Basa-basi berbahasa antara keluarga kesultanan dan masyarakat di lingkungan Keraton Yogyakarta.
ABSTRAK
Nurrahman, Fajar. 2015. Basa-basai Berbahasa Antara Keluarga Kesultanan dan Masyarakat di Lingkungan Keraton Yogyakarta. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas basa-basi linguistik dan nonlinguistik berbahasa yang dituturkan antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud basa-basi dalam berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda basa-basi linguistik dan nonlinguistik dalam berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna basa-basi dalam berbahasa yang digunakan antara keluarga kesultanan Keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah keluarga kesultanan keraton Yogyakarta. Metode pengumpulan data yakni, pertama, metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan kedua, metode cakap yang disejajarkan dengan metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memahami fenomena basa-basi yang digunakan oleh penutur maupun mitra tutur untuk menyampaikan maksud tuturannya. Oleh sebab itulah, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai suatu pemahaman terhadap penggunaan basa-basi terutama penggunaan bahasa dalam tindakan komunikasi
Simpulan penelitian adalah (1) wujud basa-basi linguistik dapat dilihat dari tuturan keluarga kesultanan dan masyarakat yang terdiri dari meminta maaf, simpati, memberi salam, berterima kasih, meminta, menerima dan menolak. Lalu wujud basa-basi nonlinguistik dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, dan tujuan tutur), (2) penanda basa-basi linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda basa-basi nonlinguistik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, dan tujuan tutur, dan (3) maksud basa-basi berbahasa yaitu: a) meminta maaf, menghormati mitra tutur b) simpati, mempedulikan mitra tutur c) memberi salam, menyenangkan mitra tutur d) berterimakasih menyenangkan mitra tutur e) meminta menghormati mitra tutur f) menerima menghargai mitra tutur g) menolak, memberikan rasa sungkan.
(2)
ABSTRACT
Nurrahman, Fajar. 2015. The politeness Among the Royal Family and the People in Keraton Yogyakarta. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discussed about the linguistic and nonlinguistic politeness which uttered among the royal family and people who have lived around keraton Yogyakarta. The objectives of this research were: (1) to describe the form of politeness in speech, (2) to describe the markers of linguistic and nonlinguistic politeness in speech, and (3) to describe the meanings of politeness in speech which were uttered among the royal family and people who have lived around keraton Yogyakarta.
This research was a descriptive qualitative research. This main data was the royal family of keraton Yogyakarta. Data gathering that the researcher used are, first, paying attention by using take notes and record techniques, and second, using conversation method which is considered as interview. This method was conducted by using cross-question technique. In data analysis, this research used contextual method, which means using contextual dimensions in interpreting the data which had been identified, classified, and typified successfully. In this research, the researcher tried to understand the phenomenon of using platitude which is used by the speaker or interlocutor to convey meaning. Therefore, the purpose of this research is as an understanding of the use of platitude, especially language used in communicating.
The result were (1) the form of linguistic politeness was seen from the royal family and people who have lived around keraton Yogyakarta speech which was divided into asking for pardon, giving sympathy, saying hello, thanking, accepting, and rejecting. Beside, the for of nonlinguistic politeness was seen based on the context (the speaker, the partner, the situation, the atmosphere, and the purpose of the speech). (2) The markers of the linguistic politeness which were found were tone, stress, intonation, and diction. The form of nonlinguistic politeness was seen based on the speech context which were the speaker and the partner of the speaker, the situation and the atmosphere, and the purpose of the seech. (3) The meanings of speech politeness were a) asking for pardon, respecting the partner, b) giving sympathy, caring the partner, c) saying hello, giving happiness to the partner, d) thanking, giving happiness to the partner, e) asking, respecting the partner, f) accepting, respecting the partner, g) rejecting, giving reluctant to approach or take action toward someone of higher status.
(3)
i
BASA-BASI BERBAHASA
ANTARA KELUARGA KESULTANAN DAN MASYARAKAT DI LINGKUNGAN KERATON YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Disusun oleh: Fajar Nurrahman
111224070
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2015
(4)
(5)
(6)
iv
MOTO
Ketika otak anda diremehkan, bungkam mereka dengan prestasi.
(Fajar.N)
Jika suatu hasil merupakan sebuah tujuan, maka proses adalah hal yang utama
(Fajar.N)
(7)
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
Tuhan yang Maha Esa yang seanantiasa memberikan rahmatnya.
Orang tua tercinta, Bapak Kemiran dan Ibu Bintuyati yang selalu
memberikan cinta, doa, dukungan, dan kesabaran yang begitu besar
untukku
Adik Raras Oktaviana Dewi yang selalu memberikan semangat, doa dan
canda tawa serta pertengkaran lucu setiap kita bertemu
Teman-
teman ‘sepayung’,
Surahmat Wiyata , Dani Hertanto, Maria
Budi Asih dan Selvi Novianti yang selama ini jatuh-bangun dan
berjuang bersama-sama dalam menyelesaikan skripsi ini
(8)
(9)
(10)
viii ABSTRAK
Nurrahman, Fajar. 2015. Basa-basai Berbahasa Antara Keluarga Kesultanan dan Masyarakat di Lingkungan Keraton Yogyakarta. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
Penelitian ini membahas basa-basi linguistik dan nonlinguistik berbahasa yang dituturkan antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan wujud basa-basi dalam berbahasa, (2) mendeskripsikan penanda basa-basi linguistik dan nonlinguistik dalam berbahasa, dan (3) mendeskripsikan makna basa-basi dalam berbahasa yang digunakan antara keluarga kesultanan Keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta.
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah keluarga kesultanan keraton Yogyakarta. Metode pengumpulan data yakni, pertama, metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan kedua, metode cakap yang disejajarkan dengan metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memahami fenomena basa-basi yang digunakan oleh penutur maupun mitra tutur untuk menyampaikan maksud tuturannya. Oleh sebab itulah, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai suatu pemahaman terhadap penggunaan basa-basi terutama penggunaan bahasa dalam tindakan komunikasi
Simpulan penelitian adalah (1) wujud basa-basi linguistik dapat dilihat dari tuturan keluarga kesultanan dan masyarakat yang terdiri dari meminta maaf, simpati, memberi salam, berterima kasih, meminta, menerima dan menolak. Lalu wujud basa-basi nonlinguistik dilihat berdasarkan konteks (penutur, mitra tutur, situasi, suasana, dan tujuan tutur), (2) penanda basa-basi linguistik yang ditemukan berupa nada, tekanan, intonasi, dan diksi. Penanda basa-basi nonlinguistik dapat dilihat berdasarkan konteks tuturan yang berupa penutur dan mitra tutur, situasi dan suasana, dan tujuan tutur, dan (3) maksud basa-basi berbahasa yaitu: a) meminta maaf, menghormati mitra tutur b) simpati, mempedulikan mitra tutur c) memberi salam, menyenangkan mitra tutur d) berterimakasih menyenangkan mitra tutur e) meminta menghormati mitra tutur f) menerima menghargai mitra tutur g) menolak, memberikan rasa sungkan.
(11)
ix ABSTRACT
Nurrahman, Fajar. 2015. The politeness Among the Royal Family and the People in Keraton Yogyakarta. SKRIPSI. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.
This research discussed about the linguistic and nonlinguistic politeness which uttered among the royal family and people who have lived around keraton Yogyakarta. The objectives of this research were: (1) to describe the form of politeness in speech, (2) to describe the markers of linguistic and nonlinguistic politeness in speech, and (3) to describe the meanings of politeness in speech which were uttered among the royal family and people who have lived around keraton Yogyakarta.
This research was a descriptive qualitative research. This main data was the royal family of keraton Yogyakarta. Data gathering that the researcher used are, first, paying attention by using take notes and record techniques, and second, using conversation method which is considered as interview. This method was conducted by using cross-question technique. In data analysis, this research used contextual method, which means using contextual dimensions in interpreting the data which had been identified, classified, and typified successfully. In this research, the researcher tried to understand the phenomenon of using platitude which is used by the speaker or interlocutor to convey meaning. Therefore, the purpose of this research is as an understanding of the use of platitude, especially language used in communicating.
The result were (1) the form of linguistic politeness was seen from the royal family and people who have lived around keraton Yogyakarta speech which was divided into asking for pardon, giving sympathy, saying hello, thanking, accepting, and rejecting. Beside, the for of nonlinguistic politeness was seen based on the context (the speaker, the partner, the situation, the atmosphere, and the purpose of the speech). (2) The markers of the linguistic politeness which were found were tone, stress, intonation, and diction. The form of nonlinguistic politeness was seen based on the speech context which were the speaker and the partner of the speaker, the situation and the atmosphere, and the purpose of the seech. (3) The meanings of speech politeness were a) asking for pardon, respecting the partner, b) giving sympathy, caring the partner, c) saying hello, giving happiness to the partner, d) thanking, giving happiness to the partner, e) asking, respecting the partner, f) accepting, respecting the partner, g) rejecting, giving reluctant to approach or take action toward someone of higher status.
(12)
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga dengan berkat dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Basa-basai Berbahasa Antara Keluarga Kesultanan dan
Masyarakat di Lingkungan Kraton Yogyakarta ini dengan baik. Sebagaimana
disyaratkan dalam Kurikulum Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, penyelesaian skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia.
Kelancaran dan keberhasilan proses pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tentunya tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.
2. Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan selaku dosen Pembimbing II yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian telah mendampingi, membimbing, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis mulai dari proses awal hingga akhirnya penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 3. Dr. R. Kunjana Rahardi, M. Hum., selaku Wakil Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma dan selaku dosen Pembimbing I yang dengan pengertian dan kesabaran, membimbing, memotivasi, dan memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penulis mulai dari proses awal hingga akhirnya penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Segenap dosen Program Studi PBSI yang dengan penuh dedikasi mendidik, membimbing, memberikan dukungan, bantuan, dan arahan yang sangat bermanfaat bagi penulis dari awal kuliah sampai selesai.
