Rute Pemberian Obat Terapi Suportif

Sel T supresor dengan cara mengikat reseptor sehingga terjadi peningkatan produksi antibodi Akib, Munasir dan Kurniati, 2008.

B. Pola Pengobatan

1. Rute Pemberian Obat

Pemberian obat pada pasien dapat dilakukan melalui rute lokal maupun sistemik.Rute lokal digunakan untuk pemberian obat pada membran mukosal dan kulit.Rute sistemik dibedakan menjadi rute enteral oral, sublingual, buccal, dan rectal dan rute parenteral intravena, intramuskular, inhalasi, intratekal dan subkutan.Perbedaan rute enteral dengan rute parenteral yaitu pada rute enteral obat diabsorbsi dari gastrointestinal menuju ke sirkulasi sistemik, sedangkan pada rute parenteral obat tidak melalui gastrointestinal melainkan langsung ke sirkulasi sistemik Vermaet al, 2010. PasienAIHAdengan KomplikasiSLE selain mendapatkan terapi sistemik, terapi lokal juga diperlukan pada pasien dengan manifestasi malar rashruam merah pada pipi mirip kupu-kupu dan fotosensitivitas. Seluruh kasus tidak ditemukan adanya gejala malar rash maupun fotosensitivitas sehingga pasien hanya mendapatkan terapi secara sistemik baik enteral maupun parenteral Table IX. Tabel IX. Penggunaan Obat Berdasarkan Rute Pemberian Pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 No Rute Pemberian Jumlah Kasus n=6 Persentase 1 Enteral + Perenteral 6 100 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Table IX menunjukan bahwa pada setiap kasus pasien selalu mendapatkan rute enteral peroral dan parenteral intravena secara bersamaan. Pemberian obat melalui rute enteral peroral meliputi kortikosteroid, antibiotik, analgesik-antipiretik, vitamin-mineral, antimalaria, dan antihipertensi. Obat tersebut akan mengalami first pass effect yang beberapa dapat mengkibatkan efek samping pada gastrointestinal. Obat yang melalui rute parenteral meliputi kortikosteroid dan antiulkus, pemberian obat secara parenteral dimaksudkan untuk memberikan efek aksi yang cepat serta pemberian dosis tinggi Vermaet al, 2010.

2. Terapi Farmakologis

Gambaran umum distribusi penggunaan obat pada pasienAIHA dengan KomplikasiSLE di Instalasi Rawat Inap berdasarkan kelas terapi menurut MIMS Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 328 Tahun 2013 tentang Formularium Nasional. Tabel X: Profil Penggunaan Obat pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 NO Kelas Terapi Jumlah n=6 Persentase 100 1. Immunosupressan , Antiinflamasi 6 100 2. Anitiulkus 2 33,3 3. Antibiotik 1 16,7 4. Antimalaria 1 16,7 5. Antihipertensi 1 16,7 6. Vitamin dan Mineral 2 33,3 7. Analgesik dan Antipiretik 2 33,3

a. Vitamin dan mineral

Asupan nutrisi seperti kalsium dan vitamin D pada pasien AIHA dengan Komplikasi SLE harus diperhatikan jika pasien mandapatkan terapi steroid jangka panjang. Hal ini dikarenakan efek samping steroid yang dapat menyebabkan osteoporosis dan gangguan kardiovaskular Lenchner and Jager, 2015. Tabel XI. Penggunaan Vitamin dan Mineral pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Kelas Terapi Terapi Jumlah Kasus n=6 Persentase Vitamin dan mineral Asam folat 1 16,7 Calcium Lactate 500mg Ca hydrogen phosphate 500mg, Cholecalciferol 133 IU 1 16,7 Vitamin D yang merupakan hormon steroid selain berperan dalam metabolisme kalsium dan tulang juga dapat memberikan efek regulasi pada pertumbuhan proliferasi, apoptosis dan fungsi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh.Vitamin D pada pasienSLEdapat difungsikan sebagai pengganti vitamin D akibat menghindari paparan sinar matahari yang berisiko memperparah keadaan malar rash dan fotosensitivitas Mok, 2013.

