas masukkan, kritik dan saran, serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Ibu Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt., yang telah memberikan saran dan bantuan dalam proses penyusunan skripsi.


(11)

8. Dr. Tiur selaku salah satu dokter anak di RS. Emanuel yang telah membantu penulis dengan memberikan saran dan pengarahan dalam proses penyusunan skripsi ini.

9. Papa dan mamaku tersayang yang selalu ada untuk memberikan dukungan, doa, motivasi dan kesabaran serta pengertian dan bantuan finansial kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

10. Kedua kakakku tersayang Nico dan Ellen yang selalu memberikan dukungan dan semangat untuk penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 11. Teman-teman baikku yang terkasih Brigita Yulise, Vina Alvionita Soesilo,

Merlinda Guntoro, Angeline Syahputri, dan Maria Desita Putri, terima kasih untuk segala bantuan, semangat dan tawa yang kalian berikan selama proses penyusunan skripsi ini.

12. Teman-teman angkatan 2011, terkhusus teman-teman kelas FKK-A atas hari-hari yang menyenangkan selama kuliah.

13. My beloved pets Geisha, Inka, dan Gero yang selalu menjadi mood booster bagi penulis di rumah Banjarnegara.

14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini dapat menjadi lebih baik. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi yang membutuhkan, terutama demi kemajuan pengetahuan dibidang Farmasi.

Yogyakarta, 20 Februari 2015

Penulis


(12)

INTISARI

Demam tifoid adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Menurut survei pada tahun 2005, kejadian demam tifoid menduduki tempat kedua dari 10 penyakit dan sebagian besar menyerang anak-anak. Pengobatan demam tifoid dilakukan menggunakan antibiotika, namun pengobatan menggunakan antibiotika yang tidak tepat berpotensi memicu timbulnya resistensi bakteri sehingga perlu adanya evaluasi terapi yang diharapkan dapat membantu pasien untuk memperoleh pelayanan medis yang optimal sehingga pasien dapat terhindar dari Drug Related Problems (DRPs). Tujuan penelitian ini sendiri adalah untuk memberikan gambaran DRPs mengenai penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 yang kemudian dibandingkan dengan acuan atau pustaka yang sesuai.

Penelitian ini bersifat non eksperimental deskriptif evaluatif dengan data retrospektif pada tahun 2013. Data penelitian diambil dari catatan rekam medis pasien demam tifoid yang diperoleh di instalasi rekam medik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara. Data yang diperoleh selanjutnya akan dianalisis secara deskriptif evaluatif.

Terdapat 32 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan ditemukan sejumlah 36 kasus DRPs, yaitu 3 kasus terapi tanpa indikasi (unecessary drug therapy), 29 kasus dosis terlalu rendah (dosage too low) dan 4 kasus dosis terlalu tinggi (dosage too high. Antibiotika yang paling banyak digunakan adalah antibiotika ceftriaxone sebesar 86,1%.

Kata kunci: antibiotika, demam tifoid, Drug Related Problems (DRPs)


(13)

ABSTRACT

Typhoid fever is an infectious disease caused by the bacterium Salmonella thypi. According to a survey conducted in 2005, the incidence of typhoid fever were placed in second list out of 10 diseases and mostly affects children. Treatment of typhoid fever conducted using antibiotics, but treatment with antibiotics is also potentially lead to bacterial resistance if not used properly, so that the need for evaluation of therapy that may help patients to obtain optimal medical care and patients can be spared from the Drug Related Problems (DRPs). The purpose of this study itself is to provide an overview of DRPs on antibiotics usage in typhoid fever pediatric patients at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara in 2013 which was then compared with the appropriate reference or literatures.

This study is non-experimental descriptive retrospective evaluative data in 2013. The data were taken from medical records of typhoid fever pediatric patients records obtained in the hospital medical record installation at Emanuel Hospital Purwareja Klampok Banjarnegara. Data were analyzed descriptively evaluative.

There were 32 patients who met the inclusion criteria and were found some 36 cases of DRPs related to the use of antibiotics, namely 3 cases of unecessary drug therapy, 29 cases of dosage too low and 4 cases of dosage too high. The most widely used antibiotic is ceftriaxone of 86.1%.

Keywords: antibiotics, typhoid fever, Drug Related Problems (DRPs)


(14)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... vi

PRAKATA... vii

INTISARI... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

1. Perumusan Masalah... 3

2. Manfaat Penelitian... 4

3. Keaslian Penelitian... 4

B. Tujuan Penelitian... 6

1. Tujuan Umum... 6

2. Tujuan Khusus... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA... 7

A. Demam Tifoid... 7

B. Antibiotika... 16

C. Drug Related Problems (DRPs)... 17

D. Keterangan Empiris... 20

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 21


(15)

B. Variabel dan Definisi Operasional... 21

C. Subjek Penelitian... 23

D. Bahan Penelitian... 24

E. Lokasi Penelitian... 24

F. Tata Cara Penelitian... 25

G. Keterbatasan Penelitian... 28

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 30

A. Karakteristik Pasien... 30

1. Distribusi Pasien Berdasarkan Usia... 30

2. Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin... 32

B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika... 33

1. Antibiotika... 34

a. Jenis dan Golongan Antibiotika... 34

b. Indikasi dan Pilihan Terapi Antibiotika... 36

c. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotika... 38

d. Durasi dan Rute Pemberian Antibiotika... 40

2. Obat Saluran Pencernaan... 42

3. Obat Suplemen dan Nutrisi... 42

4. Obat yang Mempengaruhi Darah... 42

5. Obat Analgetik dan Antipiretik... 43

6. Obat Antiradang (Antiinflamasi)... 43

7. Obat Saluran Pernafasan... 44

8. Infus... 44

C. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)... 45

1. Terapi Tanpa Indikasi... 46

2. Dosis Terlalu Rendah... 47

3. Dosis Terlalu Tinggi... 49

D. Rangkuman Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)... 50

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 51

A. Kesimpulan... 51


(16)

DAFTAR PUSTAKA... 56 LAMPIRAN... 59 BIOGRAFI PENULIS... 98


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel I. Terapi yang Direkomendasikan WHO untuk Demam

Tifoid... 15

Tabel II. Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013... 33

Tabel III. Pemakaian Antibiotika Kombinasi... 36

Tabel IV. Pemakaian Antibiotika Tunggal... 36

Tabel V. Durasi Pemakaian Antibiotika... 40

Tabel VI. Jenis DRPs Penggunaan Antibiotika Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS.Emanuel Purwareja Klampok Pada Tahun 2013... 46

Tabel VII. Hasil Evaluasi DRPs Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjar- -negara Pada Tahun 2013... 51


(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Pur- -wareja Klampok Banjarnegara Periode 2013... 24 Gambar 2. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik

Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara tahun 2013... 31 Gambar 3. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik

Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara tahun 2013... 32 Gambar 4. Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai

Terapi Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pedia- -trik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada Tahun 2013... 34 Gambar 5. Persentase Profil Penggunaan Terapi Antibiotika Tunggal

dan Kombinasi pada Pengobatan Demam Tifoid Kelom- -pok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjar- -negara tahun 2013... 35 Gambar 6. Profil Rute Pemberian Antibiotika pada Pasien Demam

Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara tahun 2013... 41


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Nilai Normal Pemeriksaan Data Laboratorium Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Pur-

-wareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun 2013... 60 Lampiran 2. Guideline Dosis Antibiotika untuk Pasien Demam Tifoid

Kelompok Pediatrik………. 61

Lampiran 3. Hasil Wawancara Peneliti Dengan Dokter Di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Mengenai Standar Pengobatan Pasien Demam Tifoid Kelompok

Pediatrik... 62 Lampiran 4. Analisis Drug Related Problems (DRPs) Pasien Demam

Tifoid Kelompok Pediatrik RS. Emanuel Purwareja Klam- -pok Banjarnegara Pada Tahun 2013... 64 Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah

Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara... 97


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropis (Widodo, 2010).

Berdasarkan data WHO di tahun 2003, diperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di Indonesia sendiri ditemukan 900.000 kasus demam tifoid dengan lebih dari 20.000 kasus yang meninggal tiap tahunnya (WHO, 2003).