(13)
xi
5. Robertus Marsidiq sebagai karyawan sekretariat PBSI yang selalu sabar memberikan pelayanan dan membantu kelancaran penulis dalam menyelesaikan kuliah di PBSI sampai penyusunan skripsi ini.
6. Kedua orang tua, Bapak Kemiran dan Ibu Bintiyati, yang telah memberikan cinta, doa dan dukungan, baik secara moral maupun material bagi penulis selama menjalani masa kuliah.
7. Wiwit, Dani, Maria Budi dan Selvi, teman ‘sepayung’ dan seperjuangan yang sudah bersama-sama berjuang dengan skripsi ini.
8. Adikku Raras yang sudah memberikan semangat, doa dan perhatian dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Cecil Petra, Hendra, Vidam, Viviyanti, Rezti, Siti, Tito, Deni, Dwi, Andre, Nanda yang telah berjuang belajar bersama di perpustakaan ataupun di kos dan bersedia menemani, memberikan semangat, bantuan, dan perhatian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman Mahasiswa PBSI Sanata Dharma Angkatan 2011 s.d. 2014; melalui kebersamaan selama berproses dan kuliah ini saya dapat merasakan bagaimana arti sebuah keakraban dan kesetiakawanan.
Penulis menyadari bahwa penulisan dan penyusunan laporan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis memohon maaf apabila laporan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan berbagai saran dan kritik dari para pembaca. Penulis berharap agar laporan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Yogyakarta
(14)
xii DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR BAGAN ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 4
1.4 Manfaat Penelitian ... 5
1.5 Batasan Istilah ... 5
BAB II LANDASAN TEORI ... 8
2.1 Penelitian yang Relevan ... 8
2.2 Kajian Teori ... 10
2.2.1 Pragmatik ... 10
2.2.2 Konteks ... 11
2.2.3 Fenomena Pragmatik ... 16
2.2.3.1 Dieksis ... 16
(15)
xiii
2.2.3.3 Implikatur ... 19
2.2.3.4 Tindak Ujaran ... 20
2.2.3.5 Basa-basi sebagai Fenomena Pragmatik ... 21
2.2.4 Maksud dalam Pragmatik ... 25
2.3 Aspek-aspek Kebahasaan Penanda Basa-basi ... 28
2.3.1 Bunyi Suprasegmental ... 28
2.3.1.1 Nada ... 29
2.3.1.2 Tekanan ... 30
2.3.1.3 Intonasi ... 31
2.3.2 Pilihan Kata ... 32
2.3.2.1 Bahasa Standar dan Nonstandar ... 33
2.3.3 Kategori Fatis ... 34
2.4 Kerangka Berpikir ... 35
BAB III METODELOGI ... 41
3.1 Jenis Penelitian ... 41
3.2 Data dan Sumber Data ... 42
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 44
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 46
3.5 Trianggulasi Hasil Analisis Data ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
4.1 Deskripsi Data ... 49
4.2 Analisis Data ... 57
4.2.1 Meminta Maaf ... 57
4.2.1.1 Wujud Basa-basi Linguistik ... 59
4.2.1.2 Wujud Basa-basi Nonlinguistik ... 59
4.2.1.3 Penanda Basa-basi Linguistik ... 60
4.2.1.4 Penanda Basa-basi Nonlinguistik ... 61
4.2.1.5 Maksud Basa-basi Berbahsa yang Meminta Maaf ... 63
(16)
xiv
4.2.2.1 Wujud Basa-basi Linguistik ... 64
4.2.2.2 Wujud Basa-basi Nonlinguistik ... 65
4.2.2.3 Penanda Basa-basi Linguistik ... 65
4.2.2.4 Penanda Basa-basi Nonlinguistik ... 66
4.2.2.5 Maksud Basa-basi Berbahasa yang Simpati ... 67
4.2.3 Memberi Salam ... 67
4.2.3.1 Wujud Basa-basi Linguistik ... 68
4.2.3.2 Wujud Basa-basi Nonlinguistik ... 69
4.2.3.3 Penanda Basa-basi Linguistik ... 69
4.2.3.4 Penanda Basa-basi Nonlinguistik ... 70
4.2.3.5 Maksud Basa-basi Berbahasa yang Memberi Salam ... 71
4.2.4 Berterima kasih ... 72
4.2.4.1 Wujud Basa-basi Linguistik ... 73
4.2.4.2 Wujud Basa-basi Nonlinguistik ... 73
4.2.4.3 Penanda Basa-basi Linguistik ... 74
4.2.4.4 Penanda Basa-basi Nonlinguistik ... 74
4.2.4.5 Maksud Basa-basi Berbahasa yang Berterima kasih ... 75
4.2.5 Meminta ... 76
4.2.5.1 Wujud Basa-basi Linguistik ... 77
4.2.5.2 Wujud Basa-basi Nonlinguistik ... 77
4.2.5.3 Penanda Basa-basi Linguistik ... 78
4.2.5.4 Penanda Basa-basi Nonlinguistik ... 79
4.2.5.5 Maksud Basa-basi Berbahasa yang Meminta ... 80
4.2.6 Menerima ... 81
4.2.6.1 Wujud Basa-basi Linguistik ... 82
4.2.6.2 Wujud Basa-basi Nonlinguistik ... 82
4.2.6.3 Penanda Basa-basi Linguistik ... 83
4.2.6.4 Penanda Basa-basi Nonlinguistik ... 83
4.2.6.5 Maksud Basa-basi Berbahasa yang Menerima ... 84
4.2.7 Menolak ... 85
(17)
xv
4.2.7.2 Wujud Basa-basi Nonlinguistik ... 86
4.2.7.3 Penanda Basa-basi Linguistik ... 87
4.2.7.4 Penanda Basa-basi Nonlinguistik ... 87
4.2.7.5 Maksud Basa-basi Berbahasa yang Menolak ... 88
4.3 Pembahasan ... 89
4.3.1 Meminta Maaf ... 89
4.3.2 Simpati ... 99
4.3.3 Memberi Salam ... 107
4.3.4 Berterima kasih ... 115
4.3.5 Meminta ... 123
4.3.6 Menerima ... 133
4.3.7 Menolak ... 140
BAB V PENUTUP ... 148
5.1 Simpulan ... 148
5.2 Saran ... 150
DAFTAR PUSTAKA ... 151 LAMPIRAN
(18)
xvi
DAFTAR BAGAN
Hal.
(19)
xvii
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1 Jumlah Data Tuturan Berdasarkan Kategori Basa-basi ... 49
Tabel 2 Tuturan Basa-basi Meminta maaf ... 50
Tabel 3 Tuturan Basa-basi Simpati ... 51
Tabel 4 Tuturan Basa-basi Memberi Salam ... 52
Tabel 5 Tuturan Basa-basi Berterima kasih ... 53
Tabel 6 Tuturan Basa-basi Meminta ... 56
Tabel 7 Tuturan Basa-basi Menerima ... 55
(20)
1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa merupakan salah satu bagian utama di kehidupan manusia, karena bahasa merupakan alat komunikasi dan interaksi antarsesama manusia. Bahasa dalam komunikasi memiliki makna yang terkandung dalam tuturannya. Makna-makna dalam bahasa tersebut dikaji oleh cabang linguistik yaitu pragmatik.
Pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh pendengar (atau pembaca). Sebagai akibatnya studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan daripada dengan makna terpisah dari kata atau frasa yang digunakan dalam tuturan itu sendiri. Pragmatik, sebagaimana yang diperbincangkan dewasa ini paling tidak dapat dibedakan atas dua hal: (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan atau (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Soal (1) itu masih dapat dibedakan lagi atas dua hal: (a) pragmatik sebagai kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi dalam bahasa; “pragmatik” pengertian (b) ini lazim disebut “fungsi komunikatif”.
Bidang kajian pragmatik bersifat komunikatif, menurut KBBI edisi keempat (2008:720) komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami; hubungan; kontak. Saat berkomunikasi seorang penutur biasanya tidak secara langsung mengungkapkan apa yang ingin di sampaikan atau diungkapkan, akan
(21)
tetapi seorang penutur akan membuka komunikasi dengan kata atau kalimat secara spontan dan bermaksud untuk mengakrabkan diri dengan mitra tutur. Hal ini bertujuan untuk membuka pembicaraan dan memelihara hubungan sosial antara penutur dengan mitra tuturnya yang biasa dikenal dengan istilah basa-basi.
Basa-basi adalah (1) adat sopan santun; tata karma pergaulan, (2) ungkapan yang digunakan hanya untuk sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi, misalnya kalimat “apa kabar?” yang diucapkan apabila kita bertemu dengan kawan (3) perihal menggunakan ungkapan semacam itu (KBBI edisi keempat, 2008:143). Basa-basi memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan hubungan antarmanusia. Basa-basi sangat dipengaruhi oleh konteks yang dapat membangun situasi dan kondisi antara penutur dan lawan tuturnya.
Basa-basi berbahasa tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat umum, akan tetapi basa-basi berbahasa dapat ditemukan di ranah bangsawan. Dalam hal ini, peneliti akan melakukan suatu penelitian dengan judul “Basa-basi Berbahasa Antara Keluarga Kesultanan dan Masyarakat di Lingkungan Keraton Yogyakata”. Penelitian basa-basi bangsawan dengan masyarakat ini sangatlah menarik karena kedudukan bangsawan dengan masyarakat itu tidak memiliki kedudukan yang sama, khususnya bagi masyarakat Yogyakata. Peneliti memilih objek penelitian di keraton Yogyakarta karena keraton Yogyakarta dianggap dapat mewakili tuturan basa-basi yang berasal dari status sosial yang berbeda. Basa-basi antara bangsawan dan masyarakat seringkali terjadi ketika seorang bangsawan berpapasan dengan wisatawan di keraton Yogyakarta.
