Simpulan Saran Combination of Zooprophylactic and Smearing of Residual Deltamethrin Insecticide on Cattle as Efforts of Malaria Vector Control

Winarno, Zubaidah, Santoso B, Sukmono, Sarjono. 2010. Monitoring status resistensi vektor malaria di Indonesia. Laporan kegiatan MTC Jakarta. Winarno, Hutajulu B. 2009. Review of National Vector Control Policy in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC EH,MOH Indonesia. Makalah laporan. Jakarta. Winarno, Rogayah H. 2009. Profile Monitoring of Insecticide Resistance in Indonesia. Directorat of VBDC DG DC EH,MOH Indonesia. Makalah laporan. Jakarta. Wirawan IA. 2006. Insektisida Permukiman, Dalam : Sigit SH Hadi UK. Hama Pemukiman Indonesia; Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. UKPHP. FKH IPB. Bogor. Hal. 315-433. Yamtana, Soengkowo, Renold. 2008. Bionomic vektor malaria di Kota Jayapura. J Bin San 1 1: 8 – 17. LAMPIRAN Lampiran 1 Output SPSS Pengaruh Perlakuan Terhadap Kepadatan Gigitan Anopheles pada Manusia. An. sundaicus karena p-value0.000 alpha0.05 maka tolak H0, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. vagus Paired Samples Statistics 14,8056 36 8,11989 1,35331 5,6667 36 3,61742 ,60290 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Paired Samples Test 9,13889 5,91440 ,98573 7,13774 11,14003 9,271 35 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 5,3056 36 3,16065 ,52677 1,3611 36 1,39699 ,23283 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Paired Samples Test 3,94444 2,74585 ,45764 3,01538 4,87351 8,619 35 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed karena p-value0.000 alpha0.05 maka tolak H0, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An.barbirostris karena p-value0.000 alpha0.05 maka tolak H0, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. subpictus Paired Samples Statistics 3,3056 36 2,43568 ,40595 ,5833 36 ,73193 ,12199 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Paired Samples Test 2,72222 2,19885 ,36647 1,97824 3,46620 7,428 35 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 2,3611 36 2,00218 ,33370 ,4167 36 ,64918 ,10820 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean karena p-value0.000 alpha0.05 maka tolak H0, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. aconitus karena p-value0.000 alpha0.05 maka tolak H0, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. kochi Paired Samples Test 1,94444 1,86616 ,31103 1,31303 2,57586 6,252 35 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics ,5833 36 ,60356 ,10059 ,0833 36 ,28031 ,04672 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Paired Samples Test ,50000 ,56061 ,09344 ,31032 ,68968 5,351 35 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics ,2500 36 ,43916 ,07319 ,0556 36 ,23231 ,03872 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean karena p-value0.006 alpha0.05 maka tolak H0, artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara Lampiran 2 Output SPSS Pengaruh Perlakuan Terhadap Kepadatan Gigitan Anopheles pada Sapi. An. subpictus Paired Samples Test ,19444 ,40139 ,06690 ,05863 ,33025 2,907 35 ,006 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 112,6667 9 13,50000 4,50000 5,3333 9 4,33013 1,44338 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean karena p-value0.000 alpha0.05 m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. vagus karena p-value0.000 alpha0.05 m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. barbirostris Paired Samples Test 107,33333 13,99107 4,66369 96,57885 118,08782 23,015 8 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 85,4444 9 7,17829 2,39276 2,6667 9 2,59808 ,86603 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Paired Samples Test 82,77778 8,19722 2,73241 76,47684 89,07872 30,295 8 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 33,3333 9 9,75961 3,25320 2,1111 9 1,61589 ,53863 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean karena p-value0.000 alpha0.05 m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. sundaicus karena p-value0.000 alpha0.05 m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. aconitus Paired Samples Test 31,22222 9,65373 3,21791 23,80171 38,64273 9,703 8 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 13,6667 9 5,70088 1,90029 ,2222 9 ,44096 ,14699 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Paired Samples Test 13,44444 5,65931 1,88644 9,09431 17,79457 7,127 8 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 5,8889 9 2,80377 ,93459 ,1111 9 ,33333 ,11111 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean karena p-value0.000 alpha0.05 m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. kochi karena p-value0.000 alpha0.05 m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. An. hyrcanus group Paired Samples Test 5,77778 2,72845 ,90948 3,68050 7,87505 6,353 8 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics 2,8889 9 1,53659 ,51220 ,0000 9 ,00000 ,00000 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Paired Samples Test 2,88889 1,53659 ,51220 1,70776 4,07002 5,640 8 ,000 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed Paired Samples Statistics ,8889 9 1,05409 ,35136 ,0000 9 ,00000 ,00000 Pra Perlakuan Pasca Perlakuan Pair 1 Mean N Std. Deviation Std. Error Mean karena p-value0.035 alpha0.05 m aka tolak H0, ar tinya terdapat perbedaan yang signi fikan antara sebelum dan sesudah perlakuan. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Lampung, 5 Desember 1969, dari ayah Bakir Hadisumarto dan Ibu Sumaryamdari dan merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Penulis menikah dengan Tiarny dan dikarunia satu orang anak bernama Bernadeta Zefani Valenria. Penulis menyelesaikan sekolah menengah di SMAN 1 Pringsewu Lampung tahun 1989 dan lulus Akademi Penilik Kesehatan Tanjung Karang tahun 1992. Penulis meneruskan pendidikan S1 di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan lulus tahun 2003. Kemudian, penulis melanjutkan studi ke Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan tahun 2010. Penulis pernah bertugas di Dinas Kesehatan Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan tahun 1993-1998, kemudian dipindahkan ke Kanwil Kesehatan Provinsi Lampung tahun 1998-2000. Sejak tahun 2000 hingga sekarang penulis bekerja di Subdin Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. Paired Samples Test ,88889 1,05409 ,35136 ,07864 1,69914 2,530 8 ,035 Pra Perlakuan - Pasca Perlakuan Pair 1 Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper 95 Confidence Interval of the Difference Paired Differences t df Sig. 2-tailed 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Nyamuk merupakan kelompok serangga yang paling banyak menimbulkan masalah di bidang kesehatan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh keragaman spesies, distribusi yang luas, populasinya yang besar dan banyaknya spesies yang berperan sebagai pengganggu dan vektor Becker et al. 2003. Beberapa penyakit tular nyamuk mosquito-borne diseases di Indonesia adalah malaria, demam berdarah dengue, filariasis limfatik, japanese encephalitis dan chikungunya Hadi dan Soviana 2010. Nyamuk Anopheles dikenal sebagai vektor Plasmodium penyebab malaria yang sampai sekarang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Pengendalian nyamuk Anopheles merupakan komponen utama untuk memutuskan rantai penularan malaria, yang menjadi elemen dasar keberhasilan program pemberantasan malaria WHO 2011. Pengendalian nyamuk Anopheles secara konvensional selama ini dilakukan dengan metode umum Indoor Residual Spraying IRS yaitu menyemprotkan insektisida residual pada dinding rumah. Metode IRS memerlukan insektisida dalam jumlah yang sangat besar, yang berdampak pada biaya yang mahal dan memberatkan bagi negara-negara berkembang. Mengingat vektor malaria berbasis lingkungan dan bersifat spesifik lokal, jenis teknologi pengendaliannya tidak hanya mengandalkan satu program intervensi tetapi perlu dicari metode yang lebih murah dan efektif. Hadi dan Koesharto 2006 menyatakan keberhasilan pengendalian vektor malaria sangat tergantung pada pilihan metode yang tepat dengan memperhatikan bioekologi nyamuk dan perilakunya di alam. Perilaku nyamuk Anopheles yang dapat digunakan sebagai dasar pengendalian adalah perilaku nyamuk Anopheles yang bersifat zoofilik, yaitu lebih menyukai darah hewan. Soedir 1985 melaporkan bahwa di pantai Glagah Daerah Istimewa Yogyakarta ternak menjadi daya tarik yang besar bagi nyamuk. Dari 3081 nyamuk yang tertangkap 54.3 di antaranya menyukai darah sapi, 33.4 darah domba dan sisanya 5.3 darah manusia. Sementara itu, Naswir 2012 melaporkan bahwa beberapa metode penangkapan nyamuk yang dilakukan di Ujung Bulu Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, hasilnya menunjukkan umpan hewan lebih berhasil mendapatkan Anopheles dalam jumlah banyak 980 nyamuk, dibandingkan dengan cara umpan orang 783 nyamuk. Sigit dan Kesumawati 1988 menyatakan bahwa beberapa nyamuk Anopheles seperti An. aconitus, An. sundaicus dan An. barbirostris yang merupakan vektor utama malaria di Indonesia juga bersifat zoofilik. Pemanfaatan hewan ternak untuk mengalihkan gigitan nyamuk Anopheles dari manusia ke hewan dikenal dengan istilah zooprofilaksis. Tetapi zooprofilaksis mempunyai dampak ganda. Keberadaan hewan ternak di satu sisi mampu untuk mengalihkan gigitan nyamuk dari manusia ke hewan, dan di sisi lain menyediakan sumber darah untuk menjaga kelangsungan hidup nyamuk. Darah mamalia dibutuhkan nyamuk sebagai sumber protein bagi perkembangan reproduksinya Saul 2003. Kelemahan metode zooprofilaksis ini dapat ditanggulangi dengan membalurkan insektisida pada tubuh hewan umpan. Pemanfaatan metode kombinasi zooprofilaksis dengan insektisida pernah dilakukan di Afganistan, terbukti murah dan sama efektifnya dengan penyemprotan rumah IRS. Biaya yang dibutuhkan 80 lebih murah, mudah dan aman serta berdampak pada peningkatan produksi ternak akibat kematian ektoparasit ternak Rowland et al. 2001. Metode kombinasi tersebut di Indonesia juga pernah diteliti oleh Hasan 2006 di Bogor. Aplikasi metode tersebut terbukti dapat menurunkan 42.19 kepadatan gigitan Anopheles vagus dan 74.07 Anopheles indefinitus. Di Indonesia intervensi penggunaan kombinasi zooprofilaksis dengan insektisida yang secara khusus digunakan sebagai metode pemberantasan malaria di daerah endemis belum pernah dikerjakan. Sampai saat ini belum ada data secara ilmiah yang dapat mengukur keberhasilan program tersebut, terutama pengaruh kepadatan gigitan Anopheles pada manusia maupun pengaruh populasi nyamuknya sendiri.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengukur pengaruh aplikasi zooprofilaksis yang dikombinasikan dengan pembaluran insektisida residual deltametrin pada sapi terhadap angka gigitan nyamuk Anopheles.

