REPRESENTASI BUDAYA MISTIS KUNTILANAK DALAM FILM “ KUNTILANAK ( 2006 ) “ ( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film “ Kuntilanak 2006 “ ).

(1)

REPRESENTASI BUDAYA MISTIS DI DALAM FILM

KUNTILANAK

( Studi Semiotik Terhadap Budaya Mistis Yang Ada Didalam Film

“KUNTILANAK 2006” )

SKRIPSI

PARAMESWARI P. 0743010134

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “ VETERAN “ JAWA

TIMUR FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK PROGRAM

STUDI ILMU KOMUNIKASI

SURABAYA


(2)

REPRESENTASI BUDAYA MISTIS DALAM FILM KUNTILANAK 2006

( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film Kuntilanak 2006 )

Disusun Oleh :

PARAMESWARI PRIMADITA NPM. 0743010134

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing

Dra. Dyva Claretta, M,Si NPT. 3 6601 94 0025 1

Mengetahui, DEKAN

Dra.Ec.Hj. Suparwati, M,Si 199550718 198302 2 00 1


(3)

REPRESENTASI BUDAYA MISTIS DALAM FILM KUNTILANAK 2006

( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film Kuntilanak 2006 )

Oleh :

PARAMESWARI PRIMADITA NPM. 0743010134

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Jawa Timur Pada tanggal 13 Juni 2011

Pembimbing Tim Penguji : 1. Ketua

Dra. Dyva Claretta, M,Si Dr.Catur Suratnoaji, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1 NPT. 3 6804 94 0028 1

2. Sekretaris

Dra. Dyva Claretta, M,Si NPT. 3 6601 94 0025 1

3. Anggota

Yuli Candrasari, S.Sos, M.Si NPT. 3 107 94 0027 1

Mengetahui, DEKAN

Dra.Ec.Hj. Suparwati, M,Si 199550718 198302 2 00 1


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Y.M.E atas limpahan khidmatnya sehingga penulis berkesempatan menimba ilmu hingga jenjang perguruan tinggi serta dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Representasi Budaya Mistis dalam Film Kuntilanak 2006 ( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film Kuntilanak 2006 )

Penulis menyadari terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra.Ec.Hj.Suparwati, Msi. Selaku Dekan Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jatim.

2. Bapak Juwito S.Sos, M.si. Selaku Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “ Veteran “ Jatim

3. Ibu Dra. Dyva Claretta M.Si. selaku dosen pembimbing serta dosen wali yang banyak memberikan inspirasi selama ini.

4. Semua Staf Dosen dan Karyawan Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Jatim yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 5. Mama, Papa, Kakak, Bunda, seluruh keluarga besar Danoer yang

telah memberikan doa, serta dorongan selama ini.

6. Mas Sinarwan “ ndutzh “ atas segala support dan bantuannya. 7. Kepada Neo-chan dan Ct-Chan atas semangat dan kebaikan kalian. 8. Beb Aya, Duyung, Cing, Ophie Uchus atas kebersamaannya.Serta

semua teman-teman yang tidak bisa kusebutkan satu persatu.

Akhirnya penulis menyadari masih banyak kekurangan didalam skripsi ini, karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran bagi perbaikan di masa mendatang. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembaca.

Surabaya, April 2011 Penulis.


(5)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..…i

HALAMAN PENGESAHAN………...ii

KATA PENGANTAR………...iii

DAFTAR ISI……….……….v

BAB I PENDAHULUAN……….…………...

1

1.1. Latar Belakang Masalah………..………...1

1.2. Perumusan Masalah………...…..8

1.3. Tujuan Penelitian……….8

1.4. Manfaat Penelitian………..9

BAB II KAJIAN PUSTAKA………10

2.1 Landasan Teori………...………...10

2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa………..10

2.1.2 Film Sebagai Realitas Sosial ………10

2.1.3 Representasi...11

2.1.4 Mistisme...12

2.1.5 Budaya Mistis……..………....19

2.1.6 Mistis yang Terdapat dalam film Kuntilanak “2006 “….21 2.1.6.1 Mitos Kuntilanak...21

2.1.6.2 Pesugihan...23

2.1.6.3 Mimpi dalam penafsiran Jawa...23

2.1.6.4 Lagu Durma pemanggil Kuntilanak...24

2.1.7 Respon psikologi Warna……….27

2.1.8 Semiotika………..28

2.1.9 Model Semiotik Roland Barthes………..29


(6)

2.1.11 Kerangka Berpikir……….40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian………..42

3.2 Kerangka Konseptial……….42

3.2.1 Corpus……….42

3.2.2 Unit Analisis...49

3.3 Tehnik Pengumpulan Data...49

3.4 Tehnik Analisis Data...50

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Objek Dan Penyajian Data………..51

4.1.1 Gambaran Umum………..51

4.1.2 Penyajian Data………..52

4.1.3 Hasil Analisis Data………...57

4.2 Analisis Data……….69

4.2.1 Pada Level Realitas………..69

4.2.1.1Kostum dan make up………..69

4.2.2 Level Representasi………89

4.2.2.1 Tehnik Kamera...89

4.2.2.2 Pencahayaan...91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...95


(7)

ABSTRAKSI

PARAMESWARI PRIMADITA ( 0743010134 )

REPRESENTASI BUDAYA MISTIS KUNTILANAK DALAM FILM “ KUNTILANAK ( 2006 ) “ ( Studi Analisis Semiotik Representasi Budaya Mistis Yang Ada Dalam Film “ Kuntilanak 2006 “ )

Penelitian ini menaruh perhatian pada masalah budaya mistis Kunti-lanak yang ada dalam film “KuntiKunti-lanak ( 2006 )“ Budaya mistis ini adalah Mistis Non-Keagamaan yang masih sering ditemukan dalam lingkup ma-syarakat. Hal-hal berbau mistis non-keagamaan yang terdapat didalam film ini antara lain; Pesugihan, Kuntilanak, pemakai durma Jawa yang memiliki kekuatan mistis, unsur kesuraman dan ketakutan. penafsiran terhadap mimpi-mimpi menurut penafsiran Jawa.

Metode dalam penelitian ini bersifat analisis semiotic, yaitu penelitian kualitatif dengan cara merepresentasikan tanda-tanda di film “KUNTILANAK 2006”. Semiotik film adalah ilmu yang mengkaji tanda-tanda yang terdapat pada film ini menggunakan teori Roland Barthes mengenai mitos dan ke-rangka analisis semiotik pada film menurut John Fiske. Tehnik pengumpulan data memakai tehnik dokumentasi dan pengamatan secara langsung terhadap beberapa scene dalam film.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa memang benar adanya praktek-praktek, serta pemikiran dan ideology Mistis Non-Keagamaan yang berkem-bang dalam masyarakat kita. Dimana praktek-praktek dan ideology tersebut justru meng-arahkan individu pada perbuatan-perbuatan yang jauh melenceng dari norma ke-Tuhanan, serta kemasyrakatan dan hati nurani yang ada.

Kesimpulan yang dihasilkan dari film ini masih banyaknya budaya mistisme yang berkembang di penjuru Nusantara dan bahwa mistisme itu amat mempengaruhi pola pikir masyarakat kita.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setelah mengalami kevakuman selama nyaris sepuluh tahun sejak tahun 1990, perfilman Nusantara kembali bangkit saat film musikal penuh inspiratif Petualangan Sherina hadir dalam layar bioskop pada awal tahun 2000-an, seolah mendapatkan kegairahan kembali selang waktu hanya setahun Ada apa dengan cinta dan Jelangkung pun dirilis. Sebagai film dengan jenis genre berbeda kedua film diatas langsung menuai sukses layaknya film pendahulu. Memang industri perfilman Indonesia sempat berjaya pada tahun ’80-an,namun, menginjak tahun ’90-an, film Indonesia mulai mengalami kemerosotan dan akhirnya masyarakat lebih menyukai film buatan luar negeri.

Diantara berbagai macam genre film yang muncul di tanah air, horor adalah jenis film paling populer dan diminati oleh masyarakat Indonesia, fenomena itu terlihat dari maraknya tren film bergenre horor baik sebelum ataupun sesudah masa orde baru.

Genre film horor sendiri sudah ada sejak masa-masa awal kemunculan film di dunia, pada akhir abad ke-19. Tercatat F.W Murnau dari Jerman dengan film Nosferatu pada tahun 1922 yang mengangkat tema vampire pertama kali di dunia, baru setelah itu diikuti dengan cerita-cerita mengenai Drakula, Mumi, Monster Frakenstein, Manusia Serigala dan banyak lagi tokoh- tokoh yang menjadi figur abadi sepanjang zaman dalam film genre horor.

Vincent Pinel dalam bukunya Genres et Mouvement au Cinemas ( 2006:124 ) menyebutkan bahwa film horor adalah film yang mengeksploitasi unsur-unsur horor yang bertujuan membangkitkan ketegangan penonton. Genre ini mencakup sejumlah sub-genre bertemakan sama dan terus


(9)

diulangi. Seperti, pembunuhan, kanibalisme, hantu, zombie, kesurupan, urban legend, dll

Menurut Caroll (1990:55) genre horor di Eropa merupakan produk dari sastra gothic yang muncul pada pertengahan abad-18 di Inggris dan Jerman. Kemunculan sastra gothic ini erat kaitannya dengan dominasi rasionalisme dan pengembangan ilmu pengetahuan yang menjunjung tinggi nilai objektif. Sastra gothic ini mewakili sisi gelap abad masa pencerahan masa itu yang cenderung menyembunyikan imajinatif, irasional, subjektif, dan dekat dengan hal-hal supernatural ( Carrol, 1990:56)

Menurut Pinel ( 2000:125 )genre horor merupakan wilayah fantastik yang menitikberatkan atas efek horor yang ditimbulkan kepada penonton, baik itu melibatkan monster, bencana, ataupun sisi monster yang ada pada diri manusia.