(22)
Contoh:
Bangsawan : monggo Wisatawan : iya,
Trima kasih pak.
Pada dialog tersebut konteksnya ketika bangsawan dan wisatawan bertemu di pintu masuk salah satu ruangan keraton. Ungkapan “monggo” dipakai secara
otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang menandai realitas yang terjadi ketika itu. Pada tuturan “monggo” merupakan basa-basi yang digunakan untuk membuka suatu percakapan dan mempersilakan sesorang untuk melakukan sesuatu atau melewati.
Peneliti mengambil topik basa-basi berbahasa di ranah bangswan ini karena penelitian yang berkaitan dengan basa-basi masih belum banyak diteliti dalam kajian pragmatik. Selain itu, basa-basi penting digunakan dalam kaitannya dengan budaya khususnya budaya Jawa. Budaya Jawa yang dimaksud adalah budaya yang terkait dengan bahasa, dalam ilmu komunikasi bahasa merupakan komponen komunikasi yang sulit dipahami. Bahasa dalam budaya jawa memiliki keunikan, yang hanya dapat dimengerti oleh pengguna bahasa tersebut. Jadi keunikan bahasa ini harus dipelajari dan dipahami agar komunikasi lebih baik dan efektif dengan memperoleh nilai empati dan simpati dari orang lain. Di ranah bangsawan, basa-basi berkaitan erat dengan karakter dan sopan santun sehingga penelitian basa-basi berbahasa di ranah bangswan sangat menarik untuk diteliti.
(23)
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dideskripsikan di atas, penulis mendeskripasikan rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Apa saja wujud basa-basi dalam berbahasa antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta? 1.2.2 Apa saja penanda linguistik dan nonlinguistik basa-basi dalam berbahasa
antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta?
1.2.3 Apa saja maksud basa-basi dalam berbahasa antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta? 1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dideskripsikan di atas, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut
1.3.1 Mendeskripsikan wujud basa-basi dalam berbahasa antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta
1.3.2 Mendeskripsikan penanda linguistik dan nonlingustik basa-basi dalam berbahasa antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta
1.3.3 Mendeskripsikan makna basa-basi dalam berbahasa antara keluarga kesultanan keraton Yogyakarta dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta
(24)
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian basa-basi dalam berbahasa antara keluarga kerajan dengan masyarakat ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang memerlukan. Terdapat dua manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Kajian-kajian yang digunakan dalam penelitian ini diharapkan dapat memperluas kajian dan memperkaya khasanah teoretis tentang basa-basi dalam berbahasa sebagai fenomena pragmatik yang baru.
1.4.2 Manfaat Praktis
Penelitian basa-basi berbahasa ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat Jawa pada umumnya terutama antara bangsawan dan masyarakat untuk membuka serta mempererat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Demikian pula, penelitian ini akan memberikan masukan kepada para praktisi dalam bidang pendidikan terutama bagi dosen, guru, mahasiswa, siswa, dan tenaga kependidikan untuk mengembangkan ilmu pragmatik dengan penelitian yang berbeda.
1.5 Batasan Istilah
Batasan istilah yang digunakan dalam penelitian ini tidak lepas dari teori basa-basi berbahasa dalam ilmu pragmatik, maka peneliti memberikan batasan istilah sebagai berikut:
1.5.1 Pragmatik
Pragmatik adalah ilmu yang mengkaji bahasa beserta konteksnya yang mendasari pengertian suatu bahasa. Pengertian atau pemahaman bahasa menunjuk
(25)
kepada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan atau ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan kata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaian
1.5.2 Phatic Communion
Phatic Communion adalah kelas kata yang digunakan dalam suasana ramah
tamah dan dalam ikatan personal antarpeserta komunikasi.
1.5.3 Basa-basi
Basa-basi adalah tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.
1.5.4 Wujud Basa-basi
Wujud basa-basi ialah sesuatu yang menunjukkan adanya tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara dalam suatu tuturan.
1.5.5 Maksud Basa-basi
Maksud basa-basi ialah sesuatu yang sungguh-sungguh ingin disampaikan oleh penutur dan hanya bersumber dari penutur
1.5.6 Konteks
Konteks adalah situasi lingkungan yang digunakan petutur untuk memperjelas penyampaian informasi. Konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan
(26)
tutur menafsirkan makna tuturan. Konteks sangat penting dalam memahami suatu tuturan, ia tidak menelaah struktur bahasa secara internal melainkan secara eksternal. Konteks itu bisa berupa bahasa dan bukan bahasa, kedua-duanya dapat mempengaruhi arti bahasa itu.Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa.
(27)
8 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan penelitian yang relevan, landasan teori, dan kerangka berpikir. Penelitian yang relevan berisi tentang tinjauan terhadap topik-topik sejenis yang dilakukan oleh peneliti yang lain. Landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai landasan analisis dari penelitian ini yang terdiri atas teori pragmatik, konteks, fenomena pragmatik, basa-basi sebagai fenomena pragmatik, maksud dalam pragmatik, aspek-aspek kebahasaan penanda basa-basi dan katagori fatis. Kerangka berpikir berisi tentang acuan teori yang berdasarkan pada penelitian yang relevan dan landasan teori untuk menjawab rumusan masalah.
2.1 Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang basa-basi berbahasa di ranah bangsawan sejauh yang diketahui oleh penulis, belum pernah dilakukan. Namun terdapat penelitian yang relevan dengan penelitian yang berkaitan dengan basa-basi berbahasa yaitu penelitian yang dilakukan Fitri Apri Susilo (2013)
Penelitian Fitri Apri Susilo (2013) berjudul Basa-Basi dalam Berbahasa
Antarguru di SMP N 12 Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan
bentuk atau wujud basa-basi antara guru dan guru di SMP N 12 Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014, (2) mendeskripsikan maksud basa-basi antara guru dan guru di SMP N 12 Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014.
(28)
Berdasarkan dari tujuan penelitian yang dilakukan oleh Fitri Apri Susilo, dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut: (1) Peneliti menemukan 8 wujud basa-basi berbahasa antara guru dan guru di SMP N 12 Yogyakarta. Kedelapan wujud basa-basi tersebut ialah basa-basi menerima, basa-basi menolak, basa-basi berterima kasih, basa-basi meminta maaf, basa-basi memberi salam, basa-basi bersimpati, basa-basi mengucapkan selamat, dan basa-basi mengundang. (2) Maksud basa-basi berbahasa antara guru dan guru adalah untuk memulai, mempertahankan atau mengukuhkan, menjalin relasi antara penutur dan mitra tutur, serta untuk menyampaikan berbagai maksud. Selain itu, basa-basi digunakan untuk mengekpresikan perasaan penutur terhadap suatu tuturan yang disampaikan oleh mitra tutur.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah metode simak dan metode cakap. Metode simak dengan teknik catat dan rekam, dan metode cakap yang disejajarkan dengan metode wawancara yang dilaksanakan dengan teknik pancing. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba memahami fenomena basa-basi yang digunakan oleh penutur maupun mitra tutur untuk menyampaikan maksud tuturannya. Oleh sebab itu, tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai suatu pemahaman terhadap penggunaan basa-basi terutama penggunaan bahasa dalam tindakan komunikasi.
Berdasarkan penelitian di atas penelitian kali ini akan membedakan dari segi subjek yaitu basa-basi berbahasa antara keluarga kesultanan dan masyarakat, sehingga peneliti akan melakukan penelitian di ranah bangsawan dengan judul penelitian Basa-Basi Berbahasa Antara Kelurga Kesultanan dan Masyarakat di
(29)
Lingkungan Keraton Yogyakarta. Oleh karena itu, penelitian basa-basi berbahasa
tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk mengkaji fenomena basa-basi berbahasa khususnya dalam ranah bangsawan.
2.2 Kajian Teori 2.2.1 Pragmatik
Levinson dalam Nadar (1987:3) menyatakan bahwa kajian pragmatik adalah kajian tentang pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai dengan bagian itu. Pragmatik mempunyai kaitan erat dengan semantik, Leech dalam Nadar (2009:8) mendeskripsikan bahwa semantik memerlukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan dua segi ‘dyadic’ seperti pada “Apa artinya X?”, sedangkan pragmatik memperlakukan makna sebagai suatu hubungan yang melibatkan tiga segi ‘triadic’, seperti pada “Apa maksudmu dengan X?”. Dengan demikian dalam pragmatik makna diberi definisi dalam hubungannya dengan penutur atau pemakai bahasa, sedangkan dalam semantik, makna didefinisikan semata-mata sebagai ciri-ciri ungkapan-ungkapan dalam suatu bahasa tertentu, terpisah dari situasi, penutur dan lawan tuturnya.
George dalam Rahardi (2003: 12) telah mendeskripsikan bahwa ilmu bahasa pragmatik sesungguhnya adalah ilmu tentang makna bahasa, dalam kaitan dengan keseluruhan perilaku umat manusia dan tanda-tanda atau lambang-lambang bahasa yang disekelilingnya. Terhadap tanda atau lambang-lambang bahasa yang mencuat di sekelilingnya itu, manusia akan selalu bereaksi dengan aneka kemungkinan sikap dan variasi tindakan atau prilakunya. Dalam kaitan dengan kenyataan yang demikian itu George mendefinisikan pragmatik sebagai semantik
(30)
perilaku (behavioral semantiks).
Ilmu bahasa pragmatik adala telaah terhadap pertuturan langsung maupun tidak langsung, presuposisi, implikatur, entailment, dan percakapan atau kegiatan konversasional antara penutur dan mitra tutur yang dikemukakan oleh David R. dan Dowty dalam Rahardi (2003: 13). Dalam kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat, melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act). Pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisis berupa tindak tutur (speech act). Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Misalnya dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk atau struktur. Untuk maksud “menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif.