1.3 Manfaat Penelitian

Metode kombinasi zooprofilaksis dengan insektisida menjadi dasar pengembangan program pengendalian malaria di Indonesia, sedangkan bagi masyarakat yang memelihara ternak dapat meningkatkan sumber ekonomi keluarga sekaligus sebagai tameng terhadap penularan malaria. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peranan Anopheles Sebagai Vektor Malaria

Jenis nyamuk di seluruh dunia telah diketahui terdapat kurang lebih ada 4500 spesies nyamuk dalam 34 genus dari famili Culicidae. Hanya spesies dari genus Anopheles yang berperan sebagai vektor malaria pada manusia. Jumlah Anopheles yang telah diidentifikasi berdasarkan morfologi kurang lebih 424 spesies, dan 70 spesies di antaranya diketahui sebagai vektor malaria. Jumlah spesies Anopheles yang tercatat di Indonesia sebanyak 80 dan 22 di antaranya telah dikonfirmasi sebagai vektor malaria Sukowati 2009. Di Indonesia telah dilaporkan spesies Anopheles utama sebagai vektor malaria adalah An. aconitus, An. sundaicus, An. ludlowi, An. sinensis , An. balabacensis, An. koliensis, An. maculatus, An.subpictus, An. bancrofti, An. letifer, An. minimus, An. flavirostris, An. barbirostris, An. leucosphyrus, An. nigerrimus , An. vagus, An. farauti, An. karwari, An. punctulatus, An. umbrosus, An. tesellatus, An. parangensis, An. kochi, An. ludlowi, An. annullaris yang tersebar di berbagai pulau Winarno dan Rogayah 2009. Di Provinsi Lampung, nyamuk Anopheles yang terbukti sebagai vektor adalah An. sundaicus, An. aconitus, An. maculatus, An. nigerrimus, An. sinensis Depkes 2005. Di pulau Sumatera, nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah An. kochi, An. sundaicus, An. tesselatus, dan berpotensi sebagai vektor yaitu An. nigerrimus, An. letifer, An. umbrosus. Di Pulau Jawa, nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah An. aconitus, An. balabacencis, An. maculatus dan An. sundaicus. Di Pulau Kalimantan nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah An. balabacensis, An. leucosphyrus dan An. sundaicus, sedangkan yang berpotensi sebagai vektor adalah An. letifer dan An. tesselatus. Di Pulau Bali, nyamuk yang berperan sebagai vektor adalah An. subpictus. Di Pulau Nusa Tenggara Timur yang berperan sebagai vektor adalah An. barbirostris, An. subpictus dan An. sundaicus. Di Indonesia bagian Timur, nyamuk Anopheles yang terbukti sebagai vektor malaria adalah An. bancrofti, An. koliensis, An. punctulatus, An. farauti, An. subpictus, An. barbirostris, An. sundaicus, dan yang berpotensi sebagai vektor yaitu An. vagus. Di Pulau Sulawesi, nyamuk yang berperan sebagai vektor malaria adalah An. barbirostris, An. sundaicus, An. kochi, An. nigerrimus, dan yang berpotensi sebagai vektor adalah An. flavirostris, An. umbrosus, An. minimus dan An. sinensis Munif et al. 2008. Penyebaran vektor malaria sangat dipengaruhi oleh struktur lansekap, penggunaan lahan yang berbeda pada struktur lansekap berpengaruh terhadap kepadatan dan keragaman nyamuk Anopheles Han et al. 2002. Distribusi spasial Anopheles meliputi penyebaran berdasarkan wilayah geografis yang dipengaruhi oleh kondisi topografi, ketinggian tempat, kemiringan lereng dan pemanfaatan lahan Sukowati 2009. Hasil analis prevalensi malaria menurut letak geografis di Bukit Menoreh Jawa Tengah menunjukan bahwa risiko terjadinya penularan malaria dipengaruhi suhu udara, kelembaban, vegetasi tanaman dan penggunaan lahan. Nilai konstanta dan nilai fungsi masing-masing variabel prediktor intensitas penularan malaria adalah 1.938 suhu, 1.871 kelembaban, 1.339 vegetasi tanaman dan 1.893 penggunaan lahan Ahmad et al. 2003.

