34 Rusaknya hutan akan berpengaruh terhadap ketersediaan sumberdaya pakan
bagi jenis-jenis primata yang akan menyebabkan populasinya akan semakin langka Jones 1997. Apabila populasi jenis-jenis primata di TNGC mengalami
penurunan bahkan kepunahan, akan memiliki dampak pada kondisi ekosistem di TNGC. Primack Corlett 2005 menyatakan bahwa primata memiliki peran
besar dalam ekologi hutan, yaitu sebagai pemencar biji. Macan tutul merupakan salah satu jenis mamalia besar dilindungi yang
keberadaannya tergantung pada satwa mangsa. Harahap Sakaguchi 2005 menyatakan bahwa berdasarkan analisis feses macan tutul, diketahui bahwa satwa
mangsanya yakni surili, babi hutan dan kijang muncak. Perburuan yang terjadi pada babi hutan dan kijang muncak yang dianggap mengganggu ladang, akan
menyebabkan populasi macan tutul semakin rendah. Hal ini akan berpengaruh terhadap keberadaan macan tutul di TNGC. Primack Corlett 2005 menyatakan
bahwa karnivora merupakan elemen yang penting pada komunitas satwaliar. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk perlindungan terhadap jenis-jenis mamalia besar
dari perburuan.
F. Pemanfaatan Waktu Aktivitas dan Stratifikasi
Setiap jenis makhluk hidup akan selalu berinteraksi dengan lingungannya. Vaughan 1985 menyatakan bahwa faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi
penyebaran mamalia besar yaitu faktor fisik iklim, air dan substrat dan faktor biotik vegetasi dan makanan. Faktor-faktor ini akan menyebabkan setiap jenis
satwaliar, khususnya mamalia besar memiliki kebiasaan tertentu dalam memanfaatkan lingkungannya berupa hutan berdasarkan stratifikasi hutan dan
waktu aktivitas. Bentuk pemanfaatan waktu aktivitas dan stratifikasi disajikan pada Lampiran 24 dan Lampiran 25, terkait dengan data pertemuan langsung dan
tidak langsung terhadap jenis-jenis mamalia besar. Pola aktivitas setiap jenis mamalia besar yang ditemukan berbeda
berdasarkan waktu. Aktivitas yang umumnya dilakukan oleh mamalia besar ini dikategorikan berdasarkan pengamatan di lapangan menjadi 5, yaitu aktivitas
bersuara, bergerak, makan, berkelahi, dan lainnya. Aktivitas berkelahi berupa
35 kegiatan satwa dalam mempertahankan wilayah teritorinya dari individu-individu
atau kelompok lainnya. Dalam melakukan aktivitasnya, jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan
umumnya melakukan aktivitasnya lebih banyak pada pagi hari dibandingkan sore hari. Hal ini didasarkan jenis mamalia besar yang ditemukan secara langsung
sebagian besar adalah satwa bersifat diurnal. Satwa yang bersifat nokturnal umumnya tidak ditemukan secara langsung, salah satunya adalah kucing hutan
yang diketahui keberadaannya melalui suara yang dikeluarkan. Pembagian berdasarkan tipe aktivitas, aktivitas bergerak, bersuara dan
berkelahi lebih banyak dilakukan pada pagi hari. Pada aktivitas berkelahi atau aktivitas jenis mamalia besar dalam mempertahankan teritorinya yang teramati
pada monyet-ekor panjang hanya dilakukan pada pagi hari. Perbedaan pada total individu jenis mamalia besar disajikan dalam persentase dalam pembagian waktu
aktivitas pagi dan sore hari. Total individu setiap jenis yang melakukan aktivitas pada pagi hari sebesar 63, sedangkan yang memanfaatkan pada sore hari sebesar
37. Pembagian bentuk aktivitas mamalia besar pada saat pagi dan sore hari disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Pembagian bentuk aktivitas mamalia besar berdasarkan tipe aktivitas Pada aktivitas makan, jenis-jenis mamalia besar yang ditemukan lebih
banyak melakukannya pada sore hari. Hal ini dapat disebabkan dari bentuk
36 adaptasi jenis-jenis mamalia besar dalam menghindari adanya gangguan. Pada
saat pagi hari, masyarakat banyak melakukan aktivitas ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar atau rumput. Hal ini yang diduga berpengaruh terhadap
bentuk adaptasi jenis-jenis mamalia besar lebih banyak memanfaatkan waktu sore hari untuk makan. Bentuk adaptasi terhadap kebutuhan akan sumber pakannya
terlihat juga pada macan tutul yang melakukan aktivitas pada pagi hari antara pukul 06.00-09.00 WIB di TNGH sebagai salah satu pola adaptasi macan tutul
terhadap satwa mangsa utamanya yaitu kijang Harahap Sakaguchi 2003. Selain ditinjau berdasarkan pemanfaatan waktu aktivitas satwaliar,