Pragmatik adalah ilmu yang memelajari tentang maksud sebuah tuturan yang dipaparkan dalam komunikasi. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku penutur saat berkomunikasi, penutur akan bertutur dengan tidak tutur maupun ujaran yang mengandung maksud tertentu. Dalam pragmatik tidak hanya mengkaji tentang makna sebuah kalimat namun termasuk juga perilaku dalam menuturkan kalimat tersebut. Jadi pragmatik adalah kajian linguistik yang mengkaji tentang maksud sebuah tuturan melaluli perilaku dan tuturannya.
2.2.2 Konteks
Pragmatik adalah ilmu yang menonjolkan adanya konteks situasi dalam tuturan. Konteks sangat mepengaruhi bentuk kebahasaan yang digunakan oleh penutur. Konteks adalah bagian terpenting dalam pragmatik di mana maksud
(31)
penutur dalam tuturan dapat diketahui dengan mengetahui konteks situasi yang mengelilingi terjadinya sebuah tuturan. Konteks sangat penting dalam memahami suatu tuturan, konteks tidak menelaah struktur bahasa secara internal melainkan secara eksternal. Konteks itu bisa berupa bahasa dan bukan bahasa, kedua-duanya dapat mempengaruhi arti bahasa itu. Istilah konteks sering digunakan untuk menerangkan peristiwa bahasa sebagai salah satu petunjuk untuk lebih memahami masalah arti bahasa (Anwar, 1984:44).
Istilah “konteks” didefinisikan oleh Mey (1993:38) konteks sebagai the surrounding, in the widest sense, that enable the participants in the
communication process to interact, and that make the linguistic expression of
their interaction intelliegible (lingkungan sekitar dalam arti luas sesuatu yang
memungkinkan peserta tuturan dapat berinteraksi, dan yang dapat membuat tuturan mereka dapat dipahami). Konteks didefinsikan oleh Leech melalui Nadar (2009:6) sebagai background knowledge assumed to be shared by s and h and
which contributies to h’s interpretation of what s means by a given utterance
(latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur maupun lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu membuat tuturan tertentu) (s berarti speaker “penutur”; h berarti hearer “lawan tutur”). Dengan demikian, konteks adalah hal-hal yang berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan (Nadar, 2009: 6-7).
(32)
Rahardi (2003:20) mengemukakan bahwa konteks tuturan dapat diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang diasumsikan sama-sama dimiliki dan dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur, serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan oleh si penutur itu di dalam keseluruhan proses bertutur. Kemudian Levinson dalam Nugroho (2009:119) menjelaskan bahwa untuk mengetahui konteks, seseorang harus membedakan antara situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keserbaragaman ciri-ciri tuturan mereka, dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya dan linguistis yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran tuturan.
Jika Malinowsky menyebut ‘context of situation’, Leech (1983) menggunakan istilah ‘speech situation’ dalam pemahamannya tentang konteks. Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan, Leech (1983) dalam Wijana (1996:10−13) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu adalah sebagai berikut.
1) Penutur dan lawan tutur
Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
(33)
Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks seting sosial disebut konteks. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan (back gorund knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.
3) Tujuan penutur
Bentuk-bentk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama. Di dalam pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan (goal oriented activities). Ada perbedaan yang mendasar antara pandangan pragmatik yang bersifat fungsional dengan pandangan gramatika yang bersifat formal. Di dalam pandangan yang bersifat formal, setiap bentuk lingual yang berbeda tentu memiliki makna yang berbeda.
4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas
Bila gramatika menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dan sebagainya, pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan ini, pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan
(34)
tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan mitra tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.
5) Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam kriteria keempat merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karenanya, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh, kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini, dapat ditegaskan ada perbedaan yang mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.
Selain kelima aspek tuturan yang telah dijelaskan oleh Leech (1983), lebih lanjut dijelaskan perihal yang berkenaan dengan penutur dan lawan tutur di dalam Verschueren dalamRahardi (2012), bahwa bagi sebuah pesan (message), untuk dapat sampai kepada ‘interpreter’ (I) dari seorang ‘utterer’ (U), selain akan
ditentukan oleh keberadaan konteks linguistiknya (linguistic context), juga oleh konteks dalam pengertian yang sangat luas, yang mencakup latar belakang fisik tuturan (physical world of the utterance), latar belakang sosial dari tuturan (social
world of the utterance), dan latar belakang mental penuturnya (mental world of
the utterance). Jadi setidaknya, Verschueren menyebut empat dimensi konteks
(35)
Berdasarkan penjelasan di atas, konteks dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan situasi dan kondisi peserta tutur dengan latar belakang pengetahuan yang sama atas apa yang dituturkan dan dimaksudkan oleh penutur. Konteks tersebut disertai dengan komponen-komponen tuturan yang sangat mempengaruhi tuturan seseorang. Kehadiran konteks berhubungan dengan produksi dan penafsiran dari tuturan. Seseorang tidak bisa dikatakan berbicara secara santun atau tidak tanpa dipahami terlebih dahulu konteks yang melingkupi tuturan seseorang tersebut.
2.2.3 Fenomena Pragmatik
Dalam ilmu pragmatik terdapat empat fenomena pragmatik yang telah disepakati, yaitu (1) deiksis, (2) praanggapan (presupposition), (3) implikatur percakapan (conversational implicature), dan (4) tindak ujaran (speech acts), Purwo (1990:17).
2.2.3.1 Deiksis
Deiksis adalah istilah teknis (dari bahasa yunani) untuk salah satu hal yang mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’ melalui bahasa. Bentuk linguistik yang dipakai untuk menyelesaikan ‘penunjukan’ disebut ungkapan deiksis. Ketika Anda menunjuk objek asing dan bertanya, “Apa itu?”, maka Anda menggunakan ungkapan deiksis (“itu”) untuk menunjuk sesuatu dalam suatu konteks secara tiba-tiba (Yule, 2006:13).
Kata seperti saya, sini, sekarang adalah kata-kata yang deiktis. Kata-kata tersebut tidak memiliki referen yang tetap. Berbeda halnya
(36)
dengan kata rumah, kertas, kursi, di tempat manapun, pada waktu kapan pun, referen yang diacu tetaplah sama. Akan tetapi, referen dari kata saya, sini, sekarang barukah dapat diketahui pula siapa, di tempat mana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan.
2.2.3.2 Praanggapan/presuposisi
Pada mulanya preposisi merupakan kajian dalam lingkup semantik, namun dalam perkembangannya para linguis cenderung berpendapat bahwa kajian preposisi dalam lingkup semantik saja tidak dapat memuaskan mereka, sehingga kajian presuposisi bergeser ke wilayah pragmatik (Nadar, 2009:63 melalui Gazdar, 1976:103; Mey, 1993:201; Levinson, 1983:167). Levinson (1983:169) menyatakan bahwa preposisi pragmatik merupakan inferensi pragmatik yang sangat sensitif terhadap faktor-faktor konteks, dan membedakan terminologi preposisi menjadi dua macam.Pertama, kata “presuposisi” sebagai terminologi umum dalam penggunaan bahasa inggris sehari-hari, serta kata “presuposisi” sebagai terminologi teknis dalam kajian pragmatik. Dibandingkan dengan luasnya makna preposisi secara umum dalam penggunaan sehari-hari, makna preposisi dalam pragmatik relatif lebih sempit. Preposisi dapat dijelaskan sebagai berbagai inferensi atau asumsi pragmatik yang nampaknya dibangun menjadi ungkapan linguistik (Nadar, 2009:64-65).
Rahardi (2003:83) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat dikatakan mempresuposisikan atau mempraanggapkan tuturan yang lainya, apabila ketidakbendaan tuturan yang lainnya, apabila
(37)
ketidakbenaran yang diperanggapkan itu mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan tidak dapat dikatakan sama sekali. Presuposisi pragmatik ‘pragmatik presupposition’, sebagaimana halnya teori tindak tutur ‘speech act theory’, justru ditemukan filsuf dan bukan linguis. Levinson (1983:169) dalam Nadar (2009:64) menyatakan bahwa presuposisi pragmatik merupakan inferensi pragmatik yang sangat sensitive terhadap faktor-faktor konteks, dan membedakan terminologi presuposisi menjadi dua macam. Pertama, kata “presuposisi”sebagai terminologi teknis dalam kajian pragmatik.
Sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposikan tidak dapat dikatakan. Tuturan yang berbunyi “Mahasiswa tercantik di kelas itu pandai sekali”, mempraanggapkan adanya seorang mahasiswi yang berparas cantik. Apabila pada kenyataannya memang ada seorang mahasiswi yang berparas sangat cantik di kelas itu, tuturan di atas dapat di nilai benar atau salahnya.
Sebaliknya, apabila di dalam kelas itu tidak ada seorang mahasiswa yang berparas cantik, tuturan tersebut tidak dapat ditentukan benar atau salahnya. Tuturan yang berbunyi Kalau kamu sudah sampai Jakarta, tolong aku diberi kabar. Jangan sampai lupa! Aku tidak ada di rumah karena bukan hari libur. Tuturan itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa ia harus melakukan sesuatu seperti yang
(38)
dimaksudkan di dalam tuturan itu melainkan ada sesuatu yang tersirat dari tuturan itu yang harus dilakukannya, seperti misalnya mencari alamat kantor atau nomor telepon si penutur (Rahardi, 2005:42).
2.2.3.3 Implikatur
Mey dalam Nadar (2009:60) mengatakan implikatur berasal dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata kerja ini berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold “melipat”, sehingga untuk mengerti apa yang dilihat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan oleh seorang penutur, lawan tutur harus selalu melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.
