Model Semiotik Roland Barthes

apa dan bagaimana proses bernalar manusia. Teori Pierce tentang tanda dilandasi oleh tujuan besar ini sehingga tidak mengheranan apabila sinonim bagi logika. Budiman, 2005 : 33 Logika secara umum adalah ... sekedar nama lain semiotika ... , suatu doktrin formal atau “ quansinecessary” atau formal adalah bahwa kita mengamati karakter-karakter tanda tersebut sebagaimana kita tahu, dan dari pengamatan tadi ... kita diarahkan kepada pernyataan-pernyataan yang bisa saja keliru dan dengan demikian, dalam arti tertentu sama sekali tidak niscaya. Pierce, 1986 : 4 dalam Budiman, 2005 : 34 Di sisi lain, kedua terdapat pula tradisi semiotika yang dibangun berdasarkan teori kebahasan Ferdinand de Saussure 1857-1913 , sebagai seorang sarjana linguistik di Perancis. Sebuah ilmu mengkaji tanda-tanda didalam masyrakat dapat dibayangkan ia akan menjadi bagian psikologi sosial, dan sebagai konsekuensinya, psikologi general, ia akan saya beri nama semiologi dari bahasa Yunani Semeion tanda . Semiologi akan menunjukkan hal-hal apa yang membentuk tanda-tanda, kaidah-kaidah apa yang mengendalikannya Saussure, 1966 : 16 dalam Budiman, 2005 : 35