2.2 Habitat Perkembangbiakan Anopheles

Habitat perkembangbiakan merupakan tempat perkembangbiakan pradewasa, mulai dari telur, larva dan pupa. Bates 1970 membagi habitat larva menjadi empat kelompok, 1 habitat yang permanen dan semi permanen seperti rawa, danau, 2 daerah aliran air yang berasosiasi dengan tumbuhan, 3 kontainer termasuk genangan air pada ketiak daun tumbuhan, 4 genangan air pada tanah yang bersifat sementara. Arianti et al. 2007 melaporkan di Kepulauan Seribu bahwa larva An. subpictus merupakan larva yang dapat hidup pada berbagai tipe habitat. Larva jenis Anopheles ini dapat hidup pada air mengalir, maupun tidak mengalir seperti di kolam, pinggir danau, saluran irigasi, persawahan, air tawar dan air payau. Dari kolam perendaman rumput laut ditemukan 27.3 positif mengandung larva An. subpictus, 13.6 sumur dangkal.

2.3 Perilaku Nyamuk Anopheles

Eksofilik adalah sifat atau kebiasaan nyamuk yang menyukai istirahat di luar rumah sampai saat telurnya matang dan siap untuk diletakkan ditempat perindukannya. Nyamuk dengan sifat seperti ini menghabiskan sebagian besar siklus gonotrofiknya di luar rumah manusia. Pengendalian nyamuk yang bersifat eksofilik, metode penyemprotan rumah dan penggunaan kelambu yang berinsektisida tidak efektif, karena nyamuk Anopheles yang menjadi sasaran tidak berkontak dengan insektisida yang disemprotkan. Pengendalian di luar rumah seperti manajemen lingkungan merupakan cara yang tepat untuk menurunkan populasi vektor yang bersifat eksofilik. Berbeda dengan eksofilik, endofilik adalah sifat atau kebiasaan nyamuk yang sebagian besar waktu istirahat di dalam rumah. Perilaku nyamuk dalam memilih sumber darah dapat dibedakan menjadi zoofilik dan antropofilik, zoofilik merupakan sifat nyamuk Anopheles yang lebih menyukai darah hewan dan antropofilik adalah sifat nyamuk Anopheles yang menyukai darah manusia. Terkait dengan sifat antropofilik, nyamuk Anopheles dapat menggigit manusia di dalam rumah endofagik atau di luar rumah eksofagik. Nyamuk Anopheles vagus bersifat zoofilik di desa Hargotirto, Kecamatan Kokap Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta Aprianto 2002. Nyamuk An. maculatus dan An. balabasensis di lokasi yang sama bersifat antropofilik. Berkaitan dengan lokasi mengigit, Aprianto 2002 tidak dapat memastikan sifat eksofagik atau endofagik dari An. maculatus dan An. vagus. Boesri 1991 melaporkan bahwa An. sundaicus di desa Tarahan Lampung Selatan banyak ditemukan di sekitar kandang dan lebih menyukai mengigit di luar rumah. Suwito 2010 melaporkan juga bahwa An. sundaicus di Kecamatan Padang Cermin Pesawaran bersifat antropofilik lebih menyukai darah orang dibandingkan darah hewan. Jastal 2005 melaporkan dari delapan spesies nyamuk Anopheles yang didapatkan di desa Tongua, Donggala Sulawesi Tengah, yaitu An. barbirostris, An. nigerimus, An. barbumbrosus, An. tesselatus, An. vagus, An. punctulatus, An. kochi dan An. maculatus semuanya bersifat eksofagik. Spesies Anopheles yang bersifat antropofilik yaitu An. barbirostris, An. nigerrimus. Tiga spesies lainnya bersifat zoofilik yaitu An. tesselatus, An. vagus dan An. kochi. Penyebaran nyamuk Anopheles mencari sumber darah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan abiotik dan biotik. Lingkungan abiotik yang dimaksud dapat berupa suhu, kelembaban dan curah hujan, sedangkan lingkungan biotik dapat berupa fauna dan flora di suatu daerah.

