Combination of Zooprophylactic and Smearing of Residual Deltamethrin Insecticide on Cattle as Efforts of Malaria Vector Control

(1)

KOMBINASI ZOOPROFILAKSIS DAN PEMBALURAN

INSEKTISIDA DELTAMETRIN PADA TERNAK SAPI

SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN VEKTOR MALARIA

BUDI SANTOSO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kombinasi Zooprofilaksis dan Pembaluran Insektisida Deltametrin pada Ternak Sapi Sebagai Upaya Pengendalian Vektor Malaria adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2012 Budi Santoso NIM B252100011


(4)

(5)

RINGKASAN

BUDI SANTOSO. Kombinasi Zooprofilaksis dan Pembaluran Insektisida Deltametrin pada Ternak Sapi Sebagai Upaya Pengendalian Vektor Malaria. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI HADI.

Pemanfaatan hewan ternak untuk mengalihkan gigitan nyamuk Anopheles dari manusia ke hewan dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Tetapi zooprofilaksis mempunyai dampak ganda. Keberadaan hewan ternak di satu sisi mampu untuk mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan, dan di sisi lain menyediakan sumber darah untuk menjaga kelangsungan hidup nyamuk. Darah mamalia dibutuhkan nyamuk sebagai sumber protein bagi perkembangan reproduksinya

Penelitian ini bertujuan mengukur pengaruh aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pembaluran insektisida residual deltametrin pada sapi terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles. Lokasi penelitian ini Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung yang merupakan daerah endemis malaria tinggi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2012 menggunakan umpan hewan sapi yang telah dibalurkan dengan insektisida deltametrin. Selanjutnya hewan sapi di pasang antara rumah dengan tempat perindukan nyamuk (lagoon), dengan maksud sebagai penghalang supaya nyamuk Anopheles tidak mendatangi pemukiman.

Pengukuran lama residu insektisida yang dibalurkan ke badan sapi dilakukan dengan metode cone test. Pengukuran kepadatan nyamuk Anopheles pada manusia diperoleh dari hasil landing collection malam hari selama 12 jam (pukul 18.00 – 06.00), sedangkan pengukuran kepadatan pada sapi dilakukan dengan menangkap nyamuk yang hinggap di dalam kelambu perangkap (magoon).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu insektisida deltametrin yang dibalurkan pada sapi dapat bertahan 8 hari dengan tingkat kematian nyamuk sebesar 95%. Pembaluran deltametrin pada sapi berpengaruh terhadap kepadatan Anopheles yang menggigit manusia. Hal ini tercermin pada penurunan angka gigitan pasca perlakuan, yaitu An. sundaicus sebesar 63.52%, An. vagus 80%, An. barbirostris 85.71%, An. subpictus 82.45%, An. aconitus 92.30%, An. kochi 80% . Selain itu, dampak pembaluran deltametrin juga menurunkan kepadatan nyamuk pada sapi, yaitu, An. sundaicus sebesar 95.12%, An. vagus 90.64%, An. barbirostris 80%, An. subpictus 85.5%, An. aconitus 94.34%, An. kochi 100% dan An. hyrcanus group 100% .

Keberhasilan kombinasi zooprofilaksis dan pembaluran insektisida terbukti menurunkan angka gigitan baik pada manusia maupun pada sapi. Hal ini menjadi gagasan yang dapat diterapkan dalam pengendalian malaria.


(6)

(7)

SUMMARY

BUDI SANTOSO. Combination of Zooprophylactic and Smearing of Residual Deltamethrin Insecticide on Cattle as Efforts of Malaria Vector Control. Under Supervision of SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.

Utilization of cattle to divert Anopheles mosquito bites from humans to animals is known as zooprophylactic. However, using animals as a protection from mosquito bites has double impacts. The presence of cattle on the one hand can be used to divert mosquitoes from humans to animals, but on the other hand can sustain the survival of the mosquitoes, because it can serve as mosquitoes blood meal source to maintain the viability of mosquitoes. The mosquitoes take blood mammals as a protein source for the reproductive development. This study aimed to measure the effect combination of zooprophylactic application with the smearing of residual deltamethrin insecticide on cattle against the rate of Anopheles mosquito biting. Location of this study was in Hanura Village of Padang Cermin Subdistrict, Pesawaran Regency, Lampung Province, which belong to a high malaria endemic area. The study was conducted on February to April 2012 using three cattle which were smeared by deltamethrin insecticide. Then, the cattle were placed between the resident houses and mosquito breeding places (lagoon). The observation of the insecticide residue on the cattle were measured by cone test method. The measurement of the density of Anopheles mosquitoes in human was obtained by bare leg collection method during whole night, where as the measurement of Anopheles mosquito density on cattle were done by magoon trap method. The result showed that the residue of deltamethrin insecticide on the cattle caused 95% mortality of mosquitoes were found till eight days. Placement of cattle smeared with insecticide caused the decreasing in density of Anopheles mosquito bites in human and in cattle. The decreasing of Anopheles mosquito biting rate in human were 63.52% in An. sundaicus, 80% in An. vagus, 85.71% in An. barbirostris, 82.45% in An. subpictus, 92.30% in An. aconitus and 80% in An. kochi. In addition, the decreasing of biting rate in cattle were 95.12% in An. sundaicus, 90.64% in An. vagus, 80% in An. barbirostris, 85.5% in An. subpictus, 94.34% in An. aconitus, 100% in An. kochi and 100% in An. hyrcanus group. The successful result on combination of zooprophylactic with deltrametrin on reducing the mosquitoes biting rate both in human and in cattle were being a good idea for malaria vector control.


(8)

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(10)

(11)

KOMBINASI ZOOPROFILAKSIS DAN PEMBALURAN

INSEKTISIDA DELTAMETRIN PADA TERNAK SAPI

SEBAGAI UPAYA PENGENDALIAN VEKTOR MALARIA

BUDI SANTOSO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

(13)

Judul Tesis : Kombinasi Zooprofilaksis dan Pembaluran Insektisida Deltametrin pada Ternak Sapi Sebagai Upaya Pengendalian Vektor Malaria.

Nama : Budi Santoso

NIM : B252100011

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. drh. Susi Soviana, M.Si

Anggota

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS

Diketahui Oleh

Ketua Program Studi/Mayor

Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MScAgr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2012 sampai dengan April 2012 ini ialah pemanfaatan hewan ternak dalam pemberantasan malaria, dengan judul kombinasi zooprofilaksis dan pembaluran insektisida deltametrin pada ternak sapi sebagai upaya pengendalian vektor malaria.

Dalam penyelesaian tulisan ini, berbagai pihak telah banyak membantu mulai dari tahap persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian hingga proses penyelesaiannya. Penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada ibu Dr. drh. Susi Soviana, M.Si sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan ibu Dr. drh. Upik Kesumawati Hadi, MS sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak mengarahkan dan membimbing selama penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof. Dr. dr. Inge Sutanto, M.Phil sebagai Kepala Proyek Malaria Transmission Consortium (MTC) Site Lampung yang telah memberikan beasiswa Pascasarjana Parasitologi dan Entomologi Kesehatan IPB Bogor. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada kepada Bapak Prof. Dr. drh. Singgih H. Sigit, M.Sc, Bapak FX. Koesharto, M.Sc, Ibu Dr. drh. Dwi Jayanti Gunandini, M.Si, Bapak Dr. drh. M. Amin, M.Sc yang selama ini telah memberikan ilmunya, tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada para staf di Jurusan Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Pak Heri, Pak Yunus (Alm), Pak Priyono, Bu Een dan teman seperjuangan Mas Didik yang selama ini telah membantu penulis menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Lampung yang telah memberikan kesempatan tugas belajar dan juga telah memfasilitasi alat-alat yang dipergunakan dalam menyelesaikan penelitian ini. Di samping itu, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada teman-teman mahasiswa Politeknik Negeri Jurusan Malaria Banjar Negara Jawa Tengah yang telah membantu penelitian di lapangan. Akhirnya, penulis sampaikan terima kasih kepada keluarga tercinta yang selalu memberikan dorongan moril maupun materiil sehingga penulis berhasil menyelesaikan penelitian ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2012 Budi Santoso


(16)

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

1.3 Manfaat Penelitian ... 3

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Peranan Anopheles Sebagai Vektor Malaria ... 5

2.2 Habitat Perkembangbiakan Anopheles ... 6

2.3 Perilaku Nyamuk Anopheles ... 6

2.4 Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik Kepada Inang ... 8

2.4.1 Suhu ... 8

2.4.2 Kelembaban Udara ... 8

2.4.3 Karbondioksida ... 9

2.4.4 Aroma ... 9

2.4.5 Visual ... 9

2.5 Pemanfaatan Ternak Dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles ... 10

2.6 Pemanfaatan Ternak dan Insektisida Pengendalian Anopheles... 12

2.7 Deltametrin dan Cara Kerjanya ... 12

2.8 Resistensi dan Mekanismenya ... 13

2.8.1 Mekanisme Biokimia ... 14

2.8.2 Mekanisme Faali ... 14

3 METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Tempat Penelitian ... 17

3.2 Waktu Penelitian ... 17

3.3 Hewan Ternak yang digunakan ... 17

3.4 Insektisida yang dipakai ... 18

3.5 Pembaluran Insektisida pada Sapi ... 18

3.6 Pengukuran Residu Insektisida pada Tubuh Sapi ... 19

3.7 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Manusia ... 20

3.8 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Sapi ... 20

3.9 Identifikasi Nyamuk ... 21

3.10 Analisis Data Nyamuk Anopheles ... 22

3.10.1 Pengukuran Residu Insektisida pada Tubuh Sapi ... 22

3.10.2 Kelimpahan Nisbi Nyamuk Anopheles ... 22

3.10.3 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Manusia 23 3.10.4 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Sapi ... 23


(18)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

4.1 Lama Residu Insektisida di Badan Sapi ... 25

4.2 Keragaman dan Kelimpahan Nisbi Nyamuk Anopheles yang Tertangkap Pra Perlakuan ... 26

4.3 Kepadatan Nyamuk Anopheles Mengisap Darah Orang Pra Perlakuan ... 29

4.3.1 Anopheles sundaicus ... 29

4.3.2 Anopheles vagus ... 31

4.3.3 Anopheles barbirostris ... 32

4.3.4 Anopheles subpictus ... 32

4.3.5 Anopheles aconitus ... 32

4.3.6 Anopheles kochi ... 34

4.4 Aktivitas Nyamuk Anopheles Menghisap Darah ... 35

4.5 Pengamatan Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Manusia Pasca Perlakuan ... 37

4.5.1 Kepadatan Nyamuk Anopheles sundaicus Pra dan Pasca Perlakuan... 38

4.5.2 Kepadatan Nyamuk Anopheles vagus Pra dan Pasca Perlakuan... 39

4.5.3 Kepadatan Nyamuk Anopheles barbirostris Pra dan Pasca Perlakuan... 40

4.5.4 Kepadatan Nyamuk Anopheles subpictus Pra dan Pasca Perlakuan... 41

4.5.5 Kepadatan Nyamuk Anopheles aconitus Pra dan Pasca Perlakuan... 42

4.5.6 Kepadatan Nyamuk Anopheles kochi Pra dan Pasca Perlakuan... 43

4.6 Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Sapi Pra dan Pasca Pembaluran Insektisida... 43

