BAB V PEMBAHASAN
5.1 Jenis Ikan yang dikonsumsi Balita pada Keluarga Nelayan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, persentase jenis ikan yang paling sering dikonsumsi oleh anak balita bulan di kelurahan Pasir Bidang adalah
ikan laut sebesar 75,7. Jenis ikan laut menjadi pilihan dalam mengonsumsi ikan disebabkan karena ikan laut lebih sering dihasilkan dari hasil tangkapan, terutama
nelayan harian. Selain itu juga disebabkan karena beberapa jenis ikan laut dijual murah dipasaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Matheus dalam Auliya
Cholida, dkk 2015 di wilayah Ambon, yaitu 93,3 balita di wilayah pantai mengonsumsi ikan laut setiap harinya.
Namun hal ini tidaklah menyatakan bahwa ketika seseorang mengonsumsi ikan laut maka kecukupan proteinnya sehari-hari sudah tercukupi, begitu juga
sebaliknya. Apabila seseorang mengonsumsi ikan tawar tidaklah berarti kecukupan proteinnya sehari-hari belum tercukupi. Hal ini diasumsikan karena
protein yang berkontribusi terhadap tingkat kecukupan protein per harinya tidak hanya berasal dari ikan, tapi juga berasal dari protein nabati, protein hewani dan
lainnya. Hal ini didukung oleh pendapat Sediaoetama yang menyatakan bahwa sumbangan protein dalam sehari-hari tidak hanya berasal dari protein hewani tapi
juga protein nabati, seperti kacang-kacangan, tahu, tempe, dan lain-lain.
5.2 Frekuensi Ikan yang dikonsumsi Balita pada Keluarga Nelayan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan didapati bahwa frekuensi konsumsi ikan yang sering pada anak balita, peresentase tertinggi berasal dari
Universitas Sumatera Utara
balita yang sering mengonsumsi ikan layang. Hal ini diasumsikan karena pada saat penelitian, ikan yang sedang musim dikonsumsi adalah ikan layang. Selain
itu, harganya juga cukup terjangkau oleh masyarakat. Di daerah ini, terjangkau atau tidaknya harga suatu ikan memang dipengaruhi oleh kondisi musim atau
tidaknya ikan tersebut diperoleh dari hasil tangkapan nelayan. Sedangkan untuk persentase terendah berasal dari anak balita yang mengonsumsi ikan lele. Hal ini
diasumsikan karena hanya sebagian kecil masyarakat di Kelurahan Pasir Bidang yang mau mengonsumsi ikan tawar.
Sementara untuk frekuensi konsumsi ikan yang jarang pada anak balita, persentase tertinggi diperoleh dari konsumsi ikan lele, yang artinya hampir
sebagian besar anak balita jarang mengonsumsi ikan lele. Begitu juga dengan persentase terendah yang berasal dari anak balita yang mengonsumsi ikan layang.
Artinya, hanya sebagian kecil anak balita yang jarang mengonsumsi ikan layang. Namun hal ini tidak menunjukkan bahwa ketika seseorang sering
mengonsumsi ikan layang dan jarang mengonsumsi ikan lele, maka kecukupan protein sehari-hari tidak tercukupi dengan baik. Sebaliknya, ketika seseorang
sering mengonsumsi ikan lele dan jarang mengonsumsi ikan layang, maka keukupan protein hariannya tidak terpenuhi. Hal ini diasumsikan karena sering
atau jarangnya seseorang mengonsumsi ikan tidak mempengaruhi tingkat kecukupan protein per harinya. Artinya, mungkin saja seseorang selalu
mengonsumsi ikan setiap hari namun tidak dengan jumlah yang cukup, sehingga kecukupan protein per harinya tidak terpenuhi. Hal ini sejalan dengan penelitian
Zulaihah dan Widajanti 2006 tentang hubungan kecukupan Asam
Universitas Sumatera Utara
Eikosapentanoat EPA, Asam Dokosaheksanoat DHA ikan dan status gizi dengan prestasi belajar siswa yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang siginifikan antara frekuensi makan ikan dengan status gizi, bahkan hubungan variabel keduanya tergolong lemah. Sementara diketahui bahwa kekurangan
protein terkhususnya pada masa balita akan memberikan dampak jangka panjang, seperti kwashiorkor gizi buruk dan penurunan kualitas IQ. Hal ini didukung oleh
pendapat Sediaoetama dalam buku Ilmu Gizi jilid I yang menyatakan bahwa defisiensi protein secara ekstrim akan menyebabkan terjadinya penyakit dengan
gambaran klinik yang disebut kwashiorkor. Defisiensi protein juga hampir selalu, atau praktis selalu bergandengan dengan defisiensi kalori.
5.3 Kontribusi Protein Ikan terhadap Kecukupan Protein Harian.