dikategorikan juga berdasarkan pemanfaatan stratifikasi hutan yaitu sebagai satwa arboreal dan terestrial. Vieira Filho 2003 menyatakan bahwa perubahan
ketinggian pada hutan hujan di Atlantic dapat mengubah komposisi dari komunitas pada lapisan hutan yang berbeda tanpa mengubah pola pemanfaatan
habitat vertikal secara spesifik. Primack et al. 1998 menyatakan bahwa kekayaan vertebrata yaitu mamalia berkorelasi dengan struktur kompleks dari
hutan. Setiap strata hutan memiliki kemampuan dalam mendukung kehidupan
jenis-jenis satwaliar tertentu Alikodra 2002. Kartono et al. 2000 mengelompokkan sebaran spasial vertikal pada jenis-jenis mamalia yang
ditemukan di Muara Bungo, Jambi ke dalam 5 kelompok. Soerianegara Indrawan 2002 membagi strata hutan atas strata A 30m, strata B 20-30m,
strata C 4-20m, strata D 1-4m dan strata E 0-1m. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia besar disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Pemanfaatan strata hutan oleh masing-masing jenis mamalia besar di TNGC
Nama Jenis Strata Hutan
A 30m
B 20-30m
C 4-20m
D 1-4m
E 1m
Kukang jawa 1
3 Surili
19 13
Lutung budeng 34
32 13
Monyet ekor panjang 13
45 46
2 87
Babi hutan 2
Kijang muncak 1
Macan tutul 1
37 Dalam pembagian berdasarkan stratifikasi hutan, diketahui bahwa monyet-
ekor panjang memiliki sebaran vertikal yang lebih luas dibandingkan seluruh jenis mamalia besar. Monyet-ekor panjang memanfaatkan setiap strata hutan yang telah
dibagi. Hal ini dapat disebabkan kebiasaan monyet-ekor panjang untuk tidak memilih sumberdaya pakan tertentu. Selama pengamatan, satwa ini ditemukan di
lantai hutan strata E sedang mencari makanan dalam tumpukan sampah di lokasi kawasan yang berbatasan dengan permukiman. Bentuk pemanfaatan strata hutan
oleh monyet-ekor panjang disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8. Bentuk pemanfaatan strata hutan oleh monyet-ekor panjang Mamalia besar yang memanfaatkan strata A hanya monyet-ekor panjang
dan lutung budeng. Santoso 1996 menyatakan bahwa pola aktivitas monyet-ekor panjang di Pulau Tinjil yang banyak aktif pada tajuk pohon mengindikasikan
bahwa ketersediaan sumberdaya pakannya sedang berlimpah pada stratifikasi atas. Lutung budeng lebih banyak memanfaatkan strata A dibandingkan jenis-jenis
mamalia besar lainnya. Seperti halnya pernyataan Santoso 1996, lutung budeng juga lebih banyak memanfaatkan strata A disebabkan kebutuhannya akan daun
muda yang terdapat di tajuk pohon teratas. Jenis-jenis primata di TNGC lebih banyak dijumpai pada strata B.
Berdasarkan data pengamatan, rata-rata primata memanfaatkan pada ketinggian pohon berkisar dari 19-24m. Hal ini dapat disebabkan pada ketinggian ini, tersedia
sumber pakan yang dibutuhkan oleh jenis-jenis primata seperti buah, daun dan
38 serangga. Selain itu, jenis-jenis primata dapat melakukan pergerakan yang lebih
mudah dari strata B untuk berpindah ke strata A atau strata C. Heriyanto Iskandar 2004 menyatakan bahwa surili yang ditemukan di Taman Nasional
Ujung Kulon berada pada ketinggian 20-25 m dari permukaan tanah untuk kegiatan makan, istirahat, bermain dan melakukan perjalanan.
Jenis-jenis mamalia besar lainnya selain ordo primata, merupakan jenis- jenis yang mendiami strata E atau lantai hutan. Jenis-jenis yang teramati
memanfaatkan strata E adalah kijang muncak, babi hutan dan macan tutul. Namun, terdapat dugaan bahwa macan tutul memanfaatkan juga stratifikasi
lainnya untuk beristirahat. Kebutuhan akan satwa mangsanya menyebabkan satwa ini memiliki kebiasaan untuk hidup pada strata terbawah. Payne et al. 2000
menyatakan bahwa beberapa jenis Felidae memiliki sifat terestrial, tetapi juga memanfaatkan strata hutan yang lebih tinggi arboreal.
Kijang muncak dan babi hutan bersifat terestrial, yakni hidup pada lantai hutan. Kijang muncak memanfaatkan lantai hutan dalam memenuhi kebutuhannya
akan rumput sebagai sumber pakan, sedangkan babi hutan memerlukan biota- biota dalam tanah ataupun rumput. Baubet et al. 2003 menyatakan bahwa babi
hutan memiliki kecenderungan memakan cacing tanah sepanjang tahun. Alikodra 2002 menyatakan bahwa variasi jenis-jenis satwaliar di lantai hutan ditentukan
oleh komposisi jenis tumbuhan, kerapatan dan letak tempatnya.
G. Asosiasi Interspesifik