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 47

5.1 Simpulan ... 47

5.2 Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 49


(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Keragaman dan kelimpahan nisbi Anopheles yang tertangkap

pra perlakuan ... 27

2 Kepadatan nyamuk Anopheles tertangkap umpan orang per orang per jam (MHD) pasca perlakuan ... 37

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Sapi yang digunakan dalam penelitian ... 17

2 Insektisida deltametrin ... 18

3 Pembaluran insektisida pada sapi ... 18

4 Pelaksanaan cone test ... 19

5 Penangkapan nyamuk metode BLC ... 20

6 Penangkapan nyamuk pada perangkap sapi ... 21

7 Identifikasi nyamuk ... 22

8 Rata-rata kematian (%) nyamuk Anopheles setelah dikontakkan Dengan sapi yang dibalurkan insektisida ... 25

9 Kepadatan nyamuk Anopheles sundaicus mengisap darah per orang per jam (MHD) di luar rumah dan di dalam rumah pra perlakuan ... 29

10 Kepadatan nyamuk Anopheles vagus mengisap darah per orang per jam (MHD) di luar rumah dan di dalam rumah pra perlakuan ... 31

11 Kepadatan nyamuk Anopheles barbirostris mengisap darah per orang per jam (MHD) di luar rumah dan di dalam rumah pra perlakuan ... 32

12 Kepadatan nyamuk Anopheles subpictus mengisap darah per orang per jam (MHD) di luar rumah dan di dalam rumah pra perlakuan ... 33

13 Kepadatan nyamuk Anopheles aconitus mengisap darah per orang per jam (MHD) di luar rumah dan di dalam rumah pra perlakuan ... 34

14 Kepadatan nyamuk Anopheles kochi mengisap darah per orang per jam (MHD) di luar rumah dan di dalam rumah pra perlakuan ... 35

15 Fluktuasi MHD setiap jam penangkapan dari pukul 18.00 – 06.00 ... 36

16 Kepadatan nyamuk Anopheles sundaicus mengisap orang pra dan pasca perlakuan ... 38

17 Kepadatan nyamuk Anopheles vagus mengisap orang pra dan pasca perlakuan ... 39

18 Kepadatan nyamuk Anopheles barbirostris mengisap orang pra dan pasca perlakuan ... 40

19 Kepadatan nyamuk Anopheles subpictus mengisap orang pra dan pasca perlakuan ... 41

20 Kepadatan nyamuk Anopheles aconitus mengisap orang pra dan pasca perlakuan ... 42

21 Kepadatan nyamuk Anopheles kochi mengisap orang pra dan pasca perlakuan ... 43

22 Rata-rata kepadatan nyamuk Anopheles yang tertangkap pada magoon sapi pra dan pasca perlakuan ... 44


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Output SPSS Pengaruh Perlakuan Terhapad Kepadatan Gigitan Anopheles pada Manusia ... 63 2 Output SPSS Pengaruh Perlakuan Terhapad Kepadatan Gigitan


(21)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyamuk merupakan kelompok serangga yang paling banyak menimbulkan masalah di bidang kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keragaman spesies, distribusi yang luas, populasinya yang besar dan banyaknya spesies yang berperan sebagai pengganggu dan vektor (Becker et al. 2003). Beberapa penyakit tular nyamuk (mosquito-borne diseases) di Indonesia adalah malaria, demam berdarah dengue, filariasis limfatik, japanese encephalitis dan chikungunya (Hadi dan Soviana 2010).

Nyamuk Anopheles dikenal sebagai vektor Plasmodium penyebab malaria yang sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pengendalian nyamuk Anopheles merupakan komponen utama untuk memutuskan rantai penularan malaria, yang menjadi elemen dasar keberhasilan program pemberantasan malaria (WHO 2011).

Pengendalian nyamuk Anopheles secara konvensional selama ini dilakukan dengan metode umum Indoor Residual Spraying (IRS) yaitu menyemprotkan insektisida residual pada dinding rumah. Metode IRS memerlukan insektisida dalam jumlah yang sangat besar, yang berdampak pada biaya yang mahal dan memberatkan bagi negara-negara berkembang. Mengingat vektor malaria berbasis lingkungan dan bersifat spesifik lokal, jenis teknologi pengendaliannya tidak hanya mengandalkan satu program intervensi tetapi perlu dicari metode yang lebih murah dan efektif.

Hadi dan Koesharto (2006) menyatakan keberhasilan pengendalian vektor malaria sangat tergantung pada pilihan metode yang tepat dengan memperhatikan bioekologi nyamuk dan perilakunya di alam. Perilaku nyamuk Anopheles yang dapat digunakan sebagai dasar pengendalian adalah perilaku nyamuk Anopheles yang bersifat zoofilik, yaitu lebih menyukai darah hewan. Soedir (1985) melaporkan bahwa di pantai Glagah Daerah Istimewa Yogyakarta ternak menjadi daya tarik yang besar bagi nyamuk. Dari 3081 nyamuk yang tertangkap 54.3% di antaranya menyukai darah sapi, 33.4% darah domba dan sisanya 5.3% darah manusia. Sementara itu, Naswir (2012) melaporkan bahwa beberapa metode penangkapan nyamuk yang dilakukan di Ujung Bulu Kabupaten


(22)

Bulukumba Sulawesi Selatan, hasilnya menunjukkan umpan hewan lebih berhasil mendapatkan Anopheles dalam jumlah banyak (980 nyamuk), dibandingkan dengan cara umpan orang (783 nyamuk). Sigit dan Kesumawati (1988) menyatakan bahwa beberapa nyamuk Anopheles seperti An. aconitus, An. sundaicus dan An. barbirostris yang merupakan vektor utama malaria di Indonesia juga bersifat zoofilik.

Pemanfaatan hewan ternak untuk mengalihkan gigitan nyamuk Anopheles dari manusia ke hewan dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Tetapi zooprofilaksis mempunyai dampak ganda. Keberadaan hewan ternak di satu sisi mampu untuk mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan, dan di sisi lain menyediakan sumber darah untuk menjaga kelangsungan hidup nyamuk. Darah mamalia dibutuhkan nyamuk sebagai sumber protein bagi perkembangan reproduksinya (Saul 2003).

Kelemahan metode zooprofilaksis ini dapat ditanggulangi dengan membalurkan insektisida pada tubuh hewan umpan. Pemanfaatan metode kombinasi zooprofilaksis dengan insektisida pernah dilakukan di Afganistan, terbukti murah dan sama efektifnya dengan penyemprotan rumah (IRS). Biaya yang dibutuhkan 80% lebih murah, mudah dan aman serta berdampak pada peningkatan produksi ternak akibat kematian ektoparasit ternak (Rowland et al. 2001).

Metode kombinasi tersebut di Indonesia juga pernah diteliti oleh Hasan (2006) di Bogor. Aplikasi metode tersebut terbukti dapat menurunkan 42.19% kepadatan gigitan Anopheles vagus dan 74.07% Anopheles indefinitus.

Di Indonesia intervensi penggunaan kombinasi zooprofilaksis dengan insektisida yang secara khusus digunakan sebagai metode pemberantasan malaria di daerah endemis belum pernah dikerjakan. Sampai saat ini belum ada data secara ilmiah yang dapat mengukur keberhasilan program tersebut, terutama pengaruh kepadatan gigitan Anopheles pada manusia maupun pengaruh populasi nyamuknya sendiri.


(23)

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengukur pengaruh aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pembaluran insektisida residual deltametrin pada sapi terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles.

1.3 Manfaat Penelitian

Metode kombinasi zooprofilaksis dengan insektisida menjadi dasar pengembangan program pengendalian malaria di Indonesia, sedangkan bagi masyarakat yang memelihara ternak dapat meningkatkan sumber ekonomi keluarga sekaligus sebagai tameng terhadap penularan malaria.


(24)

(25)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Anopheles Sebagai Vektor Malaria

Jenis nyamuk di seluruh dunia telah diketahui terdapat kurang lebih ada 4500 spesies nyamuk dalam 34 genus dari famili Culicidae. Hanya spesies dari genus Anopheles yang berperan sebagai vektor malaria pada manusia. Jumlah Anopheles yang telah diidentifikasi berdasarkan morfologi kurang lebih 424 spesies, dan 70 spesies di antaranya diketahui sebagai vektor malaria. Jumlah spesies Anopheles yang tercatat di Indonesia sebanyak 80 dan 22 di antaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria (Sukowati 2009).

Di Indonesia telah dilaporkan spesies Anopheles utama sebagai vektor malaria adalah An. aconitus, An. sundaicus, An. ludlowi, An. sinensis , An. balabacensis, An. koliensis, An. maculatus, An.subpictus, An. bancrofti, An. letifer, An. minimus, An. flavirostris, An. barbirostris, An. leucosphyrus, An. nigerrimus , An. vagus, An. farauti, An. karwari, An. punctulatus, An. umbrosus, An. tesellatus, An. parangensis, An. kochi, An. ludlowi, An. annullaris yang tersebar di berbagai pulau (Winarno dan Rogayah 2009).

Di Provinsi Lampung, nyamuk Anopheles yang terbukti sebagai vektor adalah An. sundaicus, An. aconitus, An. maculatus, An. nigerrimus, An. sinensis (Depkes 2005). Di pulau Sumatera, nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah An. kochi, An. sundaicus, An. tesselatus, dan berpotensi sebagai vektor yaitu An. nigerrimus, An. letifer, An. umbrosus. Di Pulau Jawa, nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah An. aconitus, An. balabacencis, An. maculatus dan An. sundaicus. Di Pulau Kalimantan nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah An. balabacensis, An. leucosphyrus dan An. sundaicus, sedangkan yang berpotensi sebagai vektor adalah An. letifer dan An. tesselatus. Di Pulau Bali, nyamuk yang berperan sebagai vektor adalah An. subpictus. Di Pulau Nusa Tenggara Timur yang berperan sebagai vektor adalah An. barbirostris, An. subpictus dan An. sundaicus.

Di Indonesia bagian Timur, nyamuk Anopheles yang terbukti sebagai vektor malaria adalah An. bancrofti, An. koliensis, An. punctulatus, An. farauti, An. subpictus, An. barbirostris, An. sundaicus, dan yang berpotensi sebagai vektor yaitu An. vagus. Di Pulau Sulawesi, nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria


(26)

adalah An. barbirostris, An. sundaicus, An. kochi, An. nigerrimus, dan yang berpotensi sebagai vektor adalah An. flavirostris, An. umbrosus, An. minimus dan An. sinensis (Munif et al. 2008).

Penyebaran vektor malaria sangat dipengaruhi oleh struktur lansekap, penggunaan lahan yang berbeda pada struktur lansekap berpengaruh terhadap kepadatan dan keragaman nyamuk Anopheles (Han et al. 2002). Distribusi spasial Anopheles meliputi penyebaran berdasarkan wilayah geografis yang dipengaruhi oleh kondisi topografi, ketinggian tempat, kemiringan lereng dan pemanfaatan lahan (Sukowati 2009).