Kejadian demam tifoid banyak dijumpai di negara-negara berkembang seperti di Indonesia dan kebanyakan menyerang anak-anak. Prevalensi demam tifoid di Indonesia menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 sebesar 1,6% dewasa dan sebesar 4,3% terjadi pada anak-anak. Data survey mortalitas yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2005 di 10 provinsi menyatakan bahwa angka kematian bayi yang diakibatkan demam tifoid berada pada peringkat kesembilan (1,2%) sedangkan angka kematian balita yang disebabkan oleh demam tifoid berdasarkan data terakhir pada tahun 2002 – 2003 yaitu 46/1000 kelahiran hidup (Herawati, 2009).

Penularan penyakit ini adalah melalui saluran cerna dengan tertelannya bakteri Salmonella thypi. Setelah itu, apabila respon imunitas usus (imunoglobulin A) kurang baik, maka bakteri dapat berkembang biak atau berkolonisasi dan


(21)

2

menembus sel-sel epitel, serta menginfeksi folikel limfoid di usus halus (Chen, 2008).

Pilihan terapi pada sebagian besar kasus demam tifoid adalah menggunakan antibiotika. Namun penggunaan antibiotika secara tidak tepat atau tidak rasional dapat menyebabkan terjadinya Drug Related Problems (DRPs) yang mana menurut Cipolle (2004) merupakan peristiwa yang tidak diinginkan karena dapat mengganggu pencapaian tujuan terapi suatu obat kepada pasien.

Hasil penelitian Rufaldi (2011) di Yogyakarta menunjukkan bahwa terdapat ketidakrasionalan dalam penatalaksanaan terapi antibiotika terhadap pasien demam tifoid kelompok pediatrik, yaitu sebesar 16,13% penggunaan antibiotika dikategorikan rasional, 70,98% tidak rasional karena kesalahan dosis, 48,39% tidak rasional karena kesalahan dalam interval/frekuensi pemberian, 25,81% tidak rasional karena durasi pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak rasional karena tersedianya antibiotika lain yang lebih efektif.

Ketepatan pemilihan obat, khususnya antibiotika bagi pasien kelompok pediatrik sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena pada pasien pediatrik organ

– organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya, sehingga, apabila pemberian antibiotika pada anak-anak tidak tepat, bisa jadi antibiotika tersebut akan menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).

Rumah Sakit Emanuel adalah salah satu rumah sakit swasta tipe C dengan nilai BOR (Bed Occupancy Ratio) sebesar 80%, yang terletak di kecamatan


(22)

3

Purwareja Klampok, kabupaten Banjarnegara yang merupakan bagian dari wilayah karisidenan Banyumas, dengan mayoritas penduduknya adalah masyarakat dengan kondisi perekonomian menengah kebawah. Sebagian besar wilayah Banjarnegara merupakan perkampungan penduduk dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk (Wihartoyo, 2012). Sebagai contoh masih terdapat banyak sampah di sungai yang digunakan untuk mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, serta tempat bermain dan berenang anak-anak di kampung setempat. Kondisi sanitasi yang buruk ini merupakan salah satu faktor utama penyebaran bakteri Salmonella thypi penyebab penyakit demam tifoid yang cukup luas di daerah Banjarnegara.

Pada penelitian ini dilakukan evaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. DRPs dibagi menjadi 7 kategori menurut Cipolle (2004), yaitu terapi tanpa indikasi, perlu terapi tambahan, pemilihan obat tidak tepat, dosis terlalu rendah, efek samping obat, dosis terlalu tinggi, dan ketidakpatuhan pasien.

1. Rumusan Masalah

a. Seperti apa karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013?

b. Seperti apa profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013?


(23)

4

c. Seperti apa DRPs terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013?

2. Manfaat Penelitian Manfaat praktis

a. Sumber informasi bagi farmasis dan tenaga kesehatan lain dalam pengambilan keputusan mengenai penatalaksanaan penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik sehingga dapat mencegah terjadinya DRPs. b. Memberi bahan pertimbangan kepada pemerintah selaku pembuat kebijakan

dalam melakukan pengawasan dan pengendalian obat, khususnya obat golongan antibiotika, dalam rangka mencegah terjadinya DRPs.

Manfaat teoritis

a. Sebagai awal bagi penelitian yang lebih lanjut dan studi mengenai evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien penderita demam tifoid kelompok pediatrik ataupun pasien dengan penyakit lain.

3. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berhubungan dengan evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid yang pernah dilakukan sebelumnya, yaitu:

1. Kajian Rasionalitas Penggunaan Antibiotika Pada Kasus Demam Tifoid Yang Dirawat Pada Bangsal Penyakit Dalam Di RSUP. Dr. Kariadi Semarang tahun


(24)

5

2. 2008. Hasilnya adalah dari 137 kasus terapi hanya 11 terapi yang masuk konsep rasional, 126 lainnya dikategorikan tidak rasional (Santoso, 2009). 3. Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada Pengobatan Kasus Demam

Tifoid Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rini Kalasan Sleman Yogyakarta Periode Juli 2007 – Juni 2008. Hasilnya yaitu terapi antibiotika yang paling banyak digunakan adalah Tiamfenikol dengan DTPs 10 kasus dosis terlalu rendah, 28 kasus interaksi obat (Sari, 2009).

4. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Agoesdjam Ketapang Periode Juni 2008 – Juni 2009. Hasil: Antibiotika kloramfenikol terbanyak digunakan (65,2%) dengan DRPs yang diperoleh 4 kasus dosis terlalu rendah, 2 kasus dosis terlalu tinggi dan 2 kasus efek samping obat (Pratiwi, 2010).

5. Evaluasi Penggunaan Antibiotika Pada Pasien Anak Penderita Demam Tifoid di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Ypgyakarta Periode Januari – Desember 2010. Hasil: 16,13% penggunaan antibiotika yang rasional, 70,98% tidak rasional karena kesalahan dosis, 48,39% tidak rasional karena kesalahan dalam interval/frekuensi pemberian, 25,81% tidak rasional karena durasi pemberian terlalu pendek, dan 1,61% tidak rasional karena tersedianya antibiotika lain yang lebih efektif (Rufaldi, 2011).

6. Kajian Penggunaan Obat Demam Tifoid bagi Pasien Anak Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2000 – Desember 2001. Hasil yang diperoleh yaitu jenis kelamin pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna, anak yang berumur > 5 – 12 tahun lebih banyak menderita


(25)

6

7. demam tifoid daripada anak yang berumur < 1 – 5 tahun, jenis antibiotika yang terbanyak digunakan adalah kotrimoxazole (44,32%). Ditemukan 4 kasus efek samping obat dan 9 kasus interaksi obat (Triana, 2003).

Perbedaan penelitian ini dengan yang telah disebutkan diatas adalah terletak pada subjek yang diteliti, tempat penelitian, serta waktu pelaksanaannya. Sedangkan beberapa persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang telah disebutkan diatas adalah terletak pada topik penelitian, yaitu evaluasi DRPs pada pasien di rumah sakit, serta penyakit yang diteliti, yakni demam tifoid.

B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

2. Tujuan Khusus

1. Memberi gambaran karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

2. Memberi gambaran profil penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

3. Mengevaluasi Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emannuel Purwareja

Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Demam Tifoid 1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi yang menyerang saluran pencernaan dan disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang, terutama yang terletak di daerah tropis dan subtropis (Widodo, 2010).

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus yang disebabkan bakteri Salmonella thypi dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak orang dan masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara-negara berkembang (Musnelina, 2004).

2. Epidemiologi

Penyebaran demam tifoid sangat luas, khususnya di negara-negara berkembang dengan kondisi sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Kepulauan Karibia, dan Oceania. Diantara beberapa wilayah tersebut, demam tifoid paling banyak terjadi di negara-negara berkembang ataupun negara-negara terbelakang. Demam tifoid menginfeksi kurang lebih 2,1 juta orang (angka kejadian 3,6/1000 populasi) dan diperkirakan membunuh 200.000 orang setiap tahunnya (Brusch, 2010).


(27)

8

3. Patofisiologi

Salmonella thypii masuk melalui makanan dan minuman yang tercemar. Sebagian bakteri dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Apabila respon immunitas (Imunoglobulin A) usus kurang baik maka bakteri akan menembus sel-sel epitel, selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria bakteri berkembang biak dan ditelan oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Bakteri dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag, kemudian dibawa ke jaringan limfoid Plaques peyeri di illeum terminalis. Melalui duktus torasikus, bakteri yang terdapat di dalam makrofag masuk ke dalam sirkulasi darah. Selanjutnya menyebar ke organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di dalam hati bakteri masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan diekskresikan ke dalam lumen usus melalui cairan empedu, sebagian bakteri ini dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi menembus usus (Brusch, 2010).