Menurut Charles Derry seorang kritikus film dari Amerika dalam bukunya yang berjudul Dark Dreams : A Pshychological History of the Modern Horror Films (1977:97 ) Membagi film Horror dalam tiga sub-genre

a. Horror of Personality, atau horor psikologis

b. Horror of Armageddon, atau film horor bencana

c. Horror of the Demonic, atau horor hantu

Horror of Demonic adalah film bergenre hantu yang paling terkenal didalam dunia perfilman horor, menurut Dery film jenias ini menawarkan tema tentang dunia manusia yang menawarkan ketakutan karena kekuatan setan menguasai dunia dan mengancam kehidupan manusia. Kekuatan setan itu dapat berupa sosok spiritual, hantu, iblis, penyihir, dll. Beberapa film yang masuk dalam kategori ini dan cukup terkenal di Indonesia adalah :

a. Dari Asia : The Ring, Ju-On, One Missed Call, Alone, Coming Soon dll. b. Dari Eropa dan Amerika : Friday the 13th, Nightmare on Elm Street,

Amythyville Horror, dll.

Phsychological Horror sendiri adalah film dimana tidak menitikberatkan lagi pada hal-hal gaib diluar manusia melainkan lebih kepada manusia biasa


(10)

tampak normal namun diakhir cerita akan diperlihatkan sisi “monster” atau “iblis” dari manusia tersebut. Biasanya mereka adalah individu-individu yang terasing secara sosial atau “ sakit jiwa”. Karakter Hanibbal Lecter dalam Silence of the Lamb (1991) dan Norman Bates dalam Pshyco karya Alfred Hitchcook (1960 ) adalah dua contoh yang kuat untuk menggambarkan genre film ini.

Film horor jenis ini sekarang lebih terkenal dengan horor sebutan Thriller yang kemudian dengan perkembangan perfilman di Amerika melahirkan nama baru yaitu Slasher. Horor Slasher disetiap film selalu dipenuhi dengan adegan sadisme serta cipratan darah. Pancalogi Saw, dan Texas Chainsaw Massacrew adalah contoh sukses film Horror Slasher. Sementara Horror of Armageddon menurut Dery, adalah horor bencana atau jenis film horor yang mengangkat tema ketakutan manusia akan akhir dunia alias ‘kiamat’. Manusia percaya bahwa suatu hari dunia akan hancur dan manusia akan binasa. Peristiwa kehancuran bumi ini biasanya disebabkan oleh banyak hal, antara lain.

a. Faktor Bencana Alam b. Serangan makhluk asing c. Serangan binatang

d. Penyakit buatan manusia sendiri, atau kombinasi semua faktor di atas Kata Armageddon sendiri memiliki arti tempat pertempuran terakhir kebaikan melawan kejahatan diambil dari Injili, diambil oleh Dery bukan karena kalimat yang mengandung konotasi religiusnya. Melainkan film-film jenis ini selalu menampilkan pertempuran yang bersifat mutlak, mistis, dan berdampak besar pada kejiwaan manusia, karena mereka dihadapkan kepada proses kehancuran yang cepat, massif dan mengerikan. Rasa ngeri yang ditimbulkan mengangkat rasa ketakberdayaan atas penghancuran global. Beberapa contoh jenis film ini yang terkenal dan bahkan dibuat remake serta konsep ceritanya ditiru berulang-ulang adalah. The Day After Tommorow, 2012, War of the World, Skyline, Deep Impact, Resident Evil,dll. Film horror sendiri sebenarnya sudah muncul di Indonesia sejak tahun


(11)

1941 melalui film Tengkoerak Hidup yang merupakan tonggak perkembangan cerita-cerita Demonic/ Satanic Horror di Indonesia. Adapun kemunculan Lisa pada tahun 1971 yang justru disebut sebagai film Indonesia pertama namun bergenre Phsychological Horror yang merupakan genre bawaan dari Amerika pada waktu itu.

Menurut Adi Wicaksono dan Nurrudin Asyahdie ( 2006 : 3), dalam perkembangan film Indonesia kemudian terjadi pertarungan pada dua film bergenre horor hantu dan horor psikolo-gis. Waktu itu horor hantu memperoleh banyak atensi masyarakat kita terbukti banyaknya peminat penonton film Tengkoerak Hidoep ketimbang film Lisa, Lalu kemunculan film Beranak dalam Kubur (1971) menjadi tonggak kelahiran “ sang ratu “ abadi film horor Indonesia, Suzanna, yang kemudian merajai per-horor-an Indonesia dari tahun 1970-1980-an.

Masa kejayaan film Indonesia adalah pada era 80'an dimana pada era ini tercatat ada 69 film genre horor terkaryakan, bukan hanya dari segi kualitas saja tapi juga tingginya penonton pada film genre ini pada masa itu. Horor hantu menjadi favorit pada masa itu, bahkan film Ratu Pantai Selatan (1980) mendapatkan penghargaan piala LPKJ pada FFI 1981.

Namun pada tahun-tahun berikutnya jumlah film horor menurun drastis hanya tercatat 33 judul hal tersebut sejalan dengan lesunya dunia perfilman Indonesia secara menyeluruh. Tak ada lagi terobosan baru baik dari segi tema maupun dari segi penyajian, hanya ada pengulangan- pengulangan cerita dari tema-tema yang lama.

Film Jelangkung sendiri menjadi awal tonggak tren kebangkitan film bergenre Horror remaja, fenomena inipun terjadi, dan semenjak tahun 2003 film Horror di Indonesia semakin pesat jumlahnya secara kuantitas

Terobosan Rizal Mantovani dan Joze Purnomo untuk Jelangkung ( 2001 ) yang mencuat memberikan sentuhan berbeda dalam dunia perfilman horor Indonesia, dengan mengandalkan fotografi, editing dan suara film ini mampu mengembalikan lagi penonton kedalam bioskop. Tercatat dari Oktober 2001 saat film ini diluncurkan hingga Januari 2002 Jelangkung ditonton 748.003


(12)

penonton. Bahkan dalam ajang Festival Film Bandung 2002 mendapatkan penghargaan untuk kategori Efek terbaik. ( Kompas, 25 Maret 2007 )

Kebangkitan perfilman Horor lagi di Indonesia berkat Jelangkung, juga menjadi titik balik tren tematik film horor baru di negara ini. Fenomena baru itu adalah Horror Urban Legend atau film Horor yang mengangkat legenda perkotaan serta dibumbui akan realitas dari kebudayaan mistis setempat, semua ini besar pengaruhnya oleh film The Ring ( 1997 ) karya Hideo Nakata, yang menjadikan tren Japanese Horor di Indonesia.

Judul-judul seperti Kafir ( 2002 ), Tusuk Jelangkung ( 2002 ), Kuntilanak (2006 ) adalah contoh-contoh sukses Horor Urban Legend di Indonesia. Film horor yang mengangkat tema “ mistik “ atau “ klenik “ memang menjadi fenomena saat ini, semuanya disebabkan karena dua hal.

Yang pertama baik Produser maupun sutradara saat ini melihat dari banyaknya fenomena yang ada dilingkup mereka, dimana masyarakat kita memang tidak bisa lepas dari hal-hal berbau mistis dan magis, karena mistik dan magis sudah menjadi akar corak kebudayaan di nusantara yang sudah ada sejak zaman nenek moyang kita menerima animisme dan dinamisme sebagai ajaran kehidupan mereka. (Contoh soal kasus pembongkaran kuburan bayi di Sidoarjo untuk mendapatkan kekebalan atas ilmu hitam, 2011 ) Dan yang kedua karena konsumtif masyarakat atas film horor jenis ini masih sangat tinggi dan semuanya dikaitkan lagi dengan faktor kepercayaan dan kebudayaan masyarakat kita saat ini.

Mistik sendiri secara singkat didalam buku Antropologi Budaya karya Koentjaningrat dijelaskan sebagai aspek ruhaniah dalam diri individu yang meyakini, mempelajari, menghayati, sebuah ajaran agama beserta prakteknya. Namun di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, telah terjadi pergeseran pemahaman makna kata mistik, didalam budaya Jawa sejak lama mistik dikaitkan dengan segala bentuk kepercayaan atas kekuatan diluar manusia namun lebih kepada diluar Tuhan, dengan kata lain individu-individu yang tidak mendapatkan kepuasan atas kehausan spiritual mereka terhadap sebuah ajaran agama maka mereka berpaling kepada hal-hal lain. Disini sayangnya


(13)

kecenderungan perilaku tersebut mengarah kepada perilaku negatif, dimana pada akhinya ajaran yang mereka pelajari dan praktekkan semata karena menguntungkan dan memuaskan nafsu individu tersebut secara duniawi. Semakin banyaknya film-film mistik yang bermunculan dan semakin maraknya praktek-praktek budaya mistik yang masih kental melekat di masyarakat. Membuat peneliti memilih untuk mengungkap konsep budaya mistik jawa yang ditampilkan dalam film berjudul Kuntilanak ( 2006 ).

Film Kuntilanak buatan MVP Picture yang dirilis 17 Oktober 2006 sendiri mengisahkan serorang wanita bernama Samanta, dia memiliki “berkah” yaitu bisa menembang Durma untuk memanggil dan menguasai serta memelihara Kuntilanak.

Diawal adegan memperlihatkan tokoh utama seorang gadis bernama Samanta (Julie Estelle ) yang sudah yatim piatu dan hanya tinggal bersama Ayah Tirinya yang terbangun dikarenakan mimpi buruk dimana mimpi itu seolah amat nyata dan membuat dirinya kesakitan. Tak lama kemudian adegan berganti dengan hengkangnya Samanta dari rumah karena tak tahan dengan kelakuan Ayah Tirinya yang suka melecehkannya. Diperjalanan Samanta menemukan sebuah tempat kos yang murah serta cukup bagus. tempat kosnya yang baru tersebut adalah milik keluarga ningrat Mangku Jiwo yang dulunya merupakan asrama sekaligus pabrik batik tempat anak-anak bangsawan, Pangeran dan Putri tinggal. Meski tempat itu angker dan banyak orang mengatakan ada kuntilanak penghuni pohon beringin tepat ditengah kuburan yang terletak didepan rumah tersebut, namun Sam tidak peduli. Dan ditempat inilah Samanta mendapatkan serta menyadari “ bakat “ miliknya tersebut.