Hasil analis prevalensi malaria menurut letak geografis di Bukit Menoreh Jawa Tengah menunjukan bahwa risiko terjadinya penularan malaria dipengaruhi suhu udara, kelembaban, vegetasi tanaman dan penggunaan lahan. Nilai konstanta dan nilai fungsi masing-masing variabel prediktor intensitas penularan malaria adalah 1.938 suhu, 1.871 kelembaban, 1.339 vegetasi tanaman dan 1.893 penggunaan lahan (Ahmad et al. 2003).

2.2 Habitat Perkembangbiakan Anopheles

Habitat perkembangbiakan merupakan tempat perkembangbiakan pradewasa, mulai dari telur, larva dan pupa. Bates (1970) membagi habitat larva menjadi empat kelompok, (1) habitat yang permanen dan semi permanen seperti rawa, danau, (2) daerah aliran air yang berasosiasi dengan tumbuhan, (3) kontainer termasuk genangan air pada ketiak daun tumbuhan, (4) genangan air pada tanah yang bersifat sementara.

Arianti et al. (2007) melaporkan di Kepulauan Seribu bahwa larva An. subpictus merupakan larva yang dapat hidup pada berbagai tipe habitat. Larva jenis Anopheles ini dapat hidup pada air mengalir, maupun tidak mengalir seperti di kolam, pinggir danau, saluran irigasi, persawahan, air tawar dan air payau. Dari kolam perendaman rumput laut ditemukan 27.3 % positif mengandung larva An. subpictus, 13.6% sumur dangkal.

2.3 Perilaku Nyamuk Anopheles

Eksofilik adalah sifat atau kebiasaan nyamuk yang menyukai istirahat di luar rumah sampai saat telurnya matang dan siap untuk diletakkan ditempat


(27)

perindukannya. Nyamuk dengan sifat seperti ini menghabiskan sebagian besar siklus gonotrofiknya di luar rumah manusia.

Pengendalian nyamuk yang bersifat eksofilik, metode penyemprotan rumah dan penggunaan kelambu yang berinsektisida tidak efektif, karena nyamuk Anopheles yang menjadi sasaran tidak berkontak dengan insektisida yang disemprotkan. Pengendalian di luar rumah seperti manajemen lingkungan merupakan cara yang tepat untuk menurunkan populasi vektor yang bersifat eksofilik. Berbeda dengan eksofilik, endofilik adalah sifat atau kebiasaan nyamuk yang sebagian besar waktu istirahat di dalam rumah.

Perilaku nyamuk dalam memilih sumber darah dapat dibedakan menjadi zoofilik dan antropofilik, zoofilik merupakan sifat nyamuk Anopheles yang lebih menyukai darah hewan dan antropofilik adalah sifat nyamuk Anopheles yang menyukai darah manusia. Terkait dengan sifat antropofilik, nyamuk Anopheles dapat menggigit manusia di dalam rumah (endofagik) atau di luar rumah (eksofagik).

Nyamuk Anopheles vagus bersifat zoofilik di desa Hargotirto, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta (Aprianto 2002). Nyamuk An. maculatus dan An. balabasensis di lokasi yang sama bersifat antropofilik. Berkaitan dengan lokasi mengigit, Aprianto (2002) tidak dapat memastikan sifat eksofagik atau endofagik dari An. maculatus dan An. vagus. Boesri (1991) melaporkan bahwa An. sundaicus di desa Tarahan Lampung Selatan banyak ditemukan di sekitar kandang dan lebih menyukai mengigit di luar rumah. Suwito (2010) melaporkan juga bahwa An. sundaicus di Kecamatan Padang Cermin Pesawaran bersifat antropofilik lebih menyukai darah orang dibandingkan darah hewan.

Jastal (2005) melaporkan dari delapan spesies nyamuk Anopheles yang didapatkan di desa Tongua, Donggala Sulawesi Tengah, yaitu An. barbirostris, An. nigerimus, An. barbumbrosus, An. tesselatus, An. vagus, An. punctulatus, An. kochi dan An. maculatus semuanya bersifat eksofagik. Spesies Anopheles yang bersifat antropofilik yaitu An. barbirostris, An. nigerrimus. Tiga spesies lainnya bersifat zoofilik yaitu An. tesselatus, An. vagus dan An. kochi.


(28)

Penyebaran nyamuk Anopheles mencari sumber darah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan abiotik dan biotik. Lingkungan abiotik yang dimaksud dapat berupa suhu, kelembaban dan curah hujan, sedangkan lingkungan biotik dapat berupa fauna dan flora di suatu daerah.

2.4 Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik Kepada Inang

Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam mencari inangnya. Hal ini disebabkan oleh daya tarik masing-masing inang tersebut terhadap nyamuk tidak sama. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi nyamuk dalam mencari inang adalah suhu, kelembaban, karbondioksida, aroma tubuh dan macam-macam faktor visual (Olanga et al. 2010).

2.4.1 Suhu

Suhu merupakan faktor penting sebagai perangsang dalam penemuan inang dan merupakan daya tarik utama bagi nyamuk untuk bereaksi menggigit, peningkatan suhu akibat viremia akan lebih menarik nyamuk untuk mendekati inang (Carver et al. 2009).

Wang et al. (2009) melaporkan bahwa panas tubuh 250C sampai dengan 370C mampu meningkatkan sistem sensor pada nyamuk Anopheles gambiae untuk menuntun mendekati inang . Sistem sensor nyamuk mulai berkurang pada suhu di bawah 180C dan di atas 400C.

2.4.2 Kelembaban Udara

Kelembaban udara dapat mempengaruhi aktivitas terbang serangga di alam. Takken et al. (1997) melaporkan bahwa kelembaban relatif di bawah 40% menurunkan aktifitas nyamuk untuk mendekati inang. Sebaliknya kelembaban udara antara 45% sampai dengan 90% meningkatkan aktifitas nyamuk untuk mendekati inang.

Olayemi et al. (2011) melaporkan bahwa kelembaban yang tinggi meningkatkan aktifitas nyamuk untuk mencari darah serta mampu memperpanjang hidup Anopheles gambiae di Negeria. Kepadatan nyamuk Anopheles gambiae mengisap darah orang pada kelembaban 79% sebesar 123 per orang, sedangkan kepadatan gigitan Anopheles gambiae pada kelembaban 40% menurun hanya 40 per orang. Umur Anopheles gambiae juga bertambah panjang


(29)

sampai dengan 21 hari pada kelembaban 79%, sedangkan pada kelembaban 40% umur nyamuk Anopheles gambiae hanya sampai 4 hari.

2.4.3 Karbondioksida

Karbondioksida yang dikeluarkan ketika hewan maupun manusia bernapas memainkan peran yang sangat penting bagi nyamuk untuk mendapatkan inang. Smallegange et al. (2010) melakukan uji coba pada perangkap nyamuk yang diberikan aliran CO2, menemukan bahwa pada aliran CO2 25 ml/menit berhasil menangkap 86 nyamuk, CO2 60 ml/menit 100 nyamuk dan ketika aliran CO2 dinaikan menjadi 100 ml/menit jumlah nyamuk yang tertangkap bertambah menjadi 177.

Roiz et al. (2012) menemukan bahwa perangkap nyamuk yang ditambahkan CO2 dapat meningkatkan jumlah nyamuk yang tertangkap dibandingkan dengan perangkap nyamuk yang tidak ditambahkan CO2. Perangkap nyamuk yang ditambahkan CO2 mampu menangkap nyamuk lebih dari 1000 nyamuk/perangkap/malam, sedangkan perangkap yang tidak diberikan CO2 jumlah nyamuk yang tertangkap dibawah 100 nyamuk/ perangkap/malam.

2.4.4 Aroma

Jawara et al. (2011) menemukan bahwa campuran asam laktat, amonia, dan asam tetradecanoic lebih menarik bagi nyamuk An. gambiae untuk mendekat. Nyamuk melakukan respon terhadap aroma keju dan susu tradisional Afrika, aroma tersebut memiliki potensi sebagai umpan bau yang efektif untuk perangkap nyamuk maupun sebagai atraktan oviposisi untuk vektor malaria

Anopheles funestus (Owino 2010).

Cooperband et al. (2008) juga menyimpulkan bahwa aroma kotoran ayam mampu menarik Culex quinquefasciatus untuk datang mendekat. Aroma darah sapi dilaporkan mempunyai daya tarik terhadap nyamuk Ae. aegypti empat kali lebih besar dari pada air dan plasma darah lima kali lebih besar dari pada air (Burgess dan Brown 1957).

2.4.5 Visual

Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih inang. Bentuk dan pemantulan cahaya serta gerakan inang ternyata merupakan faktor penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang hari.


(30)

Brown dan Bennet (1981) melaporkan bahwa Ae. aegypti lebih banyak menggigit tangan yang memakai kaos warna gelap dibandingkan dengan tangan yang memakai warna terang.

Visual rangsangan seperti gerakan, panjang gelombang cahaya dan intensitas, warna, bentuk, pola, memainkan peran penting dalam pencarian inang oleh nyamuk dewasa betina (Bidlingmayer 1994). Dalam beberapa spesies Aedes, deteksi gerakan penting bagi penentuan lokasi inang (Brown dan Bennet 1981). Spesies lain mungkin mengandalkan intensitas cahaya atau warna seperti biru, hitam dan merah sebagai rangsangan yang menuntun kearah inang. Ali et al. (1989) mampu menunjukkan bahwa Culex lebih menyukai warna cahaya dari pada intensitas. Demikian pula Burkett dan Butler (1998) menyatakan bahwa tidak hanya cahaya, tetapi panjang gelombang cahaya tertentu memainkan peranan penting dalam daya tarik inang.

Walaupun faktor visual telah dibuktikan mempengaruhi nyamuk tetapi tidak semua nyamuk tergantung kepada faktor tersebut. Faktor visual berperan penting terutama pada nyamuk yang menggigit di siang hari. Nyamuk Anopheles mulai menggigit pada sore hingga malam hari, berbeda dengan nyamuk Aedes yang menggigit di siang hari (Mattingly 1969).

2.5 Pemanfaatan Ternak Dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles

Pemanfaatan ternak merupakan salah satu cara hayati yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kejadian kontak antara nyamuk dengan manusia. Upaya pengendalian nyamuk vektor penyakit, dengan menyediakan hewan sebagai tameng dikenal istilah zooprofilaksis. Tindakan tersebut merupakan perubahan orientasi nyamuk dari menggigit manusia kepada menggigit hewan.

Zooprofilaksis didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan inang reservoir dari suatu penyakit tertentu untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia sebagai inang penyakit tersebut (Saul 2003). Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk dengan cara menempatkan kelompok ternak di dekat sumber tempat perindukan nyamuk. Tindakan yang direncanakan dan dilakukan seperti itu disebut zooprofilaksis aktif. Sebaliknya zooprofilaksis pasif, yaitu zooprofilaksis yang tidak


(31)

direncanakan, mempunyai daya merubah nyamuk vektor yang antrofilik menjadi zoofilik dalam batas tertentu. Pengendalian vektor melalui zooprofilaksis juga sangat tergantung pada peran serta masyarakat. Karena diharapkan mereka yang akan memelihara ternak di sekeliling rumah sebagai perlindungan terhadap gigitan nyamuk. Pada tahap awal peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam ujicoba ternak yang mempunyai daya profilaksis yang paling tinggi.