2.4 Faktor-Faktor Penyebab Nyamuk Tertarik Kepada Inang

Setiap spesies nyamuk mempunyai perilaku berbeda dalam mencari inangnya. Hal ini disebabkan oleh daya tarik masing-masing inang tersebut terhadap nyamuk tidak sama. Beberapa faktor yang diketahui mempengaruhi nyamuk dalam mencari inang adalah suhu, kelembaban, karbondioksida, aroma tubuh dan macam-macam faktor visual Olanga et al. 2010.

2.4.1 Suhu

Suhu merupakan faktor penting sebagai perangsang dalam penemuan inang dan merupakan daya tarik utama bagi nyamuk untuk bereaksi menggigit, peningkatan suhu akibat viremia akan lebih menarik nyamuk untuk mendekati inang Carver et al. 2009. Wang et al. 2009 melaporkan bahwa panas tubuh 25 C sampai dengan 37 C mampu meningkatkan sistem sensor pada nyamuk Anopheles gambiae untuk menuntun mendekati inang . Sistem sensor nyamuk mulai berkurang pada suhu di bawah 18 C dan di atas 40 C.

2.4.2 Kelembaban Udara

Kelembaban udara dapat mempengaruhi aktivitas terbang serangga di alam. Takken et al. 1997 melaporkan bahwa kelembaban relatif di bawah 40 menurunkan aktifitas nyamuk untuk mendekati inang. Sebaliknya kelembaban udara antara 45 sampai dengan 90 meningkatkan aktifitas nyamuk untuk mendekati inang. Olayemi et al. 2011 melaporkan bahwa kelembaban yang tinggi meningkatkan aktifitas nyamuk untuk mencari darah serta mampu memperpanjang hidup Anopheles gambiae di Negeria. Kepadatan nyamuk Anopheles gambiae mengisap darah orang pada kelembaban 79 sebesar 123 per orang, sedangkan kepadatan gigitan Anopheles gambiae pada kelembaban 40 menurun hanya 40 per orang. Umur Anopheles gambiae juga bertambah panjang sampai dengan 21 hari pada kelembaban 79, sedangkan pada kelembaban 40 umur nyamuk Anopheles gambiae hanya sampai 4 hari.

2.4.3 Karbondioksida

Karbondioksida yang dikeluarkan ketika hewan maupun manusia bernapas memainkan peran yang sangat penting bagi nyamuk untuk mendapatkan inang. Smallegange et al. 2010 melakukan uji coba pada perangkap nyamuk yang diberikan aliran CO 2 , menemukan bahwa pada aliran CO 2 25 mlmenit berhasil menangkap 86 nyamuk, CO 2 60 mlmenit 100 nyamuk dan ketika aliran CO 2 dinaikan menjadi 100 mlmenit jumlah nyamuk yang tertangkap bertambah menjadi 177. Roiz et al. 2012 menemukan bahwa perangkap nyamuk yang ditambahkan CO 2 dapat meningkatkan jumlah nyamuk yang tertangkap dibandingkan dengan perangkap nyamuk yang tidak ditambahkan CO 2 . Perangkap nyamuk yang ditambahkan CO 2 mampu menangkap nyamuk lebih dari 1000 nyamukperangkapmalam, sedangkan perangkap yang tidak diberikan CO 2 jumlah nyamuk yang tertangkap dibawah 100 nyamuk perangkapmalam. 2.4.4 Aroma Jawara et al. 2011 menemukan bahwa campuran asam laktat, amonia, dan asam tetradecanoic lebih menarik bagi nyamuk An. gambiae untuk mendekat. Nyamuk melakukan respon terhadap aroma keju dan susu tradisional Afrika, aroma tersebut memiliki potensi sebagai umpan bau yang efektif untuk perangkap nyamuk maupun sebagai atraktan oviposisi untuk vektor malaria Anopheles funestus Owino 2010. Cooperband et al. 2008 juga menyimpulkan bahwa aroma kotoran ayam mampu menarik Culex quinquefasciatus untuk datang mendekat. Aroma darah sapi dilaporkan mempunyai daya tarik terhadap nyamuk Ae. aegypti empat kali lebih besar dari pada air dan plasma darah lima kali lebih besar dari pada air Burgess dan Brown 1957.