Adapula Agung ( Evan Sanders ), kekasih Samanta yang merasa bersalah atas perbuatan masa lalunya pada Samanta, dia membantu Samanta untuk menyelidiki arti mimpi-mimpi buruk Sam selama ini. Agung jugalah yang pertama kali mengetahui mengenai mitos kuntilanak dan menyadari ketidakberesan dirumah tempat Sam tinggal.


(14)

dikendalikan, Sam jadi suka menembang Durma dan barangsiapa yang mendengar Durma Sam akan mengalami sakit kepala, mimisan, serta diakhiri dengan kematian mengerikan berupa kepalanya terbalik kebelakang. Ujung-ujungnya Sam harus kehilangan Dinda ( Ratu Felisha ) teman barunya di kost yang juga meninggal secara tragis akibat durma dari Sam yang dilontarkan akibat emosi sesaat, serta hilangnya Agung secara misterius setelah mendengarkan durma Sam.

Faktapun terbuka saat Sam mengetahui bahwa keluarga Mangku Jiwo sebenarnya adalah semacam komunitas aliran sesat yang secara turun-temurun memelihara kuntilanak sebagai pesugihan, dan untuk mengendalikan kuntilanak dibutuh panembang durma. Sementara pen-durma terakhir dalam keturunan Mangku Jiwo sendiri tidak dapat memberikan keturunan yang mampu meneruskan bakat itu. Dalam kebimbangan Sam ditarik oleh orang-orang Mangku Jiwo untuk berpihak pada mereka, pada akhirnya Sam harus berperang. Tidak hanya berperang terhadap orang-orang Mangku Jiwo tapi juga berperang melawan sisi “ iblis “ dalam dirinya sendiri untuk menyelamatkan orang yang disayangi.

Film Kuntilanak dipilih oleh peneliti dikarenakan peneliti melihat nyaris tidak adanya penelitian yang dilakukan peneliti lain atas tema “ Kebudayaan Mistis dalam perfilman horor Indonesia “ padahal ada sekian banyak judul film serta hal-hal menarik yang dapat kita pelajari selain hanya permasalah seksualitas semata dalam film horor nusantara.

Adapun alasan lainnya, konsep cerita serta cinematografi yang bagus yang dibangun dalam film ini juga ketertarikan peneliti karena film ini banyak mengandung hal-hal mistik yang kental dengan budaya Indonesia, terutama Jawa. Kepercayaan masyarakat itu dalam film ini tersimbolkan dalam adegan kepercayaan makna terhadap mimpi, kepercayaan atas hal-hal gaib untuk mendapatkan kekayaan diluar jalur yang semestinya ( pesugihan ), maupun tembang-tembang jawa lama yang sarat akan makna.

Menurut Monaco ( 1997 : 182 ) Hal-hal yang memiliki arti simbolis tidak terhitung dalam film, banyak cara yang diberikan untuk memberikan suatu


(15)

muatan simbolis dalam film yaitu antara lain, lewat tokoh-tokoh yang ada didalam film, cara berpakainnya, dan segala hal yang ada di dalamnya sesuai dengan keinginan kita memaknainya.

Berdasarkan pertimbangan di atas maka pendekatan semiotik dengan menggunakan metode milik Roland Barthes dianggap sangat sesuai untuk menjawab makna kebudayaan mistis yang terdapat dalam film Kuntilanak (2006 ) melalui lambang audio visual.

Dan semoga dengan pesan serta nuansa mistik dalam film ini dapat membuat masyarakat kita lebih dapat memilah-milah keragaman budaya yang masuk dalam diri masing-masing individunya.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut :

“Bagaimana representasi budaya mistik dalam film Kuntilanak (2006)“

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penggambaran yang disimbolkan dalam film Kuntilanak, dan untuk mengetahui apakah didalam sebuah film mempunyai unsur-unsur nilai yang simbolik.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat Akademis

1. Memperkaya teori-teori terutama yang berkaitan dengan semiotik film yang didasarkan pada metode semiotik bagi penelitian selanjutnya. 2. Memperkaya wawasan mengenai Budaya yang menjadi akar di

Nusantara yang sering terdapat dalam perfilman kita, terutama disini yang diangkat adalah Budaya Mistik.

Menjadi landasan penelitian bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian tentang semiotik.


(16)

9

hal-hal menarik lain sebagai bahan penelitian mereka dan tidak hanya sekedar terpaku pada tema-tema yang sudah ada sebelumnya.

Manfaat Praktis

1. Diharapkan dalam penelitian ini dapat menumbuhkan kesadaran bagi masyarakat agar lebih dapat lagi memilah-milah budaya yang ada disekitar mereka, dan agar mereka memilih sesuatu yang benar dan bukan sebatas baik saja.

2. Dapat menjadi kontribusi bagi para sineas muda agar dapat melahirkan film bergenre horor yang jauh lebih baik lagi dan memiliki muatan cerita yang kuat dan tidak sekedar demi keuntungan semata.


(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Film Sebagai Komunikasi Massa

Pengertian Film menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1992 (8/1992), Tanggal 30 Maret 1992( Jakarta), tentang : Perfilman, pasal 1. Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, dan/ bahan hasil penemuan tekhnologi lainnya dalam segala bentuk, jenis, ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, ataupun proses lainnya dengan/ tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem produksi mekanik, elektronik, dan/ lainnya.

( http://www.theceli.com/dokumen/produk/1992/uu8-19992.htm)

Film cerita adalah jenis-jenis film yang mengandung suatu cerita yaitu yang lazim dipertunjukkan di gedung-gedung bioskop dengan para bintang filmnya yang tenar. Film ini di distribusikan sebagai barang perdagangan dan diperuntukkan bagi masyarakat dimana saja ( Onong. 2000: 211) Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan hiburan yang telah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum ( Mc'Quan 1994:13)

2.1.2 Film Sebagai Realitas Sosial

Film adalah potret dari masyarakat dimana film itu dibuat, film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, dan memproyeksikannya ke dalam layar ( Irawanto, 1993 : 13 dalam Alex Sobur 2002:127 )


(18)

Film adalah dokumen kehidupan sosial sebuah komunitas. Film mewakili realitas kelompok masyarakat pendukungnya itu. Baik realitas dalam bentuk imajinasi maupun realitas sebenarnya. Film menunjukkan pada kita jejak-jejak yang ditinggalkan pada masa lampau, cara menghadapi manusia di masa kini terhadap masa yang akan datang. Sehingga dalam perkembangannya film bukan lagi sekedar usaha menampilkan citra bergerak ( moving image) namun juga telah diikuti oleh muatan-muatan kepentingan tertentu seperti politik, kapitalisme, hak asasi manusia, atau juga gaya hidup. Film juga sudah dianggap bisa mewakili citra ataupun komunitas tertentu. Bahkan bisa membentuk komunitas sendiri karena sifatnya yang universal. Meskipun demikian film juga bisa menimbulkan dampak negatif ( Victor C Mambor; http://situskunci.tripod.com)

2.1.3 Representasi

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk dari pemaknaan suatu tanda. Representasi juga bisa berarti proses perubahan konsep-konsep ideologi yang abstrak dalam bentuk-bentuk yang kongkret. Representasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film, fotografi, dsb. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Menurut Stuart Hall, ada dua proses representasi.

1. Representasi mental, yaitu konsep tentang “ sesuatu “ yang ada dikepala kita masing-masing ( peta konseptual ). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak.

2. Bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide tentang sesuat dengan tanda dan simbol-simbol tertentu

Proses pertama memungkinkan kita untuk memaknai dunia dengan mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara sesuatu dengan sistem “ peta konseptual “ kita. Dalam proses kedua, kita mengkonstruksi seperangkat rantai korespondensi antara peta konseptual dengan bahasa atau simbol yang berfungsi merepresentasikan konsep-konsep kita tentang sesuatu.


(19)

Relasi antara “sesuatu' , ' peta konseptual', dan 'bahasa/simbol' adalah jantung dari produksi makna melalui bahasa. Proses yang menghubungkan ketiga elemen ini secara bersama-sama itulah yang dinamakan representasi.

Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan dan pandangan baru dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Intinya adalah : makna tidak inheren dalam sesuatu didunia ini, ia selalu dikonsturksikan, diproduksi, melalui proses representasi. Ia adalah hasil dari praktek penandaan. Praktek yang membuat sesuatu hal bermakna sesuatu. Dalam penelitian ini, representasi menunjuk pada pemaknaan tanda-tanda yang terdapat pada film “ Kuntilanak ( 2006 ) dengan mengacu pada pendekatan atau konsep ideologi terhadap Kebudayaan Mistis yang terdapat didalam sekitar kita dan masih melekat dengan kita dan simbol-simbol yang terdapat dalam film “ Kuntilanak ( 2006 )

2.1.4 Mistisme

Harus dimengerti bahwa masih banyak masyarakat diluar sana yang menyalahkaprahkan arti mistis sebagai segala sesuatu yang jahat maupun buruk, seperti santet, susuk, dsb. Sebelum menjelaskan lebih lanjut peneliti akan memulai menjelaskan terlebih dahulu mengenai Agama karena konsep mistis ini sangat kental dengan pengertian akan agama yang merupakan unsur dari akar terbentuknya konsep mistis.

Menurut asal katanya, mistisme atau masyarakat kita biasa menyebut mistik berasal dari bahasa yunani mystikos yang artinya rahasia. serba rahasia, gelap, ter-sembunyi, atau terselubung dalam kegelapan. Berdasarkan arti kata tersebut mistik sebagai sebuah paham yaitu paham mistik atau mistisme. Merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis, ajaran yang serba rahasia, tersembunyi, gelap serta kelam sehingga hanya bisa dipahami, dikenal, atau diketahui oleh orang-orang tertentu saja terutama penganut atau pengikutnya.

Menurut buku De Kleone W.P Encyclopedie ( 1950, Mr, G.B.J Hiltermann dan Professor Dr. P Van De Woestijne : 971) kata mistik berasal dari bahasa


(20)

Yunani myein yang artinya menutup mata dan musterion yang artinya suatu rahasia.