Soedir (1985) melaporkan bahwa sapi mampu menarik 20 spesies nyamuk, domba 19 spesies, dan manusia 9 spesies. Adapun tiga hewan lainnya yaitu monyet, kelinci, serta ayam mempunyai daya tarik yang relatif kecil. Masing-masing hanya menyumbang 1.2% (delapan spesies), 2.1% (sepuluh spesies) dan 3.7% (enam spesies) dari seluruh nyamuk yang tertangkap.

Hasil uji presipitin yang dilakukan Boewono (1986) di desa Kali Gading, Jawa Tengah menunjukkan 56.04% dari populasi An. aconitus mengisap darah sapi, 13.19% darah domba dan 4.40% darah kambing serta 3.30% darah manusia. Faktor yang membedakan daya tarik ternak bagi nyamuk An. aconitus adalah jarak penempatan kandang ternak terhadap rumah penduduk, semakin dekat penempatan sapi atau kerbau dari rumah penduduk, semakin banyak infestasi nyamuk An. aconitus.

Bruce-Chwatt (1985) menemukan An. gambiae lebih menyukai darah ternak dan kuda. Di negara pecahan Unisoviet, ternak digunakan sebagai salah satu metode pengendaliaan malaria. Di bagian Utara Eropa dan sejumlah negara di Amerika Utara, metode zooprofilaksis juga dapat menurunkan kasus malaria di masing-masing daerah tersebut.

Melihat kenyataan tersebut, pemberdayaan ternak sebagai tameng terhadap penyakit malaria mempunyai potensi dan prospek yang baik dimasa depan. Penelitian tentang zooprofilaksis dilaporkan Hewitt et al. (1994) pada tempat pengungsi Afganistan di Pakistan dengan mengunakan seekor sapi dan dua ekor kerbau sebagai zooprofilaksis, diperoleh hasil adanya peningkatan angka gigitan nyamuk oleh An. staphensi masing-masing 38% dan 50% untuk penggunaaan sapi dan kerbau sebagai zoobarier.

Mathys (2010) menyatakan ada dua syarat untuk keberhasilan program zooprofilaksis yaitu pertama, jenis spesies Anopheles harus bersifat zoofilik.


(32)

Kedua, ternak tersebut harus disebar dalam bentuk tameng antara nyamuk vektor dan manusia. Lokasi penempatan ternak harus sejauh mungkin dari permukiman manusia. Berdasarkan hasil tersebut Hewitt et al. (1999) mengusulkan agar pengertian zooprofilaksis didefinisikan sebagai penyebaran ternak yang bukan inang reservoar dari suatu penyakit untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia yang menjadi inang dari penyakit tersebut.

2.6 Pemanfaatan Ternak dan Insektisida Pengendalian Anopheles

Pengendalian nyamuk vektor dengan memanfaatkan ternak bertujuan mengalihkan preferensi nyamuk vektor dari manusia ke hewan. Penggunaan hewan diharapkan dapat mengurangi transmisi penyakit malaria. Selain itu mengkombinasikan dengan aplikasi insektisida pada hewan tersebut akan dapat menambah efektifitas pengendalian. Kombinasi ternak dan insektisida menurut Rowland et al. (2001) dapat menurunkan insiden penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum sebesar 56% dan Plasmodium vivax sebesar 31%, dengan biaya yang lebih rendah sekitar 80% dibandingkan dengan metode penyemprotan dalam ruang (indoor spraying). Kombinasi aplikasi insektisida pada ternak tidak hanya menguntungkan bidang kesehatan masyarakat saja, tapi juga memberi keuntungan bagi kedokteran hewan.

Pegram et al. (1989) meneliti di Zambia dari tahun 1982 sampai dengan 1986 menyatakan bahwa, penggunaan insektisida untuk pengendalian ekstoparasit pada sapi berdampak pada peningkatan berat badan sapi. Penggunaan deltametrin untuk pengendalian ekstoparasit pada ternak juga telah digunakan untuk pengendalian lalat tsetse di Uganda oleh Okello et al. (1994), yang hasilnya berdampak pada penurunan populasi lalat tsetse sampai dengan 100%. Penggunaan deltametrin sebagai insektisida pengendali ektoparasit tidak berbahaya bagi konsumen dan produk hewan (NPIC 2010).

Kombinasi ternak dan insektisida tersebut dapat mengurangi transmisi malaria sama baiknya dengan penyemprotan dalam rumah. Secara teknis dan dapat diarahkan untuk mengurangi resiko resistensi yang berkelanjutan. Sehingga dengan keuntungan yang diperoleh tersebut. Metode ini dapat menjadi salah satu strategi pengandalian malaria disamping penyemprotan dalam rumah (Hewitt dan Rowland 1999).


(33)

2.7 Deltametrin dan Cara Kerjanya

Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Deltametrin digunakan secara intensif di Afrika sebagai bahan aktif untuk kelambu celup berinsektisida (impregenated badnet), untuk mencegah gigitan nyamuk Anopheles (Robert et al. 1991).

Deltametrin merupakan insektisida sintesis yang termasuk ke dalam golongan piretroid generasi ke empat dengan nama kimia (S)-α-cyano-3- phenoxybenzyl (1R,3R)-3-(2,2-dibromovinyl)-2,2 dimethyl cyclopro pane carboxylate.

Sifat fisika deltametrin antara lain (1) berbentuk kristal, tidak korosif dan berwarna putih, (2) mempunyai tekanan uap 1.5 x 10-8 mmHg pada suhu 25°C, (3) berat molekul 505.2 g/mol, (4) larut dalam air, antara 0.002 sampai dengan 0.0002 mg/L, (5) terserap dalam tanah, antara 7.05 x 105 sampai dengan 3.14 x 106 (NPIC 2010).

Menurut cara kerja piretroid berdasarkan pola resistensi silang dan sifat knockdown, deltametrin termasuk piretroid tipe II. Piretroid tipe II mempunyai koefisien suhu positif, menyebabkan penghambatan fungsi sistem saraf pusat, efek klinis yang terlihat pada serangga adalah konvulsi, hiperaktif dan kontraksi pada tungkai metatoraks (Irawan 2006).

2.8 Resistensi dan Mekanismenya

Resistensi merupakan kemampuan kelompok serangga untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies serangga tersebut (WHO 1998). Kasus resistensi pertama kali dilaporkan pada lalat rumah Musca domestica terhadap DDT di Swedia pada tahun 1947. Perkembangan resistensi semakin cepat setelah ditemukannya bahan sintetik organik sebagai insektisida dan acarisida. Pada era tahun 1940-an hanya tujuh spesies serangga yang dilaporkan resistensi terhadap DDT, tetapi pada era 1980 jumlahnya meningkat mencapai 447 spesies. Dari jumlah tersebut 59% terdiri dari serangga hama, 38% serangga penggangu kesehatan hewan dan manusia, 3%


(34)

sisanya adalah serangga yang berguna seperti predator dan parasitoid (Georghiou 1986).

Menurut WHO (1998) sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk mengalami resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Dari jumlah tersebut, di antaranya adalah 56 spesies nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex. Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain, An. sacharovi di Lebanon, Iran dan Turki, An. sundaicus di Indonesia dan Myanmar, An. quadrimaculatus di Mexiko resisten terhadap dieldrin. An. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat (Widiarti et al. 2009). Nyamuk An. minimus di Thailand sejak tahun 2000 dinyatakan resisten terhadap permetrin (Chareoviriyaphap et al. 2002) dan An. gambiae di Kamerun sejak tahun 2006 telah mengalami resistensi terhadap DDT dan piretroid (Etang et al. 2006).

Mekanisme resistensi dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu (1) biokimia dan (2) faali (Sigit 2004).

2.8.1 Mekanisme Biokimia

Mekanisme ini menyangkut daya kerja enzim tertentu didalam tubuh hama yang merombak molekul pestisida menjadi molekul-molekul lain yang tidak toksik (detoksifikasi) molekul pestisida harus berinteraksi dengan target dalam proses toksikologinya terhadap sistem kehidupan di dalam tubuh hama, untuk dapat menimbulkan dampak letal (mematikan). Dengan dirombaknya molekul pestisida itu, maka di dalam individu hama pada populasi resisten, interaksi tersebut tidak terjadi. Tipe resistensi dengan mekanisme biokimia ini sering disebut sebagai resistensi enzimatik

2.8.2 Mekanisme Faali

Ada tiga macam mekanisme faali, yaitu (1) berkenaan dengan target di dalam tubuh hama, (2) berkenaan dengan eksoskolet (kerangka luar) hama, (3) berkenaan dengan kepekaan mendeteksi adanya pestisida.

Mengenai target pestisida ada individu-individu hama yang mempunyai situs lain yang merupakan target pestisida tadi, tetapi yang interaksinya dengan molekul pestisida tidak menimbulkan dampak letal. Populasi resisten disini bukannya terdiri dari individu yang memiliki enzim perombak.


(35)

Mengenai eksoskelet (kerangka luar), ada individu-individu hama yang memiliki struktur eksoskelet sedemikian rupa sehingga pestisida sulit menembusnya, dengan demikian pestisida tidak sampai kepada targetnya.

Mengenai kepekaan mendeteksi pestisida, diantara individu-individu hama terdapat keragaman. Ada yang sangat peka, sehingga sebelum berkontak (cukup lama) dengan mereka sudah menghindarinya, dengan lain perkataan, pada tipe resistensi semacam ini sebenarnya pestisida tidak atau tidak cukup mengenai hama, tipe resistensi ini sering disebut behavioural resistance.


(36)

(37)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung. Desa Hanura merupakan daerah endemis malaria dengan angka Annual Parasite Incidence (API) sebesar 14.060/00 (Dinkes Kab. Pesawaran 2011).

3.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama tiga bulan dari bulan Februari 2012 sampai dengan April 2012. Pengukuran kepadatan gigitan nyamuk Anopheles pada manusia dan pada sapi dilakukan pada malam hari, frekwensi pengukuran setiap tujuh hari sekali.

3.3 Hewan Ternak yang digunakan

Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan ternak sapi (Gambar 1). Jumlah sapi yang digunakan tiga ekor, dengan luas permukaan badan sapi antara 1.5 sampai dengan 3 m². Jenis sapi yang digunakan adalah peranakan onggole (PO) milik penduduk yang disewa selama penelitian. Umur sapi berkisar 1 sampai dengan 2 tahun, tidak terlalu besar, supaya dapat dimasukkan ke dalam perangkap magoon yang akan dipasang selama penelitian.


(38)

3.4 Insektisida yang dipakai

Insektisida yang dipakai adalah deltametrin 5% (K-Othrine® 5WP) dalam bentuk tepung yang dikemas dalam kantong plastik @ 85 gram (Gambar 2) yang bersifat residual dengan toksisitas rendah pada mamalia. Dosis yang digunakan adalah 25 mg/m2 sesuai dengan dosis aplikasi yang dianjurkan.

