Peran Lingkungan Sosial Remaja Putri

164 Indikator cara mengatasi emosi dari subjek pertama menunjukkan Ema merasa lega setelah meluapkan perasaan yang dialami dengan bercerita kepada suami atau sahabat. Saat Ema merasa kesepian, Ema terkadang mengunjungi sahabatnya dan menghabiskan waktu bersama. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Hollingworth Morgan dalam Nurul F., 2011: 4, bahwa remaja yang emosinya matang memiliki ciri mampu menunda respon emosional yang negatif dari lingkungannya. Santi bahagia biasanya berbagi cerita dengan suami atau sahabatnya. Namun, Santi kurang dapat mengatasi kejadian yang kurang mengenakkan secara positif. Santi biasanya menghindar saat ada konflik, atau kadangkala Santi meluapkan kekesalan secara langsung kepada suami Santi. Subjek ketiga Ana menunjukkan cara mengatasi emosi yang belum sesuai teori yang ada. Ana saat memiliki permasalahan sering menyimpan sendiri atau menangis saat tidak ada suami atau tetangga sekaligus sahabat.

4. Peran Lingkungan Sosial Remaja Putri

Dari hasil penelitian ketiga remaja putri yang melakukan pernikahan dini ternyata dua subjek sama-sama tidak mengikuti kegiatan dalam lingkungan masyarakat sekitar. Ema melakukan interaksi dengan tetangga sekitar, sebatas beramah tamah. Ema jarang terlibat pembicaraan dengan tetangga sekitar karena Ema merasa Ema merasa malu untuk memulai berinteraksi. Santi jarang berinteraksi kecuali mengikuti kegiatan arisan desa. Namun Santi dapat menunjukkan sikap ramah dengan tetangga. Semenjak 165 Santi bekerja dari pagi sampai sore dan sepulang bekerja Santi di rumah bersama anak dan suami. Sebelum Santi bekerja di pabrik, Santi menghabiskan waktu dengan berada di rumah. Sementara itu, Ana berinteraksi dengan tetangga sekitar rumah yang juga sama-sama memiliki anak. Ana sikapnya ramah dengan tetangga namun Ana tidak mengikuti kegiatan dalam masyarakat. Ana tidak sungkan untuk mengikuti kegiatan di desa bertemu dengan tetangga sekitar seperti menghadiri resepsi. Hal ini sejalan dengan pendapat Syamsu Yusuf L. N. 2006: 54, bahwa remaja yang memiliki kematangan emosi dapat menunjukkan sikap ramah terhadap orang lain di lingkungan sekitarnya. Perlakuan mertua terhadap ketiga subjek berbeda-beda. Mertua Ema memperlakukan Ema dengan baik. Mertua Ema menganggap Ema seperti anaknya sendiri. Mertua Ema jarang meminta Ema melakukan pekerjaan rumah yang berat. Perlakuan mertua Ema dilatarbelakangi mertua Ema dahulu juga melakukan pernikahan dini. Mertua Ema menikah saat berusia 16 tahun dan karena dijodohkan. Sehingga mertua Ema memperlakukan Ema dengan baik saat di rumah. Selain itu, karena Ema menunjukkan sebagai menantu yang penurut dan baik. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Hurlock dalam Ari Kurniawan, 2014: 41, mengemukakan bahwa pencapaian kematangan emosi bagi remaja dipengaruhi oleh kondisi sosio emosional lingkungan salah satunya lingkungan keluarga. Sementara itu, perlakuan mertua Santi baik walaupun hubungan yang terjalin tidak terlalu dekat semenjak Santi bekerja. Mertua 166 Santi sering menjaga Adit pada saat Santi bekerja. Perlakuan mertua Ana kepada Ana juga baik. Namun menurut ibu mertua Ana, bapak mertua cerewet. Ana sering menangis karena ucapan bapak mertua Ana yang cerewet memberikan penilaian urusan sehari-hari saat berada di rumah. Ana sering merasa tersinggung dan sakit hati. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Syamsu Yusuf L. N. 2009:128, mengemukakan bahwa kematangan emosi seseorang dipengaruhi salah satunya oleh sikap dan perlakuan orang tua yang negatif dapat membuat remaja cenderung labil dan mudah marah. Di rumah ada tiga keluarga, mertua subjek, keluarga kakak ipar Ana dan keluarga subjek. Ana sering diam dan tidak terlalu banyak berkomunikasi dengan mertua dan keluarga kakak ipar, karena Ana merasa nyaman saat tidak ada konflik dalam keluarga. Suami memperlakukan Ema dengan baik. Suami Ema menginginkan Ema menjadi ibu rumah tangga, dan menjaga kehamilan anak pertama. Komunikasi yang terjalin dengan Ema tidak setiap hari, karena suami Ema bekerja menjadi sopir dan kadang tiga hari sekali baru pulang. Namun komunikasi yang terjalin antara Ema dengan suami lancar dan akrab. Hal ini tidak sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Syamsu Yusuf L. N. 2009: 128, bahwa Kualitas komunikasi