4. Manifestasi Klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung selama 10-14 hari. Keluhan dan gejala demam tifoid tidak khas, dan bervariasi dari gejala seperti flu ringan sampai tampilan sakit berat dan fatal yang mengenai banyak sistem organ (Brusch, 2010).

Secara klinis gambaran klinis demam tifoid berupa demam berkepanjangan, gangguan fungsi usus, dan keluhan sistem saraf pusat. Panas atau demam lebih dari 7 hari, biasanya makin hari makin meninggi sehingga pada minggu kedua panas tinggi secara terus menerus. Demam biasanya dialami pada


(28)

9

malam hari. Gejala gangguan gastrointestinal dapat berupa obstipasi, diare, mual, muntah dan kembung (Brusch, 2010).

Pada minggu pertama, terdapat keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut. Pada umumnya timbul gejala seperti demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, tidak nafsu makan, mual, muntah, perut kembung, perasaan tidak nyaman diperut, serta diare dan sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering terjadi. Pemeriksaan fisik hanya ditemukan suhu badan meningkat. Pada minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, denyut jantung relatif lambat, lidah yang khas (kotoran ditengah, tepi dan ujung merah, tremor/bergetar, hati membesar, limpa membesar, dan gangguan psikis) (Ali, 2006).

Pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur-angsur turun, dan bahkan normal kembali di akhir minggu. Hal itu terjadi jika tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Meskipun demikian, justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan perforasi cenderung untuk terjadi akibat lepasnya kerak dari ulkus. Jika denyut nadi sangat meningkat disertai peritonitis lokal maupun umum, maka hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus, sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian pada penderita demam tifoid pada minggu ketiga (Ali, 2006).

Minggu keempat merupakan stadium penyembuhan, meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena


(29)

10

femoralis. Pada mereka yang mendapatkan infeksi ringan dengan demikian juga hanya menghasilkan kekebalan yang lemah, kekambuhan dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang pendek. Kekambuhan dapat lebih ringan dari serangan primer, tetapi dapat menimbulkan gejala lebih berat daripada infeksi primer tersebut. Sepuluh persen dari demam tifoid yang tidak diobati dapat mengakibatkan timbulnya relaps (Brusch, 2010).

5. Diagnosis

Penegakan diagnosis harus dilakukan sedini mungkin agar bisa diberikan terapi yang tepat serta meminimalkan terjadinya komplikasi. Penegakan diagnosis demam tifoid ini masih kurang lengkap apabila belum ditunjang dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium secara konvensional dapat dilakukan melalui identifikasi adanya antigen / antibodi sample (darah) dan melalui kultur mikroorganisme. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinik, imunoserologi, dan mikrobiologi (Brusch, 2010).

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid, antara lain:

a. Hematologi

Kadar hemoglobin dapat menurun atau tetap normal apabila terjadi pendarahan diusus atau perforasi. Jumlah leukosit sering rendah (leukopenia) tetapi dapat juga normal atau tinggi, sedangkan jumlah trombosit sering menurun atau tetap normal (Brusch, 2010).


(30)

11

b. Urinalisis

Adanya protein didalam urin bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam). Jumlah eritrosit dan leukosit normal, apabila terjadi peningkatan, dimungkinkan akibat adanya pendarahan (Brusch, 2010).

c. Kimia Klinik

Enzim hati (SGPT dan SGOT) akan meningkat sebagai gambaran adanya komplikasi pada fungsi hati (mulai dari peradangan hingga hepatitis akut) (Brusch, 2010).

d. Imunoserologi

Pemeriksaan serologi Widal ditujukan untuk mendeteksi adanya antibodi dalam darah terhadap antigen kuman Salmonella thypii / parathypii (reagen). Uji ini merupakan tes kuno yang masih amat populer dan paling sering digunakan terutama di negara dimana penyakit ini endemis seperti di Indonesia. Sebagai uji cepat (rapid test) hasilnya dapat segera diketahui. Hasil positif dinyatakan dengan adanya aglutinasi, karena itulah antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin (Brusch, 2010).

Reaksi Widal adalah suatu reaksi pengendapan antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terdapat pada serum penderita penyakit demam tifoid. Reaksi Widal bertujuan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita demam tifoid (Jurwanto, 2009).

Hasil uji Widal dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat


(31)

12

disebabkan oleh faktor-faktor seperti pernah mendapatkan vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaciae sp.), reaksi amnestik (pernah sakit), dan adanya faktor rheumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan oleh karena beberapa faktor, antara lain penderita sudah mendapatkan terapi antibiotika, waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum pasien yang buruk, dan adanya penyakit imunologik lain (Sherwal et al, 2004).

Selain menggunakan Uji Widal, dapat dilakukan pula pemeriksaan anti Salmonella typhi Imunoglobulin M (IgM) dengan reagen TubexRTF sebagai solusi pemeriksaan yang cukup sensitif, spesifik, praktis untuk mendeteksi penyebab demam akibat infeksi bakteri Salmonella typhi Pemeriksaan anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF ini dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit (Judarwanto, 2012).

Tubex, mendeteksi kemampuan antibodi anti-Salmonella O9 dari serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara indikator antibodi-partikel dan magnetik antigen-partikel. Tes ini juga spesifik untuk mendeteksi antigen Salmonella O9 (lipopolisakarida grup D) dalam larutan dan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi organisme Salmonella grup D secara langsung dari koloni agar atau kultur darah. Hal tersebut membuat Tubex menjadi tes yang unik. Kemampuannya mendeteksi antibodi dan antigen secara


(32)

13

teoritis penting untuk diagnosis serologis penyakit infeksi akut, karena antigen yang diharapkan muncul pada infeksi pertama (Judarwanto, 2012).

e. Mikrobiologi

Uji kultur merupakan standar baku untuk pemeriksaan demam tifoid. Apabila hasil biakan positif maka diagnosis pasti untuk demam tifoid. Apabila hasilnya negatif, maka belum tentu bukan demam tifoid, karena hasil negatif palsu dapat terjadi dan disebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah darah sample yang terlalu sedikit, adanya kesalahan pada saat tahap preparasi, sudah mendapat terapi antibiotika, atau sudah mendapat vaksinasi demam tifoid sebelumnya (WHO, 2003).

6. Penatalaksanaan

Tata laksana pengobatan demam tifoid antara lain adalah dengan penggunaan antibiotika. Antibiotika yang biasa diberikan antara lain adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin generasi ketiga seperti Cefixime, Cefotaxime, dan Ceftriaxone (Shah et al., 2006).

Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan utama dalam pengobatan demam tifoid. Kloramfenikol biasanya diberikan secara oral kepada pasien, namun tidak menutup kemungkinan juga apabila kloramfenikol diberikan melalui saluran intravena dengan tujuan untuk mempercepat kerja obat apabila pasien sudah benar-benar membutuhkan pertolongan. Kloramfenikol mempunyai ketersediaan biologik sebesar 80% pada pemberian intravena. Waktu paruh plasmanya 3 jam pada bayi baru lahir dan bila terjadi sirosis hepatik diperpanjang sampai dengan 6 jam. Pada anak berusia 6-12 tahun diberikan dosis sebesar 40-50


(33)

14

mg/kgBB/hari, sedangkan pada anak berumur 1-3 tahun membutuhkan dosis sebesar 50-100 mg/kgBB/hari. Bila diberikan secara intravena, kloramfenikol dapat diberikan sebesar 50-80 mg/kgBB/hari pada anak berusia 7-12 tahun, dan 50-100 mg/kgBB/hari pada anak berusia 2-6 tahun (Lacy et al., 2006).

Ampisilin dan amoksisilin memiliki kemampuan menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Obat ini mempunyai ketersediaan biologik sebesar 60% dan waktu paruh plasma 1,5 jam (pada bayi baru lahir: 3,5 jam). Dosis yang dianjurkan diberikan pada anak adalah 100-200 mg/kgBB/hari (Lacy et al., 2006).