Gambar 2 Insektisida deltametrin.

3.5 Pembaluran Insektisida pada Sapi

Pembaluran dilakukan dengan melumuri insektisida pada badan sapi sampai bulu-bulunya basah, dengan bantuan spon dan sarung tangan (Gambar 3). Rowland et al. (2001) melaporkan bahwa 99% nyamuk Anopheles mengisap darah di daerah bawah garis tengah (midline) badan hewan, maka pemaparan terutama dilakukan di bagian tersebut sampai dengan bagian kaki.


(39)

3.6 Pengukuran Residu Insektisida pada Tubuh Sapi

Penentuan lama residu insektisida yang dibalurkan ke badan sapi menggunakan metode cone test (WHO 1998). Cone test dilakukan untuk mengetahui daya tahan residu insektisida yang diaplikasikan pada tubuh sapi yang menyebabkan tingkat kematian untuk nyamuk Anopheles hingga 95% .

Pelaksanaan cone test dilakukan dengan cara menempelkan 5 buah cone (kerucut) yang masing-masing berisi 25 nyamuk Anopheles betina yang diperoleh dari hasil penangkapan di sekitar kandang. Waktu penempelan nyamuk Anopheles pada badan sapi yang telah dibaluri dengan insektisida deltametrin berlangsung selama satu jam (Gambar 4 A).

Pelaksanaan cone test ini dilakukan setiap hari dengan cara yang sama sampai hasil pengamatan mencapai 95%. Pengamatan dihentikan ketika angka kematian menunjukkan di bawah 95%. Kriteria ini digunakan berdasarkan penelitian Hasan (2006).

Pada sapi kontrol (tidak dibalurkan insektisida) digunakan dua buah kerucut yang masing-masing juga berisi dua puluh lima nyamuk Anopheles betina dikontakkan kepada tubuh sapi dengan cara yang sama seperti pada sapi perlakuan.

Setelah itu nyamuk dipindahkan ke gelas kertas yang diberi makan larutan gula 10%, gelas-gelas tersebut ditempatkan pada kotak yang dilapisi dengan pelepah pisang untuk menjaga agar kelembaban berkisar 85% (Gambar 4 B). Kematian nyamuk diamati 24 jam pasca kontak dengan insektisida.

Gambar 4 Pelaksanaan cone test. A. Penempelan nyamuk B. Penyimpanan.


(40)

3.7 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Manusia

Gambar 5 Penangkapan nyamuk metode BLC.

Pengukuran kepadatan nyamuk dilakukan 2 kali sebelum (pra) dan sesudah (pasca perlakuan). Kepadatan nyamuk yang menggigit orang mengunakan metode BLC- bare leg collection (Gambar 5), yang dilakukan pada malam hari selama 12 jam (pukul 18.00 sampai dengan 06.00).

Pengukuran dilakukan sebanyak tiga kali pra perlakuan yaitu H-21(21 hari sebelum perlakuan), H-14 (14 hari sebelum perlakuan) dan H-7(7 hari sebelum perlakuan), sedangkan pada pasca perlakuan pengukuran dilakukan sebanyak empat kali yaitu H0 (hari pertama perlakuan), H+7(7 hari setelah perlakuan pertama), H+14 (14 hari setelah perlakuan pertama) dan H+21(21 hari setelah perlakuan pertama).

Pelaksanaan BLC dilakukan pada 3 rumah, pada setiap rumah bertugas dua orang penangkap, satu orang bertugas di luar rumah dan satu orang di dalam rumah. Penangkapan dilakukan selama 45 menit dan istirahat 15 menit dalam setiap jamnya. Nyamuk yang tertangkap dibunuh dengan menggunakan klorofom selanjutnya dipining kemudian diidentifikasi.

3.8 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Sapi

Pengukuran kepadatan nyamuk dilakukan 2 kali sebelum (pra) dan sesudah (pasca perlakuan). Penangkapan Anopheles pada magoon trap berumpan sapi, berukuran panjang 6 m, lebar 6 m dan tinggi 2 m, yang dilengkapi dengan pintu


(41)

masuk (Gambar 6 A), selanjutnya sapi ditempatkan pada tiga rumah yang berada di sekitar tempat perindukan nyamuk Anopheles.

Gambar 6 Penangkapan nyamuk pada sapi A. Magoon trap B. Penangkapan nyamuk.

Pemasangan ditempatkan kurang lebih 5 sampai dengan 10 meter dari rumah, dengan posisi tempat pemasangan antara rumah dengan tempat perindukan nyamuk Anopheles yang bertujuan sebagai penghalang nyamuk sebelum sampai ke rumah. Penangkapan nyamuk dilakukan pada jam 06.00 pagi setelah sapi dipasang selama 12 jam dari jam 18.00 sampai dengan 06.00.

Nyamuk Anopheles ditangkap menggunakan aspirastor (Gambar 6 B) di masukkan dalam gelas kertas dan dibunuh menggunakan kloroform selanjutnya dipining untuk diidentifikasi. Pengukuran kepadatan nyamuk Anopheles pada sapi dilakukan sebanyak tiga kali pra perlakuan yaitu H-20 (20 hari sebelum perlakuan), H-13 (13 hari sebelum perlakuan), H- 6 (6 hari sebelum perlakuan), sedangkan pada pasca perlakuan dilakukan sebanyak empat kali yaitu H0 (hari pertama perlakuan), H+7(7 hari setelah perlakuan pertama), H+14 (14 hari setelah perlakuan pertama) dan H+21 (21 hari setelah perlakuan pertama).

3.9 Identifikasi nyamuk

Nyamuk Anopheles yang diperoleh kemudian diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop stereo untuk memeriksa serangga (Gambar 7). Identifikasi menggunakan kunci buku identifikasi O’Connor dan Soepanto


(42)

(1979). Nyamuk Anopheles yang tertangkap diidentifikasi dan dihitung jumlah masing-masing spesiesnya.

Gambar 7 Identifikasi nyamuk.

3.10 Analisis Data

3.10.1 Pengukuran Residu Insektisida pada Tubuh Sapi

Pengukuran efek residu insektisida ditentukan berdasarkan persentase kematian nyamuk uji dalam pengamatan 24 jam. Nyamuk yang lumpuh dan tidak bisa terbang dihitung atau dianggap mati. Bila kematian nyamuk kontrol 5–20% maka dikoreksi dengan menggunakan rumus Abbot’s. Bila kematian nyamuk kontrol lebih dari 20% maka uji dianggap gagal dan harus diulang kembali.

x 100%

Kriteria lama residu ditentukan oleh kematian nyamuk uji minimal 95%, pengamatan dihentikan ketika angka kematian menunjukkan di bawah 95%.

3.10.2 Kelimpahan Nisbi Nyamuk Anopheles

Kelimpahan nisbi digunakan untuk mengetahui spesies dominan (WHO 2003). Kelimpahan nisbi dihitung berdasarkan jumlah spesies Anopheles tertentu yang tertangkap dibagi dengan total spesies Anopheles yang tertangkap dikalikan dengan seratus persen.


(43)

Keterangan :

N = Kelimpahan Nisbi. a = Jumlah spesies tertentu b = Total spesies

3.10.3 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Manusia

Nyamuk Anopheles yang mengisap perorang per jam dihitung berdasarkan nilai man hour density (MHD). Nilai MHD dihitung berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di badan per jam dibagi dengan jumlah penangkap dikali waktu penangkapan.

Keterangan :

MHD = Man hour density (Jumlah nyamuk Anopheles hinggap di badan per orang per

jam).

3.10.4 Pengukuran Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Sapi

Nyamuk Anopheles yang hinggap pada sapi per malam dihitung berdasarkan jumlah nyamuk yang hinggap di kelambu sapi per malam dibagi dengan jumlah sapi.


(44)

(45)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lama Residu Insektisida di Badan Sapi

Gambar 8 Rata-rata angka kematian (%) nyamuk Anopheles setelah dikontakan dengan sapi yang dibalurkan insektisida.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa residu insektisida deltametrin yang dibalurkan pada ternak sapi, rata-rata mampu bertahan delapan hari menimbulkan tingkat kematian 95% (Gambar 8). Hasil pengamatan ini memberikan gambaran bahwa sampai batas waktu delapan hari setelah aplikasi residu insektisida deltametrin masih mampu efektif untuk membunuh Anopheles, untuk dapat menimbulkan tingkat kematian yang tinggi pengulangan aplikasi insektisida deltametrinsebaiknya dilakukan setiap delapan hari sekali.

Efektifitas residu insektisida deltametrin hanya mampu bertahan selama delapan hari pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan uji coba serupa yang dilakukan oleh Hasan (2006) di Bogor dengan mengolesi kerbau dengan deltametrin hasilnya hanya mampu mempertahankan untuk tingkat kematian nyamuk 95% selama tiga hari, dan lebih rendah dibandingkan Hewitt et al.

(1999) yang meneliti di Pakistan mendapatkan residu deltametrin mampu bertahan selama tiga puluh satu hari.

Hasil ini berhubungan dengan metode peternakan di Hanura yang pada siang hari menambatkan ternaknya di luar kandang untuk mencari rumput sehingga ternak ini sering terpapar sinar matahari dan hujan. Suhu udara dipantai

86 88 90 92 94 96 98 100 102

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

K

em

at

ian

(%)


(46)

relatif lebih tinggi dari rata-rata suhu di tempat lain yang berdampak ternak mudah berkeringat sehingga menghilangkan residu yang melekat. Penyebab lain adalah jenis formulasi yang digunakan pada penelitian ini adalah bentuk wettable powders (WP) yang kurang kuat melekat pada badan sapi dibandingkan bentuk emulsifiable concentrates (EC).

Winarno et al. (2010) meneliti status resistensi insektisida di wilayah Lampung menemukan deltametrin 5 WP masih dinyatakan susceptible karena mampu menimbulkan kematian 100% pada nyamuk uji, hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini yang mendapatkan hasil pada pengujian pertama mampu menimbulkan kematian sebesar 100%.

Mahande et al. (2007) menyatakan keberhasilan deltametrin sebagai insektisida residual terutama tergantung pada lokasi daerah pengujian, konsentrasi insektisida yang digunakan, formulasi insektisida, permukaan benda yang di semprot, kelembaban dan suhu.

Vatandoost et al. (2009) meneliti residu deltametrin dengan dosis 25 mg/m2 pada berbagai permukaan benda menemukan bahwa permukaan dinding semen mampu mempertahankan kematian 95% selama enam puluh hari, pada kayu kurang dari tiga puluh hari. Mahande et al. (2007) meneliti di Tanzania menemukan, kemampuan deltametrin yang dibalurkan pada badan ternak sapi yang digembalakan di padang rumput mampu mempertahankan effek knock down

50% pada An. arabiensis selama dua puluh satu hari, pada ternak yang di kandangkan mampu bertahan selama dua puluh sembilan hari.