b. Antiulkus

Antiulkus yang digunakan pada pasien AIHA dengan Komplikasi SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr.Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI yaitugolongan H 2 -Receptor Antagonists dan Proton Pump Inhibitors PPIs. Gambaran penggunaan antiulkus pada penelitian dapat dilihat pada Tabel XII. Penggunaan antiulkus dimaksudkan untuk mengurangi risiko efek samping kortikosteroid. Kortikosteroid diketahui menghambat biosintesis prostaglandin sitoprotektif lambung dan menekan produksi leukotrien yang mengakibatkan melemahnya pertahanan mukosa lambung Guslandi, 2013. Tabel XII. Penggunaan Antiulkus pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 H 2 -Receptor Antagonists bekerja secara selektif dan kompetitif mengikat histamin pada reseptor H-2 kemudian menurunkan konsentrasi CAMP serta menurunkan sekresi ion hidrogen sehingga mengakibatkan volume cairan lambung berkurang Aziz, 2002. Proton Pump Inhibitors PPIs bersifat irreversibel dalam mengikat enzim hidrogen kalium ATPase pompa proton pada sel parietal lambung dan menghambat sekresi ion hidrogen yang jika bergabung dengan ion klorida dalam lumen lambung akan membentuk asam. PPI diketahui menunjukan penekan asam Kelas Terapi Terapi Golongan Jumlah Kasus n=6 Persentase Antiulkus Pantoprazole Proton Pump Inhibitors PPIs 1 16,7 Ranitidin H 2 -Receptor Antagonists 1 16,7 lambung lebih tinggi dibanding dengan H 2 -Receptor AntagonistsVanderhoff and Tahboub, 2002.

c. Antimalaria

Antimalaria yang merupakan basa lemah secara mekanisme kerja belumsepenuhnya diketahui namun antimalaria dikenal sebagai imunomodulator, antiinflamsi, antipoliferatif, antitrombotik, memperbaiki kepadatan tulang dan fotoprotektif.Efek antitrombotik pada penderita SLE terbukti dapat menurunkan agregasi sel darah merah, menghambat agregasi platelet dan mengurangi kekentalan darah Carunchoand Marsol, 2012. Antimalaria seperti chloroquine dan hydroxychloroquine digunakan sebagai terapi lesi kulit, arthralgia, pleuritis, radang perikardial ringan, kelelahan, dan leukopenia pada pasien dengan SLE.Antimalaria juga dapat mengendalikan eksaserbasi penyakit dan steroidsparing agents.Dosis hydroxychloroquine yang digunakan yaitu 200-400 mghari, sedangkan chloroquine 250-500 mghari Dipiroet al, 2008. Antimalaria dapat menurunkan risiko kolesterol dengan cara meningkatkan HDL dan menurunkan LDL, untuk itu antimalaria efektif digunakan pada pasien dengan lipid abnormalitas. Efek samping penggunaan antimalaria diantaranya gangguan gastrointestinal, nyeri kepala, insomnia, perubahan warna kulit dan rambut, serta retinopatiCaruncho and Marsol, 2012. Profil penggunaan antimalaria pada pasien AIHA dengan Komplikasi SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 hanya mencapai 16,67, dimana tidak semua pasien mendapatkan antimalaria. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Tabel XIII. Terapi antimalaria pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Kelas Terapi Terapi Jumlah Kasus n=6 Persentase Antimalaria Chloroquine 1 16,7