Adapun beberapa pendapat tentang paham mistik atau mistisme :

1. Kepercayaan antara kontak manusia, bumi, dan Tuhan ( Dr. C.B. Van Haringen, Nederlands Woonderboek, 1948 )

2. Kepercayaan antara persatuan roh manusia dengan Tuhan (Dr. C.B. Van Haringen, Nederlands Woonderboek, 1948 )

3. Kepercayaan kepada hal-hal yang rahasia (geheimnissen) dan hal-hal yang tersembunyi ((J. Kramers. Jz).

4. Kecenderungan hati kepada kepercayaan yang menakjubkan atau kepada ilmu rahasia (Algemeene Kunstwoordentolk, J. Kramers. Jz).

Selain diperolehnya definisi, pendapat-pendapat tentang paham mistik diatas berdasarkan materi ajarannya juga memberikan adanya pemilahan antara paham mistik keagamaan (terkait dengan Tuhan dan keTuhanan) dan paham mistik non-keagamaan (tidak terkait dengan Tuhan ataupun keTuhanan)

Sedikit penjelasan mengenai mistik yang terkait pada keagamaan. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap adanya kekuatan gaib, luar biasa, atau supernatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu seperti berdoa, memuja, dsb. Juga menimbulkan sikap mental lain seperti takut, optimis, pasrah, dsb. Kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan sepanjang zaman beserta kehidupan pribadinya, kepercayaan itu diyakini kebenarannya sehingga menimbulkan kepercaan keagamaan atau kepercayaan religius.Lalu mengadakan upacara-upacara pada momen-momen tertentu seperti pada saat perkawinan, kelahiran, kematian. Dalam agama upacara ini disebut dengan ibadat. Mempercayai suatu benda, tempat, waktu, atau orang sebagai sesuatu yang suci, sakral, istimewa, dan bertuah juga masih kita


(21)

jumpai hingga saat ini. Kepercayaan itu dinamakan sakral, dan sakral juga merupakan ciri khas kehidupan beragama.

Menurut Bergson ( 1859-1941 ), seorang pemikir Prancis mengemukakan bahwa Agama merupakan gejala universal manusia, sering ditemukan masyarakat tanpa sains, seni, maupun filsafat tapi tidak pernah ditemukan masyarakat tanpa agama.

Di zaman modern ini kehidupan beragama semakin kompleks, makin banyak macam agama yang dianut. Aliran kepercayaan, aliran kebatinan, aliran pemujaan atau yang lebih dikenal dengan Occultisme ( Occult ) juga banyak ditemukan dikalangan masyarakat modern.Hampir setiap agama terpecah menjadi sekte dan aliran tertentu, cara penghayatan dan penerimaannya pun semakin beragam.

Agama dan kehidupan beragama demikian kompleks untuk memahami fenomena kehidupan beragama diperlukan pengetahuan tentang aspek apa saja dalam kehidupan beragama. Aspek disini bisa disebut dengan unsur. Koentjaningrat ( 1987:80 ) menyebut aspek komponen agama dan religi. Menurutnya ada lima komponen religi

1. Emosi keagamaan 4. peralatan ritus dan upacara 2. sistem keyakinan 5. umat beragama

3. sistem ritus dan upacara

Sementara aspek komponen agama terdiri dari.

1. Aspek kepercayaan pada yang gaib (supernatural) 4.Umat beragama

2. Aspek sakral 5. Mistisme

3. Aspek ritual

Emosi keagamaan menurut Koentjaningrat sama dengan aspek rohaniah ( mistisme )

Kepercayaan keagamaan didasarkan kepada kepercayaan pada sesuatu yang gaib yaitu yang berada di atas alam ini ( supernatural), dibalik alam fisik ( metafisik ), Tuhan, Roh ( pewahyuan), mukjizat, dan hal-hal lain diluar alam nyata.Kepercayaan kepada segala yang gaib inilah yang disebut dengan supernatural.


(22)

Sakral sendiri salah satu unsur kehidupan beragama yang tidak bisa dilepaskan dari perbendaan ( barang ) Sakral berarti suci, sering kita temui pen-sakralan ada pada benda, tempat, waktu, orang. Menurut Durkheim, sakral bukan sifat benda itu sendiri melainkan diberikan oleh manusia atau masyarakat yang mensucikannya sebagai tempat yang disucikan. Seperti Ka'bah di Mekkah, Rosario di gereja Katolik Vatikan dsb.

Kepercayaan terhadap kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara khusus, ada tata cara perlakuan khusus terhadap sesuatu yang disakralkan ( biasanya disebut upacara keagamaan ) Upacara, persembahan, sesajen ibadat keagamaan ini biasanya tidak bisa dipahami oleh pikiran yang rasionalis, ekonomi, pragmatis. Dalam bahasa Inggris upacara ini dinamakan rites, alias ritual. Yang artinya tindakan, atau upacara keagamaan, seperti upacara kematian, pembabtisan, jamuan suci, dan lainnya ( Hornby, 19844 : 733 )

Dalam agama upacara ritual ini biasa disebut dengan ibadat, kebaktian, sembahyang, atau berdoa. Dan tiap agama mengajarkan ritual yang berbeda-beda pula. Ritual dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dalam Injili ritual atau berdoa ini tak lain adalah 'komunikasi ' kepada Tuhan, dan bukan hanya sekedar karena manusia atau individu yang melakukan ritual memiliki keinginan atau permintaan saja kepada Tuhan.

Umat beragama sendiri memiliki artian sebagai umat pengikut ajaran ( agama ) itu. Komunitas pengikut agama terdiri dari beberapa fungsi keagamaan, antara lain penyampai ajaran agama tersebut, baik itu da'i, misionaris yang memercayai adanya suatu kekuatan gaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia dimiliki oleh banyak orang. Ada juga pengikut ajaran agama, ataupun pemimpin upacara keagamaan. Adanya kepercayaan terhadap kekuatan gaib tersebut menjadi pemersatu dan penguat para individu atau umat dalam komunitas itu yang mempercayainya. Biasanya para individu suatu komunitas keagamaan berkumpul bersama untuk dan melakukan ritual secara khusyuk, seperti persekutuan pemuda dalam Gereja, atau sholat berjamaah bersama.


(23)

aspek perilaku ajaran agama, ketiganya menimbulkan kesan atau penghayatan ruhaniah dalam diri yang mempercayai. Aspek ruhaniah inilah yang disebut dengan Mysticism dalam bahasa Inggris, atau Mistis dalam bahasa Indonesia. Menurut Hornby (1984:559 ) mysticsm merupakan kepercayaan atau pengalaman tentang kemistikan. Kemistikan disini ialah makna tersembunyi, kekuatan spiritual yang menimbulkan sifat kagum dan hormat. Mistisme juga berarti bahwa kebenaran hakiki mungkin hanya bisa didapatkan dari Tuhan melalui proses meditasi dan spritual tidak melalui proses berpikir maupun tangkapan pancaindra. Mistik adalah aspek esoterik dari penghayatan seseorang atau suatu organisasi yang disebabkan oleh ketaatan spiritual. Perilaku lahiriah dalam peribadatan hanyalah aspek eksoteris.

Menurut Suyono ( 1985:259 ) , mistik adalah subsistem yang ada hampir disemua ajaran agama dan sistem religi yang ditujukan untuk memenuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan. Dalam bahasa Indonesia istilah kebatinan dapat dipakai untuk aspek kerohanian ini. Kebatinan memiliki arti ' yang batin dari ajaran agama ' Dalam mistisme manusia rindu terbang dalam pengembaraan ruhaniah , seperti pengalaman bertemu nabi, bertemu dengan Tuhan dalam mimpi dan Tuhan sebagai cahaya terang, atau disini dalam agama Hindu, Budha atau masyarakat tradisional dapat dilakukan dengan bertapa.

Pengalaman terbang meninggalkan alam nyata yang hanya sebatas panca-indra dan dibawah kesadaran rasional ini disebut dengan trancendental ( transcend),yang artinya melewati batas dan terangkat dari kenyataan. Bagi manusia yang tidak mendapatkan kepuasan dari trance ajaran agama menempuh cara-cara lain untuk mendapatkan kenikmatan sendiri, dan nyaris kesemuanya bukanlah cara yang positif. Diantaranya menjadi pecandu narkotika, melakukan hal-hal yang menyimpang dari norma keTuhanan, susila, hukum, atau bahkan beralih menjadi penganut aliran sesat dan bahkan rela menyerahkan diri kepada kekuatan diluar Tuhan ( Setan ) agar keinginan-nya terpuaskan. ( Norbeck, 1974; 32-39 )


(24)

pesat dan menonjol. Saat kebutuhan dan pandangan hidup manusia yang semakin materialisme dan rasionalisme memenuhi kepala individunya dan mengalahkan aspek kerohaniahan, maka manusia yang tidak bisa mendapatkan kepuasan itu dalam ajaran agama akhirnya akan berpaling kepada aliran kebatinan dan pemujaan( cults)

Di Barat dan negeri-negeri maju sendiri ajaran pemujaan ( cults ) semakin menjamur sampai ada yang mengajarkan bunuh diri massal seperti aliran The Sun Temple dan The People Temple. Sebuah film footage, yaitu jenis film fiksi namun dengan gaya cinematografi hand held ( gaya pengambilan kamera amatir yang menggunakan tangan biasa ) sehingga seolah-olah film tersebuat nyata dan merupakan dokumentasi. Berjudul The Last Exorsicm, adalah satu dari sekian banyak film yang mengangkat tema mengenai aliran pemujaan diluar Tuhan Setan ) dan berakhir dengan memakan korban orang-orang tak bersalah. Tampaknya makin deras arus rasionalisme, materialisme, dan sekulerisme menjadi faktor utama banyaknya aliran-aliran jenis ini berkembang. Karena itu kencenderungan kepada agama dalam bentuk pengalaman mistik dan transendental adalah kecenderungan universal bukan cuma milik kecenderungan masyarakat belum maju atau primitif saja. Menurut Ajaran dan Sumbernya Mistis Non keagamaan terbagi menjadi : 1. Subjektif

Selain serba mistis, ajarannya juga serba subyektif tidak obeyktif. Tidak ada pedoman dasar yang universal dan yang otentik. Bersumber dari pribadi tokoh utamanya sehingga paham mistik itu tidak sama satu sama lain meski tentang hal yang sama. Sehingga pembahasan dan pengalaman ajarannya tidak mungkin dikendalikan atau dikontrol dalam arti yang semestinya.