Wijana (1996:37-38) menjelaskan bahwa sebuah tuturan memang dapat mengimplementasikan proposisi yang bukan bagian dsri tuturan yang bersangkutan. Karena implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan yang mengimplementasikanya, hubungan kedua proposisi merupakan konsekuensi mutlak. Contoh yang dipergunakan untuk memperjelas pernyataan bahwa implikatur bukan merupakan bagian dari tuturan yang mengimplementasikannya adalalah sebagai berikut:
(+) Ali sekarang memelihara kucing (-) Hati-hati menyimpan daging.
Tuturan (-) bukan merupakan bagian dari tuturan (+) karena tuturan (-) muncul akibat inferensi yang didasari oleh latar belakang
(39)
pengrtahuan tentang kucing dengan segala sifatnya. Adapun salah satu sifatnya adalah senang makan daging.
Antara penutur dan mitra tutur terdapat semacam kontrak percakapan tidak tertulis bahwa apa yang sedang dipertuturkan itu saling dimengerti. Grice (1975) di dalam artikelnya yang berjudul “Logic and Conversation” menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Preposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut (Rahardi, 2005:43).
2.2.3.4 Tindak Ujaran(speech acts)
Dalam usaha untuk mengungkapkan diri mereka, orang-orang tidak hanya menghasilkan tuturan yang mengandung kata-kata dan struktur-struktur gramatikal saja, tetapi mereka juga memperlihatkan tindakan-tindakan melalui tuturan-tuturan itu (Yulie, 2006:81)
Austin dalam Nadar (2009:11) menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu. Pada waktu sesorang menggunakan kata-kata kerja promise ‘berjanji’,
apologize ‘minta maaf’, name ‘menanamkan’, pronounce ‘menyatakan’
misalnya dalam tuturan I promise I will come on time (“saya berjanji akan dating tepat waktu”), dan I apologize for coming late ( “saya minta maaf
(40)
karena dating terlambat”) maka yang bersangkutan tidak hanya mengucapkan tetapi juga melakukan tindakan berjanji dan meminta maaf. Tuturan-tuturan tersebut dinamakan tuturan performatif, sedangkan kata kerjanya juga disebut kata kerja performatif.
2.2.3.5 Basa-Basi sebagai Fenomena Pragmatik
Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:16) menjelaskan bahwa ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam fatik atau yang dikenal dengan basa-basi, biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan keadaan keluarga. Ungkapan-ungkapan yang digunakan tidak dapat diartikan atau diterjemahkan secara harfiah. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada ungkapan seperti Apa kabar?, Bagaimana kabar keluarga di rumah?, Mau
kemana nih?, dan sebagainya. Oleh karena itu, penggunaan suatu bahasa
tidak akan lepas dari basa-basi, namun hanya berbeda kadar penggunaannya. Penggunaan paling besar dalam percakapan yang bertujuan untuk memelihara komunikasi, dimana ungkapan itu hanya uuntuk bersopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi.
Arimi (1998) dalam tesisnya membagi tuturan basa-basi yang dipakai dalam masyarakat bahasa Indonesia berdasarkan daya tuturannya digolongkan atas dua jenis, yaitu basa-basi murni dan basa-basi polar. Basa-basi murni adalah ungkapan-ungkapan yang dipakai secara otomatis sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul, maksudnya apa yang diucapkan oleh penutur selaras dengan kenyataan. Basa-basi murni
(41)
digolongkan menjadi tiga subjenis, yaitu basa-basi murni keniscayaan, basa-basi keteralamian, dan basa-basi keakraban. Basa-basi polar adalah tuturan yang berlawanan dengan realitasnya, dimana orang harus memilih tuturan yang tidak sebenarnya untuk menunjukkan hal yang lebih sopan. Basa-basi polar dibagi menjadi dua, yaitu basi polar sosial dan basa-basi polar personal.
Halliday melalui Sudaryanto (1990:17) menjelaskan bahwa fungsi khas bahasa yang tercermin pada struktur bahasa ada tiga, yaitu (1) fungsi “ideasional” berkaitan dengan peranan bahasa untuk pengungkapan ‘isi’,
pengungkapan pengalaman penutur tentang dunia nyata, termasuk dunia-dalam dari kesadarannya sendiri, (2) fungsi “interpersonal” berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan sosial termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri, (3) fungsi “tekstual” berkaitan dengan tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata rantai kebahasaan dan mata rantai unsure situasi (features of the situation) yang memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya. Dalam hal ini, fungsi fatik (basa-basi) berkaitan erat dengan fungsi interpersonal karena berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Fungsi interpersonal dapat dilihat pada struktur yang melibatkan modalitas dan system yang dibangunnya. Membangun hubungan sosial
(42)
berarti termasuk juga memelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak.
Basa-basi erat kaitannya dengan tindak tutur karena tindak tutur menjelaskan bahwa dalam mengatakan sesuatu seharusnya orang tersebut juga melakukan sesuatu. Misalnya, pada waktu seseorang mengatakan “maaf saya terlambat” maka orang tersebut tidak hanya mengatakan saja tapi juga melakukan (perbuatan) terlambat. Suatu tindak tutur memiliki makna yaitu dapat berupa lokusi, ilokusi, dan perlukosi. Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur itu disebut sebagai The Act of Saying Something. Tindak ilokusi adalah tuturan yang bukan hanya untuk memberikan informasi tapi juga agar tuturan itu mempunyai efek untuk melakukan sesuatu. Tindak ilokusi disebut sebagai
The Act of Doing Something. Tindak perlokusi adalah tuturan yang bukan
hanya menginformasikan sesuatu tapi juga untuk memengaruhi. Tindak perlukosi disebut The Act of Affecting Someone.
Taksonomi tindak tutur diatas mencakup tindak tutur konstantif (constantif), direktif (directives), komisif (comissives), dan
acknowledgenments. Konstantif merupakan ekpresei kepercayaan yang
dibarengi dengan ekspresi maksud sehingga mitra tutur membentuk atau memegang kepercayaan yang serupa. Direktif mengekspresikan sikap penutur terhadap tindakan prospektif oleh mitra tutur dan kehendaknya terhadap tindakan mitra tutur. Komisif (comissive) mengekspresikan kehendak dan kepercayaan penutur sehingga ujarannya mengharuskannya
(43)
untuk melakukan sesuatu. Yang termasuk dalam komisif adalah promisses dan offers. Sementara itu, acknowledgements mengekspresikan perasaan mengenai mitra tutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu seperti itu.
Basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak masuk dalam klasifikasi
acknowledgements. Acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitratutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaan dan kepercayaan tertentu.
Tuturan yang termasuk acknowledgements adalah, sebagai berikut: (a) meminta maaf; fungsi tuturan untuk mengekspresikan penyesalan, (b) simpati; fungsi tuturan untuk mengekspresikan rasa simpati karena musibah yang dialami oleh mitra tutur, (c) mengucapkan selamat; fungsi tuturan mengekspresikan kegembiraan karena adanya kabar baik, (d) memberi salam; fungsi tuturan untuk menyatakan rasa senang karena bertemu seseorang, (e) berterima kasih; fungsi tuturan untuk menyatakan terima kasih karena mendapat bantuan, (f) meminta; fungsi tuturan untuk mengekpresikan harapan baik ketika sesuatu yang berhubungan dengan masa depan sesorang akan terjadi, (g) menerima; fungsi tuturan untuk
(44)
menerima (menghargai) basa-basi dari mitra tutur, (h) menolak; fungsi tuturan untuk menolak (melanggar) basa-basi dari mitra tutur.
Komponen dan klasifikasi komunikatif tersebut dapat digunakan sebagai faktor pendukung dalam melakukan analisis basa-basi bahasa.
2.2.4 Maksud dalam Pragmatik
Tercakupnya pragmatik merupakan tahap akhir dalam gelombang-gelombang ekspansi linguistik, dari sebuah disiplin sempit yang menguasai data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin sempit yang mengurusi data fisik bahasa, menjadi suatu disiplin yang luas meliputi bentuk, makna, dan konteks.
Leech (1993:45) mengemukakan bahwa banyak linguis berasumsi bahwa makna dapat diperikan melalui seperangkat ‘implikatur’. Implikatur yang digunakan oleh Leech dalam arti yang lebih luas daripada yang digunakan oleh Grice; walaupun demikian Leech tetap mengikuti pendapat Grice (1975:50) yang mengatakan bahwa ‘adanya implikatur percakapan harus mampu dijelaskan’ dengan cara berpikir informal. Hal ini merupakan pemikiran lebih lanjut yang berkaitan dengan pendapat yang mengatakan bahwa pragmatik mengkaji perilaku yang dimotivasi oleh tujuan-tujuan percakapan.
Menafsirkan sebuah tuturan sama dengan pekerjaan tebak-menebak atau seperti membuat hipotesis. Untuk menjelaskan hal ini Leech mengambil contoh dari Grice untuk mengilustrasikan prinsip kerja sama:
12) A : Kapankah hari ulang tahun Bibi Rose? B : Pada bulan April.