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO,menyebutkan antibiotika lain yang dapat digunakan untuk pengobatan demam tifoid selain kloramfenikol dan amoksisilin adalah antibiotika golongan fluorokuinolon dan sefalosporin generasi ketiga. Antibiotika golongan fluorokuinolon yang dapat digunakan dalam pengobatan demam tifoid contohnya yaitu ofloxacin dan ciprofloxacin dengan dosis dan frekuensi pemberian 15 mg/kgBB per 12 jam. Antibiotika golongan fluorokuinolon diketahui memiliki kekuatan penetrasi dinding sel bakteri lebih besar dibandingkan dengan antibiotika pendahulunya seperti kloramfenikol, ampicillin dan amoxicillin. Namun pada prakteknya, penggunaan antibiotika golongan kuinolon tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menyebabkan toksisitas pada tulang yang berakibat terhambatnya pertumbuhan anak (Shah et al., 2006). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Baker et al., (2009) juga menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika golongan kuinolon pada anak usia < 18 tahun dapat meningkatkan terjadinya ruptur tendon.


(34)

15

Antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga yang dapat menjadi pilihan untuk pengobatan demam tifoid antara lain cefixime, cefotaxime, dan ceftriaxone. Cefixime bisa dijadikan sebagai pilihan pertama pengobatan demam tifoid. Cefixime memiliki ketersediaan biologik sebesar 40-50%, waktu paruh eleminasi 3-4 jam, serta membutuhkan waktu sekitar 2-6 jam untuk mencapai konsentrasi maksimum. Dosis yang biasa digunakan pada anak-anak adalah 15-20 mg/kgBB/hari selama 10-14 hari (Lacy et al., 2006).

Cefotaxime dan ceftriaxone merupakan alternatif antibiotika yang dapat digunakan untuk pengobatan demam tifoid yang disertai dengan beberapa komplikasi penyakit penyerta lain. Cefotaxime dan ceftriaxone digunakan sebagai pilihan pertama apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotika golongan kuinolon. Dosis Cefotaxime untuk anak berumur lebih dari 12 tahun adalah 1-2 gram setiap 4-12 jam dan untuk anak berumur kurang dari 12 tahun dengan berat badan kurang dari 50 kg adalah 50-200 mg/kgBB/hari. Dosis ceftriaxone untuk anak-anak adalah 50-100 mg/kgBB/hari dengan interval 1-2 kali perharinya dengan dosis maksimum perhari 4 gram (Lacy et al., 2006). (WHO, 2003).

Tabel I. Terapi yang direkomendasikan WHO untuk demam tifoid


(35)

16

Selain dengan terapi antibiotik, terapi lain juga perlu dilakukan pada pengobatan demam tifoid, antara lain seperti pemberian oral atau intravena cairan tubuh, pemberian antipiretik, serta asupan nutrisi yang cukup kedalam tubuh (WHO, 2003).

B. Antibiotika 1. Definisi

Antibiotika adalah suatu zat senyawa obat alami maupun sintesis yang digunakan untuk membunuh kuman penyakit dalam tubuh manusia dengan berbagai mekanisme sehingga manusia terbebas dari infeksi bakteri (Katzung, 2008).

Istilah “antibiotika” pada awalnya dikenal sebagai senyawa alami yang dihasilkan oleh jamur atau mikroorganisme lain yang digunakan untuk membunuh

bakteri penyebab penyakit pada manusia atau hewan. Secara teknis istilah “agen anti bakteri” mengacu kepada kedua senyawa alami dan buatan tersebut baik sintesis maupun semi-sintesis. Antibiotika yang akan digunakan untuk membasmi mikroba penyebab infeksi pada manusia harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin terhadap mikroorganisme (Katzung, 2008).

2. Penggolongan

a. Berdasarkan toksisitas selektif

Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bakterisidal. Agen bakteriostatik menghambat pertumbuhan bakteri, sedangkan agen bakterisida membunuh bakteri. Contoh antibiotika yang bersifat bakteriostatik yaitu Kloramfenikol, teterasiklin, eritromisin, trimetropim,


(36)

17

dll. Sedangkan contoh untuk antibiotika yang bersifat bakterisida yaitu penisilin, sefalosporin, aminoglikosida, vankomisin, polimiksin, dll (Katzung, 2008).

b. Berdasarkan mekanisme kerja

Berdasarkan mekanisme kerjanya terhadap bakteri, antibiotika dikelompokkan sebagai berikut:

1. Inhibitor sintesis dinding sel bakteri 2. Inhibitor sintesis protein bakteri 3. Menghambat sintesa folat

4. Mengubah permeabilitas membran sel 5. Mengganggu sintesis DNA

6. Mengganggu sintesa RNA (Katzung, 2008). c. Berdasarkan aktivitas antibiotika

Berdasarkan aktivitasnya, antibiotika dikelompokkan menjadi 1. Antibiotika spektrum luas (broad spectrum)

2. Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) (Ganiswara, 1995). C. Drug Related Problems (DRPs)

Drug related problems (DRPs) atau sering diistilahkan dengan drug therapy problems (DTPs) adalah kejadian atau efek yang tidak diharapkan yang dialami pasien dalam proses terapi dengan obat (Cipolle, 2004).

Drug related problem (DRPs) dibagi menjadi 4 kategori besar, yaitu: 1. Aspek indikasi yang terdiri dari perlu terapi tambahan dan pemberian obat

yang tidak diperlukan.


(37)

18

2. Aspek efektifitas yang terdiri dari salah pemberian obat dan dosis terlalu rendah.

3. Aspek kemanan yang terdiri dari efek samping dan dosis terlalu tinggi. 4. Aspek kepatuhan (Cipolle, 2004).

Adapun penyebab untuk masing-masing kategori DRPs, antara lain: a. Terapi tanpa indikasi (unnecessary drug therapy)

Disebabkan oleh terapi yang diperoleh sudah tidak sesuai, menggunakan terapi polifarmasi yang seharusnya bisa menggunakan terapi tunggal, kondisi yang seharusnya mendapat terapi non farmakologi, terapi efek samping yang dapat diganti dengan obat lain, dan penyalahgunaan obat.

b. Memerlukan terapi tambahan (needs additional drug therapy)

Disebabkan oleh munculnya kondisi kronik yang membutuhkan terapi, memerlukan terapi untuk mengurangi resiko munculnya kondisi medis baru, memerlukan terapi kombinasi untuk memperoleh efek obat kuat atau efek tambahan.

c. Pemilihan obat yang tidak tepat (wrong drug)

Dapat disebabkan oleh obat yang efektif tetapi harganya relatif mahal atau bukan obat yang paling aman untuk digunakan, kombinasi obat yang tidak tepat sehingga efek yang dihasilkan tidak maksimal.

d. Dosis terlalu rendah (dosage too low)

Umumnya disebabkan oleh penggunaan obat dengan dosis yang terlalu rendah untuk dapat menimbulkan efek terapi yang diinginkan


(38)

19

(respon), jarak pemberian obat dalam frekuensi yang panjang atau jarang untuk dapat memberikan efek terapi, adanya interaksi obat yang dapat mengurangi jumlah obat yang tersedia dalam bentuk aktif, durasi terapi pengobatan terlalu pendek untuk dapat menghasilkan efek terapi.

e. Efek obat yang merugikan (adverse drug reaction)

Dapat disebabkan karena obat menimbulkan efek yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis, interaksi obat yang memunculkan efek atau reaksi yang tidak diinginkan tetapi tidak ada hubungannya dengan menejemen dosis, aturan dosis yang telah diberikan atau diubah terlalu cepat, obat yang dapat menimbulkan alergi, dan obat yang mempunyai kontraindikasi dengan keadaan pasien.

f. Dosis terlalu tinggi (dosage too high)

Dapat disebabkan karena dosis yang diberikan terlalu tinggi sehingga memunculkan efek yang berlebihan, frekuensi pemberian obat terlalu pendek sehingga terjadi akumulasi, durasi terapi pengobatan terlalu panjang, interaksi obat dapat menghasilkan efek toksik, obat diberikan atau dinaikkan dosisnya terlalu cepat.

g. Ketidakpatuhan pasien (noncompliance)

Dapat disebabkan karena pasien tidak memahami aturan pemakaian, pasien lebih memilih atau suka untuk tidak menggunakan obat-obatan, pasien lupa untuk mengkonsumsi obatnya, harga obat terlalu mahal


(39)

20

bagi pasien, pasien tidak mampu menelan obat atau menggunakan obat itu sendiri secara tepat. Karena itulah diperlukannya peran seorang farmasis dalam mencegah terjadinya ketidakrasionalan penggunaan obat oleh pasien (Cipolle, 2004).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi adanya Drug Related Problems (DRPs) terkait penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan menggunakan data retrospektif.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental karena karena tidak adanya perlakuan terhadap subjek uji. Rancangan penelitian deskriptif evaluatif karena tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran dan evaluasi mengenai Drug Related Problems (DRPs) penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

Penelitian ini menggunakan data retrospektif karena data yang diambil menggunakan penelusuran terhadap dokumen yang terdahulu, yaitu berupa kartu rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Profil karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Klampok Banjarnegara yang meliputi usia, jenis kelamin, catatan keperawatan, hasil laboratorium, dan diagnosa.