d. Immunosupresan dan antiinflamasi

Penggunaan Immunosupresan dan antiinflamasi pada pasien AIHA dengan Komplikasi SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 berupa kortikosteroid dan selective immunosuppressive agent disajikan pada Tabel XV. Tabel XIV. Terapi Immunosupresan dan Antiinflamasi padaPasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Pasien AIHA dengan Komplikasi SLE menggunakan terapi kortikosteroid sebagai first line, hal ini bertujuan untuk menekan tingkat keparahan AIHALechnerand Jager, 2010.Mekanisme kortikosteroid dalam mengendalikan inflamasi dengan menghambat vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan menurunkan perpindahan leukosit ke jaringan yang luka Countinho Kelas Terapi Terapi Golongan Jumlah Kasus n=6 Persentase 100 Immunosupresan dan Antiinflamasi Metilprednisolon Kortikosteroid 6 100 Prednison 1 16,7 Metilprednisolon Sodium succinate 1 16,7 Dexamethasone 1 16,7 Mycophenolate mofetil Selective immuno- suppressive agent 2 33,3 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI andChampman, 2011.Menurut American College of Rheumatology penggunaan kortikosteroid harus diiringi dengan terapi bisphosphonates, vitamin D, kalsium ataupun asam folat. Terapi kortikosteroid oral 1mgkghari atau metilprednisolon IV digunakan sampai Hb pasien mencapai 10gdL maupun hematokrit30. Selanjutnya, dilakukan tappering off jika tujuan terapi telah tercapai dan untuk mengurangi risiko efek samping kortikosteroidLechnerand Jager, 2010. Pengobatan jangka panjang kortikosteroid memberikan efek metabolik merugikan seperti osteoporosis, hipertensi, dislipidemia dan resistensi insulin DM tipe 2 sehingga diperlukan monitoring Countinhoand Champman, 2011. Penggunaan metilprednisolon pada semua pasien dalam kasus AIHA komplikasi SLE di Instalasi rawat inap Dr. Sardjito dimungkinkan karena pasien mengalami severe AIHA dengan melihat Hb pasien yang 7 gdL WHO, 2011, sehingga terapi pasien menggunakan injeksi metilprednisolon Zanella and Barcellini, 2014. Penggunaaan metilprednisolon juga dimungkinkan dengan mempertimbangkan efek mineralkortioid dalam mengatur keseimbangan elektrolit dan mineral dalam tubuh. Penggunaan setara dosis prednison dan metilprednisolon, efek glukokortikoid yang dihasilkan seimbang namun efek mineralkortikoid metilprednisolon lebih kecil dibandingkan prednisolon. Aldosteron merupakan hormon yang 90 bertanggung jawab terhadap aktivitas mineralkortikoid dalam mengatur konsentrasi mineral terutama natrium, kalium dicairan ekstraselular. Aldostreron meningkatkan reabsorpsi natrium, air dan meningkatkan ekskresi kalium diginjal. Peningkatan retensi natrium dan air menyebabkan terjadinya volume darah dan tekanan darah hipertensi meningkat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI sedangkan ekskresi kalium berlebih dapat menyebabkan hipokalemia Abram, Lammon, and Pennington, 2008. Mycophenolat mofetil MMF sebagai prodrug dari asam mikofenolat MPA berfungsi menghambat inosin monofosfat dehidrogenase IMPDH yang membatasi kecepatan sintesis nukleotida purin dan poliferasi pada jalur de novo.Limfosit yang bergantung pada jalur tersebut menyebabkan terhambatnya poliferasi limfosit B dan T oleh Mycophenolat mofetil Karim et al, 2002.Mycopenolat mofetil yang merupakan antimetabolit relatif selektif secara invitro menghambat pembentukan antibodi dan generasi sel T sitotoksik dan mengurangi ekspresi molekul adhesi pada limfosit yang akan mempengaruhi kemampuan dalam mengikat sel endotel Dooleyet al, 1999. Mycopenolat mofetil berdasarkan penelitian menunjukan lebih aman dan efektif sebagai imunosupresan pada pasien SLE dengan gangguan ginjal maupun non ginjal yang resisten terhadap terapi imunosupresan konvensional Karimet al, 2002.Faktor risiko seperti limfoma, sepsis, neutropenia dan infeksi dapat meningkat akibat penggunaan Mycopenolat mofetil.Mycopenolat mofetil yang dikombinasi dengan terapi kortikosteroid dan cyclophospamide dapat mencegah terjadinya penolakan transplantasi ginjal allogenic, jantung dan hati NICE, 2014.

