mekanisme hati dalam menjaga kadar glukosa dalam darah. Ketika glukosa darah tinggi maka kelebihan glukosa akan disimpan dalam hati dalam bentuk glikogen
dan juga sebaliknya ketika glukosa darah di bawah normal maka hati akan memecah glikogen menjadi glukosa Ganong, 2010.
Proses metabolisme protein dalam hati adalah deaminasi asam amino, pembentukan urea dari amonia dalam cairan tubuh, pembentukan protein plasma,
merubah asam amino menjadi bentuk lain. Deaminasi asam amino perlu dilakukan sebelum asam amino tersebut dirubah menjadi energi atau dirubah
menjadi karbohidrat atau lemak. Semua protein plasma kecuali gama globulin diproduksi di hati. Hati dapat memproduksi protein plasma 15-50 ghari Guyton
dan Hall, 2006. Lemak yang masuk ke hati akan dipecah menjadi gliserol dan asam
lemak. Asam lemak ini akan mengalami mengalami beta oksidasi membentuk acetyl coenzyme A yang kemudian masuk kedalam siklus asam sitrat. Hati sendiri
tidak dapat menggunakan seluruh acetyl CoA yang terbentuk namun akan merubah acetyl CoA tersebut menjadi asam asetoasetat yang ditransport keluar
menuju jaringan lain. Kolesterol yang disintesis di hati sebagian akan dirubah menjadi garam empedu dan sebagian lainnya akan digunakan bersama fosfolipid
untuk membentuk membran serta komponen sel lainnya Guyton dan Hall, 2006. Hati memiliki kemampuan luar biasa untuk regenerasi setelah kehilangan
jaringan hati yang signifikan baik dari sebagian hepatektomi atau kerusakan hati akut, asalkan kerusakan ini tidak disertai oleh infeksi virus atau peradangan.
Hepatektomi parsial, di mana sampai dengan 70 persen jaringan hati diambil
menyebabkan lobus yang tersisa memperbesar dan mengembalikan hati ke ukuran aslinya. Pada tikus regenerasi ini terjadi sangat cepat dan hanya
membutuhkan waktu lima sampai tujuh hari. Saat regenerasi hepatosit dapat bereplikasi hingga dua kali kecepatan normalnya. Faktor yang berperan dalam
proses regenerasi hati adalah Hepatocyte Growth Factor HGF. Pada hepatektomi parsial kadar HGF dalam darah meningkat hingga 20 kali lipat.
Beberapa growth factor lain yang mungkin terlibat dalam proses regenerasi sel hati adalah Epidermal Growth Factor, Tumor Necrosis Factor, dan interleukin-6
Guyton dan Hall, 2006.
B. Kerusakan Hati
Kerusakan hati disebabkan karena adanya kerusakan yang parah pada sel-sel hepatosit atau kerusakan berulang sel parenkim. Hati memiliki kapasitas
cadangan, sehingga manifestasi klinis dari kerusakan hati baru akan muncul ketika telah terjadi kerusakan hati yang mencapai 80-90 . Kerusakan hati dibagi
menjadi tiga kategori, yaitu kerusakan hati akut, kerusakan hati kronis, dan disfungsi hati tanpa nekrosis yang tampak Crawford dan Liu, 2010.
Berdasarkan manifestasi klinis yang terjadi dan pola spesifik pada histopatologi, kerusakan sel hati dapat dibagi lebih lanjut menjadi:
1. Nekrosis
Nekrosis ditandai dengan adanya pembengkakan, kebocoran, disintegrasi inti sel, dan inflamasi Klaassen, 2008. Kematian sel-sel hepatosit pada organ
hati disebut nekrosis hati. Nekrosis dapat bersifat fokal sentral, pertengahan, perifer atau masif. Nekrosis hati merupakan manifestasi toksik yang berbahaya
tetapi tidak selalu kritis karena hati memiliki kapasitas pertumbuhan kembali yang tinggi. Kematian sel berlangsung bersama dengan pecahnya membran plasma.