(41)

22

2. Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang terbagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi pemberian antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika.

3. Pasien adalah seseorang atau sekelompok anak (pediatrik) yang terbagi menjadi 3 bagian berdasarkan usia menurut Izenberg (2000), meliputi

kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (> 1 – 5 tahun), dan kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun), baik laki-laki maupun perempuan yang didiagnosis positif menderita demam tifoid dan menerima terapi antibiotika di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. 4. Subjek penelitian yang akan digunakan pada penelitian ini adalah semua pasien

pediatrik, baik pria maupun wanita yang didiagnosis positif menderita demam tifoid dan menerima terapi antibiotika di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013.

5. Drug Related Problems (DRPs) yang akan dievaluasi pada penelitian ini dibagi menjadi 6 kelompok, yaitu butuh tambahan obat (need additional drug therapy), tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), salah pemberian obat (wrong drug), dosis obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low), efek samping obat (adverse drug reaction), dosis obat yang berlebih (dose too high).

6. Wawancara dengan dokter anak (penulis resep) dalam penelitian dilakukan setelah lembar data rekam medik pasien dianalisis. Hasil analisis tersebut digunakan untuk menyusun panduan pertanyaan yang digunakan untuk


(42)

23

wawancara dengan dokter anak tersebut. Hasil wawancara digunakan untuk melengkapi pembahasan terhadap hasil analisis sekaligus menjadi salah satu guideline atau acuan untuk evaluasi pengobatan pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah semua pasien pediatrik yang berumur 0-12 tahun, baik laki-laki maupun perempuan, yang positif terdiagnosa positif demam tifoid (didukung dengan catatan rekam medik dan hasil pemeriksaan laboratorium yang lengkap dan dapat dikonfirmasi) dan mendapatkan terapi pengobatan menggunakan antibiotika, serta menyelesaikan pengobatan di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara sampai dinyatakan sembuh (diizinkan pulang) oleh dokter. Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu pasien pediatrik dengan catatan rekam medik yang tidak lengkap atau tidak bisa dikonfirmasi, pasien pediatrik yang terdiagnosa demam tifoid dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang tidak lengkap atau tidak dapat dikonfirmasi sebagai penunjang utama penegakan diagnosa dokter terhadap demam tifoid, pasien pediatrik yang tidak mendapatkan terapi pengobatan menggunakan antibiotika, serta pasien pediatrik yang terdiagnosa demam tifoid dengan beberapa penyakit penyerta.

Penelitian yang dilakukan juga melibatkan dokter anak RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara (penulis resep) sebagai subjek penelitian yang dilakukan melalui wawancara. Wawancara tersebut dilakukan untuk melengkapi pembahasan terhadap hasil analisis data penelitian, sekaligus menjadi salah satu


(43)

24

acuan untuk evaluasi pengobatan pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.

218 populasi demam 42 pasien dengan Tifoid penyakit penyerta

118 pasien pediatrik Eksklusi 86 36 pasien dengan demam tifoid pasien catatan RM dan hasil laboratorium tidak lengkap

Inklusi 32 pasien 8 pasien suspect (terduga) demam tifoid

Gambar 1. Skema Pemilihan Subjek Penelitian di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Periode 2013

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang ada di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013. Rekam medik adalah riwayat pengobatan dan perawatan pasien yang dapat digunakan sebagai bahan penelitian yaitu yang memuat data karakteristik pasien meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa masuk, terapi yang diberikan, catatan keperawatan, dan hasil pemeriksaan laboratorium.

E. Lokasi Penelitian

Pengambilan data dilakukan di Instalasi Rekam Medik Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara yang beralamat di Jl. Ahmad Yani,


(44)

25

tepatnya di instalasi rekam medik Rumah Sakit Emannuel Purwareja Klampok Banjarnegara.

F. Tata Cara Penelitian 1. Pengurusan Izin Penelitian

Penelitian diawali dengan mengurus izin penelitian yang diperoleh dari Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara sebagai lokasi untuk pengambilan data.

2. Analisis Situasi

Analisis situasi dengan cara mencari data kartu rekam medik pasien demam tifoid kelompok pediatrik pada tahun 2013 yang diperoleh melalui komputer di Instalasi Rekam Medik RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara.

3. Pengambilan data

Penulusuran data lembar rekam medik di Instalasi Rekam Medik mengenai jumlah pasien kelompok pediatrik yang terdiagnosa positif menderita demam tifoid, usia pasien, jenis kelamin pasien, berat badan pasien, data laboratorium, jenis dan golongan antibiotik yang diberikan pada pasien, dosis dan frekuensi pemberian antibiotik.

Pencarian pasien demam tifoid kelompok pediatrik dilakukan sesuai dengan definisi operasional yang telah ditetapkan sebelumnya menggunakan nomor rekam medik yang didapat. Pengumpulan data dari rekam medik tersebut dilakukan dengan tanpa mengganggu aktivitas petugas kesehatan di rumah sakit tersebut.


(45)

26

4. Pengolahan data dan analisis hasil

Data diolah secara deskriptif dengan memberikan gambaran karakteristik pasien demam tifoid kelompok pediatrik sebagai subjek penelitian, profil penggunaan obat pasien, serta profil penggunaan antiobiotika pasien. Pengolahan data secara evaluatif dilakukan dengan mengevaluasi DRPs penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik.

Pengolahan data secara deskriptif dan evaluatif dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

a. Karakteristik pasien

Analisis deskriptif mengenai karakteristik pasien dilakukan dengan mengelompokkan pasien demam tifoid kelompok pediatrik berdasarkan distribusi umur dan jenis kelamin yang kemudian dinyatakan dalam bentuk persentasi.

b. Profil penggunaan antibiotika pasien

Profil penggunaan antibiotika oleh pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang akan dianalisis terbagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi pemberian antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika.

c. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

a) Butuh tambahan obat (need additional drug therapy) b) Tidak butuh obat (unnecessary drug therapy)

c) Salah pemberian obat (wrong drug)

d) Dosis obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low)


(46)

27

e) Efek samping obat (adverse drug reaction) f) Dosis obat yang berlebih (dose too high)

Hasil evaluasi Drug Related Probelms (DRPs) kemudian akan dianalisis dengan metode subjektif, objektif, assesment, dan plan (SOAP). Subjektif meliputi umur, jenis kelamin, lama dirawat, diagnosa, keluhan, perjalanan penyakit, dan status keluar pasien. Objektif yaitu meliputi hasil laboratorium, tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, dan respiratori), kondisi kesadaran pasien, dan penatalaksanaan obat yang diterima oleh pasien. Assesment merupakan penilaian yang dilakukan terkait evaluasi penggunaan antibiotika. Sedangkan plan atau rekomendasi merupakan saran yang diberikan untuk mengatasi DRPs yang muncul dalam penggunaan antibiotika berdasarkan acuan yang ada. Acuan yang digunakan untuk evaluasi yang terjadi dalam pengobatan pasien demam tifoid kelompok pediatrik adalah Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara, Drug Information Handbook (Lacy et al., 2006), Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit (Roespandi dan Nurhamzah, 2007), dan Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever (WHO, 2003).

5. Penyajian Hasil Analisis

Hasil atau data yang muncul akan disajikan dalam bentuk tabel dan dilakukan pula analisis DRPs yang muncul berdasarkan acuan yang digunakan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara evaluatif dengan cara mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penggunaan antibiotika dan dibahas dalam bentuk uraian dan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan atau diagram.