Makna jawaban B ialah proposisi bahwa hari ulang tahun Bibi Rose jatuh pada bulan April (dalam bentuk yang lebih panjang jawaban tersebut dapat
(45)
diungkapkan sebagai pada tanggal 1 Aptil, atau pada tanggal 2 April, atau pada
…). Arti tambahan yang diperoleh oleh A dari jawaban tersebut ialah: B tidak tahu tanggal ulang tahun Bibi Rose yang tepat (B tidak tahu apakah Bibi Rose berulang tahun pada tanggal 1 April, atau pada tanggal 2, tanggal 3,… atau tanggal 30 April). Hal ini dapat diketahui melalui tiga tahapan berikut ini:
a) Pengamatan pertama member kesan seakan-akan ada yang tidak ‘beres’ dengan jawaban B. Informasi yang diberikan oleh B kurang daripada yang dibutuhkan oleh A. Dengan kata lain, B tampaknya melanggar prinsip kerja sama (khususnya maksim kuantitas).
b) Namun sebetulnya tidak ada alasan untuk berprasangka bahwa B sengaja tidak ingin bekerja sama. Karena itu, A boleh yakin bahwa B memang menaati prinsip kerja sama dan kesan bahwa B melanggar maksim kuantitas disebabkan oleh keinginan A untuk menaati prinsip kerja sama. Karena itu kita harus menemukan alas an yang tepat mengapa prinsip kerja sama dapat menyebabkan B tidak memberikan informasi sebanyak yang dibutuhkan oleh A.
c) Alasan ini dapat didasarkan pada dugaan bahwa B mencoba menaati maksim kualitas. Andaikata bahwa B taat pada prinsip kerja sama dan B tidak tahu hari ulang tahun Bibi Rose, kecuali bawa jatuhnya pada bulan April. Kalau ini benar maka B tidak akan menyatakan dengan sembarangan bahwa hari ulang tahun Bibi Rose pada tanggal 1 April, atau pada tanggal 2, tanggal 3, … atau tanggal 30 April karena kalau demikian B akan melanggar maksim kualitas (berbohong) walaupun tidak
(46)
melanggar maksim kuantitas. Oleh karena itu, untuk mencari aman B hanya mengatakan bahwa hari ulang tahun Bibi Rose ialah pada bulan April. Karena tidak adanya penjelasan lain, penjelasan ini akan diterima sebagai penjelasan yang taat asas dengan prinsip kerja sama. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa B tidak tahu pada tanggal berapa dalam
bulan April Bibi Rose berulang tahun.
Jadi, tiga tahap dalam penafsiran makna ialah (i) menolak interpretasi pengamatan pertama karena tidak taat asas dengan prinsip kerja sama; (ii) mencari interpretasi baru yang taat asas prinsip kerja sama; (iii) menemukan interpretasi baru dan memastikan bahwa interpretasi ini taat asas dengan prinsip kerja sama.
Tahap-tahap tersebut merupakan strategi yang informal dan rasional untuk memecahkan masalah. Strategi ini terdiri dari usaha (a) merupakan hipotesis yang paling mungkin, (b) menguji hipotesis tersebut dan bila tidak teruji, (c) merumuskan hipotesis berikutnya, dan sebagainya. Jenis strategi ini merupakan strategi yang lazim digunakan oleh manusia untuk memecahkan masalah-masalah penafsiran atau interpretasi.
Meskipun pragmatik memberi kesan menelaah proses-proses di dalam benak si penutur, pragmatik sebetulnya merupakan kajian-kajian yang hanya menaganalisis makna yang interpretasinya dapat diamati oleh umum. Dengan kata lain, dalam pragmatik (dan juga dalam ilmu-ilmu lain), para linguis bertujuan melakukan pengamatan-pengamatan yang dapat dikonfirmasi oleh umum dan menyusun teori-teori yang dapat menjelaskan pengamatan-pengamatan tersebut.
(47)
Karena pragmatik mengkaji makna dalam situasi ujar, jelaslah bahwa kita tidak dapat membuat pernyataan-pernyataan pragmatis mengenai apa yang terjadi dalam benak pribadi seseorang. Misalnya, penutur menyatakan sekarang pukul enam, kita sebetulnya tidak tahu apakah dibenak penutur yakin waktunya pukul enam, karena mungkin saja si penutur seorang pembohong ulung yang sedang menyamar. Yang kita ketahui dan karena itu dapat kita katakan implikatur ‘mitra tutur yakin waktunya pukul enam’ merupakan bagian dari makna atau daya pragmatik tuturan tersebut.
Dengan kata lain, ‘makna’ sebagaimana digunakan dalam pragmatik (yaitu ‘n bertujuan D melalui tuturanT’ , n = penutur, D = daya, T = tuturan), merupakan suatu “maksud refleksif” yaitu suatu maksud yang hanya dapat dicapai bila maksud tersebut diketahui mitra tutur (Leech, 1993: 53). Namun, menurut Bach dan Harnish (1979: 5) melalui Leech (1993:53), maksud reflektif ini hanya terlaksana melalui apa yang disebut ‘Praasumsi Komunikatif’ (Communicative Presumption), yaitu keyakinan penutur maupun mitra tutur akan adanya tujuan
ilokusi; bila seseorang mengatakan sesuatu pada orang lain ia mempunyai satu tujuan ilokusi tertentu.
2.3 Aspek-aspek Kebahasan Penanda Basa-basi 2.3.1 Bunyi Suprasegmental
Bunyi-bunyi yang bisa disegmentalkan disebut bunyi segmental, misalnya bunyi vokoid dan bunyi kontoid. Bunyi-bunyi yang tidak dapat disegmen-segmen karena kehadiran bunyi tersebut selalu diiringi, atau ditemani bunti segmental (baik vokoid maupun kontoid) bunyi tersebut disebut bunyi suprasegmental atau
(48)
bunyi nonsegmental. Bunyi-bunyi suprasegmental dikelompokkan menjadi empat jenis aspek yaitu (a) tinggi-rendah bunyi (nada), (b) keras-lemahnya bunyi (tekanan), (c) panjang-pendek bunyi (tempo), dan (d) kesenyapan (jeda). (Muslich, 2008: 61-63).
2.3.1.1 Nada
Ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan selalu melibatkan nada baik nada tinggi, sedang, atau rendah. Hal ini disebabkan adanya faktor ketegangan pita suara, arus suara, dan udara pita suara ketika bunyi itu diucapkan. Makin tegang pita suara yang disebabkan oleh kenaikan arus udara dari paru-paru makin tinggi pula bunyi tersebut. Nada menjadi perhatian fonetis karena secara linguistik berpengaruh dalam sistem linguistik tertentu. Misalnya nada turun biasanya menandakan kelengkapan tutur sedangkan nada naik menandakan ketidaklengkapan tuturan.
Dalam penuturan bahasa Indonesia, tinggi-rendahnya suara tidak fungsional atau tidak membedakan makna. Ketika penutur mengucapkan [aku], [membaca], [buku] dengan nada tinggi, sedang, atau rendah maknanya sama saja. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembedaan makna nada dalam bahasa Indonesia tidak fonemis. Namun, ketidakfonemisan ini tidak berarti nada tidak ada dalam bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya faktor ketegangan pita suara, arus udara, dan posisi pita suara saat bunyi itu diucapkan. (Muslich, 2008:112).
Aspek nada dalam bertutur lisan memengaruhi santun tidaknya tuturan seseorang. Nada adalah naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana
(49)
hati penutur ketika sedang bertutur. Jika suasana hati sedang senang, nada bicara penutur menaik dengan ceria sehingga terasa menyenangkan. Jika suasana hati sedang sedih, nada bicara penutur menurun dengan datar sehingga terasa menyedihkan. Jika suasana hati sedang marah, emosi, nada bicara penutur menaik dengan keras, kasar sehingga terasa menakutkan. 2.3.1.2. Tekanan
Tekanan pada bunyi ialah besarnya tenaga yang digunakan untuk mengucapkan bunyi dan tergantung kepada desakan udara ke luar dari paru-paru (Lubis, 1985: 22). Ketika bunyi-bunyi segmental diucapkan tidak lepas dari keras atau lemahnya bunyi. Hal ini disebabkan keterlibatan energi otot ketika bunyi itu diucapkan. Suatu bunyi dikatakan mendapatkan tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih besar ketika bunyi itu diucapkan. Sebaliknya suatu bunyi dikatakan tidak mendapatkan tekanan apabila energi otot yang dikeluarkan lebih kecil ketika bunyi itu diucapkan.
Praktiknya, kerasnya bunyi juga berpengaruh pada ketinggian bunyi. Buktinya tekanan keras dengan nada rendah pun bisa diucapkan oleh penutur bahasa, Hal ini sangat tergantung pada fungsinya dalam komunikasi. Variasi tekanan dapat dibedakan menjadi empat yaitu (1) tekanan keras, (2) tekanan lemah, (3) tekanan lemah, dan (4) tidak ada tekanan. Penekanan makna dibedakan menjadi dua tataran yaitu tataran kata, tekanan yang bersifat silabis dan tataran kalimat, tekanan leksis.
Tekanan dalam tuturan bahasa Indonesia berfungsi membedakan maksud dalam tataran kalimat (sintaksis) tetapi tidak berfungsi
(50)
membedakan makna dalam tataran kata (leksis) (Muslich, 2008:113). Tidak semua kata dalam kalimat ditekanan sama, hanya kata-kata yang dianggap penting atau dipentingkan yang mendapatkan tekanan. Oleh karena itu, pendengar atau mitra tutur harus mengetahui maksud di balik makna tuturan yang didengarkannya.
2.3.1.3 Intonasi
Aspek intonasi dalam bahasa verbal lisan sangat menentukan santun tidaknya pemakaian bahasa. Ketika penutur menyampaikan maksud kepada mitra tutur dengan menggunakan intonasi keras, padahal mitra tutur berada pada jarak yang sangat dekat dengan penutur, sementara mitra tutur tidak tuli, penutur akan dinilai tidak santun. Sebaliknya, jika penutur menyampaikan maksud dengan intonasi lembut, penutur akan dinilai sebagai orang yang santun. Namun, intonasi kadang-kadang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat. (Pranowo, 2009:76-77)
Pada tataran kalimat, variasi-variasi nada pembeda maksud disebut intonasi yang ditandai dengan intonasi datar turun yang biasa terdapat dalam kalimat berita, intonasi datar naik yang biasa terdapat dalam kalimat tanya, dan intonasi datar tinggi yang biasa terdapat dalam kalimat perintah.