Biasanya tokohnya sangat dimuliakan, diagungkan bahkan diberhalakan ( dimitos-kan, dikultuskan) oleh penganutnya karena dianggap memiliki keistimewaan pribadi yang disebut kharisma. Anggapan adanya keistimewaan ini dapat disebabkan oleh :


(25)

 Pernah mengatasi kesulitan, penderitaan, bencana atau bahaya yang mengancam dirinya apalagi masyarakat umum.

 Masih keturunan atau ada hubungan darah, bekas murid atau kawan dengan atau dari orang yang memiliki kharisma.

 Pernah meramalkan dengan tepat suatu kejadian besar atau penting. Sedangkan bagaimana sang tokoh itu menerima ajaran atau pengertian tentang paham yang diajarkannya itu biasanya melalui petualangan batin, pengasingan diri, bertapa, bersemedi, bermeditasi, mengheningkan cipta dll dalam bentuk ekstase, vision, inspirasi dll. Jadi ajarannya diperoleh melalui pengalaman pribadi tokoh itu sendiri dan penerimaannya itu tidak mungkin dibuktikannya sendiri kepada orang lain. Dengan demikian penerimaan ajarannya hampir-hampir hanya berdasarkan kepercayaan belaka, bukan pemikiran. Maka dari itulah di antara kita ada yang menyebutnya paham, ajaran kepercayaan atau aliran kepercayaan (geloofsleer).

Mengingat pengajarannya tidak mungkin dikendalikan dalam arti semestinya, maka paham mistik mudah memunculkan cabang baru menjadi aliran-aliran baru sesuai penafsiran masing-masing tokohnya. Atau juga sebaliknya mudah timbul penggabungan atau percampuran ajaran paham-paham yang telah ada sebelumnya.

Karena serba mistik maka paham mistik atau kelompok penganut paham mistik tidak terlalu sulit digunakan oleh orang-orang yang ada tujuan tertentu dan yang perlu dirahasiakan karena menyalahi atau bertentangan dengan opini umum atau hukum yang berlaku sebagai tempat sembunyi. 2.

Abstrak dan Spekulatif

Materinya serba abstrak artinya tidak konkrit, misal tentang Tuhan ( paham mistik ketuhanan ), tentang keruhanian atau kejiwaan, alam di balik alam dunia, dll ( paham mistik non-keagamaan ). Dengan demikian pembicaraannya serba speku-latif, yaitu serba menduga-duga, mencari-cari, memungkin-mungkinkan ( tidak komputatif ). Pembicaraannya serba


(26)

berpanjang-panjang, serba berlebih-lebihan da-lam arti melebihi kewajaran atau melebihi pengetahuan dan pengertiannya sendiri

( meski sudah mengakui tidak tahu, masih mencoba memungkin-mungkinkan ).Oleh karena itu di kalangan penganut paham mistik tidak dikenal pembahasan disiplin mengenai ajarannya sebagaimana yang berlaku dalam diskusi.

Adapun beberapa sebab orang menganut paham mistik :

Kurang puas yang berlebihan, bagi orang-orang yang hidup beragama secara bersungguh-sungguh merasa kurang puas dengan hidup menghamba kepada Tuhan menurut ajaran agamanya yang ada saja.

Rasa kecewa yang berlebihan, Orang yang hidupnya kurang bersungguh-sungguh dalam beragama atau orang yang tidak beragama merasa kecewa sekali melihat hasil usaha umat manusia di bidang science dan teknologi yang semula diandalkan dan diagungkan ternyata tidak dapat mendatangkan ketertiban, ketentraman dan kebahagiaan hidup. Malah mendatangkan hal-hal yang sebaliknya. Mereka 'lari' dari kehidupan modern menuju ke kehidupan yang serba subyektif, abstrak dan spekulatif sesuai dengan kedudukan sosialnya.

Mencari hakekat yang sebenarnya, orang yang ingin mencari hakekat hidup sebenarnya juga ada yang terjebak bahwa kebenaran hanya akan di dapat dari pengalaman mistiknya.

Di antara mereka masih ada yang berusaha merasionalkan ajaran paham mistik yang dianutnya, dan ada pula yang tegas-tegas lepas sama sekali dari tuntutan kemajuan zaman ini . ( MH Amien Jaiz, Masalah Mistik & Kebatinan, PT Alma'arif, Bandung, Cetakan 1980 )

2.1.5 Budaya Mistik.

Budaya adalah sistem, gagasan, rasa, karya, tindakan yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan


(27)

belajar ( Koentjaningrat, 1996 : 149 )

Selain itu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya diartikan sebagai ' sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah. Jadi disini dapat diartikan bahwa budaya adalah sesuatu yang mendarah daging dalam suatu kehidupan masyarakat tertentu, keberadaannya telah menjadi milik mereka sehingga sukar diubah.

Kata Mistik menurut De Jong, diambil dari bahasa Yunani “ Mu-ein “ yang memiliki dua makna. Yang pertama adalah menutup mata dan mulut, kedua artinya adalah mengantarkan seseorang kedalam sebuah upacara. Pada awal penggunaannya pada abad ke-5 di Barat kata 'mystical' menunjukkan bahwa segala hal yang jauh diluar kemampuan manusia serta rasionalitas ataupun ilmu pengetahuan. Berdasarkan uraian tersebut budaya Mistik adalah upaya untuk melihat sisi mistik ( misteri ) pada suatu objek.

Indonesia sendiri tak akan pernah bisa terlepas dari kepercayaan terhadap hal-hal mistik. Ditilik dari sejarahnya Nenek-Moyang masyarakat kita adalah penganut aliran animisme-dinamisme dimana mereka mempercayai serta menyembah kekuatan gaib adalah benda-benda ataupun makhluk hidup yang disakralkan, meskipun agama akhirnya telah masuk namun proses akulturasi ( pencampuran budaya lama dan baru ) yang dilakukan agar tidak terkesan dipaksakan maka menggunakan aneka media budaya tradisional agar dapat diterima. Contohnya, wali songo melakukan akulturasi agama Islam di pulau Jawa dan sekitarnya dengan menggunakan tembang Jawa, kesenian tradisional berupa wayang, dsb.

(Niels Mulder. Mistisme Jawa Ideologi di Indonesia )

Perkembangan aliran pemujaan diluar aliran Agama yang seharusnya dan menyimpang dari ajaran Tuhan terlah menimbulkan beragam ritual penyesatan yang tak jarang harus membuat si individu yang melakukannya harus rela membayar dengan nyawa. Diantara sekian banyak yang paling terkenal adalah ritual pesugihan, ritual pembalasan dendam ( santet ), ataupun ritual keagungan ( susuk ) dimana si pelaku yang melakukan ritual tersebut biasanya menginginkan demi kepuasan ego semata serta dilakukan atas


(28)

paham materialisme dan sekulerisme.

Dalam komunitas pemujaan yang cenderung 'sesat' tersebut terdapat tiga tipe individu. Yang pertama si pelaku upacara ( wong pinter ) yang merasa memiliki kekuatan dan mampu membantu permasalah individu yang datang kepadanya namun wong pinter ini diakhir akan meminta imbalan yang biasanya melampaui apa yang telah dilakukannya. Tipe kedua adalah si peminta, yang datang kepada wong pinter demi ego-nya yang tak terpuaskan menurut ajaran agama, namun tak jarang Wong pinternya juga termasuk sebagai tipe kedua. Dan terakhir adalah invidu- individu pengikut ( wong pinter ) yang tidak puas terhadap apa yang dimilikinya dan berpaling kepada sesuatu yang lebih lagi yang sayangnya belum tentu baik dan benar. ( http:\\ghaib.blogspot.co.id.html//69)

2.1.6 Mistik yang Terdapat dalam Film Kuntilanak (2006) 2.1.6.1 Mitos Kuntilanak.

Definisi Mitos menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Online adalah suatu informasi atau pengetahuan yang sebenarnya salah namun dianggap benar karena telah beredar secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tentang Kuntilanak, ada begitu banyak mitos maupun cerita yang berkembang seputarnya, berbeda daerah maka berbeda pula wujud serta ceritanya. Di Pontianak, Kuntilanak (bahasa Melayu: puntianak, pontianak) adalah hantu yang dipercaya berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia atau wanita yang meninggal karena melahirkan dan anak tersebut belum sempat lahir. Nama "kuntilanak" atau "pontianak" kemungkinan besar berasal dari gabungan kata "bunting" (hamil) dan "anak". Mitos ini mirip dengan mitos hantu langsuir yang dikenal di Asia Tenggara, terutama di nusantara Indonesia. Mitos hantu kuntilanak sejak dahulu juga telah menjadi mitos yang umum di Malaysia setelah dibawa oleh imigran-imigran dari nusantara. Kota Pontianak mendapat namanya karena konon Abdurrahman Alkadrie, pendiri Kesultanan Pontianak, diganggu hantu ini ketika akan menentukan tempat pendirian istana.


(29)

Agak berbeda denSgan gambaran menurut tradisi Melayu, kuntilanak menurut tradisi Sunda tidak memiliki lubang di punggung dan hanya mengganggu dengan penampakan saja. Jenis yang memiliki lubang di punggung sebagaimana deskripsi di atas disebut sundel bolong. Kuntilanak konon juga menyukai pohon tertentu sebagai tempat "bersemayam", misalnya waru yang tumbuh condong ke samping (populer disebut "waru doyong"). Sementara cerita yang berkembang di Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Yogjakarta. Kuntilanak adalah makhluk jadi-jadian yang dulunya wanita namun menyerahkan diri pada iblis sehingga separo badan ( pinggang ke bawah ) adalah kaki kuda, digambarkan rambut kuntilanak amat panjang dan berwarna putih, meskipun demikian anak-anak kuntilanak memiliki tubuh layaknya anak manusia normal dengan rambut putih panjang. Ada tradisi jawa mengatakan bila tawa kuntilanak dekat, maka artinya dia jauh namun bila jauh berarti dia dekat. Kuntilanak sendiri suka bersemayam di pohon-pohon besar dan tua tapi kuat seperti beringin, namun apabila ingin keluar maka kuntilanak akan keluar melalui medium-medium tertentu yaitu seperti barang-barang antik yang disakralkan. Dalam cerita Jawa kuntilanak mampu membunuh dan korbannya kepalanya akan tertarik kebelakang dan meninggal dengan mata terbelalak ketakutan. Di Jawa, khususnya Jawa Timur Kuntilanak dipakai sebagai alat untuk mencari pesugihan.