(47)

28

G. Keterbatasan Penelitian

Penelitian dengan data retrospektif memiliki kelemahan bila dibandingkan dengan data prospektif. Pada penelitian dengan data retrospektif tidak memungkinkan mengamati lebih lanjut perkembangan kondisi pasien yang sesungguhnya berkaitan dengan analisis DRPs. Sebagai contoh, kepatuhan pasien terhadap regimen terapi. Oleh karena itu, pada penelitian ini hanya dapat dilakukan menggunakan 6 aspek DRPs, sedangkan aspek ketidakpatuhan pasien (noncompliance) tidak dapat dilakukan. Selain itu, kelemahan dari penggunaan data retrospektif yang lainnya yaitu acuan yang digunakan untuk mengevaluasi DRPs yang terjadi pada penelitian tidak dapat menggunakan acuan yang terbaru.

Keterbatasan lain yang terdapat pada penelitian ini adalah waktu. Pihak Rumah Sakit Emanuel menyediakan waktu yang sangat terbatas untuk melakukan wawancara dokter anak sebagai penulis resep, dimana hal tersebut menyebabkan hasil wawancara dengan dokter anak yang digunakan bersifat menyeluruh, tidak dapat digunakan untuk mengevaluasi satu per satu kasus yang diperoleh, serta penelitian ini hanya mengevaluasi mengenai penggunaan antibiotika tanpa melihat dan mengevaluasi secara lengkap keseluruhan pengobatan lain yang diberikan pada pasien sehingga DRPs terkait perlu terapi tambahan (need additional drug therapy) tidak teridentifikasi pada penelitian ini. Selain itu, dari dua dokter anak sebagai penulis resep di Rumah Sakit Emanuel, hanya satu dokter anak yang bersedia dan dapat diwawancarai oleh penulis. Hal ini menyebabkan acuan sebagai Standar Pelayanan Medis RS. Emanuel yang digunakan untuk


(48)

29

mengevaluasi DRPs terkait penggunaan antibiotika pasien demam tifoid kelompok pediatrik kurang lengkap.


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian mengenai “Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)

Penggunaan Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di

Rumah Sakit Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Tahun 2013” dilakukan

dengan menelusuri lembar data rekam medik pasien pediatrik yang positif terdiagnosa demam tifoid. Berdasarkan data hasil penelusuran dari bagian instalasi rekam medik RS Emanuel, diperoleh 32 kasus sebagai bahan penelitian yang mempunyai data rekam medik lengkap, yaitu mencantumkan usia, jenis kelamin, berat badan, diagnosa utama, lama perawatan, catatan keperawatan, data pemeriksaan laboratorium, dan terapi yang diberikan.

A. Karakteristik Pasien 1. Distribusi pasien berdasarkan usia

Pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diteliti adalah pasien yang berusia 0 – 12 tahun. Izenberg (2000) membagi kelompok pediatrik menjadi 3 bagian berdasarkan usia, yaitu kelompok neonatus (≤ 1 tahun), kelompok balita (> 1 – 5 tahun), dan kelompok usia anak-anak (> 5 – 12 tahun). Dari hasil penelitian didapatkan kasus demam tifoid di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara pada tahun 2013 paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak yaitu pada rentang > 5 – 12 tahun sebesar 59,4 % dan kelompok usia balita yaitu pada rentang > 1 – 5 tahun sebesar 40,6%. Hasil penelitian ini mendukung hasil


(50)

31

penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Ochiai et al. (2008) mendapatkan hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun memiliki risiko terserang demam tifoid lebih besar, yaitu dari total kasus sebanyak 131 kasus demam tifoid pada kelompok pediatrik sebesar 58 kasus (44,27%) terjadi pada rentang usia 6 – 12 tahun dan sisanya terjadi pada kelompok balita dan neonatus. Penelitian oleh Rufaldi (2011) juga diperoleh hasil bahwa anak pada rentang usia 6 – 12 tahun paling banyak terserang demam tifoid, yaitu sebesar 42,9% dengan sisanya terjadi pada kelompok balita dan neonatus. Hal ini disebabkan karena pada saat usia tersebut (> 5 – 12 tahun) anak-anak sangat menyukai membeli makanan sembarangan dilingkungan sekitar yang higienitasnya tidak dapat dijamin. Lingkungan, dalam hal ini salah satu contohnya adalah faktor higienitas, merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengurangi atau menambah luas penyebaran demam tifoid (Musnelina et al., 2004).

Gambar 2. Persentase Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Distribusi Usia di RS Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara tahun 2013 59,4% 40,6%

Distribusi Pasien Berdasarkan Usia

> 5 - 12 tahun

> 1 - 5 tahun


(51)

32

2. Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin

Jumlah pasien demam tifoid kelompok pediatrik yang diperoleh sebagai subjek penelitian sesuai dengan kriteria inklusi adalah sebanyak 32 pasien. Dari total pasien tersebut, 16 adalah pasien laki-laki dan 16 sisanya adalah pasien perempuan. Penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh Musnelina et al. (2004) dan Rufaldi (2011) diperoleh hasil yang berbeda dimana jumlah pasien demam tifoid kelompok pediatrik jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Menurut Musnelina et al. (2004), anak laki-laki lebih banyak menderita demam tifoid dibandingkan dengan anak perempuan dikarenakan karena anak laki-laki umumnya memiliki aktifitas diluar rumah yang lebih banyak daripada anak perempuan. Hal ini memungkinkan anak laki-laki untuk memiliki risiko lebih besar untuk terserang demam tifoid dibandingkan anak perempuan.

Gambar 3. Persentas Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Berdasarkan Jenis Kelamin di RS Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara tahun 2013

50% 50%

Distribusi Pasien Berdasarkan Jenis

Kelamin

Laki-laki

Perempuan


(52)

33

B. Profil Penggunaan Obat dan Profil Penggunaan Antibiotika Profil penggunaan obat pada pasien demam tifoid pada kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara merupakan gambaran pengobatan yang diberikan, meliputi kelas terapi obat dan golongan obat yang akan disajikan dalam bentuk tabel disertai beberapa penjelasan singkat. Gambaran secara umum distribusi penggunaan obat pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 menurut kelas terapinya ditunjukkan pada tabel II.

Tabel II. Persentase Golongan Obat yang Digunakan Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara

tahun 2013

No Kelas Terapi Obat Golongan Obat Jumlah Kasus (n=207)

Persentase (%)

1 Antibiotika Sefalosporin 36 17,4

2 Obat Saluran

Pencernaan Antitukak Laksatif Antidiare Antiemetik Antispasmodik 1 3 1 8 1 0,5 1,4 0,5 3,9 0,5 3 Suplemen dan Nutrisi Vitamin

Nutrisi

13 13

6,3 6,3

4 Obat yang

Mempengaruhi Darah Antikoagulan 1 0,5

5 Analgetik dan

Antipiretik Non-Opioid 36 17,4

6 Anti-inflamasi dan antialergi Kortikosteroid Non-steroid 32 3 15,4 1,4

7 Obat Saluran

Pernafasan Antihistamin Antitusif Ekspektoran Nasal Dekongestan Mukolitik 5 1 15 4 2 2,4 0,5 7,2 1,9 1,0

8 Infus RL 26 12,6


(53)

34

1. Antibiotika

Persentase penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013 adalah sebesar 17,4%. Evaluasi penggunaan antibiotika dibagi menjadi jenis dan golongan antibiotika, indikasi dan pilihan terapi antibiotika, dosis dan frekuensi antibiotika, serta durasi dan rute pemberian antibiotika.

a. Jenis dan Golongan Antibiotika

Hasil penelitian berkaitan dengan jumlah serta persentasi jenis dan golongan antibiotika dalam penatalaksanaan demam tifoid pada kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara bertujuan untuk mengetahui jenis dan golongan antibiotika apa saja yang diresepkan dokter kepada pasien demam tifoid kelompok pediatrik dirumah sakit tersebut.

Gambar 4. Persentase Jenis Antibiotika yang Digunakan Sebagai Terapi Pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja

Klampok Banjarnegara pada Tahun 2013

Berdasarkan data dari rekam medik, antibiotika yang digunakan dari total 32 pasien demam tifoid kelompok pediatrik di RS Emanuel Purwareja Klampok

86,1% 11,1% 2,8% 0

Jenis Antibiotika yang Digunakan pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel

Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013

Ceftriaxone Cefixime Cefotaxime


(54)

35

Ceftriaxone, Cefotaxime dan Cefixime, yang mana ketiganya sama-sama berasal dari golongan sefalosporin generasi ketiga.