Sebelum sel pecah, tidak ada perubahan ultrastruktural membran yang dapat dideteksi. Namun ada beberapa perubahan yang mendahului kematian sel seperti
edema sitoplasma, dilatasi retikulum endoplasma, dan agregasi polisom. Akumulasi trigliserid dalam sel biasanya berupa butiran lemak. Perubahan yang
terdahulu merupakan pembengkakan mitokondria progresif dengan kerusakan krista, pembengkakan sitoplasma, penghancuran organel dan ini, dan pecahnya
membran plasma Lu, 1995. 2. Perlemakan hati Steatosis
Perlemakan hati merupakan penumpukan lemak pada sel hepatosit, terkadang disertai penurunan kadar lipoprotein dan plasma lipid. Pada dasarnya
penumpukan lemak di hati dapat terjadi karena proses sintesis lipoprotein atau sekresi lipoprotein terganggu. Kelebihan lemak dapat terjadi karena kelebihan
asam lemak bebas dari jaringan adiposa atau gangguan pelepasan trigliserida dari hati ke plasma dalam bentuk lipoprotein VLDL. Beberapa tahapan yang dapat
terganggu dan menyebabkan penumpukan lemak di hati, yaitu gangguan pada sintesis protein, gangguan konjugasi trigliserida dengan lipoprotein, gangguan
transfer VLDL melewati membran sel, terjadi penurunan sintesis fosfolipid, gangguan oksidasi lipid, kurangnya energi ATP dalam proses sintesis lipid dan
protein Hodgson, 2009. Perlemakan pada hati dapat bersifat akut maupun kronik. Perlemakan
akut disebabkan senyawa seperti etionin, fosfor, atau tetrasiklin. Perlemakan
kronik dapat disebabkan karena senyawa seperti etanol dan metotreksat. Senyawa toksik tersebut memiliki mekanisme yang beragam dalam menyebabkan
perlemakan hati. Mekanisme paling umum adalah rusaknya pelepasan trigliserid hati ke plasma. Karena trigliserid hati hanya disekresi bila dalam keadaan
terkonjugasi dengan lipoprotein Lu, 1995. Perlemakan hati mungkin tidak berbahaya akan tetapi dapat berkembang menjadi steatohepatitis yang
dihubungkan dengan kerusakan hati akut. Steatohepatitis dapat berkembang mejadi fibrosis maupun kanker hati Klaassen, 2008.
2. Sirosis
Sirosis ditandai dengan adanya pembentukan kolagen yang tersebar di sebagian besar hati. Pada umumnya sirosis dapat disebabkan karena paparan
kronis senyawa kimia. Akumulasi jaringan fibroblast menyebabkan kurangnya aliran darah sehingga menyebabkan proses metabolisme dan detoksifikasi hati
terganggu. Hal ini kemudian dapat mengakibatkan kerusakan hati yang lebih parah bahkan menimbulkan gagal hati. Konsumsi etanol secara berlebihan dan
jangka waktu lama dapat menyebabkan sirosis hati Hodgson, 2009.
C. Hepatotoksin
Hepatotoksisitas dibagi berdasarkan pola insidensi dan morfologi histopatologi. Hepatotoksin intrinsik teramalkan merupakan senyawa yang
sudah jelas bersifat toksik pada hati, memiliki hubungan dosis-respon, dan biasanya menunjukkan toksisitas yang sama antara manusia dan hewan.
Hepatotoksin idiosinkratik takteramalkan menunjukkan toksisitas terbatas pada individu tertentu dan sebagai akibat dari hipersensitivitas atau perubahan
metabolit yang dihasilkan dikarenakan perubahan gen pemetabolisme obat. Kerusakan hati tergantung pada agen hepatotoksin, kekuatan agen hepatotoksin,
dan tipe pemberian secara akut atau kronis. Sel hati yang rusak mengeluarkan enzim spesifik seperti alanine aminotransferase ALT, aspartat aminotransferase
AST, dan alkalin fosfatase. Enzim ALT dan AST menjadi penanda adanya kerusakan hepatosit Hodgson, 2009.
D. Karbon Tetraklorida
Karbon tetraklorida sebelumnya pernah digunakan sebagai penghilang noda, pembersih karpet, pelarut, pemadam api, serta sebagai antihelmintik pada
pengobatan hewan. Penggunaan karbon tetraklorida saat ini terbatas untuk perantara bahan kimia dalam produksi senyawa organik terklorinasi. Karbon
tetraklorida memiliki kelarutan dalam lemak tinggi, sehingga karbon tetraklorida yang terserap tubuh akan tinggal di jaringan lemak, hati, sumsum tulang, ginjal
serta otak Wexler, Anderson, Peyster, Gad, Hakkinen, Kamrin, dkk., 2005. Karbon tetraklorida mengalami reduksi dan pemecahan homolitik yang
dikatalisis oleh enzim P450 membentuk radikal bebas triklorometil ●CCl
3
. Radikal bebas triklorometil ini dapat bereaksi langsung dengan makromolekul
yang ada dalam sel maupun dengan oksigen. Ketika bereaksi dengan oksigen radikal bebas triklorometil akan membentuk radikal bebas triklorometil peroksi
yang lebih reaktif. Radikal bebas triklorometil peroksi bersifat lebih elektrofil sehingga dapat bereaksi dengan asam lemak tak jenuh memicu terjadinya
peroksidasi asam lemak Ruch, Klaunig, Schlutz, Askari, Lacher, Pereira, dkk., 1986.