Mitos inilah yang akhirnya digunakan oleh Rizal Mantovani untuk membangun kisah trilogi Kuntilanak ( 2006,2007,2008 ) yang menjadikan Julie Estelle sebagai tokoh utamanya.

Berdasarkan kepercayaan dan tradisi masyarakat Jawa, kuntilanak tidak akan mengganggu wanita hamil bila wanita tersebut selalu membawa paku, pisau, dan gunting bila bepergian ke mana saja. Hal ini menyebabkan seringnya ditemui kebiasaan meletakkan gunting, jarum dan pisau di dekat tempat tidur bayi.

Menurut kepercayaan masyarakat Melayu, benda tajam seperti paku bisa menangkal serangan kuntilanak. Ketika kuntilanak menyerang, paku ditancapkan di lubang yang ada di belakang leher kuntilanak. Sementara


(30)

dalam kepercayaan masyarakat Indonesia lainnya, lokasi untuk menancapkan paku bisa bergeser ke bagian atas ubun-ubun kuntilanak.

2.1.6.2 Pesugihan

Pesugihan adalah tindakan mencari kekayaan dengan jalan yang tidak “biasa”. Seiring perkembangan jaman, kebutuhan manusiapun berkembang, manusia-manusia yang terlalu ingin memiliki dunia dan berhati sempit dapat saja

terjebak ke dalam ritual “pesugihan”. Mungkin kita pernah mendengar dari teman ataupun sanak saudara kita tentang

“tumbal” dalam “pesugihan”. Tumbal dapat diartikan dengan korban, korban ini merupakan syarat dari pesugihan itu sendiri. Tumbal bisa dari keluarga si”pemuja harta” ataupun orang lain yang sengaja dikorbankan, mungkin kalau boleh kita artikan tumbal itu sama dengan ongkos untuk pencapaian keinginan dari si”pemuja harta”.Perlu ditekankan di sini bahwa semua hal yang didapat lewat perjanjian dengan “penghuni alam gaib” tidaklah diberikan dengan cuma-cuma. Untuk jenis pesugihan tertentu yang mungkin disesuaikan dengan perkembangan jaman, tumbal itu belum terlihat dalam kurun waktu yang singkat, biasanya tumbal baru terlihat pada generasi selanjutnya dari si “pemuja harta”. Sebagai contoh: dahulu kakeknya atau ayahnya sangat kaya karena pesugihan, sekarang anak atau cucunya untuk makan sehari-hari saja susahnya bukan main. Satu-satunya cara agar terhindari dari niat buruk untuk menggunakan pesugihan adalah dengan menjadikan agama sebagai rambu-rambu untuk segala tindak-tanduk kita dalam kehidupan,

( melintasbatas.blogspot.co.id )

2.1.6.3 Mimpi Dalam Penafsiran Jawa.

Mimpi merupakan bagian dari kehidupan manusia, meskipun mimpi merupakan sesuatu yang pribadi namun mimpi adalah fenomena universal yang memiliki peranan penting dalam pembentukan kebudayaan manusia. Mimpi merupakan suatu hal yang tidak pernah bisa terlepas-kan dari kehidupan manusia, baik anak-anak maupun orang dewasa, pejabat maupun


(31)

orang biasa semuanya pasti mengalami mimpi. Karena itulah mimpi memiliki pengaruh amat besar baik secara positif namun tidak sedikit juga berdampak negatif.

Pembahasan mengenai mimpi tidaklah dibahas oleh sekelompok masyarakat ataupun sebidang ilmu saja, tetapi juga meluas ke berbagai disiplin ilmu misal, filsafat, psikologi, agama, dll. Hal ini menandakan bahwa mimpi merupakan tema yang menarik dan selalu aktual untuk dijadikan bahan kajian. Pembahasan kali ini adalah intepretasi mengenai mimpi didalam budaya Jawa dan tokoh psikoanalisanya.

Dalam tradisi Jawa, mimpi memiliki tiga nama berbeda dikaitkan dengan segi waktu, yaitu:

1. Titiyoni, yaitu mimpi antara jam 20.00-22.00. Mimpi ini tergolong ringan dan belum banyak makna yang tersembunyi, disebabkan kejadian atau pikiran individu selama hari itu terbawa dalam alam pikirannya.

2. Gandayoni, yaitu mimpi antara jam 22.00-24.00 mimpi pada waktu ini telah mendekati kenyataan. Mimpi pada saat ini telah menyimpan hal-hal gaib yang perlu ditafsirkan, sedikit ada kaitan dengan mimpi yang menjurus ke arah tersebut tetapi masih samar-samar. Bisa jadi kalau memaknainya tepat dapat berimbas pada kenyataan

3. Puspatajem, yakni mimpi dari pukul 24.00-03.00. Yakni mimpi yang memiliki ketajaman bau bunga alias mimpi yang lebih mendekati makna. Selain itu tafsir tentang benda atau keadaan yang ditemuipun memiliki kepekaan tersendiri.

Menurut Sigmund Freud, mimpi adalah sebuah saluran pengaman bagi emosi manusia dimana (arfinnurul.blogspot.com)

2.1.6.4 Lagu Durma “ Pemanggil Kuntilanak ” “ lingsir wengi sliramu tumeking sirno

ojo tangi nggonmu guling awas jo ngetoro


(32)

aku lagi bang wingo wingo jin setan kang tak utusi jin setan kang tak utusi dadyo sebarang

wojo lelayu sebet…”

Petikan syair diatas pasti tidak asing lagi bagi yang pernah menon-ton film Kuntilanak 2006 yang dibintangi Julie Estelle, itu adalah syair dur-ma yang bisa medur-manggil Kuntilanak seperti yang diceritakan dalam film ter-sebut.

Durma itu adalah salah satu pakem lagu dalam Macapat. Macapat adalah kumpulan lagu Jawa yang mencakup 11 pakem ( Dandhanggula, Mijil, Pocung, Megatruh, Gambuh, Sinom, Maskumambang, Pangkur, Dur-ma, Asmarandana, dan Kinanthi). Tradisi Macapat ini diperkirakan sudah mulai ada sejak jaman akhir kerajaan Majapahit.

Lagu durma pemanggil kuntilanak dalam film Kuntilanak memiliki arti :

Menjelang malam, dirimu(bayangmu) mulai sirna… Jangan terbangun dari tidurmu…

Awas, jangan terlihat (memperlihatkan diri)… Aku sedang gelisah,

Jin setan ku perintahkan Jadilah apapun juga,

Namun jangan membawa maut…

Setiap jenis pakem itu ada rumusnya ( misal terdiri berapa baris, be-rapa suku kata, dan bunyi vokal tiap akhir baris). Jadi Durma juga memiliki rumus, dan Tembang Durma tidak cuma satu macam tapi banyak judulnya. Yang di muat di dalam film Kuntilanak hanya salah satunya. Rumus pakem lagu Durma adalah:


(33)

Setiap tembang dalam Macapat mencerminkan watak yang berbeda-beda. Durma, disebut sebagai bagian Macapat yang mencerminkan suasana atau sifat keras, dan suram. Bahkan kadang mengungkapkan hal-hal yang angker dalam kehidupan, jadi amat tepat apabila dalam film Kuntilanak mengekspos tembang ini.

Dalam tradisi Jawa, ada istilah Tembang Dolanan (Lagu Mainan). Yang dimaksud adalah lagu yang dipakai untuk ritual permainan magis Ja-wa. Misal, ada lagu untuk memainkan Jalangkung, ada lagu untuk memang-gil roh dalam permainan boneka Ni Thowok, ada pula lagu yang dipercaya bisa memanggil buaya di sungai ( dari pakem Megatruh ), dan oleh orang Jawa sampai saat ini masih menjadi mitos larangan untuk dinyanyikan di sungai. Tapi untuk lagu-lagu ritual, biasanya tidak berdiri sendiri untuk memfungsikannya. Lagu itu dinyanyikan dengan iringan syarat ritual yang lain. Tiap ritual syarat atau sesajinya biasanya sangat spesifik, jadi bila tidak memakai sesaji lagu yang dinyanyikan tidak akan berpengaruh.

Di adat Jawa, ada lagu lain untuk “ manggil ” setan: Sluku-sluku bathok, bathok’e ela-elo

Si romo menyang solo, oleh-oleh’e payung muntho Mak jenthit lo-lo lobah, wong mati ora obah Yen obah medheni bocah…

Dulu sebelum permainan-permainan canggih ada seperti sekarang, hanya ada permainan tradisional. Anak – anak Jawa punya tradisi, setiap bulan purnama mereka membuat boneka dari keranjang bunga yang habis dipakai dari ziarah ( seperti boneka Jelangkung ). Lalu membuat sesaji bunga tujuh rupa, sirih, dan tembakau, ditaruh di salah satu pinggir sungai. Di malam bulan purnama, anak – anak mengelilingi boneka itu sambil me-nyanyikan lagu tadi. Lagu itu dime-nyanyikan berulang kali sambil memegang boneka, dan secara ajaib boneka akan bergerak serta agresif. Itu artinya roh penunggu sungai telah masuk ke boneka dan mau diajak bermain. Perma-inannya, boneka itu harus terus dipegang dan roh boneka itu akan


(34)

mem-bawa pemegangnya berlari-lari kemana-mana, lalu ini dijadikan permainan kejar-kejaran. Siapa yang kelelahan akan ‘ditangkap’ oleh ‘ boneka hidup ’ itu, dipukuli dengan kepala boneka yang biasanya dibuat dari tempurung. Yang menggerakkan adalah roh di dalam boneka itu. Permainan ini disebut Ni Thowong, atau Ninidok, atau Nini Thowok. Permainan tersebut memang lazim dimainkan anak – anak jaman dulu, ini disebabkan pada jaman dulu belum ada mal, bioskop atau permainan tekhnologi canggih seperti sekarang.