Jenis antibiotika yang paling tinggi penggunaannya adalah jenis antibiotika Ceftriaxone, yaitu sebesar 86,1% kemudian disusul dengan cefixime sebesar 11,1% dan cefotaxime sebesar 2,8%. Dari kasus-kasus yang diteliti tersebut, juga dijumpai beberapa kasus dengan penggunaan lebih dari satu jenis antibiotika yang mana dimaksudkan sebagai terapi kombinasi (ceftriaxone dengan cefixime) maupun sebagai antibiotika pengganti (cefotaxime diganti dengan cefixime).

Gambar 5. Persentase Profil Penggunaan Terapi Antibiotika Tunggal dan Kombinasi pada Pengobatan Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS.

Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara tahun 2013

Terapi kombinasi digunakan pada kasus-kasus khusus dan beberapa tujuan tertentu, seperti untuk mencegah resistensi bakteri terhadap antibiotika yang sifatnya mendadak, mendapatkan manfaat dari dua atau lebih antibiotika yang mekanisme kerjanya saling bersinergi, menangani kemungkinan adanya infeksi

87,5% 12,5% 0 0

Penggunaan Terapi Antibiotika pada Pasien Demam Tifoid Kelompok Pediatrik di RS. Emanuel Purwareja Klampok

Banjarnegara tahun 2013

Terapi Tunggal Terapi Kombinasi


(55)

36

yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri, memperluas spektrum aktivitas kerjanya dalam membunuh bakteri, dan digunakan untuk menangani suatu kasus infeksi yang berat (Murray et al., 2009). Dari hasil penelitian diperoleh terapi antibiotika tunggal sebesar 28 kasus (87,5%) dan terapi antibiotika kombinasi sebesar 4 kasus (12,5%).

Tabel III. Pemakaian Antibiotika Kombinasi No

Antibiotika Jumlah Kasus

1 Ceftriaxone + Cefixime

(Kombinasi) 3

2 Cefixime + Cefotaxime

(Ganti Obat) 1

Tabel IV. Pemakaian Antibiotika Tunggal No

Antibiotika Jumlah Kasus

1 Ceftriaxone 28

b. Indikasi dan Pilihan Terapi Antibiotika

Terapi antibiotika diindikasikan untuk menghambat serta membunuh mikroorganisme atau bakteri penyebab infeksi pada pasien. Tatalaksana pengobatan demam tifoid menggunakan antibiotika pada penelitian ini sudah tepat karena diindikasikan untuk membunuh Salmonella typhii yang merupakan bakteri


(56)

37

adalah kloramfenikol, amoksisilin, ampisilin serta golongan sefalosporin generasi ketiga seperti Cefixime, Cefotaxime, dan Ceftriaxone (Shah et al., 2006). Kloramfenikol dan cefixime merupakan dua antibiotika yang digunakan sebagai lini pertama dalam pengobatan demam tifoid. Cefixime yang merupakan bagian dari golongan sefalosporin generasi ketiga terbukti dapat menjadi pilihan antibiotika setelah pada beberapa penelitian ditemukan resistensi bakteri terhadap kloramfenikol (Shah et al., 2006).

Jenis antibiotika dari golongan sefalosporin generasi ketiga seperti cefotaxime dan ceftriaxone juga dapat digunakan sebagai antibiotika pilihan pertama untuk pengobatan demam tifoid apabila ditemukan adanya riwayat resistensi suatu bakteri terhadap antibiotika golongan kuinolon seperti ofloxacin dan ciprofloxacin (WHO, 2003) atau pasien tidak menunjukkan adanya perbaikkan gejala klinis setelah penggunaan antibiotika jenis kloramfenikol atau amoksisilin (Roespandi dan Nurhamzah, 2007).

Namun dewasa ini, penggunaan ceftriaxone dan cefixime yang biasanya digunakan sebagai pilihan ketiga terapi pengobatan demam tifoid mulai bergeser menjadi pilihan utama dalam pengobatan demam tifoid. Ditemukannya beberapa kasus mengenai resistensi bakteri terhadap kloramfenikol mendorong para peneliti untuk mencari alternatif antimikroba untuk melawan penyakit demam tifoid. Beberapa daerah endemik demam tifoid tidak lagi menggunakan kloramfenikol sebagai first line therapy namun mulai menggunakan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga seperti cefixime dan ceftriaxone. Hal tersebut didukung oleh adanya penelitian menggunakan metode Susceptibilitas yang


(57)

38

dilakukan oleh Santillan, Garcia, dan Benavante (2000). Isolat yang digunakan adalah isolat bakteri Salmonella typhii penyebab demam tifoid dan antibiotika yang digunakan adalah kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan cefixime. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 isolat, 22 isolat sensitif terhadap ampisilin, 96% sensitif terhadap kloramfenikol dan kombinasi trimetoprim –

sulfametoxazole, serta 24 isolat (100%) sensitif terhadap cefixime (Santillan et al., 2000).

c. Dosis dan Frekuensi Pemberian Antibiotika

Dalam terapi pengobatan pada pasien dosis dan frekuensi pemberian antibiotika harus disesuaikan dengan diagnosis penyakit, tingkat keparahan penyakit atau infeksi, mekanisme kerja obat, serta efek samping yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan antibiotika tersebut (adverse drug reaction). Dosis yang diberikan untuk pasien kelompok pediatrik haruslah benar-benar diperhatikan, sebab organ – organ yang digunakan untuk melakukan metabolisme obat (seperti hati dan ginjal) belum sempurna perkembangannya pada anak-anak. Sehingga, apabila pemberian dosis antibiotika pada anak-anak tidak tepat, bisa jadi antibiotika tersebut akan menimbulkan efek toksik atau menjadi racun didalam tubuh anak yang mana berbahaya bagi keselamatan anak tersebut (Benin dan Dowel, 2001).

Frekuensi penggunaan antibiotika dipengaruhi oleh sifat farmakokinetika obat serta kondisi patofisiologis dari pasien. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam suatu farmakokinetika obat adalah t½ eleminasi dari obat. Definisi dari t½ eleminasi obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh obat untuk


(1)

Infus RL

Assessment

Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 3 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001).

Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.

Rekomendasi

Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.

No. Kasus : 30 Subjektif

Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 11 tahun / Perempuan / 26 kg Masuk Rumah Sakit : 16 Agustus 2013 – 19 Agustus 2013

Diagnosa Masuk : Demam tifoid

Perjalanan Penyakit : Panas, batuk-pilek, mual-mual Status Keluar : Sembuh dan diizinkan

Objektif

Pemeriksaan Laboratorium (16 Agustus 2013) Hematologi

Hemoglobin : 11,8 Leukosit : 9,01 Eritrosit : 6,20

Eosinofil: 0,07 Basofil : 0,02 Neutrofil : 3,77 Limfosit : 1,24 Monosit : 0,30

Immunoserologi S. thypii H : -

S. thypii O : Positif 1/320 Ig G antibodi S. thypii : - Ig M antibodi S. thypii : -

Tanggal 16 17 18 19

Tanda Vital

Tekanan Darah (mmHg) - - - -

Suhu Tubuh (°C) 37,8 - - -

Denyut Nadi (x/menit) - - - -

Respiratori (x/menit) - - - -

Keluhan Pasien Panas,

batuk-batuk, mual

Masih agak panas, sudah

tidak batuk

- Sudah enakkan

Penatalaksanaan Obat P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M

Terfacef® 2 gram i.v

Infus Ds 5%

Vosedon 1,5 cth


(2)

94

Cefspan® 1 cth

Ondancentron ½ ampul

Trifed 1 cth

Progesic 1 cth

Comtusi 1 cth

Assessment

Terapi tanpa indikasi: Kombinasi ceftriaxone dan cefixime kurang tepat, karena ditinjau dari bakteri penyebab demam tifoid, yaitu Salmonella thypi, kombinasi antibiotika umumnya digunakan untuk menangani infeksi berat yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis bakteri (polimikroba) dengan memanfaatkan efek sinergisme yang saling menunjang efektivitasnya satu sama lain, sedangkan pada kasus ini pasien dinyatakan hanya terdiagnosa demam tifoid dan tidak disertai penyakit lain yang kemungkinan disebabkan oleh kuman atau bakteri lainnya selain Salmonella thypi, sehingga dalam penanganannya cukup diberikan terapi tunggal antibiotika.

