demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya anak balita dan anak usia sekolah. Ibu
– ibu yang bekerja tidak cukup waktu untuk memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan kecukupannya serta kurangnya
perhatian dan pengasuhan kepada anak. Bahkan tak jarang tuntutan pekerjaan dapat mempengaruhi perilaku ibu
– ibu, dimana perhatian dan pemenuhan makanan untuk keluarga khususnya anak lebih bersifat praktis. Berg, 1986
Selama bekerja ibu cenderung mempercayakan bayi mereka kepada pembantu atau kepada anak yang lebih besar, sehingga pola pengasuhan dapat menjadi kurang
diutamakan. Tidak terdapatnya undang – undang yang mengatur waktu untuk
menyusui bayinya pada jam kerja mendorong ibu pekerja tidak menyususkan bayinya bahkan beralih kepada pemberian susu botol ataupun mempercepat waktu
penyapihan. Makanan sapihan yang tidak sesuai serta pemberian susu botol merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya kekurangan gizi pada bayi dan pada
umur selanjutnya, hal ini akan mempengaruhi fisik anak nantinya Abunain, 1978.
b. Status Pekerjaan Ayah
Penelitian Hartil 2001 menunjukkan bahwa pekerjaan ayah yang bekerja dalam kategori swasta mempunyai konsumsi makanan keluarga yang lebih baik
dibandingkan ayah yang bekerja sebagai buruh dan hasil uji statistiknya menunjukkan hubungan yang bermakna antara keduanya. Begitu pula dengan penelitian Alibbirwin
2001 menemukan hubungan yang bermakna antara pekerjaan ayah dengan status gizi balita. Dikatakan bahwa ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki resiko lebih
Universitas Sumatera Utara
besar mempunyai anak kurang gizi dibandingkan dengan balita yang ayahnya bekerja wiraswasta.
Proporsi ayah yang bekerja sebagai PNSSwasta cenderung memiliki anak dengan status gizi baik dibandingkan ayah dengan pekerjaan lainnya Sukmadewi,
2003. Hal ini didukung dengan penelitian Sihadi 1999 yang menyatakan ayah yang bekerja sebagai buruh memiliki balita dengan proporsi status gizi buruk terbesar yaitu
53.
2.3.2.3. Tingkat Pendapatan Keluarga
Salah satu penyebab tidak langsung dari gizi kurang adalah status sosial ekonomi keluarga. Masalah kesehatan dan keadaan gizi di negara berkembang
sebagian besar penduduknya berstatus sosio ekonomi rendah. Banyak keluarga terutama yang berstatus ekonomi rendah beranggapan bahwa menu makanan yang
sehat dan bergizi itu harganya mahal, padahal tidak selamanya makanan yang sehat dan bergizi itu mahal. Perubahan pendapatan keluarga dapat mempengaruhi
perubahan pola asuh gizi yang secara langsung berpengaruh terhadap konsumsi pangan balita. Meningkatnya pendapatan berarti memperbesar peluang untuk
membeli pangan dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik. Sebaliknya penurunan pendapatan akan menyebabkan penurunan dalam hal kualitas dan
penurunan kuantitas pangan yang dibeli Farida B, 2004. Standar hidup layak dihitung dari pendapatan per kapita tingkat ekonomi.
Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Tingkat pendapatan akan menunjukkan jenis pangan yang akan
Universitas Sumatera Utara
dibeli. Status sosial ekonomi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan karena orang dengan pendidikan tinggi semakin besar peluangnya untuk mendapatkan penghasilan
yang cukup supaya bisa berkesempatan untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat,sedangkan pekerjaan yang lebih baik orang tua selalu sibuk bekerja sehingga
tidak tertarik untuk memperhatikan masalah yang dihadapi anak-anaknya, padahal sebenarnya anak-anak tersebut benar-benar menbutuhkan kasih sayang orangtua
Adriani, 2012. Status sosial ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan
keluarga, apabila akses pangan ditingkat rumah tangga terganggu, terutama akibat kemiskinan, maka penyakit kurang gizi malnutrisi pasti akan muncul. Bagi negara-
negara yang sedang mengalami trasnsisi gizi seperti Indonesia, masalah yang dihadapi juga mencakup kegemukan yang dialami anak-anak sekolah akibat
kemakmuran orangtuanya Khomsan,2002. Pada kondisi ekonomi terbatas biasanya pemenuhan gizi pada anak jadi
terabaikan. Namun, pada negara-negara maju masyarakatnya lebih mengonsumsi kalori dan lemak jenuh melebihi kebutuhan tubuh disebabkan tingkat pendapatan
yang tinggi. Hal tersebut dapat menyebabkan kegemukan, kegemukan sangat terkait dengan pola makan dan gaya hidup. Penghasilan yang cukup ketika diimbangi
dengan pengetahuan gizi yang memadai, dan pemanfaatan pangan yang baik,kebutuhan gizinya akan terpenuhi secara kualitas maupun kuantitas. Keluarga
yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan untuk kebutuhan gizi tapi sebaliknya dibelanjakan untuk barang yang dapat meningkatkan status
Universitas Sumatera Utara
sosial.Banyak terdapat anak dengan status gizi kurang pada ayah dan ibu yang secara ekonomi seharusnya dapat mencukupi kebutuhan makanan yang bergizi
Sediaoetama, 2004. Menurut Berg 1986, pola perbelanjaan keluarga yang ekonomi rendah dan
yang tingkat ekonomi yang berstatus menengah ke atas memiliki perbedaan. Pada keluarga kurang mampu biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapatan
tambahannya untuk membeli makanan terutama beras, sedangkan keluarga kaya sudah tentu akan lebih kurang dari jumlah itu. Bagian untuk makan padi-padian akan
menurun dan untuk makanan yang dibuat dari susu akan bertambah jika keluarga beranjak kependapatan menengah ke atas, pada keluarga yang mampu semakin tinggi
pendapatan semakin bertambah pula persentase pertambahan perbelanjaan termasuk untuk buah-buahan, sayu-sayuran, dan jenis makanan lainnya Nugraheni,2003.
2.4. Status Sosial Ekonomi Keluarga dan Pola Konsumsi Pangan