Mantra penanggulangannya. Nga tha ba ga ma,

Nya ya ja dha pa, La wa sa ta da,

Ka ro co no ho. (di baca 7 kali)

Mantra diatas sebenarnya adalah ejaan huruf Jawa tapi di susun terbalik. Itu disebut Caraka Walik, mantra Jawa Kuno untuk menangkal roh jahat.( mistik-gaib.blogspot.com)

2.1.7 Respon Psikologi Warna

Warna merupakan suatu simbol yang menjadi penandaan akan suatu hal. Warna juga boleh dianggap sebagai suatu fenomena psikologis, respon psikologis dari masing-masing warna

1. Merah : Power, energi, kekuatan, cinta, nafsu, agresi, bahaya. Merah jika dikombinasikan dengan putih akan memiliki arti bahagia dalam budaya oriental.

2. Biru : Kepercayaan, konservatif, keamanan, kebersihan, dan keteraturan

3. Hijau : Alami, sehat, keberuntungan, pembaruan 4. Kuning : Optimis, harapan , filosofis, ketidakjujuran, pengecut (untuk budaya barat), penghianatan. 5. Ungu/jingga : Spriritual, misteri, kebangsawan, transformasi,


(35)

kekerasan, keangkuhan

6. Orange : Energi, keseimbangan, kehangatan

7. Coklat : Tanah/ bumi, reability, comfort, daya tahan 8. Abu-abu : Intelek, kesederhanaan, masa depan, kesedihan.

9. Putih : kesucian, kebersihan, ketepatan, steril, kematian,

ketidakbersalahan.

10. Hitam : Power, seksualitas, kecanggihan, kematian, kesedihan, misteri, ketakutan, keanggunan.

(http://www.toekangweb.or.id/07-tips-bentukwarna.html )

2.1.8 Semiotika

Secara etimologis istilkah semiotik berasal dari bahasa Yunani Semeion yang berarti 'tanda' Tanda itu sendiri sering didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya. Dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain ( Eco, 1979:16 dalam Alex Sobur 2002 : 95 )

Secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelejari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda ( Eco, 1976:6 dalam Alex Sobur 2002:95 ). Van Zoest juga mengartikan semiotik sebagai “ Ilmu tanda( Sign) dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain pengirimannya dan penerimaan dari orang yang mempergunakan “

Semiotik, yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda ( the study of sign ) pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memung-kinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna.( Scholes, 1982 : IX Budiman, 2004 : 3 )

Didalam sejarah perkembangan semiotika berasal dari dua induk yang memiliki dua fungsi tradisi yang berbeda. Pertama Charles Pierce seorang filsuf dari Amerika yang hidup di peralihan abad yang lalu 1839-1914. Sebagai seorang filsuf dan ahli logika, Pierce berkehendak untuk menyelidiki


(36)

apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengheranan apabila sinonim bagi logika. ( Budiman, 2005 : 33)

Logika secara umum adalah (...) sekedar nama lain semiotika ( ... ), suatu doktrin formal atau “ quansinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter-karakter tanda tersebut sebagaimana kita tahu, dan dari pengamatan tadi ( ...) kita diarahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya. ( Pierce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34 )

Di sisi lain, kedua terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasan Ferdinand de Saussure ( 1857-1913 ), sebagai seorang sarjana linguistik di Perancis.

Sebuah ilmu mengkaji tanda-tanda didalam masyrakat dapat dibayangkan ia akan menjadi bagian psikologi sosial, dan sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi ( dari bahasa Yunani Semeion tanda ). Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya ( Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35 )

2.1.9 Model Semiotik Roland Barthes

Roland Barthes adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi strukturalisme. Ferdinnand de Saussure. Semiotika sturukturalisme Saussure lebih menekankan kepada linguistik.

Menurut Shldovsky “ karya seni adalah karya-karya yang diciptakan melalui tehnik-tehnik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seartistikl mungkin “ ( Budiman, 2003 : 11 )

Sedangkan pendekatan karya sturukturalisme memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makan. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai


(37)

sistem tanda-tanda ( Budiman, 2003 :11 )

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metyode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh sorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem tanda sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ua mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya ( Kurniawan, 2001: 156 ). Didalam semiologi seseorang diberikan “ kebebasan” di dalam memakai sebuah makna.

Roland Barthes mendasari kajian-kajian Bartes terhadap objek-objek kenyataan/unsur kebudayaan yang ering ditelitinya. Cakupan kajian kebudayaan Barthes sangat luas. Kajian itu meliputi kesusastraan, perfilman, busana, dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Sebuah garmen, mobil, sepinggan masakan, sebuah bahasa isyarat, sebuah film, sekeping musik, sebuah gambar iklan, sepotong perabot, sebuah kepala judul surat kabar, ini semua memang objek-objek heterogen.

Menurut Barthes ( Kurniawan, 2001 : 89 ) analisis naratif struktural secara metodologis bersal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural bagaimana pada perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri kepada naskah. Intinya sama, yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu. Signifier ( pernanda ) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna ( aspek material ), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified ( pertanda ) adalah gambar mental, yakni konsep atau pikiran ( aspek mental ) dari bahasa ( Kurniawan, 2001: 30 )

Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “ Mythology of the month “ ( mitologi bulan ini ), sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “ mitos-mitos “ yang dibangkitkan oleh sistem tanda tang lebih luas yang membentuk masyarakat.


(38)

tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar bisa berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya.

1.Signifier ( Penanda )

4. Conotative signifier ( penanda konotatif )

6. Conotative sign ( tanda konotatif )

5.Conotatife signified (petanda konotatif )

3.Denotative sign ( Tanda denotative ) 2.Signified (petanda )

Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda tanda konotatif (4). Jadi dalam konteks Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya ( Sobur. 2003 : 68-69 )

Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oelh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “ sesungguhnya “, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional, disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai yang dominan yang berlaku dalam


(39)

suatu periode tertentu.

Didalam mitos juga terdapat tiga pola komunikasi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos juga adalah suatu sitem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Yang menjadi alasan dan pertimbangan Barthes menempatkan ideologi dengan mitos, karena baik didalam mitos maupun ideologi hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan, mewujudkan dirinya didalam teks-teks dan demikian ideologipun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk kedalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain ( Sobur, 2003: 70-71 )

Semiologi Roland Barthes jelas terkait dengan sturukturalisme adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana makna literatiur tergantiung kepada kode-kode yang diproduksi oleh wacana-wacana yang mendahului dari sebuah budaya. Secara luas kode-kode budaya ini telah mengiringkan suatu makna tertenty bagi manusia. Kode-kode budaya ini terlihat jelas bila kita mengkaji mitos-mitos yang tersebar dalam kehidupan sehari-hari.

Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapoat menjadi sebuah objek, kosep, ide karena mitos adalah sebuah mode penindasan yakni sebuah bentuk.

Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh objek pesannya, tetapi dengan cara apoa mitos menuturkan pesan itu. Dengan demikian ada batas-batas formal dari mitos, tetapi tak ada batasan yang “ substansial “. Sejarah manusia mengkonservasikan realitas ke dalam tuturan ( speech) dan manusia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya bahasa mistis. Kuno atau tidak mitologi hanya memiliki sebuah landasan sejarah yakni tipe tuturan


(40)

yang terpilih dari sejarah dan dia tidak mungkin dapat berkembang dari “hakikat “ benda-benda. ( Kurniawan, 2001: 183-184 ).

Dimana Barthes, suatu karya atau teks merupakan sebuah konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonsturksi, pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal lebih dahulu menjadi beberapa “leksia” atau satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa kata, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraph.

Dengan mengenal teks itu pengarang tak lagi jadi perhatian. Teks bukan lagi menjadi milik pengarang, tetapi menjadi milik pembaca dan bagaimana pembaca memproduksi makna itu.

Produksi makna dari pembaca itu sendiri akan menghasilkan kejamakan. Tugas semiolog atau pembaca kemudian adalah menunjukkan sebanyak mungkin makna yang mungkin dihasilkan. Barthes menyebut proses ini sebagai semiolog yang masuk kedalam “dapur makna” ( Kurniawan, 2001: 93-94)

Cara kerja Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah :

1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki

Berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculuan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian didalam cerita.

2. Kode semik atau kode konotatif

Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembaca, pembaca menyusun tema suatu teks dengan


(41)

melihat konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika melihat suatu kumpulan kata atau konotasi kita akan menemukan tema didalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, akan dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling akhir.

3. Kode simbolik

Mewrupakan suatu pengkodean fiksi yang paling struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal istimewa dalam simbol Barthes.

4. Kode Paretik atau kode tindakan/lakuan.

Kode paretik atau kode tindakan lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi selalu mengharap lakuan di'isi' sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks

5. Kode Gnomik atau kode Kultural

Kode ini merupakan acuan teks benda-benda yang sudah diketahui dam dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefiisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. ( Sobur, 2003:65-66)


(42)

2.1.10 Pendekatan Semiotik Dalam Film Kuntilanak ( 2006 )

Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural and Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transisi pesan. Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Bagi perspektif yang kedua, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan. Metode studinya yang utama adalah semiotika ( ilmu tentang tanda dan makna, Fiske, 2006:9) Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebiuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peran teks dalam buadaya kita. Perspektif ini sering sekali menyababkan kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk itulah pendekat yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.