4.2 Keragaman dan Kelimpahan Nisbi Nyamuk Anopheles yang

Tertangkap Pra Perlakuan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada tujuh spesies Anopheles yang ditemukan berdasarkan metode umpan orang dan umpan sapi. Enam spesies ditemukan pada umpan orang yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. subpictus, An. aconitus, An. kochi. Tujuh spesies ditemukan pada umpan sapi yaitu An. subpictus, An. vagus, An. barbirostris, An. sundaicus, An. aconitus, An. kochi, An. hyrcanus group (Tabel 1).


(47)

Tabel 1 Keragaman dan kelimpahan nisbi Anopheles yang tertangkap pra perlakuan

No Spesies nyamuk

Jumlah Kelimpa han nisbi (%) Jumlah Kelimpa han nisbi (%)

1An. sundaicus 533 57,81 123 5,36

2An. vagus 193 20,93 769 33,54

3An. barbirostris 81 8,79 300 13,08

4An. subpictus 85 9,22 1014 44,22

5An. aconitus 21 2,28 53 2,31

6An. kochi 9 0,98 26 1,13

7An. hyrcanus group 0 0 8 0,35

922 100 2293 100

Umpan orang Umpan sapi

Total

Anopheles sundaicus ditemukan sebagai spesies terbanyak pada umpan orang, dengan kelimpahan nisbi sebesar 57.81%. Anopheles subpictus ditemukan sebagai spesies terbanyak pada umpan sapi, dengan kelimpahan nisbi sebesar 44.22%.

Hasil pengamatan dua metode penangkapan nyamuk Anopheles pada pra perlakuan yaitu umpan orang dan umpan sapi, jenis nyamuk yang paling banyak tertangkap menggunakan umpan sapi. Dari tiga kali penangkapan jumlah nyamuk Anopheles yang tertangkap sebanyak 2293 individu, sedangkan menggunakan umpan orang dari tiga kali penangkapan jumlah nyamuk Anopheles yang tertangkap sebesar 922 individu.

Jenis Anopheles yang ditemukan dalam penelitian ini sesuai dengan kondisi daerah penelitian yaitu mempunyai daerah pantai dengan tambak-tambak ikan yang terbengkalai, rawa-rawa dan persawahan yang sangat

sesuai untuk habitat jenis spesies Anopheles tersebut.

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan yang ditemukan oleh Safitri (2009) dan Suwito (2010), yang menemukan jenis spesies Anopheles di wilayah pantai Lampung ada sebelas spesies Anopheles yaitu An. sundaicus, An. subpictus, An. vagus, An. kochi, An. annularis, An. aconitus, An. barbirostris , An.

tessellatus, An. minimus, An. indefinitus, An. maculatus. Sukowati (2009)

menyatakan bahwa penyebaran nyamuk Anopheles tidak hanya berdasarkan

zoogeografi, namun juga dipengaruhi oleh ketinggian tempat, pemanfaatan lahan


(48)

Perbedaan kelimpahan nisbi spesies Anopheles tertentu yang ditemukan pada umpan orang dan umpan sapi menunjukkan kesukaan inang tertentu dari nyamuk. Kesukaan suatu spesies nyamuk terhadap jenis inang tertentu dapat dihubungkan dengan tanggapan spesies nyamuk terhadap tingkatan faktor fisik dan kimia, yang dikeluarkan oleh inang tersebut.

Temperatur, kelembaban tubuh, karbon dioksida, bau serta faktor visual telah diketahui secara nyata merupakan stimuli yang mampu mempengaruhi nyamuk mendekati inang. Suatu spesies nyamuk akan berbeda dengan spesies lainnya dalam memberi respon terhadap pengaruh faktor fisik dan kimia yang dikeluarkan oleh inang (Olanga et al. 2010).

Hasil ini sesuai dengan penelitian Soedir (1985) di pantai Glagah, Yogyakarta terhadap sejumlah hewan dan manusia menunjukkan ternak mempunyai daya tarik yang besar bagi nyamuk. Dari 3081 nyamuk yang tertangkap 54.3% menyukai darah sapi, darah domba 33.4%, darah manusia hanya 5.3%. Naswir (2012) menemukan di Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan dari beberapa metode penangkapan nyamuk, metode menggunakan umpan hewan lebih banyak nyamuk Anopheles yang tertangkap (50.23%). Sigit & Kesumawati (1988) menyatakan bahwa beberapa nyamuk Anopheles seperti An. aconitus, An. sundaicus dan An. barbirostris yang merupakan vektor utama malaria di Indonesia juga bersifat zoofilik, suka mengisap darah hewan.

Vektor dominan kontak dengan manusia di lokasi penelitian adalah Anopheles sundaicus yang bersifat antropofilik, untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam metode zooprofilaksis juga diperlukan peran serta masyarakat dalam perlindungan diri. Orientasi kesukaan Anopheles mengisap darah inang bukan hanya ditentukan oleh sifat biologi dari vektor yang bersifat zoofilik ataupun antropofilik namun juga didorong oleh tindakan perlindungan dari masyarakat sehingga nyamuk akan mencari sumber darah selain manusia. Penggunaan baju yang tertutup dan repelen anti nyamuk ketika keluar rumah serta tidur di dalam kelambu akan merubah orientasi gigitan nyamuk lebih banyak ke hewan yang tersedia.


(49)

Perlindungan pribadi dan zooprofilaksis memiliki efek interaktif ditunjukkan oleh Mathys (2010) di Afrika yang menunjukkan bahwa penggunaan kelambu dan zooprofilaksis bersama-sama mengurangi risiko manusia untuk terkena gigitan nyamuk.

4.3 Kepadatan Nyamuk Anopheles Mengisap Darah Orang Pra

Perlakuan

Perilaku mengisap darah yang selama ini dikenal dengan perilaku menggigit merupakan aspek penting dalam bioekologi Anopheles. Aktivitas mengisap darah dihitung berdasarkan nilai Man Hour Density (jumlah gigitan nyamuk/orang/jam). Aktivitas mengisap darah per orang per jam dihitung selama 12 jam penangkapan. Angka MHD menunjukkan besaran jumlah vektor yang mengisap darah manusia yang mempengaruhi jumlah kasus malaria, sehingga rekaman data dapat dijadikan rujukan untuk peringatan dini dan penyusunan strategi pengendalian vektor.

4.3.1 Anopheles sundaicus

Anopheles sundaicus merupakan jenis Anopheles yang nilai MHD paling tinggi dibandingkan jenis Anopheles yang lain. Nilai MHD Anopheles sundaicus lebih tinggi di luar rumah di bandingkan di dalam rumah (Gambar 9) .

Gambar 9 Kepadatan nyamuk Anopheles sundaicus mengisap darah per orang

perjam (MHD) di luar rumah () dan di dalam rumah (■) pra perlakuan.

0 1 2 3 4 5 6

H-21 H-14 H-7

Pengamatan

M

HD

(ny

am

uk/

or

ang/

ja

m


(50)

Tiga kali penangkapan pra perlakuan ditemukan MHD nyamuk Anopheles sundaicus adalah 3.04, 3.63 dan 3.2 nyamuk/orang/jam. Besarnya kontak nyamuk Anopheles sundaicus yang ditemukan pada penelitian ini memberikan gambaran peranan nyamuk ini sebagai vektor malaria. Pengetahuan fluktuasi kepadatan An. sundaicus sangat penting untuk memahami penularan malaria di wilayah pesisir.

An. sundaicus merupakan vektor malaria di sebagian besar wilayah di sepanjang pantai di Indonesia. Spesies ini juga merupakan vektor malaria di desa Hanura (Suwito 2010). Spesies lainnya yang berperan juga sebagai vektor malaria adalah An. vagus, An. barbirostris, An. subpictus merupakan vektor sekunder malaria di daerah pantai, biasanya terdapat bersama-sama dengan An. sundaicus (Soedir 1985).

Nyamuk Anopheles sundaicus banyak ditemukan di wilayah pantai karena banyak lagun, rawa-rawa dan tambak terbengkalai yang merupakan habitat potensial bagi larva An. sundaicus. Semakin luas habitat perkembang biakan larva, maka semakin tinggi kepadatan nyamuk hinggap di badan (Suwito 2010).

Distribusi An. sundaicus meliputi daerah pesisir dari India timur laut ke Vietnam selatan, Nicobar, Andaman dan Indonesia. Anopheles sundaicus, dinyatakan sebagai vektor malaria di sepanjang pantai pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, dan kepulauan Nusa Tenggara Timur. Spesies tersebut juga dilaporkan sebagai vektor malaria di daerah pantai pulau Sulawesi (Winarno dan Hutajulu 2009).

Perbedaan perilaku nyamuk dewasa dan habitat larva An. sundaicus adalah indikasi dari peningkatan risiko kontak dengan manusia. Anopheles

sundaicus dianggap sebagai vektor utama atau vektor sekunder malaria tergantung

pada wilayah dan Negara (Meek 1995). An. sundaicus sebelumnya dianggap sebagai vektor sekunder di Thailand, namun karena kejadiannya dekat dengan lokasi wisata sekarang dianggap sebagai vektor utama yang potensial (Chowanadisai et al. 1989).


(51)

4.3.2 Anopheles vagus

Hasil penelitian menemukan An. vagus termasuk spesies yang tertangkap mengunakan umpan orang nomor dua setelah An. sundaicus. Kepadatan Nyamuk An. vagus mengisap orang dari tiga kali pengamatan adalah 1.06, 1.30 dan 1.19 nyamuk/orang/jam. Kepadatan nyamuk yang tertangkap di luar rumah lebih tinggi dari pada di dalam rumah (Gambar 10).

Gambar 10 Kepadatan nyamuk Anopheles vagus mengisap darah perorang

perjam (MHD) di luar rumah () dan di dalam rumah

(■) pra perlakuan.

Nyamuk Anopheles vagus umumnya bersifat eksofilik suka mencari darah di luar rumah. Lestari et al. (2007) melaporkan di Purworejo semua An. vagus

ditemukan di luar rumah, sedangkan di daerah pantai Banyuwangi An. vagus

lebih suka mengisap darah ternak di kandang dibandingkan mengisap darah umpan orang di luar maupun di dalam rumah (Shinta et al. 2003). Garjito et al. (2005) menemukan di Kabupaten Parigi Muotong, nyamuk Anopheles lebih banyak ditemukan di luar rumah jika dibandingkan dengan dalam rumah, tempat istirahat yang paling di sukai adalah dinding kandang hewan.

Nyamuk An. vagus di Indonesia dikonfirmasi sebagai vektor di Sukabumi Jawa Barat dengan indeks sporozoit 0.0012 (Munif 2008) dan di NTT (Adnyana 2011). Nyamuk ini juga merupakan vektor sekunder pada permukiman yang tidak memiliki ternak atau primata (Prakash et al. 2004).

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2

H-21 H-14 H-7

Pengamatan M HD (ny am uk/ o ra n g/ ja m )


(52)

4.3.3 Anopheles barbirostris

Anopheles barbirostris adalah spesies terbanyak ketiga yang tertangkap

melalui umpan orang. Tiga kali pengamatan pra perlakuan menemukan kepadatan Anopheles barbirostris adalah 0.87, 0.72 dan 0.61 nyamuk/orang/jam. Kepadatan nyamuk Anopheles barbirostris di luar rumah lebih tinggi dibandingkan di dalam rumah (Gambar 11).