e. Antihipertensi

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan mortilitas pada pasien SLE dengan faktor risiko tertinggi terjadi pada wanita muda dan meningkat pada pasien menopause.Tingkat kejadian hipertensi selalu PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI dikaitkan dengan kejadian stroke, MI, dan gagal jantung kongesif. Faktor risiko penyebab penyakit kardiovaskular pada pasien SLE selain usia, merokok, diabetes mellitus, riwayat keluarga dapat juga disebabkan karena penggunaan kortikosteroid, proinflammatory HDLs, tingkat keparahan, antiphospholipid antibodies, gangguan ginjal Skamraand Goldman, 2010. First line terapi hipertensi pasien SLE yaituangiotensin-converting enzyme inhibitors Skamra and Goldman, 2010.Lokasi utama ACE Inhibitors di sel endotel, hal ini menyebabkan produksi angiotensin II oleh ACE yang terjadi dipembuluh darah dapat diblokir.Angiotensin II sebagai vasokonstriktor kuat yang merangsang sekresi aldosteron tidak terjadi, sebab ACE Inhibitors menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan penurunan aldosteron serta menghambat degradasi bradikinin.Peningkatan bradikinin bertanggung jawab terhadap penurunan tekanan darah dan efek samping batuk kering pada pasien Dipiroet al, 2008. Tabel XV. Penggunaan Antihipertensi pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Kelas Terapi Terapi Golongan Jumlah kasus n=6 Persentase 100 Antihipertensi Lisinopril Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors 1 16,7

f. Analgesik dan Antipiretik

Pasien AIHA dengan SLE secara umum memiliki gejala klinis demam dan nyeri, untuk itu pengolahan gejala perlu dilakukan.Terapi gejala tersebut dapat menggunakan Parasetamol sebagai analgesik-antipiretik Sharma and Mehta, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 2013.Pasien AIHA dengan SLE pada kasus mendapatkan terapi kombinasiParasetamol dan N-Acetylcysteine untuk memperbaiki kondisi pasien. Tabel XVI. Penggunaan Analgesik dan Antipiretik pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Kelas Terapi Terapi Jumlah kasus n=6 Persentase 100 Analgesik dan Antipiretik Parasetamol 500mg, N-Acetylcysteine 200mg 2 33,3 Parasetamol cetaminophen merupakan obat antiinflamasi nonsteroid dengan efek antipiretik dan analgesik kuat namun aktivitas anti-inflamasi cenderung sangat lemah. Parasetamol yang merupakan derivat p-aminofenol menghambat produksi prostaglandin dengan cara mengganggu kerja enzim COX-1 dan COX-2. Parasetamol dimetabolisme dengan bantuan enzim sitokrom P450 sehingga penggunaan dosis tinggi dalam jangka panjang dapat menyebabkan risiko kerusakan hati, hipertensi, infark jantung dan gagal ginjal Bebenistaand Nowak, 2014. Parasetamol dimetabolisme menjadi N-acetyl-p-benzoquinoneimine NAPQI sekitar 4 melalui sistem oksidasi diberbagai isoenzim CYP dari enzim P-450. NAPQI dapat menyebabkan kerusakan hati jika terakumulasi dalam jumlah besar, untuk itu N-acetylcysteineyang dikombinasikan bersamaParasetamol bertujuan untuk mencegah NAPQI berikatan dengan hepatosit.Mekanisme kerja N-Acetylcysteineyaitu mensubstitusi glutation, meningkatkan glutation dan meningkatkan konjugasi sulfat pada Parasetamol. N-acetylcysteine efektif untuk PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI menangani akumulasi metabolit Parasetamol jika diberikan 8-10 jam sebelumnya Prescott, 2005. Selain sebagai antidot keracunan Parasetamol, N-Acetylcysteine berfungsi sebagai antioksidan dan penyumbang nitrat pada keadaan stres, infeksi, keracunan dan peradangan Millea, 2009.

g. Antibiotik

Penggunaan antibiotik pada pasien secara umun digunakan untuk mengelolah infeksi yang merupakan salah satu faktor risiko AIHA dengan SLE. Persentase penggunaan antibiotik mencapai 16,67 berupa Cephalosporin generasi ketiga. Tabel XVII. Penggunaan Antibiotik pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Kelas Terapi Terapi Golongan Jumlah kasus n=6 Persentase 100 Antibiotik Ceftriaxon Cephalosporin generasi ketiga 1 16,67 Ceftriaxon yang merupakan Cephalosporin generasi ketiga ini memilikibroad spectrum luas dengan waktu paruh panjang dosis 1-2ghari 1-2kalisehari. Aktivitas bakterisidal dari Ceftriaxon dapat menghambat sintesis dinding sel mikroorganisme bakteri gram positif, aerob gram negatif dan bakteri anaerob lainnya. Ceftriaxon biasa digunakan pada terapi infeksi saluran kemih, infeksi tulang dan sendi, infeksi saluran bawah, infeksi kulit dan jaringan, meningitis pada anak dan bakterimia FDA, 2013. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3. Terapi Suportif