\ Definisi semiotik yang umum adalah studi mengenai tanda-tanda ( Chandler, 2002: www.aber. ac.uk ) studi ini tidak hanya mengarah pada “tanda” dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga tujuan dibuatnya tanda-tanda tersebut. Bentuk-bentuk tanda disini antara lain berupa kata-kata, image, suara, gesture, dan objek. Bila kita mempelajari tanda tidak biasa memisahkan tanda yang satu dengan tanda yang lain membentuk suatu sistem, dan kemudian disebut sistem tanda. Lebih sederhananya semiotik mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna, Menurut John Fiske dan John Hardye, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara sebuah tanda dan makan yang dikandungya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut dikomunikasikan dalam kode-kode ( Chandler, 2002: www.aber.ac.uk )

Film merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti dikemukakan ( Van Zoest 1993:109 dalam Sobur,


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan intepretasi terhadap representasi Budaya Mistis Jawa dalam film “ Kuntilanak ( 2006 ) dengan tokoh Saman-ta, Agung, Rr. Ayu Sukmo Mangkujiwo, Iwang, Ibu Iwang, dan Ibu Yanti maka peneliti menarik kesimpulan bahwa Budaya Mistis Jawa yang terdapat pada film ini adalah Mistis Non-Keagamaan dimana praktek-praktek serta segala ritual dan perbuatan mencari kekayaan dengan cara tidak halal ( pesugihan), pemunculan Kuntilanak yang merupakan penjelmaan dari perempuan berkaki kuda sebagai media yang digunakan untuk mendapatkan pesugihan tersebut, hubungan antara karakter Samanta yang memiliki bakat sebagai pemanggil sekaligus pemelihara Kuntilanak dengan mimpi-mimpi buruk yang penuh teka-teki yang selama ini menghantuinya, serta makna dari durma Jawa pemanggil Kuntilanak yang dia sindenkan dan merupakan bakat miliknya.

Representasi ini hadir melalui kesatuan adegan-adegan dalam sebuah film yang akhirnmya membentuk sebuah makna dan setiap adegan, peneliti melihat adanya tanda-tanda yang tampak menyampaikan pesan akan adanya tampilan budaya mistis sarat akan budaya Jawa dalam film ini amat melekat. Segala hal berbau mistis amat jelas terlihat dari tindakan para karakternya .

Secara keseluruhan visualisasi maupun dialog dalam film ini dikaji kedalam budaya Mistis Non-Keagamaan, mengenai serangkaian praktek-prak-tek mistisme non-keagamaan yang masih sering terjadi dan ditemui di da-lam kalangan masyarakat kita, masih banyak masyarakat Indonesia yang memakai praktek-praktek mistis itu sebagai alternatif mencapai tujuan serta keinginan mereka tanpa memperdulikan benar tidaknya tindakan mereka


(2)

baik di mata Tuhan, maupun sesama manusia. Serangkaian kegiatan mistis yang terlihat dalam film ini seperti pesugihan, memelihara kuntilanak sebagai bentuk pesugihan tersebut, maupun menafsirkan mimpi dan mengait-kannya sebagai patokan hidup adalah segelintir perilaku mistis yang baik kita sadari atau tidak masih sering kita temui atau bahkan kita sendiri melakukannya.

Adapun beberapa contoh yang bisa peneliti berikan sebagai perilaku mistis yang nyata dan pernah terjadi dalam kehidupan ini bahkan hingga diekspos oleh media antara lain.

1. Kasus Sumanto, si Kanibal pemakan mayat yang sempat menggegerkan publik Indonesia antara tahun 2003-2004. Sumanto awalnya adalah seorang pemuda miskin yang lugu dari Banyumas, Jawa Tengah hingga dirinya ber-temu dengan orang pintar yaitu Ki Sirat, yang mengatakan dirinya akan mendapatkan kekebalan dan kekuatan luar biasa apabila memakan mayat. Sejak itu Sumanto mulai merantau dan memulai karir barunya sebagai pemakan mayat ( wikipedia.com )

2. Kasus perusakan 24 makam bayi di kecamatan Sedati, Sidoarjo, Jawa Ti-mur. 24 mayat bayi dinyatakan hilang, kasus ini segera menggegerkan warga karena kemiripan kasus ini dengan Sumanto. Beberapa pihak menduga bah-wa pelakunya sengaja melakukan perbuatan tersebut atas motif yang sama dengan Sumanto, yaitu demi mendapatkan kekebalan dan kekuatan. Meski-pun hingga saat ini kasus ini masih ditelusuri dan belum menemukan titik temu, namun keluarga para korban bayi hilang tersebut berharap agar kasus segera terselesaikan (LintasBeritaNasional, 24 April 2011)

3. Adanya kasus perkosaan terhadap anak dibawah umur yang terjadi di Denpasar, Bali dalam kurun waktu 3 bulan pelakunya melakukan perbuatan keji tersebut sebagai ritual atas pesugihaan (Kompas.com 19 April 2010)

Beberapa kasus diatas merupakan bukti bahwa ritual mistis semacam ini masih marak dikalangan masyarakat kita, meskipun dengan motif yang berbeda-beda yang jelas aneka ritual mistis tersebut telah meresahkan warga juga merugikan para korban dan keluarga korban. Amat ironis memang


(3)

me-ngingat bahwa Indonesia adalah negara Agamis, akan tetapi hal-hal sema-cam ini masih tetap terjadi.

Dari rangkaian pembahasan yang telah diteliti, peneliti mengambil kesim-pulan bahwa masih maraknya budaya mistis non-keagamaan beserta ritual-nya dikarenakan bukan saja kurangritual-nya pendidikan agama yang diberikan kepada para pelaku ritual mistis non-keagamaan serta memegang konsep mistis non-keagamaan tersebut, tapi juga melainkan bahwa masih banyak se-kali masyarakat kita yang tidak benar-benar memahami makna ajaran agama yang mereka pegang, adanya rasa ketidakpuasan serta kehausan atas ajaran agama yang mereka miliki sehingga mereka ( para pelaku dan pemilik pa-ham mistis non-keagamaan ini ) mencari sendiri dengan jalan mereka sendiri yang justru cenderung mengarah pada hal-hal negatif.

Para pelaku atau orang-orang yang terlibat dengan pemikiran mistis non-keagamaan dan perilaku mistis non-non-keagamaan ditilik dari beberapa peneli-tian yang dilakukan peneliti dan penjabaran diatas tidak memandang bulu entah mereka adalah masyarakat yang masih tradisional, tinggal di pelosok daerah dan memiliki pengetahuan minim. Maupun masyarakat perkotaan mo-dern yang cerdas dan menguasai tekhnologi masa kini. Sebab bukan ‘siapa’ yang menyebabkan perilaku mistis non-keagamaan ini muncul, melainkan ‘mengapa’. Pada akhirnya manusia memang harus memiliki iman serta keku-atan hati yang kuat pada Tuhan serta ajaran yang mereka peluk, pembelaja-ran akan hal yang benar dan baik dari lingkungan serta keluarga, serta praktek atas ajaran agama amat menentukan.

5.2 Saran

Munculnya film ini dikarenakan Sutradara dan Produser melihat bahwa masih banyaknya budaya mistisme yang berkembang di penjuru Nusantara dan bahwa mistisme itu amat mempengaruhi pola pikir masyarakat kita ( dalam film ini adalah masyarakat di pulau Jawa )

Di Indonesia mistis sudah menjadi bagian akar budaya bangsa yang sudah ada sejak dulu dan bahkan baik disadari atau tidak secara turun-temurun di wariskan kepada anak cucunya, sebelum agama masuk kedalam


(4)

98

Nusantara perkembangan mistisme non- keagamaan amat pesat terutamanya di wilayah pulau Jawa yang saat itu memang sudah padat akan penduduk. Sang Sutradara, Rizal Mantovani mengangkat beberapa topik tentang mis-tisme sebagai dasar untuk membangun film ini yaitu, pesugihan, tafsiran akan mimpi terhadap makna-makna didalam mimpi itu yang hingga saat ini oleh masyarakat di seluruh dunia juga dilakukan, pemilihan Kuntilanak sebagai contoh mitos mistis yang berkembang dalam ranah masyarakat Jawa serta hubungan durma Jawa sebagai alat untuk memanggil Kuntilanak. Dalam film ini kita bisa melihat betapa masih banyaknya manusia yang menggunakan ‘ jalan cepat’ untuk memperoleh ataupun memenuhi nafsu ke- duniawian mereka, tanpa mempedulikan lagi norma-norma serta menjual hati nurani, hal ini memang benar-benar terjadi dalam kehidupan sehari-hari kita baik yang disadari maupun tidak ataupun yang juga telah di ekspos oleh me-dia massa. Terutama pada masyarakat tertentu, dan diharapkan agar masyarakat tidaklah menjadi bagian dari orang-orang yang dicontohkan dalam film ini, agar manusia dapat hidup bukan hanya sekedar baik tapi juga benar serta menyandarkan diri pada keimanan akan Tuhan dan bukan kepada diri sendiri atau sesama manusia lain yang juga lemah dan bisa tergoda serta hancur.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Bustanudin, Agus. 2006. Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama. Jakarta : P. T Raja Grafindo Persada.

Kusumarwati, Veronika. Jurnal Hantu-Hantu Dalam Perfilman Indonesia Kellner, Douglas. Media Culture, Identity and Politics Between Modern and

Postmodern. New York, Routhledge.

Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : PT. Dian Rakyat.

Para Pakar Budaya dari Lembaga Javanologi. 2007. Menggali Filsafat dan Budaya Jawa. Jakarta : Prestasi Pustaka

Fiske, John. Cultural and Communication Studies : Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Yogjakarta : Jalasutra

Effendy, Onong Uchjana. 2003. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT. Citra Setia Bakti.

Cangara, Hafied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Perkasa.

McQuail, Dennis. 1989. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Erlangga.

Murder, Niels. 1996. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan


(6)

ONLINE

BahasFilm@blogspot.com

Www.IndonesiaCinematique.com

Www.Kompas.com. 2010. Selasa, 21 September. Hantu Indonesia Sekarang dan Dulu

Lesmana, Tjipta.1994. Pornografi Dalam Media Massa . Jakarta: Puspa Swara.

www. KuntilanakMVP. Com

Kuntowijoyo, S Blogspot. 2006. Mitologisasi dan Mistifikasi dalam Pemikiran Jawa.