dengan orang tua, teman sebaya, dan orang lain yang bermakna bagi individu dapat mempengaruhi kematangan emosinya. Komunikasi yang baik dapat berpengaruh baik pula pada kondisi emosi seseorang, begitu juga sebaliknya. Sementara itu, suami Santi cenderung kurang sabaran dan mudah marah yang kurang dapat 167 memahami Santi. Suami Santi tidak bersemangat dalam bekerja terkadang masih meminta uang kepada Santi, sehingga menimbulkan pertengkaran. Suami Ana merupakan suami yang bertanggung jawab, lebih dewasa dan lebih memahami Ana. Interaksi yang terjalin dengan Ana baik, karena setiap hari bertemu seusai bekerja. Saat Ana bertengkar lebih cepat berdamai karena suami Ana tidak suka memperpanjang permasalahan. Interaksi yang terjalin antara ketiga subjek dengan lingkungannya adalah ketiga subjek sama-sama memiliki sahabat yang dijadikan teman berbagi. Hal ini sesuai teori yang dikemukakan oleh Overstreet dalam Casmini, 2004: 32, menyatakan bahwa, remaja yang matang emosinya memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan sosial. Ema memiliki sahabat Efi sahabat yang juga kakak suami. Saat Ema kesepian di rumah sering mengunjungi Efi atau sebaliknya Efi yang mengunjungi Ema. Ema sering merasa kesepian saat di rumah sementara mertua dan suami pergi bekerja. Menurut Efi, Ema berkepribadian pendiam, namun dapat akrab apabila sudah mengenal dan dapat menjadi teman yang mengasyikkan. Sementara itu, Santi memiliki sahabat yang juga teman satu pekerjaan. Santi sering curhat dengan Sari. Santi berkomunikasi waktu istirahat bekerja atau bertemu sepulang bekerja. Santi sering meminta nasihat dengan Sari dalam urusan rumah tangga. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Kay dalam Syamsu Yusuf L. N., 2006: 72-73, menyatakan bahwa usia remaja individu mulai mengembangkan keterampilan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual 168 maupun kelompok. Sementara itu, interaksi Elida dengan Ana, sudah sejak SMP dan merupakan teman satu desa dengan Ana. Elida sekarang masih bekerja di Sleman namun hubungan yang terjalin tetap dekat. Terkadang berkomunikasi melalui pesan SMS atau telepon, karena Elida libur bekerja hanya sekali seminggu. Berdasarkan hasil pembahasan mengenai peran dan interaksi sosial dari ketiga subjek dapat diketahui bahwa, ketiga subjek berinteraksi hanya dengan keluarga mertua dan teman yang dianggap dekat. Hanya Ana yang berinteraksi secara akrab dengan masyarakat. Selain itu ketiga subjek memiliki sahabat selain suami sebagai tempat curhat walaupun ketiga subjek sudah berkeluarga. Kedua subjek juga tidak mengikuti kegiatan dalam masyarakat dengan alasan yang berbeda-beda yaitu pemalu sehingga Ema merasa kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan kesibukan Ana sebagai ibu rumah tangga di rumah dan mengurus anak. Sementara itu, Santi mengikuti arisan rutin sebulan sekali di desanya. Kematangan emosi dilihat dari faktor pengalaman dan latihan dalam kehidupan pernikahan dini mengungkap bahwa ketiga subjek mampu belajar peran sebagai ibu dan istri. Ema mengungkapkan pengalaman menikah membuat Ema belajar bertanggung jawab atas pilihan hidupnya. Hal ini ditunjukkan dengan sikap mau belajar menjadi ibu rumah tangga seperti memasak, melayani suami, berbelanja dan sebagainya. Hal ini senada dengan teori Overstreet dalam Casmini, 2004: 32 yang mengemukakan bahwa remaja yang memiliki kematangan emosi berarti 169 memiliki sikap untuk belajar. Remaja bersikap terbuka untuk belajar menambah pengatahuan dari pengalaman hidupnya. Awalnya Ema tidak dapat melakukan tugas sebagai istri namun mertua Ema bersedia mengajari Ema. Begitu juga dengan Santi berusaha berlatih menjadi ibu yang baik dan istri yang bertanggung jawab. Pengalaman Santi menikah dini yang membuat hubungan dengan keluarga kandung menjadi renggang membuat Santi berusaha untuk mempertahankan pernikahannya. Menurut Young dalam Yudho L. W., 2012: 9 mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kematangan emosi individu salah satunya adalah faktor pengalaman. Berbeda dengan Ana yang belum dapat menerima kondisi pernikahannya karena merasa tertekan karena mertua Ana yang sering melontarkan kritikan mengenai pekerjaan rumah yang dilakukan subjek sehari-hari. Walaupun Ana telah berusaha berlatih peran sebagai seorang ibu dalam rumah tangga.

C. Keterbatasan Penelitian