Bunyi-bunyi suprasegmental tersebut dapat menentukan kesantunan berbahasa seseorang dan dalam penelitian basa-basi ini kesantuna berbahasa juga dimaksudkan sebagai penanda linguistik tuturan basa-basi. Adapun beberapa aspek bunyi suprasegmental yang dapat mempengaruhi santun tidaknya tuturan basa-basi berbahasa seseorang adalah nada, tekanan,
(51)
intonasi. Nada merupakan naik turunnya ujaran yang menggambarkan suasana hati penutur ketika sedang bertutur. Tekanan mempengaruhi bunyi dan arti sebuah tuturan, sedangkan intonasi merupakan perpaduan antara nada dan tekanan ketika tuturan itu diujarkan. Aspek intonasi kadang-kadang dipengaruhi oleh latar belakang budaya masyarakat tertentu.
2.3.2 Pilihan Kata
Menurut keraf (1981: 22-23) istilah pilihan kata atau diksi bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan. Lebih lanjut dipaparkan mengenai diksi. Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kata atau kosa kata bahasa itu.
Dalam bertutur, seorang penutur seharusnya dapat menggunakan diksi secara tepat dan sesuai dalam sebuah tuturan untuk membantu keberhasilan proses berkomunikasi. Ketepatan diksi menyangkut kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
(52)
pendengar seperti yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Kesesuaian diksi menyangkut apakah sebuah kata yang dipergunakan itu tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan orang yang hadir.
2.3.2.1 Bahasa Standar dan Nonstandar
Kata-kata bukan saja menunjukkan barang-barang atau sikap orang tetapi merefleksikan juga tingkah laku sosial dari orang-orang yang mempergunakannya. Pemakaian bahasa dipengaruhi oleh latar belakang si penutur yang berpendidikan atau tidak. Misalnya pada waktu yang sama sebuah pertanyaan seperti “Tahukah Tuan di mana tempat tinggal Ahmad?”, ada kemungkinan kita mendapatkan jawaban sebagai berikut “Saya tidak tahu” atau “Saya tidak mengerti”. Kedua jawaban mungkin sama jelasnya namun perbedaan bentuk jawaban tersebut adalah suatu penafsiran situasi. Bentuk pertama tersebut disebut bahasa standar (bahasa baku) serta bentuk kedua disebut bahasa nonstandar (bahasa nonbaku) (Keraf, 1985:104).
Bahasa standar adalah dialek kelas dan dibatasi sebagai tutur dari mereka yang mengenyam kehidupan ekonomis atau menduduki status sosial yang cukup dalam suatu masyarakat. Bahasa ini dipergunakan oleh orang yang terpelajar, misalnya pejabat pemerintahan, ahli-ahli bahasa, ahli-ahli hukum, dokter, guru, dan sebagainya. Bahasa nonstandar adalah bahasa dipergunakan oleh mereka yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk pergaulan biasa, tidak dipakai dalam tulisan-tulisan. Kadang-kadang unsur
(53)
nonstandar dipergunakan juga oleh kaum terpelajar dalam bersenda gurau, berhumor, atau untuk menyatakan sarkasme atau menyatakan ciri-ciri kedaerahan.
Bahasa standar lebih ekspresif dari bahasa nonstandar. Penggunaan ungkapan-ungkapan atau unsur-unsur yang nonstandar akan mencerminkan bahwa latar sosial ekonomis si pemakai masih terbelakang atau masih rendah. Itu sebabnya, orang-orang yang terpelajar juga segan mempergunakan unsur-unsur tadi. Dengan demikian, pilihan kata seseorang harus sesuai dengan lapisan pemakaian bahasa. Dalam suatu suasana formal harus dipergunakan unsur-unsur bahasa standar dan pemakaian unsur-unsur nonstandar tidak boleh menyelinap masuk dalam tutur seseorang
2.3.3 Kategori Fatis
Kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan lawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam non-standar, maka kebanyakan kategori fatis terdapat dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. (1)Partikel dan kata fatis, (2) frase fatis
Kridalaksana (1986: 113–116) memaparkan bahwa kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai, mempertahankan, atau megkukuhkan pembicaraan antara pembicaa dan kawan bicara. Sebagian besar kategori fatis merupakan ciri ragam lisan. Karena ragam lisan pada umumnya merupakan ragam
(54)
standar, maka kebanyakan kategori fatis terhadap dalam kalimat-kalimat non-standar yang banyak mengandung unsur-unsur daerah atau dialek regional. Bentuk-bentuk dari kata fatis tersebut antara lain: ah, ayo, deh, dong, ding, halo,
kan, kek, kok, -lah, lho, nah, pun, selamat, sih, toh, ya, dan yah.
Pilihan kata dapat pula memengaruhi basa-basi berbahasa seseorang. Kesanggupan memilih kata oleh seorang penutur dapat menjadi salah satu penentu basa-basi berbabahasa yang digunakan. Pilihan kata yang dimaksud adalah ketepatan pemakaian kata untuk mengungkapkan makna dan maksud dalam konteks tertentu sehingga menimbulkan efek tertentu pada mitra tutur. Beberapa pilihan kata tersebut dapat digunakan seorang penutur secara tepat dan sesuai dalam sebuah tuturan untuk membantu keberhasilan proses berkomunikasi.
2.4 Kerangka Berpikir
basi merupakan suatu fenomena baru dalam studi pragmatik. Basa-basi berbahasa muncul dari perkembangan pengguna bahasa yang digunakan untuk memulai atau mempertahankan hubungan sosial antara penutur dan lawan tutur dalam kehidupan sehari-hari. Basa-basi berbahasa biasanya muncul di dalam masyarakat, bahkan di ranah bangsawan. Basa-basi ini berkembang dalam ranah Bangsawan karena berbagai faktor. Kini, di dalam ranah bangsawan, basa-basi banyak digunakan untuk memperkokoh dan mempertahankan hubungan sosial antarpenutur dan mitra tutur di ranah bangsawan. Hal inilah yang menjadi fenomena baru dalam studi pragmatik dan menjadi kajian dari penelitian ini, yaitu basa-basi berbahasa dalam ranah bangsawan, khususnya basa-basi dalam
(55)
berbahasa antara keluarga kesultanan dan masyarakat di lingkungan keraton Yogyakarta.
Penelitian ini menggunakan lima teori basa-basi dalam berbahasa untuk menguraikan tuturan basa-basi antara guru dan guru. Pertama, Malinowski (1923:315) dalam tesis Waridin (2008:13) mendefinisikan phatic communion sebagai “a type of speech in which ties of union are created by a mere exchange of word“.Phatic communion mempunyai fungsi sosial.
Phatic communion digunakan dalam suasana ramah tamah dan dalam ikatan
personal antarpeserta komunikasi. Situasi tersebut diciptakan dengan pertukaran kata-kata dalam pembicaraan ringan, dengan perasaan tertentu untuk membentuk hidup bersama yang menyenangkan. Malinowski dalam tesis Arimi (1998) mengatakan basa-basi digunakan sebagai kata anonim berarti bahwa kata ini bukanlah jenis kata contrived , dibuat-buat atau yang tidak alamiah. Akan tetapi, istilah basa-basi justru mengacu pada pemakaian bahasa yang benar-benar alamiah (naturally occuring language) yang meresap pada konteks sosial-budaya Indonesia. Malinowski mempertegas fungsi basa-basi (phatic communion), untuk mengikat antara pembaca dan pendengar. Dikatakannya fungsi tersebut bukanlah merupakan alat pencerminan bahasa tetapi sebagai modus tindakan (antarpenutur). Lengkapnya ia mengatakan sebagai berikut:
“ it consists in just this atmosphere of sociability and in the fact personal communion of these people. But this is in fact achieved by
speech, and the situation in all such cases is created by the exchanged of
(56)
give and take of utterances which make up ordinary gossip. Each
utterances is an act serving the direct aim of binding hearer to speaker
sentiment or other. Once more, language appears to us in this function not
as isntrument of reflection but a mode of action. “
Kedua, Jakobson dalam tesis Waridin (2008:15) mendefinisikan bahwa basa-basi adalah tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau memutuskan komunikasi untuk memastikan berfungsinya saluran komunikasi dan untuk menarik perhatian lawan bicara atau menjaga agar kawan bicara tetap meperhatikan. Menurut Jakobson dalam tesis Waridin (2008:16), terdapat enam faktor yang berkaitan dengan fungsi dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Keenam faktor tersebut adalah addresser (pengirim pesan), message (pesan), addressee (penerima pesan), context (konteks), contact (kontak), dan code (kode).
Ketiga, Harimurti Kridalakasna (1986:111) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan tuturan yang dipergunakan untuk memulai, mempertahankan, atau mengukuhkan pembicaraan antara pembicara dan kawan bicara.
Keempat, Anwar (1984:46) menjelaskan bahwa basa-basi merupakan sejemput kata-kata yang dipakai untuk sekedar memecah kesunyian, untuk mempertahankan suasana baik dan sebagainya, sehingga bahasa tidak hanya digunakan untuk menyampaikan perasaan atau pikiran, untuk membahas sesuatu masalah, untuk membujuk, merayu dan sebagainya. Terlepas dari berbagai pengertian tersebut sebenarnya basa-basi memiliki fungsi untuk menyampaikan berbagai maksud.
(57)
Kelima, Ibrahim (1993:37) mengatakan bahwa basa-basi sebagai pembuka, pembentuk, pemelihara hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak masuk dalam klasifikasi acknowledgements. Acknowledgements merupakan tuturan yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan tertentu kepada mitra tutur atau dalam kasus-kasus di mana ujaran berfungsi secara formal, kehendak penutur bahwa ujarannya memenuhi kriteria harapan sosial untuk mengekspresikan perasaaan dan kepercayaan tertentu.