2.4.5 Visual

Respon visual mempengaruhi nyamuk dalam memilih inang. Bentuk dan pemantulan cahaya serta gerakan inang ternyata merupakan faktor penting, sebab mampu menuntun nyamuk yang aktif mencari darah pada siang hari. Brown dan Bennet 1981 melaporkan bahwa Ae. aegypti lebih banyak menggigit tangan yang memakai kaos warna gelap dibandingkan dengan tangan yang memakai warna terang. Visual rangsangan seperti gerakan, panjang gelombang cahaya dan intensitas, warna, bentuk, pola, memainkan peran penting dalam pencarian inang oleh nyamuk dewasa betina Bidlingmayer 1994. Dalam beberapa spesies Aedes, deteksi gerakan penting bagi penentuan lokasi inang Brown dan Bennet 1981. Spesies lain mungkin mengandalkan intensitas cahaya atau warna seperti biru, hitam dan merah sebagai rangsangan yang menuntun kearah inang. Ali et al. 1989 mampu menunjukkan bahwa Culex lebih menyukai warna cahaya dari pada intensitas. Demikian pula Burkett dan Butler 1998 menyatakan bahwa tidak hanya cahaya, tetapi panjang gelombang cahaya tertentu memainkan peranan penting dalam daya tarik inang. Walaupun faktor visual telah dibuktikan mempengaruhi nyamuk tetapi tidak semua nyamuk tergantung kepada faktor tersebut. Faktor visual berperan penting terutama pada nyamuk yang menggigit di siang hari. Nyamuk Anopheles mulai menggigit pada sore hingga malam hari, berbeda dengan nyamuk Aedes yang menggigit di siang hari Mattingly 1969. 2.5 Pemanfaatan Ternak Dalam Pengendalian Nyamuk Anopheles Pemanfaatan ternak merupakan salah satu cara hayati yang bertujuan untuk mencegah dan menghindarkan kejadian kontak antara nyamuk dengan manusia. Upaya pengendalian nyamuk vektor penyakit, dengan menyediakan hewan sebagai tameng dikenal istilah zooprofilaksis. Tindakan tersebut merupakan perubahan orientasi nyamuk dari menggigit manusia kepada menggigit hewan. Zooprofilaksis didefinisikan sebagai penggunaan hewan domestik ataupun liar yang bukan inang reservoir dari suatu penyakit tertentu untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia sebagai inang penyakit tersebut Saul 2003. Tindakan zooprofilaksis lebih khusus dilakukan terhadap nyamuk dengan cara menempatkan kelompok ternak di dekat sumber tempat perindukan nyamuk. Tindakan yang direncanakan dan dilakukan seperti itu disebut zooprofilaksis aktif. Sebaliknya zooprofilaksis pasif, yaitu zooprofilaksis yang tidak direncanakan, mempunyai daya merubah nyamuk vektor yang antrofilik menjadi zoofilik dalam batas tertentu. Pengendalian vektor melalui zooprofilaksis juga sangat tergantung pada peran serta masyarakat. Karena diharapkan mereka yang akan memelihara ternak di sekeliling rumah sebagai perlindungan terhadap gigitan nyamuk. Pada tahap awal peran serta masyarakat sangat diperlukan dalam ujicoba ternak yang mempunyai daya profilaksis yang paling tinggi. Soedir 1985 melaporkan bahwa sapi mampu menarik 20 spesies nyamuk, domba 19 spesies, dan manusia 9 spesies. Adapun tiga hewan lainnya yaitu monyet, kelinci, serta ayam mempunyai daya tarik yang relatif kecil. Masing- masing hanya menyumbang 1.2 delapan spesies, 2.1 sepuluh spesies dan 3.7 enam spesies dari seluruh nyamuk yang tertangkap. Hasil uji presipitin yang dilakukan Boewono 1986 di desa Kali Gading, Jawa Tengah menunjukkan 56.04 dari populasi An. aconitus mengisap darah sapi, 13.19 darah domba dan 4.40 darah kambing serta 3.30 darah manusia. Faktor yang membedakan daya tarik ternak bagi nyamuk An. aconitus adalah jarak penempatan kandang ternak terhadap rumah penduduk, semakin dekat penempatan sapi atau kerbau dari rumah penduduk, semakin banyak infestasi nyamuk An. aconitus. Bruce-Chwatt 1985 menemukan An. gambiae lebih menyukai darah ternak dan kuda. Di negara pecahan Unisoviet, ternak digunakan sebagai salah satu metode pengendaliaan malaria. Di bagian Utara Eropa dan sejumlah negara di Amerika Utara, metode zooprofilaksis juga dapat menurunkan kasus malaria di masing-masing daerah tersebut. Melihat kenyataan tersebut, pemberdayaan ternak sebagai tameng terhadap penyakit malaria mempunyai potensi dan prospek yang baik dimasa depan. Penelitian tentang zooprofilaksis dilaporkan Hewitt et al. 1994 pada tempat pengungsi Afganistan di Pakistan dengan mengunakan seekor sapi dan dua ekor kerbau sebagai zooprofilaksis, diperoleh hasil adanya peningkatan angka gigitan nyamuk oleh An. staphensi masing-masing 38 dan 50 untuk penggunaaan sapi dan kerbau sebagai zoobarier. Mathys 2010 menyatakan ada dua syarat untuk keberhasilan program zooprofilaksis yaitu pertama, jenis spesies Anopheles harus bersifat zoofilik. Kedua, ternak tersebut harus disebar dalam bentuk tameng antara nyamuk vektor dan manusia. Lokasi penempatan ternak harus sejauh mungkin dari permukiman manusia. Berdasarkan hasil tersebut Hewitt et al. 1999 mengusulkan agar pengertian zooprofilaksis didefinisikan sebagai penyebaran ternak yang bukan inang reservoar dari suatu penyakit untuk mengalihkan gigitan nyamuk vektor dari manusia yang menjadi inang dari penyakit tersebut.