Gambar 11 Kepadatan nyamuk Anopheles barbirostris mengisap darah

perorang perjam (MHD) di luar rumah () dan di dalam rumah

(■) pra perlakuan.

Spesies An.barbirostris ini memiliki kemampuan berkembang biak pada habitat yang sangat beragam, di air jernih atau keruh, menggenang atau mengalir, ditempat teduh atau kena sinar matahari. Larvanya dapat ditemukan di persawahan, kolam dan rawa.

Cooper et al. (2010) melakukan penelitian di kawasan pantai Dili Timor Leste, menemukan spesies An.barbirostris tersebar luas di seluruh pesisir pantai dan dataran rendah. Sedangkan penelitian Naswir (2012) menemukan An.

barbirostris mengisap darah orang baik di dalam rumah maupun di luar rumah.

4.3.4 Anopheles subpictus

Nyamuk An. subpictus yang tertangkap pra perlakuan nomor empat

terbanyak dari enam spesies Anopheles yang tertangkap.Tiga kali penangkapan pra perlakuan ditemukan MHD nyamuk Anopheles subpictus adalah 0.52, 0.50

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6

H-21 H-14 H-7

Pengamatan M HD (ny am uk/ or ang/ ja m )


(53)

dan 0.60 nyamuk/orang/jam. MHD nyamuk yang mengisap di luar rumah lebih tinggi dibandingkan di dalam rumah (Gambar 12)

Nyamuk An. subpictus diketahui positif mengandung sporozoit di Sulawesi Selatan, Cirebon, Atambua, Banyuwangi dan Flores, nyamuk ini bersifat zoofilik (Boesri 2007).

Gambar 12 Kepadatan nyamuk Anopheles subpictus mengisap darah perorang

perjam (MHD) di luar rumah () dan di dalam rumah

(■) pra perlakuan.

Nyamuk An. subpictus di pulau Jawa banyak ditemukan di sawah, di Nusa Tenggara Timur merupakan spesies yang dominan di daerah pantai dan paling melimpah (65.5%) di daerah pantai di Nusa Tenggara Barat (Ndoen et al. 2010).

An. subpictus dilaporkan menyebar luas sebagai vektor di Asia. Nyamuk jenis ini

di Sri Lanka merupakan nyamuk yang dominan baik dalam fase larva maupun dewasa. Sibling An. subpictus C tahan terhadap kadar garam hingga 4 ppt dan An.

subpictus D hingga 8 ppt (Surendran et al. 2011).

Meskipun kepadatan gigitan An. subpictus lebih rendah jika dibandingkan dengan An. sundaicus, An. vagus dan An. barbirostris di Hanura, penelitian Amerasinghe et al. (1992) di Sri Lanka menemukan spesies ini perlu diperhatikan karena merupakan inang bagi Plasmodium vivax dan P. falciparum. Di Indonesia

An. subpictus termasuk spesies Anopheles yang dikonfirmasi sebagai vektor di

Maluku Utara (Winarno dan Hutajulu 2009), dan oleh Boesri (2007) dinyatakan juga sebagai vektor malaria di Sumatera Barat, Jawa Timur, NTB, NTT dan Sulawesi Tenggara. 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9

H-21 H-14 H-7

Pengamatan M HD (ny am uk /or ang /j am )


(54)

4.3.5 Anopheles aconitus

Nyamuk An. aconitus tertangkap pra perlakuan umpan orang kepadatannya nomor lima dari enam jenis Anopheles yang ditemukan. Tiga kali pengamatan pra perlakuan menemukan kepadatan Anopheles aconitus adalah 0.15, 0.09 dan 0.17 nyamuk/orang/jam. Kepadatan nyamuk Anopheles aconitus di luar rumah lebih tinggi dibandingkan di dalam rumah (Gambar 13).

Nyamuk ini telah ditemukan positif sporozoit di Cianjur (1919), Purworejo (1954), Banjarnegara (1978), Jepara (1980), dan Wonosobo (1982). Nyamuk betina bersifat zoofilik dan eksofilik (Boesri 2007). Tempat perindukan adalah daerah persawahan dengan saluran-saluran irigasi, sungai pada musim kemarau serta kolam ikan dengan tanaman (Sugiarto 2010).

Gambar 13 Kepadatan nyamuk Anopheles aconitus mengisap darah perorang perjam (MHD) di luar rumah () dan di dalam rumah (■) pra perlakuan.

4.3.6 Anopheles kochi

Nyamuk An. kochi tertangkap pra perlakuan umpan orang kepadatannya nomor enam paling rendah dibandingkan jenis Anopheles yang ditemukan. Tiga kali pengamatan pra perlakuan menemukan kepadatan Anopheles kochi adalah 0.09, 0.02 dan 0.06 nyamuk/orang/jam.

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35

H-21 H-14 H-7

Pengamatan

M

HD

(ny

am

uk

/or

ang

/j

am


(55)

Gambar 14 Kepadatan nyamuk Anopheles kochi mengisap darah perorang perjam (MHD) di luar rumah () dan di dalam rumah (■) pra perlakuan.

Kepadatan nyamuk Anopheles kochi di luar rumah lebih tinggi dibandingkan di dalam rumah Nyamuk (Gambar 14).

Anopheles kochi di Halmahera banyak tertangkap di sekitar perkebunan

(Amirullah 2012), di Indonesia, nyamuk ini tidak termasuk sebagai vektor malaria (Sukowati 2009) tetapi dinyatakan sebagai vektor untuk parasit Japanese

encephalitis di Semarang, Jawa Tengah dan vektor filariasis di Papua (Winarno

dan Hutajulu 2009).

4.4 Aktivitas Nyamuk Anopheles di Malam Hari

Penangkapan nyamuk Anopheles dengan umpan orang setiap jam selama 12 jam menunjukan fluktuasi aktivitas menggigit nyamuk Anopheles sepanjang malam dengan puncak aktivitas pada pukul 02.00 sampai dengan 03.00 (Gambar 15).

Perilaku vektor lebih banyak menggigit di luar rumah yang ditemukan dalam penelitian ini, menjadikan penerapan metode zooprofilaksis mempunyai prospek yang bagus untuk diterapkan dalam program pengendalian malaria. Enam spesies Anopheles semuanya mengisap darah di luar rumah bersifat eksofagik. Penelitian Suwito (2010) di daerah yang sama juga menemukan sebagian besar nyamuk Anopheles beristirahat di luar rumah.

Beberapa penelitian bionomik nyamuk Anopheles yang pernah dilakukan di Lampung, Safitri (2009) dan Suwito (2010) melaporkan juga bahwa nyamuk

0,00 0,05 0,10 0,15 0,20

H-21 H-14 H-7

Pengamatan

MH

D

(ny

am

uk

/or

ang

/j

am


(56)

Anopheles di daerah pesisir pantai Lampung lebih banyak bersifat eksofagik yaitu lebih senang mengisap darah manusia di luar rumah tidak jauh berbeda dengan hasil yang ditemukan dalam penelitian ini. Perilaku menggigit nyamuk Anopheles yang cenderung bersifat eksofagik tersebut hampir serupa dengan hasil yang di dapatkan oleh Situmeang (1991) di pantai Pangandaran Jawa Barat menemukan nyamuk Anopheles lebih dominan mencari mangsanya di luar rumah dibandingkan di dalam rumah.

Gambar 15 FluktuasiMHD setiap jam penangkapan dari pukul18.00 – 06.00. Nyamuk Anopheles di Desa Hanura adalah eksofilik atau eksofagik, sehingga upaya pengendalian difokuskan pada perubahan lingkungan dari sarang nyamuk. Mengalirkan lagoon air payau dengan drainase efektif dalam mengurangi kepadatan vektor, prinsip kerja metode dari drainase tersebut adalah meningkatkan sirkulasi air laut untuk mengurangi genangan dari air pasang sehingga dapat mencegah pergembangbiakan Anopheles .

Upaya lain untuk menekan perkembangan larva Anopheles sundaicus dilakukan oleh Takagi et al. (1995) di Jawa Barat, menanami kolam dengan tanaman palem dan ditambahkan ikan pemakan larva nyamuk. Strategi ini lebih murah, mudah untuk dikembangkan dan efisien. Penebaran ikan pemakan larva nyamuk juga dapat di kombinasi dengan Bacillus thuringiensis israelensis dan larvasida kimia seperti yang pernah diuji coba di Sumatera bagian utara (Ikemoto et al. 1986).


(57)

4.5 Pengamatan Kepadatan Nyamuk Anopheles pada Manusia Pasca Perlakuan

Pengamatan yang dilakukan terhadap kepadatan nyamuk Anopheles yang hinggap di badan pasca perlakuan ditemukan enam spesies Anopheles yaitu An. sundaicus, An. vagus, An. barbirostris, An. aconitus, An. kochi, An. subpictus. Anopheles sundaicus ditemukan sebagai spesies yang tertinggi hinggap di badan per jam (MHD) dibandingkan spesies yang lain (Tabel 2).

Tabel 2 Kepadatan nyamuk Anopheles tertangkap umpan orang per orang per jam (MHD) pasca perlakuan

No Spesies

Anopheles

UOD UOL UOD UOL UOD UOL UOD UOL

1An.sundaicus 0,74 2,11 0,48 2,074 0,41 1,70 0,2963 1,48

2An.vagus 0,15 0,78 0,07 0,44 0 0,37 0 0,26

3An.barbirostris 0 0,37 0 0,22 0 0,19 0 0,11

4An.subpictus 0,04 0,26 0 0,15 0 0,11 0 0,04

5An.aconitus 0 0,11 0 0 0 0 0 0

6An.kochi 0 0,07 0 0 0 0 0 0

MHD

H0 H+7 H+14 H+21

Keterangan : MHD = Man Hour Density UOD = Umpan Orang Dalam UOL= Umpan Orang Luar H0-H+21= Pengamatan kepadatan Anopheles pasca perlakuan.

Beberapa spesies Anopheles seperti An. vagus, An. barbirostris, An. subpictus, An. aconitus dan An. kochi angka MHD dapat diturunkan sampai dengan di bawah 1 nyamuk/orang/jam, sedangkan angka MHD nyamuk An. sundaicus walaupun menurun namun masih di atas 1 nyamuk/orang/jam.

Keberhasilan metode zooprofilaksis untuk mengalihkan gigitan nyamuk pada manusia menurut Mathys (2010) tergantung pada nyamuk Anopheles lebih bersifat zoofilik. Semakin besar kesukaan nyamuk terhadap darah hewan peluang untuk keberhasilan mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan semakin besar.

4.5.1 Kepadatan Nyamuk Anopheles sundaicus Pra dan Pasca Perlakuan

Kepadatan nyamuk Anopheles sundaicus yang tertangkap menggunakan umpan orang pra perlakuan rata-rata sebesar 3.29 nyamuk/orang/jam. Angka MHD pasca perlakuan menurun menjadi 1.2 nyamuk/orang/jam, ada penurunan


(58)

sebesar 63.52%. Dari perhitungan uji statistik mempunyai hubungan yang bermakna (p value < 0,05) (Gambar 16).

Gambar 16 Kepadatan nyamuk Anopheles sundaicus mengisap orang pra dan pasca perlakuan.