Rekomendasi

Menggunakan salah satu jenis antibiotika sebagai terapi tunggal. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi konsumsi jajanan yang kurang bersih atau tidak sehat, serta istirahat yang cukup.

No. Kasus : 31 Subjektif

Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 2 tahun / Perempuan / 13,1 kg Masuk Rumah Sakit : 11 Maret 2013 – 15 Maret 2013

Diagnosa Masuk : Demam tifoid

Perjalanan Penyakit : Badan panas dan batuk-batuk sudah seminggu. Status Keluar : Sembuh dan diizinkan

Objektif

Pemeriksaan Laboratorium (11 Maret 2013) Hematologi

Hemoglobin : 10,8 Leukosit : 16,41 Eritrosit : 4,63

Eosinofil : 0,04 Basofil : 0,01 Neutrofil : 4,71 Limfosit : 3,88 Monosit : 1,24

Immunoserologi S. thypii H : -

S. thypii O : Positif 1/640 Ig G antibodi S. thypii : - Ig M antibodi S. thypii : -

Tanggal 11 12 13 14 15

Tanda Vital

Tekanan Darah (mmHg) - - - - -

Suhu Tubuh (°C) 37,8 - - 36,2 35,8

Denyut Nadi (x/menit) - - - - -

Respiratori (x/menit) - - - - -

Keluhan Pasien Badan panas

dan batuk-batuk Masih batuk - Susah BAB -

Penatalaksanaan Obat P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M

Imunos 1 cth

Relafen 1 cth

Opilax 1 cth

Ceftriaxone 1 gram i.v

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(3)

Progesic ¾ cth

Infus RL

Assessment

Dosis ceftriaxone yang diberikan pada pasien sudah tepat, yaitu 655 – 1310 mg/hari (Lacy et al., 2006). Durasi penggunaan ceftriaxone juga sudah tepat sesuai dengan literatur acuan yaitu 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian terlalu panjang, yaitu > 12 jam, hal ini dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.

Rekomendasi

Ceftriaxone diberikan dengan interval tiap 12 jam. Pasien disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.

No. Kasus : 32 Subjektif

Usia / Jenis Kelamin / Berat Badan : 4 tahun / Laki-laki / 17,2 kg Masuk Rumah Sakit : 21 Juli 2013 – 24 Juli 2013

Diagnosa Masuk : Demam tifoid

Perjalanan Penyakit : Badan panas, mual-muntah sudah 3 hari ini Status Keluar : Sembuh dan diizinkan

Objektif

Pemeriksaan Laboratorium (21 Juli 2013) Hematologi

Hemoglobin : 13,8 Leukosit : 14,71 Eritrosit : 5,50

Eosinofil : 0,01 Basofil : 0,01 Neutrofil : 3,76 Limfosit : 2,44 Monosit : 1,01

Immunoserologi S. thypii H : -

S. thypii O : Positif 1/160 Ig G antibodi S. thypii : - Ig M antibodi S. thypii : -

Tanggal 21 22 23 24

Tanda Vital

Tekanan Darah (mmHg) - - - -

Suhu Tubuh (°C) 38,8 - 35,6 35,8

Denyut Nadi (x/menit) 115 - - -

Respiratori (x/menit) - - - -

Keluhan Pasien Panas, mual - Sudah enakkan Sudah enakkan

Penatalaksanaan Obat P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M P Si So M

Infus RL

Pyrexin 1 cth

Ceftriaxone 1,2 gram i.v

Cortidex 2/3 ampul

Progesic 1 cth

Curvit 1 cth


(4)

96

Assessment

Dosis terlalu rendah: Durasi penggunaan ceftriaxone terlalu singkat, yaitu hanya 4 hari, sedangkan durasi penggunaan ceftriaxone yang tepat adalah 5 – 7 hari (WHO, 2003). Interval pemberian ceftriaxone juga terlalu panjang, yaitu > 12 jam. Interval pemberian terlalu panjang dapat menyebabkan konsentasi obat didalam cairan plasma tidak mencapai konsentrasi terapeutik minimal untuk menghasilkan efek yang diharapkan. Durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang merupakan salah satu penyebab kategori DRPs dosis terlalu rendah (dosage too low). Durasi pemberian berkaitan dengan kemampuan menghambat atau membunuh bakteri, apabila durasi terlalu pendek, dikhawatirkan bakteri penyebab demam tifoid belum sepenuhnya dihambat atau dibunuh sehingga berisiko menginfeksi kembali (Benin, 2001).

Namun efek dari dosis terlalu rendah akibat durasi penggunaan antibiotika yang terlalu singkat dan interval terlalu panjang tersebut tidak terjadi apabila dilihat dari keluhan dan status pasien yang sembuh dan diizinkan pulang oleh dokter.

Rekomendasi

Memperpanjang durasi penggunaan ceftriaxone menjadi 5 – 7 hari dengan interval pemberian tiap 12 jam. Pasien juga disarankan untuk menjaga pola makan dengan memperbanyak asupan bergizi, mengurangi kebiasaan makan jajanan yang tidak bersih dan tidak sehat, serta istirahat yang cukup.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(5)

Lampiran 5. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian Di Rumah Sakit

Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara


(6)

98

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi dengan judul

“Evaluasi

Drug Related

Problems

(DRPs) Penggunaan Antibiotika Pada Pasien

Demam Tifoid Kelompok Pediatrik Di Rumah Sakit

Emanuel Purwareja Klampok Banjarnegara Pada Tahun

2013”

memiliki nama lengkap Andrea Nita Karisa.

Penulis lahir di Wonosobo pada tanggal 17 Juli 1993

dari pasangan Bhe Imam Wiyono dan Yayang Setiati

sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Pendidikan

formal yang ditempuh penulis dimulai dari TK Pertiwi

Banjarnegara (1997

1999), SD Kristen Debora Banjarnegara (1999

2005),

SMPN 1 Banjarnegara (2005

2008), SMA Bruderan Purwokerto (2008

2011),

dan kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di

Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjalani

perkuliahan, penulis juga terlibat dalam beberapa aktivitas kepanitiaan dan

organisasi. Penulis pernah menjadi anggota seksi keamanan

Pharmacy

Performance and Event Cup

(2012), anggota seksi keamanan Hari Bumi

Universitas Sanata Dharma (2013), anggota seksi acara Kampanye Informasi Obat

(2013), serta penulis merupakan ketua Program Kreativitas Mahasiswa (bidang

Pengabdian Masyarakat) SI BOLANG (Strategi Ideal Belajar Obat Herbal Lebih

Menyenangkan Bagi Siswa SD Kanisius Kenalan Kulon Progo Yogyakarta) yang

dinyatakan lolos dikti pada tahun 2014.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


Dokumen yang terkait

Korelasi Drug Related Problems (DRP) Penggunaan Antibiotika Terhadap Outcomes Pasien Pneumonia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan Periode Oktober-Desember 2010 dan Januari-Maret 2011

2 74 111

Evaluasi Drug Related Problems Kategori Penyesuaian Dosis Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik di Rumah Sakit Pelabuhan Jakarta Utara

4 33 166

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

2 39 174

Evaluasi drug related problems obat antidiabetes pada pasien geriatri dengan diabetes melitus tipe 2 di ruang rawat inap rumah sakit umum pelabuhan periode januari-juni 2014

4 24 164

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

1 17 174

IDENTIFIKASI DRUG RELATED PROBLEMS (DRPs) PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WONOGIRI TAHUN 2007.

0 2 17

IDENTIFIKASI Drug Related Problems (DRPs) PADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT JALAN DI RUMAH SAKIT Identifikasi Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan Di Rsi Klaten Tahun 2010.

0 5 16

Analisis Drug Related Problems (DRPs) Pada Pasien Demam Tifoid Rawat Inap di Rumah Sakit - Ubaya Repository

0 0 1

Studi Drug Related Problems Pada Pengobatan Pasien Demam Tifoid Anak Rawat Inap di Rumah Sakit X di Surabaya - Ubaya Repository

0 0 1

Evaluasi penggunaan antibiotika pada pasien demam tifoid kelompok pediatrik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode Januari-Desember 2010 - USD Repository

0 3 153