2.6 Pemanfaatan Ternak dan Insektisida Pengendalian Anopheles

Pengendalian nyamuk vektor dengan memanfaatkan ternak bertujuan mengalihkan preferensi nyamuk vektor dari manusia ke hewan. Penggunaan hewan diharapkan dapat mengurangi transmisi penyakit malaria. Selain itu mengkombinasikan dengan aplikasi insektisida pada hewan tersebut akan dapat menambah efektifitas pengendalian. Kombinasi ternak dan insektisida menurut Rowland et al. 2001 dapat menurunkan insiden penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum sebesar 56 dan Plasmodium vivax sebesar 31, dengan biaya yang lebih rendah sekitar 80 dibandingkan dengan metode penyemprotan dalam ruang indoor spraying. Kombinasi aplikasi insektisida pada ternak tidak hanya menguntungkan bidang kesehatan masyarakat saja, tapi juga memberi keuntungan bagi kedokteran hewan. Pegram et al. 1989 meneliti di Zambia dari tahun 1982 sampai dengan 1986 menyatakan bahwa, penggunaan insektisida untuk pengendalian ekstoparasit pada sapi berdampak pada peningkatan berat badan sapi. Penggunaan deltametrin untuk pengendalian ekstoparasit pada ternak juga telah digunakan untuk pengendalian lalat tsetse di Uganda oleh Okello et al. 1994, yang hasilnya berdampak pada penurunan populasi lalat tsetse sampai dengan 100. Penggunaan deltametrin sebagai insektisida pengendali ektoparasit tidak berbahaya bagi konsumen dan produk hewan NPIC 2010. Kombinasi ternak dan insektisida tersebut dapat mengurangi transmisi malaria sama baiknya dengan penyemprotan dalam rumah. Secara teknis dan dapat diarahkan untuk mengurangi resiko resistensi yang berkelanjutan. Sehingga dengan keuntungan yang diperoleh tersebut. Metode ini dapat menjadi salah satu strategi pengandalian malaria disamping penyemprotan dalam rumah Hewitt dan Rowland 1999.