Keenam, Arimi (1998: 95) secara praktis basa-basi didefinisikan sebagai fenomena bahasa yang secara sadar dipakai oleh penutur, akan tetapi secara sadar pula tidak diakuinya ketika ditanyakan kebasian itu. Dengan kata lain, basa-basi adalah fenomena lingual yang alamiah, tetapi penggunaannya mental atau menolak jika ditanyakan apakah penutur berbasa-basi. Arimi (1998: 96) juga menjelaskan bahasa secara metodologis penolakan tersebut akan lebih jelas jika dibandingkan dengan aktivitas verbal non basa-basi, seperti aktivitas marah atau serius. Bagi aktivitas marah atau serius, penutur dapat mengakui kepada mitra tuturnya bahwa ia marah atau serius.
Berdasarkan keenam teori basa-basi tersebut, data yang diperoleh dengan menggunakan metode simak dan cakap ini dideskripsikan dan diinterpretasikan. Metode simak adalah metode dengan menyimak pertuturan langsung maupun tidak langsung di dalam keluarga. Metode cakap adalah metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan percakapan. Penggunaan dua metode pengambilan data tersebut, peneliti diharapkan dapat memperoleh data yang memadai.
(58)
Tuturan sebagai data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis menggunakan metode dan teknik kontekstual. Metode dan teknik analisis kontekstual ini artinya adalah cara analisis yang diterapkan pada data dengan mendasarkan dan mengaitkan dengan konteks (Rahardi, 2009:36). Setelah proses analisis data selesai, penelitian ini menghasilkan wujud basa-basi, penanda dan maksud basa-basi antarakeluarga kesultanan dan masyarakat dalam ranah bangsawan.
(59)
Berikut ini adalah bagan dari kerangka berpikir yang sudah dipaparkan di atas:
FENOMENA BASA-BASI DALAM KAJIAN PRAGMATIK
TEORI BASA-BASI
KRIDALAKSANA (1986)
JAKOBSON (1980)
ARIMI (1998) IBRAHIM
(1993) ANWAR
(1984)
MALINOWSKy (1923)
METODE PENELITIAN DESKRIPTIF KUALITATIF
METODE PENGUMPULAN DATA: METODE SIMAK DAN METODE CAKAP
METODE DAN TEKNIK ANALISIS DATA: KONTEKSTUAL
HASIL PENELITIAN
MAKNA BASA-BASI DALAM RANAH
BANGSWAN PENANDA LINGUISTIK
DAN NON-LINGUISTIK BASA-BASI DALAM BERBAHASA RANAH
BANGSAWAN BANGSAWAN WUJUD BASA-BASI
DALAM BERBAHASA RANAH BANGSAWAN
(1)
P: Lha ini sudah siang mbak (tertawa) (F7)
Tekanan : sedang
Pilihan kata: nonstandar yaitu penggunaan kata fatis lha
depan meja keja penutur
Suasan tenang dan santai
Penutur mengagetkan mitra tutur dengan menyapa terlebih dahulu
Penutur sungkan dan salah menjawab
8. F8 Penggalan tuturan 34 Mt : Nyuwun sewu Kanjeng, mbok menawi niki sampun cekap enggal badhe nyuwun pamit P: Injih, ngatos-atos njih (F8)
(Mt: permisi Kanjeng, ini sudah cukup baik, mohon pamit dulu. P: iya hati-hati ya)
Intonasi berita
Nada tutur: sedang
Tekanan : sedang
Pilihan kata: nonstandar yaitu penggunaan kata fatis njih
Tuturan terjadi di Dwarapura ruang kerja keraton
Penutur mendatangi mitra tutur yang sedang duduk di meja kerja
Suasan tenang dan ramah
Mitra tutur meminta izin untuk meninggalkan tempat tersebut
Penutur merespon dengan
mengizinkan dan berjabat tangan
Penutur bermaksud
menghargai basa-basi mitra tutur dengan merespon atau menerima basa-basi
berpamitan mitra tutur
9. F9 Penggalan tuturan 35
Mt: Permisi, apakah tempat ini boleh untuk merokok?
P: Oh iya-iya, noleh-boleh (F9) Mt : Oh , terima kasih
P : Kembali
Intonasi berita
Nada tutur: sedang
Tekanan : sedang
Pilihan kata: nonstandar yaitu penggunaan kata fatis oh
Tuturan terjadi di pelataran keraton di belakang gedung kesenian gamelan keraton
Mitra tutur menghampiri penutur yang sedang merokok
Suasana ramah dan ramai
Mitra tutur menanyakan apakah
tempat tersebut bisa digunakan untuk merokok?
Penutur merespon dan tersenyum
Penutur bermaksud merespon tuturan basa-basi mitra tutur dengan menerima basa-basi dari mitra tutur, karena penutur dan mitra tutur sudah sama-sama mengetahui hasil jawabanya
10. F10 Penggalan tuturan 36
Mt : Selamat pagi Kanjeng, maaf mengganggu sebentar. Mau memita ijin untuk melanjutkan penelitian
P : Oh iya, silakan (F10)
Intonasi berita
Nada tutur: sedang
Tekanan : sedang
Pilihan kata:
Tuturan terjadi di Parentahageng ruang kerja keraton
Mitra tutur menghampiri penutur yang sedang duduk di balik meja kerjanya dan berjabat tangan
Penutrur bermaksud menerima basa-basi dari mitra tutur dengan meresepon tuturan basa-basi mitra tutur
(2)
nonstandar yaitu penggunaan kata fatis oh
Suasana tenang dan ramah
Seperti biasanya mitra tutur meminta izin untuk melanjutkan penelitian
11. F11 Penggalan tuturan 37 Mt: Nyuwun sewu Kanjeng, badhe pindah wonten tepas Parentahageng rumiyen Kanjeng P: Oh mekaten, njih sumangga (F11)
(Mt: Permisi Kanjeng, mau pindah ke Parentahageng dulu Kanjeng
P: Oh begitu, iya silakan.)
Intonasi berita
Nada tutur: sedang
Tekanan : sedang
Pilihan kata: nonstandar yaitu penggunaan kata fatis oh dan njih
Tuturan terjadi di Dwarapura ruang kerja keraton
Mitra tutur menghampiri meja
kerja penutur
Suasana tenang dan ramah
Mitra tutur meminta izin untuk meninggalkan tempat tersebut
Penutur merespon dan berjabat tangan
Penutrur bermaksud menerima basa-basi dari mitra tutur dengan meresepon tuturan basa-basi mitra tutur
7. KATEGORI BASA-BASI BERBAHASA MENOLAK
NO. KODE TUTURAN PENANDA BASA-BASI MAKSUD BASA-BASI
LINGUAL NONLINGUAL
1. G1 Penggalan tuturan 38
Mt : Ada yang bisa saya bantu Kanjeng?
P : Oh tidak, terima kasih (G1)
Intonasi berita
Nada tutur: rendah
Tekanan : sedang
Pilihan kata: nonstandar yaitu penggunaan kata fatis oh
Tuturan terjadi di Dwarapura ruang kerja keraton
Mitra tutur melihat penutur kerepotan membawa peralatan panahnya
Suasana tenang dan ramah
Mitra tutur menghampiri penutur dan menawarkan bantuan
Penutur merespon dan tersenyum
Penutur bermaksud menolak basa-basi mitra tutur yang ingin membawakan barang penutur dengan halus
2. G2 Penggalan tuturan 40 Mt : Sugeng Kanjeng
Intonasi berita Tuturan terjadi di bangsal Penutur bermaksud menolak
(3)
P : Injih, niki mahasiswa sing badhe penelitian?
Mt : Injih Kanjeng badhe nyuwun ijin
P : Oh iya, izinnya saya trima tapi besok ya pnelitiannya (G2) Mt : Oh injih Kanjeng, matur suwun
(Mt: permisi Kanjeng
P: iya, ini mahasiswa yang mau penelitian?
Mt: iya Kanjeng, mau minta izin P: oh iya, izinnya saya trma tapi besok ya penelitannya
Mt: oh iya Kanjeng, terima kasih)
Nada tutur: rendah
Tekanan : sedang
Pilihan kata: nonstandar yaitu penggunaan kata fatis oh
belakang Dwarapura
Mitra tutur menghampiri penutur dan berjabat tangan
Suasana ramai dan ramah
Mitra tutur meminta izin untuk melakukan penelitian di bangsal tersebut
Penutur merespon dengan
senyum dan menjelaskan bahwa sedang ada ujian abdi dalem dan tidak boleh diganggu
dari mitra tutur dengan halus
3. G3 Penggalan tuturan 40 Mt : Terima kasih bukunya Kanjeng
P : Iya sama-sama
Mt : Maaf Kanjeng, merepotkan P : Oh tidak, saya malah senang bisa membantu (G3)
Intonasi berita
Nada tutur: rendah
Tekanan : sedang
Pilihan kata: nonstandar yaitu penggunaan kata fatis oh
Tuturan terjadi di Parentahageng ruang kerja keraton
Mitra tutur mengembalikan buku yang dipinjamkan oleh penutur
Suasana tenang dan ramah
Mitra tutur berterima kasih dan memita maaf telah merepotkan
Penutur tersenyum
Penutur bermaksud menolak basa-basi mitra tutur yang meminta maaf telah merepotkan penutur
(4)
(5)
(6)
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Fajar Nurrahman lahir di Kulon Progo, Yogyakarta, tanggal 15 Oktober 1992. Ia mengawali pendidikan formalnya di Taman Kanak-kanak Puspitarini, Cerme, Panjatan, Kulon Progo pada tahun 1996. Ia menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah dasar di SD Negeri 1 Cerme, Panjatan, Kulon Progo pada tahun 2004. Kemudian, ia melanjutkan studinya di SMP Negeri 1 Panjatan, Kulon Progo dan tamat pada tahun 2007. Pendidikan tingkat menengah atas ditempuhnya di SMA Negeri 1 Pengasih, Kulon Progo pada tahun 2010. Setelah menyelesaikan sekolah tingkat menengah atas, ia melanjutnya studi S1 Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Masa pendidikan S1 tersebut berakhir pada tahun 2015 dengan menyelesaikan skripsi Basa-basi Berbahasa Antara