2.1.9 Model Semiotik Roland Barthes

Roland Barthes adalah salah satu tokoh semiotika komunikasi yang menganut aliran semiotika komunikasi strukturalisme. Ferdinnand de Saussure. Semiotika sturukturalisme Saussure lebih menekankan kepada linguistik. Menurut Shldovsky “ karya seni adalah karya-karya yang diciptakan melalui tehnik-tehnik khas yang dirancang sedemikian rupa sehingga menjadi karya yang seartistikl mungkin “ Budiman, 2003 : 11 Sedangkan pendekatan karya sturukturalisme memberikan perhatian terhadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makan. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya sastra atau seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. sistem tanda-tanda Budiman, 2003 :11 Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metyode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh sorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem tanda sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ua mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya Kurniawan, 2001: 156 . Didalam semiologi seseorang diberikan “ kebebasan” di dalam memakai sebuah makna. Roland Barthes mendasari kajian-kajian Bartes terhadap objek-objek kenyataanunsur kebudayaan yang ering ditelitinya. Cakupan kajian kebudayaan Barthes sangat luas. Kajian itu meliputi kesusastraan, perfilman, busana, dan berbagai fenomena kebudayaan lainnya. Sebuah garmen, mobil, sepinggan masakan, sebuah bahasa isyarat, sebuah film, sekeping musik, sebuah gambar iklan, sepotong perabot, sebuah kepala judul surat kabar, ini semua memang objek-objek heterogen. Menurut Barthes Kurniawan, 2001 : 89 analisis naratif struktural secara metodologis bersal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural bagaimana pada perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri kepada naskah. Intinya sama, yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu. Signifier pernanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna aspek material , yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Signified pertanda adalah gambar mental, yakni konsep atau pikiran aspek mental dari bahasa Kurniawan, 2001: 30 Pada setiap terbitannya Roland Barthes membahas “ Mythology of the month “ mitologi bulan ini , sebagian besar dengan menunjukkan bagaimana aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan konotasi yang pada dasarnya adalah “ mitos-mitos “ yang dibangkitkan oleh sistem tanda tang lebih luas yang membentuk masyarakat. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. tanda adalah peran pembaca. Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar bisa berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. 1.Signifier Penanda 4. Conotative signifier penanda konotatif 6. Conotative sign tanda konotatif 5.Conotatife signified petanda konotatif 3.Denotative sign Tanda denotative 2.Signified petanda Dari peta Barthes diatas terlihat bahwa tanda denotatif 3 terdiri atas penanda 1 dan petanda 2. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda tanda konotatif 4. Jadi dalam konteks Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya Sobur. 2003 : 68-69 Pada dasarnya ada perbedaan antara denotasi dan konotasi secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oelh Barthes. Dalam pengertian umum denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “ sesungguhnya “, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional, disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, didalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif. Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai “mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai yang dominan yang berlaku dalam Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. suatu periode tertentu. Didalam mitos juga terdapat tiga pola komunikasi penanda, petanda, dan tanda, namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos juga adalah suatu sitem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Yang menjadi alasan dan pertimbangan Barthes menempatkan ideologi dengan mitos, karena baik didalam mitos maupun ideologi hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya. Kebudayaan, mewujudkan dirinya didalam teks-teks dan demikian ideologipun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk kedalam teks dalam bentuk penanda- penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain Sobur, 2003: 70-71 Semiologi Roland Barthes jelas terkait dengan sturukturalisme adalah usaha untuk menunjukkan bagaimana makna literatiur tergantiung kepada kode-kode yang diproduksi oleh wacana-wacana yang mendahului dari sebuah budaya. Secara luas kode-kode budaya ini telah mengiringkan suatu makna tertenty bagi manusia. Kode-kode budaya ini terlihat jelas bila kita mengkaji mitos-mitos yang tersebar dalam kehidupan sehari-hari. Mitos menurut Barthes adalah sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian dia adalah sebuah pesan. Mitos kemudian tak mungkin dapoat menjadi sebuah objek, kosep, ide karena mitos adalah sebuah mode penindasan yakni sebuah bentuk. Mitos sebagai bentuk tidak dibatasi oleh objek pesannya, tetapi dengan cara apoa mitos menuturkan pesan itu. Dengan demikian ada batas-batas formal dari mitos, tetapi tak ada batasan yang “ substansial “. Sejarah manusia mengkonservasikan realitas ke dalam tuturan speech dan manusia sendirilah yang menentukan hidup dan matinya bahasa mistis. Kuno atau tidak mitologi hanya memiliki sebuah landasan sejarah yakni tipe tuturan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. yang terpilih dari sejarah dan dia tidak mungkin dapat berkembang dari “hakikat “ benda-benda. Kurniawan, 2001: 183-184 . Dimana Barthes, suatu karya atau teks merupakan sebuah konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah rekonstruksi dari bahan-bahan yang tersedia, yang tidak lain adalah teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonsturksi, pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal lebih dahulu menjadi beberapa “leksia” atau satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa kata, beberapa kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraph. Dengan mengenal teks itu pengarang tak lagi jadi perhatian. Teks bukan lagi menjadi milik pengarang, tetapi menjadi milik pembaca dan bagaimana pembaca memproduksi makna itu. Produksi makna dari pembaca itu sendiri akan menghasilkan kejamakan. Tugas semiolog atau pembaca kemudian adalah menunjukkan sebanyak mungkin makna yang mungkin dihasilkan. Barthes menyebut proses ini sebagai semiolog yang masuk kedalam “dapur makna” Kurniawan, 2001: 93- 94 Cara kerja Barthes sebagai upaya untuk mengeksplisitkan kode-kode narasi yang berlaku dalam suatu naskah realis. Barthes berpendapat bahwa Sarrasine ini terangkai dalam kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Lima kode yang ditinjau Barthes adalah : 1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki Berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculuan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian didalam cerita. 2. Kode semik atau kode konotatif Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembaca, pembaca menyusun tema suatu teks dengan Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber. melihat konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika melihat suatu kumpulan kata atau konotasi kita akan menemukan tema didalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, akan dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling akhir. 3. Kode simbolik Mewrupakan suatu pengkodean fiksi yang paling struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Dalam suatu teks verbal perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal istimewa dalam simbol Barthes. 4. Kode Paretik atau kode tindakanlakuan. Kode paretik atau kode tindakan lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. Pada kebanyakan fiksi selalu mengharap lakuan diisi sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks 5. Kode Gnomik atau kode Kultural Kode ini merupakan acuan teks benda-benda yang sudah diketahui dam dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefiisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatasnya para penulis bertumpu. Sobur, 2003:65-66 Hak Cipta © milik UPN Veteran Jatim : Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.

2.1.10 Pendekatan Semiotik Dalam Film Kuntilanak 2006