2.7 Deltametrin dan Cara Kerjanya

Deltametrin telah digunakan secara luas pada sektor pertanian dan kesehatan masyarakat. Penggunaan deltametrin dalam pengendalian penyakit malaria terutama ditujukan untuk membunuh nyamuk Anopheles dewasa. Deltametrin digunakan secara intensif di Afrika sebagai bahan aktif untuk kelambu celup berinsektisida impregenated badnet, untuk mencegah gigitan nyamuk Anopheles Robert et al. 1991. Deltametrin merupakan insektisida sintesis yang termasuk ke dalam golongan piretroid generasi ke empat dengan nama kimia S- α-cyano-3- phenoxybenzyl 1R,3R-3-2,2-dibromovinyl-2,2 dimethyl cyclopro pane carboxylate. Sifat fisika deltametrin antara lain 1 berbentuk kristal, tidak korosif dan berwarna putih, 2 mempunyai tekanan uap 1.5 x 10 -8 mmHg pada suhu 25°C, 3 berat molekul 505.2 gmol, 4 larut dalam air, antara 0.002 sampai dengan 0.0002 mgL, 5 terserap dalam tanah, antara 7.05 x 10 5 sampai dengan 3.14 x 10 6 NPIC 2010. Menurut cara kerja piretroid berdasarkan pola resistensi silang dan sifat knockdown, deltametrin termasuk piretroid tipe II. Piretroid tipe II mempunyai koefisien suhu positif, menyebabkan penghambatan fungsi sistem saraf pusat, efek klinis yang terlihat pada serangga adalah konvulsi, hiperaktif dan kontraksi pada tungkai metatoraks Irawan 2006.

2.8 Resistensi dan Mekanismenya

Resistensi merupakan kemampuan kelompok serangga untuk bertahan hidup terhadap suatu dosis insektisida yang dalam keadaan normal dapat membunuh spesies serangga tersebut WHO 1998. Kasus resistensi pertama kali dilaporkan pada lalat rumah Musca domestica terhadap DDT di Swedia pada tahun 1947. Perkembangan resistensi semakin cepat setelah ditemukannya bahan sintetik organik sebagai insektisida dan acarisida. Pada era tahun 1940-an hanya tujuh spesies serangga yang dilaporkan resistensi terhadap DDT, tetapi pada era 1980 jumlahnya meningkat mencapai 447 spesies. Dari jumlah tersebut 59 terdiri dari serangga hama, 38 serangga penggangu kesehatan hewan dan manusia, 3 sisanya adalah serangga yang berguna seperti predator dan parasitoid Georghiou 1986. Menurut WHO 1998 sampai saat ini lebih dari 100 spesies nyamuk mengalami resisten terhadap satu atau lebih insektisida. Dari jumlah tersebut, di antaranya adalah 56 spesies nyamuk Anopheles dan 39 spesies Culex. Anopheles yang mengalami proses resistensi tersebut antara lain, An. sacharovi di Lebanon, Iran dan Turki, An. sundaicus di Indonesia dan Myanmar, An. quadrimaculatus di Mexiko resisten terhadap dieldrin. An. aconitus di Indonesia juga mulai resisten terhadap organofosfat Widiarti et al. 2009. Nyamuk An. minimus di Thailand sejak tahun 2000 dinyatakan resisten terhadap permetrin Chareoviriyaphap et al. 2002 dan An. gambiae di Kamerun sejak tahun 2006 telah mengalami resistensi terhadap DDT dan piretroid Etang et al. 2006. Mekanisme resistensi dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu 1 biokimia dan 2 faali Sigit 2004.

2.8.1 Mekanisme Biokimia

Mekanisme ini menyangkut daya kerja enzim tertentu didalam tubuh hama yang merombak molekul pestisida menjadi molekul-molekul lain yang tidak toksik detoksifikasi molekul pestisida harus berinteraksi dengan target dalam proses toksikologinya terhadap sistem kehidupan di dalam tubuh hama, untuk dapat menimbulkan dampak letal mematikan. Dengan dirombaknya molekul pestisida itu, maka di dalam individu hama pada populasi resisten, interaksi tersebut tidak terjadi. Tipe resistensi dengan mekanisme biokimia ini sering disebut sebagai resistensi enzimatik

2.8.2 Mekanisme Faali

Ada tiga macam mekanisme faali, yaitu 1 berkenaan dengan target di dalam tubuh hama, 2 berkenaan dengan eksoskolet kerangka luar hama, 3 berkenaan dengan kepekaan mendeteksi adanya pestisida. Mengenai target pestisida ada individu-individu hama yang mempunyai situs lain yang merupakan target pestisida tadi, tetapi yang interaksinya dengan molekul pestisida tidak menimbulkan dampak letal. Populasi resisten disini bukannya terdiri dari individu yang memiliki enzim perombak.