Terapi suportif pada pasien AIHA dengan Komplikasi SLE berupa pemberian transfusi darah yang berperan penting dalam meminimalkan risikokomplikasi hingga kematian.Hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan hemoglobin pada pasien dengan AIHA hingga kondisi membaik Zanella and Barcellin, 2014. Transfusi yang didapat pasien AIHA dengan Komplikasi SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 berupa transfusi WRC Wash Red Cell dan PRC Packed Red Cell Tabel XIX. Transfusi WRC dan PRC merupakan transfusi sel darah merah yang bertujuan meningkatkan ataupun memperbaiki pengiriman oksigen ke jaringan berdasarkan kondisi klinis pasien Sharma, Sharma, Tyler,2011. Transfusi WRC yaitu sel darah merah yang dicuci dengan cairan 0,9 NaCl ± dextrose, dan diindikasi dapat mengurangi risiko anafilaksis pada pasien defisiensi IgA serta mengurangi risiko reaksi pada pasien dengan riwayat kekambuhan ataupun reaksi alergi terhadap produk darah Weinstein, 2012. Transfusi PRC terbuat dari whole blood darah lengkap dengan menghilangkan sekitar 250ml plasmanya yang bertujuan meningkatkan kadar hemoglobin dan hematokrit Sharma et al, 2011. Tabel XVIII. Terapi Suportif Transfusi darah pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 Terapi Suportif Jenis Transfusi Jumlah Kasus n=6 Persentase Transfusi Darah PRC 3 50 WRC 2 33,33 WRC+PRC 1 16,67

C. Evaluasi Drugs Related Problems DRPs

Proses identifikasi DRPs ini bertujuan untuk mengevaluasi permasalahan yang timbul terkait terapi yang diperoleh pasien AIHA dengan Komplikasi SLE saat rawat inap di Instalasi RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Tabel XIX. Gambaran Drugs Related Problems DRPs pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 No Jenis DRPs Kasus Jumlah Kasus n=6 Persentase 1 Obat yang tidak dibutuhkan - 2 3 Dibutuhkan tambahan obat Obat tidak efektif 1, 2, 4 - 3 50 4 Dosis terlalu rendah kurang 2, 3 2 33,3 5 Dosis terlalu tinggi berlebih 6 Efek samping obat 2 dan 3 2 33,3 Catatan: Penilaian DRPs ini berdasarkan data yang tercantum dalam lembar rekam medis yang tidak dikonfirmasi dengan dokter penulis resep maupun perawat yang merawat pasien. Pembahasan lebih mendalam tiap kasus dapat dilihat pada lampiran. Evaluasi Drug Related Problems DRPs pada Pasien Autoimmune Hemolytic Anemia AIHA dengan KomplikasiSystemic Lupus Erythematosus SLE di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Tahun 2009 – 2014 di temukan 83,3 bersifat potensial dan 66,7 bersifat aktual. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dokumen yang terkait

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

2 39 174

Analisa Drug Related Problems (DRPs) pada Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik dengan Penyakit Penyerta di Rumkital Dr. Mintohardjo Tahun 2014

1 17 174

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP RS “Y” Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

4 37 21

EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMs (DRPs) POTENSIAL PADA PASIEN HIPERTENSI DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)Potensial pada Pasien Hipertensi di Instalasi Rawat Inap RS "Y" Periode Tahun 2015.

0 7 13

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien dewasa dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di Instalasi Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

3 18 145

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien lansia dengan diagnosis Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) di instalasi rawat inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode 2009-2014.

1 17 110

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien Autoimmune Hemolytic Anemia (AIHA) anak rawat inap di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2009-2014.

1 9 161

Autoimmune Hemolytic Anemia in Systemic Lupus Erythematosus Patient

0 0 9

Evaluasi drug related problems (DRPs) pada pasien anak dengue shock syndrome (DSS) di instalasi rawat inap RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2008 - USD Repository

1 1 98

Evaluasi Drug Related Problems (DRPs) pada pasien asma pediatri rawat inap : studi kasus di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2013 - USD Repository

0 0 141