Keterangan:

H-21 – H-7 = Kepadatan nyamuk Anophelespra perlakuan. H0 – H+21 = Kepadatan nyamuk Anopheles pasca perlakuan.

Penurunan angka MHD Anopheles sundaicus mulai melandai pada H+14 sampai dengan H+21. Sampai dengan perlakuan ke empat angka gigitan Anopheles sundaicus belum mampu diturunkan di bawah satu nyamuk/orang/jam, hal ini kemungkinan karena kecenderungan kesukaan nyamuk tersebut bersifat antropofilik. Sinka et al. (2011) mengamati perilaku Anopheles sundaicus dalam mencari darah di beberapa daerah seperi Nicobar, Sarawak Malaysia, Sumatera dan Jawa menemukan jenis nyamuk ini cenderung bersifat antropofilik.

4.5.2 Kepadatan Nyamuk Anopheles vagus Pra dan Pasca Perlakuan

Kepadatan nyamuk An. vagus pra perlakuan rata-rata sebesar 1.3 nyamuk/orang/jam. Pasca perlakuan kepadatan nyamuk An. vagus 0.26 nyamuk/orang/jam, atau ada penurunan kepadatan nyamuk sebesar 80% dibandingkan pra perlakuan (Gambar 17). Ada hubungan yang bermakna antara pra perlakuan dan pasca perlakuan (p value < 0,05).

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

H-21 H-14 H-7 H0 H+7 H+14 H+21

Pengamatan M HD (N y am u k /o ra n g /J a m)


(59)

Gambar 17 Kepadatan nyamuk Anopheles vagus mengisap orang pra dan pasca perlakuan.

Keterangan:

H-21 – H-7 = Kepadatan nyamuk Anopheles pra perlakuan. H0 – H+21 = Kepadatan nyamuk Anopheles pasca perlakuan.

Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh pemasangan sapi dan paparan insektisida terhadap penurunan gigitan An. vagus. Penurunan angka gigitan Anopheles vagus berkaitan dengan sifatnya yang zoofilik menyukai darah hewan. Naswir (2012) menemukan bahwa Anopheles vagus di Bulukumba Sulawesi Selatan paling banyak tertangkap disekitar kandang, hasil yang sama juga dilaporkan oleh Hasan (2006) di Bogor yang menemukan pemasangan ternak sapi yang dibalurkan insektisida dapat menurunkan gigitan nyamuk Anopheles vagus pada manusia dari sebelum pemasangan sebesar 1.137 nyamuk/ orang/malam setelah pemasangan menurun menjadi 0.28 nyamuk/ orang/ malam.

4.5.3 Kepadatan Nyamuk Anopheles barbirostris Pra dan Pasca Perlakuan

Kepadatan nyamuk Anopheles barbirostris berbeda nyata antara pra dan pasca perlakuan (Gambar 18). Kepadatan nyamuk Anopheles barbirostris pra perlakuan rata-rata 0.7 nyamuk/orang/jam. Kepadatan pasca perlakuan 0.1 nyamuk/orang/jam, ada penurunan sebesar 85.71% dibandingkan pra perlakuan. Ada hubungan yang bermakna antara pra dan pasca perlakuan ( p value < 0,05).

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4

H-21 H-14 H-7 H0 H+7 H+14 H+21

Pengamatan M HD (N y am u k /o ran g /j am )


(1)

karena p-value(0.000) < alpha(0.05) m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

An. vagus

karena p-value(0.000) < alpha(0.05) m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

An. barbirostris

107,33333 13,99107 4,66369 96,57885 118,08782 23,015 8 ,000 Pra Perlakuan

-Pasca Perlakuan Pair

1

Paired Samples Statistics

85,4444 9 7,17829 2,39276

2,6667 9 2,59808 ,86603

Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Test

82,77778 8,19722 2,73241 76,47684 89,07872 30,295 8 ,000 Pra Perlakuan

-Pasca Perlakuan Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Paired Samples Statistics

33,3333 9 9,75961 3,25320

2,1111 9 1,61589 ,53863

Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean


(2)

karena p-value(0.000) < alpha(0.05) m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

An. sundaicus

karena p-value(0.000) < alpha(0.05) m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

An. aconitus

Paired Samples Test

31,22222 9,65373 3,21791 23,80171 38,64273 9,703 8 ,000 Pra Perlakuan

-Pasca Perlakuan Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Paired Samples Statistics

13,6667 9 5,70088 1,90029

,2222 9 ,44096 ,14699

Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Test

13,44444 5,65931 1,88644 9,09431 17,79457 7,127 8 ,000 Pra Perlakuan

-Pasca Perlakuan Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Paired Samples Statistics

5,8889 9 2,80377 ,93459

,1111 9 ,33333 ,11111

Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean


(3)

karena p-value(0.000) < alpha(0.05) m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

An. kochi

karena p-value(0.000) < alpha(0.05) m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

An. hyrcanus group

5,77778 2,72845 ,90948 3,68050 7,87505 6,353 8 ,000 Pra Perlakuan

-Pasca Perlakuan Pair

1

Paired Samples Statistics

2,8889 9 1,53659 ,51220

,0000 9 ,00000 ,00000

Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Paired Samples Test

2,88889 1,53659 ,51220 1,70776 4,07002 5,640 8 ,000 Pra Perlakuan

-Pasca Perlakuan Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences

t df Sig. (2-tailed)

Paired Samples Statistics

,8889 9 1,05409 ,35136

,0000 9 ,00000 ,00000

Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair

1

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean


(4)

karena p-value(0.035) < alpha(0.05) m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung, 5 Desember 1969, dari ayah Bakir Hadisumarto dan Ibu Sumaryamdari dan merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Tiarny dan dikarunia satu orang anak bernama Bernadeta Zefani Valenria.

Penulis menyelesaikan sekolah menengah di SMAN 1 Pringsewu Lampung tahun 1989 dan lulus Akademi Penilik Kesehatan Tanjung Karang tahun 1992. Penulis meneruskan pendidikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan lulus tahun 2003. Kemudian, penulis melanjutkan studi ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan tahun 2010.

Penulis pernah bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun 1993-1998, kemudian dipindahkan ke Kanwil Kesehatan Provinsi Lampung tahun 1998-2000. Sejak tahun 2000 hingga sekarang penulis bekerja di Subdin Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.

Paired Samples Test

,88889 1,05409 ,35136 ,07864 1,69914 2,530 8 ,035

Pra Perlakuan -Pasca Perlakuan Pair

1

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference Paired Differences


(5)

Pemanfaatan hewan ternak untuk mengalihkan gigitan nyamuk

Anopheles dari manusia ke hewan dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Tetapi zooprofilaksis mempunyai dampak ganda. Keberadaan hewan ternak di satu sisi mampu untuk mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan, dan di sisi lain menyediakan sumber darah untuk menjaga kelangsungan hidup nyamuk. Darah mamalia dibutuhkan nyamuk sebagai sumber protein bagi perkembangan reproduksinya

Penelitian ini bertujuan mengukur pengaruh aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pembaluran insektisida residual deltametrin pada sapi terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles. Lokasi penelitian ini Desa Hanura Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung yang merupakan daerah endemis malaria tinggi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2012 menggunakan umpan hewan sapi yang telah dibalurkan dengan insektisida deltametrin. Selanjutnya hewan sapi di pasang antara rumah dengan tempat perindukan nyamuk (lagoon), dengan maksud sebagai penghalang supaya nyamuk Anopheles tidak mendatangi pemukiman.

Pengukuran lama residu insektisida yang dibalurkan ke badan sapi dilakukan dengan metode cone test. Pengukuran kepadatan nyamuk Anopheles

pada manusia diperoleh dari hasil landing collection malam hari selama 12 jam (pukul 18.00 – 06.00), sedangkan pengukuran kepadatan pada sapi dilakukan dengan menangkap nyamuk yang hinggap di dalam kelambu perangkap (magoon).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu insektisida deltametrin yang dibalurkan pada sapi dapat bertahan 8 hari dengan tingkat kematian nyamuk sebesar 95%. Pembaluran deltametrin pada sapi berpengaruh terhadap kepadatan

Anopheles yang menggigit manusia. Hal ini tercermin pada penurunan angka

gigitan pasca perlakuan, yaitu An. sundaicus sebesar 63.52%, An. vagus 80%, An. barbirostris 85.71%, An. subpictus 82.45%, An. aconitus 92.30%, An. kochi 80% . Selain itu, dampak pembaluran deltametrin juga menurunkan kepadatan nyamuk pada sapi, yaitu, An. sundaicus sebesar 95.12%, An. vagus 90.64%, An. barbirostris 80%, An. subpictus 85.5%, An. aconitus 94.34%, An. kochi 100% dan An. hyrcanus group 100% .

Keberhasilan kombinasi zooprofilaksis dan pembaluran insektisida terbukti menurunkan angka gigitan baik pada manusia maupun pada sapi. Hal ini menjadi gagasan yang dapat diterapkan dalam pengendalian malaria.


(6)

SUMMARY

BUDI SANTOSO. Combination of Zooprophylactic and Smearing of Residual Deltamethrin Insecticide on Cattle as Efforts of Malaria Vector Control. Under Supervision of SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.

Utilization of cattle to divert Anopheles mosquito bites from humans to animals is known as zooprophylactic. However, using animals as a protection from mosquito bites has double impacts. The presence of cattle on the one hand can be used to divert mosquitoes from humans to animals, but on the other hand can sustain the survival of the mosquitoes, because it can serve as mosquitoes blood meal source to maintain the viability of mosquitoes. The mosquitoes take blood mammals as a protein source for the reproductive development. This study aimed to measure the effect combination of zooprophylactic application with the smearing of residual deltamethrin insecticide on cattle against the rate of

Anopheles mosquito biting. Location of this study was in Hanura Village of Padang Cermin Subdistrict, Pesawaran Regency, Lampung Province, which belong to a high malaria endemic area. The study was conducted on February to April 2012 using three cattle which were smeared by deltamethrin insecticide. Then, the cattle were placed between the resident houses and mosquito breeding places (lagoon). The observation of the insecticide residue on the cattle were measured by cone test method. The measurement of the density of Anopheles

mosquitoes in human was obtained by bare leg collection method during whole night, where as the measurement of Anopheles mosquito density on cattle were done by magoon trap method. The result showed that the residue of deltamethrin insecticide on the cattle caused 95% mortality of mosquitoes were found till eight days. Placement of cattle smeared with insecticide caused the decreasing in density of Anopheles mosquito bites in human and in cattle. The decreasing of

Anopheles mosquito biting rate in human were 63.52% in An. sundaicus, 80% in

An. vagus, 85.71% in An. barbirostris, 82.45% in An. subpictus, 92.30% in An. aconitus and 80% in An. kochi. In addition, the decreasing of biting rate in cattle were 95.12% in An. sundaicus, 90.64% in An. vagus, 80% in An. barbirostris, 85.5% in An. subpictus, 94.34% in An. aconitus, 100% in An. kochi and 100% in An. hyrcanus group. The successful result on combination of zooprophylactic with deltrametrin on reducing the mosquitoes biting rate both in human and in cattle were being a good idea for malaria vector control.